*

*

Ads

FB

Senin, 11 Juli 2016

Pedang Kayu Harum Jilid 046

"Tidak ada tolong menolong ! Siapa suka menolong orang yang semuda ini telah memiliki ilmu begitu keji sehingga tidak segan-segan membunuh orang? Seekor lintah menyedot darah hanya secukupnya saja, setelah kenyang melepaskan diri. Akan tetapi engkau menyedot hawa orang sampai orang-orang itu mati. Aku tidak menolong siapa-siapa, hanya tidak suka melihat pembunuhan-pembunuhan."

"Ah, akan tetapi saya tidak sengaja membunuh mereka, Locianpwe..."

"Bohong! Ingat, tidak baik membohong dan aku Siauw-bin Kuncu selamanya tidak sudi membohong! Kebohongan itu berantai, sekali berbohong engkau harus selalu membohong untuk menutupi kebohongan-kebohongan yang terdahulu."

Keng Hong menahan senyumnya,
"Saya tidak perlu berpura-pura, Locianpwe. Sekali waktu, kalau perlu saya akan membohong. Saya tidak pernah mempunyai niat di hati untuk membunuh siapapun juga. Dan ilmu Thi-khi-i-beng yang Locianpwe sebut-sebut itu sama sekali saya tidak mengerti dan tidak pernah mempelajarinya. Tenaga sedotan yang berada di tubuh saya ini bukan saya pelihara dan bergerak di luar kesadaran saya."

"Eh, eh, eh, mengapa begitu? Aku melihat engkau seorang bocah yang baik, maka aku condong memihakmu ketika engkau ribut-ribut dengan orang-orang Tiat-ciang-pang. Akan tetapi aku kecewa melihat engkau mempergunakan ilmu yang sesat itu. Dan sekarang kau mengatakan tidak sadar akan ilmu itu ? sungguh luar biasa... ."

"Sudahlah, Locianpwe. Sesungguhnya selain hendak menghaturkan terima kasih kepada Locianpwe, saya hendak mohon penjelasan, hendak bicara dengan Locianpwe.."

"Hemmm, boleh. Bicara tentang apa ?"

"Tentang air !"

Kakek itu melongo. Mulutnya masih tersenyum akan tetapi karena terbuka lebar kelihatan lucu, matanya terbelalak, tangan kirinya perlahan-lahan diangkat ke atas dan menggaruk-garuk bagian atas kepalanya yang botak kelimis.

"Eh, orang muda, apakah kau gila ?" tanyanya, pertanyaan yang sungguh-sungguh dengan wajah serius, bukan main-main atau memaki.

Timbul kegembiraan di hati Keng Hong. Pemuda ini memang memiliki dasar watak gembira, maka biarpun kelihatannya pendiam, setiap kali bertemu dengan orag yang bersikap riang dan lucu, tentu dia akan mudah terbawa riang pula. Kakek ini selain aneh, lihai, juga amat lucu dan gembira. Melihat sikap sungguh-sungguh ketika kakek yang nama julukannya saja sudah aneh itu bertanya apakah dia gila, Keng Hong tak dapat menahan kegelian hatinya dan dia tertawa bergelak, membuat kakek itu makin curiga, makin keras mengira bahwa pemuda ini benar-benar telah gila!






"Tidak, Locianpwe. Aku belum gila dan mudah-mudahan tidak akan gila," jawab Keng Hong. "Yang kumaksudkan dengan air adalah kalimat yang Lociapwe berikan kepada saya sebagai nasihat menghadapi orang-orang Tiat-ciang-pang. Kalimat yang amat menarik hati saya dan yang ingin sekali saya tanyakan kepada locianpwe tentang artinya."

"Kalimat apa ?"

"Yang seperti bunyi ujar-ujar kuno yang suci, mengenai air." Keng Hong sengaja memancing.

"Sangat banyaknya ujar-ujar suci yang membawa-bawa air sebagai wejangan. Yang mana yang kau maksudkan? Nasihat apa yang kuberikan tadi? Aku sudah tidak ingat lagi. Pertanyaan-pertanyaanmu aneh dan membikin aku bingung. Eh, benar-benarkah engkau tidak miring otak, ya?"

"Tidak, Locianpwe. Kalau locianpwe lupa, biarlah saya mengulang kalimat yang locianpwe ucapkan tadi. Begini bunyinya : Kebijaksanaan tertinggi seperti air."

"Heh-heh-heh! Betul sekali! Kebijaksanaan tertinggi seperti air! Lengkapnya begini :

Kebijaksanaan tertinggi seperti air yang memberi manfaat kepada segala sesuatu mengalir ke tempat rendah yang tak disukai orang karena itu sifatnya berdekatan dengan Too.."

"Eh bukankah itu ayat di kitab Too-tik-khing bagian ke delapan ?" Keng Hong berseru girang dan heran.

Sebaliknya, kakek bongkok itu memandang Keng Hong dengan mata berseri,
"Hayaaaaa. Engkau ini benar-benar bocah yang kukoai (aneh) sekali! Mengerti dan hafal pula ayat-ayat di kitab Too-tik-khing ?"

"Tentu saja hafal karena saya sudah berkali-kali menghafalnya, Locianpwe. Tadi saya lupa dan ... ah, hal ini tidak perlu. Yang penting sekarang apakah Locianpwe mengenal pula kalimat yang berbunyi seperti ini : Tulus dan sungguh mengabdi kebajikan."

"Kau maksudkan tulus dan sungguh mengabdi kebajikan seperti air keluar dari sumbernya? Dan sewajarnya seperti munculnya matahari dan bulan atau sewajarnya seperti empat musim yang datang bergantian? Ujar-ujar itu lengkapnya berbunyi begini: Phouw Phek Yan Coan, Ji Si Chut Ci."

"Wah, itu adalah ujar-ujar pasal tiga puluh satu ayat dua dari kitab Tiongyeng!" kembali Keng Hong berseru girang sekali karena mengenal ujar-ujar itu yang pernah dihafal seluruh isi kitabnya di luar kepala.

Sekali lagi kakek bongkok itu bengong dan kagum.
"Kau juga pandai ujar-ujar Nabi Khongcu ? Wah, bocah apakah engaku ini ? Kalau gila terang belum! Akan tetapi, engkau menguasai ilmu sesat Thi-khi-I-beng, ginkangmu luar biasa sekali dapat menandingi aku, sinkangmu menakjubkan, dan engkau hafal akan kitab-kitab Too-tik-khing dan Tiong-yong ! siapakah sesungguhnya engaku ini bocah aneh ?"

Akan tetapi Keng Hong yang sudah mengenal dua di antara tiga baris kalimat yang terukir di pedang Siang-bhok-kiam, menjadi begitu girang sehingga dia tidak mempedulikan lagi pertanyaan kakek itu, melainkan cepat dan menahan napas ketika dia berkata lagi.

"Satu lagi, Locianpwe. Satu lagi mohon bantuanmu. Dengarkanlah kalimat ini : Tukang saluran mengalirkan airnya kemana dia suka"

Tiba-tiba sikap kakek itu berubah. Dia selamanya tidak bisa marah, akan tetapi sekarang berpura-pura marah, atau memasang muka seperti orang marah. Betapapun juga, karena mukanya itu muka lucu, memasang muka marah tidak kelihatan menyeramkan atau menakutkan, malah menggelikan!

"Bocah sombong! Apakah engkau hendak menantang aku ? Apakah enkau tidak percaya akan julukanku Siauw-bin-Kuncu? Aku berjuluk Kuncu, tentu saja aku seorang bijaksana yang sudah mengenal seluruh ayat di permukaan bumi ini! Apakah engkau sengaja hendak mengujiku? Sekaligus kau mengeluarkan tiga ayat dari tiga macam agama, apa kau kira aku berjuluk kuncu hanya untuk main-main dan palsu belaka? Kalau memang kau hendak menantangku berdebat tentang filsafat agama-agama di dunia ini, bilang saja terus terang, dan akan kulayani sampai mengaku keok!"

Keng Hong menahan kegelian hatinya, ia maklum bahwa kakek ini seorang tokoh yang amat aneh dan agaknya memang seorang ahli kitab-kitab suci. Kalau dipaksa dan dibujuk, biar dia menyembah-menyembahnya tentu takkan sudi memenuhi permintaannya, maka jalan satu-satunya hanya menantangnya!

"Ha-ha-ha, kusangka tadinya julukanmu hanya kosong belaka, siapa kira ternyata lebih kosong daripada yang kosong!" kata Keng Hong untuk memanaskan hati kakek itu. "Memang aku menantangmu berdebat tentang filsafat. Kalimat terakhir tadi tentu tidak kau kenal, maka engkau mencari-cari alasan, kakek bongkok!"

Anehnya kakek itu tidak marah malah tertawa-tawa.
"Heh-heh-heh, engkau memujiku terlalu tinggi, orang muda. Siapa namamu tadi? Cia Keng Hong? Ah, aku mulai suka kembali kepadamu. Di dalam to-kauw terdapat paham bahwa yang kosong itu lebih berguna daripada yang isi, maka kau menyebut aku lebih kosong daripada yang kosong. Pujian apa lagi yang lebih hebat daripada ini?"

Celaka, pikir Keng Hong. Kakek ini benar angin-anginan dan mencampur adukkan isi filsafat dengan ucapan-ucapan biasa. Akan tetapi dia tidak kekurangan akal.

"Locianpwe, ada maksud saya dengan menjajarkan tiga ayat itu, karena dua ayat terdahulu sudah dapat Locianpwe tebak, harap tidak berlaku kepalang dan suka mengenal ayat terakhir tadi. Saya ulangi lagi. Tukang saluran mengalirkan airnya ke mana dia suka."

Kakek itu tertawa lalu bersenandung,
"Tukang-tukang pembuat saluran air mengalirkan airnya ke mana mereka suka; para pembuat panah meluruskan anak panahnya; tukang kayu melengkungkan sebatang kayu; para bijaksana mengendalikan diri pribadi!".

Keng Hong meloncat dan berjingkrak-jingkrak saking senangnya.
"Ha-ha-ha! Itulah ayat ke delapan puluh dari kitab Jalan Suci Kebajikan (Dhammapada).!"

Kakek itu melangkah dekat dan menantang,
"Tak perlu mengejek! Kalau engkau memang seorang ahli dalam filsafat dari isi kitab suci dari tiga agama, mari berdebat dengan aku. Kalau aku kalah, aku akan membuang julukan Kuncu dan akan mengaku engkau sebagai guru!"

Keng Hong yang tadinya menari-nari kegirangan karena merasa dapat memecahkan arti tiga baris kalimat yang terukir di atas pedang Siang-bhok-kiam, tiba-tiba berdiam dan mengasah otaknya. Kalau sudah mengenal, lalu bagaimana lanjutannya? Bagaimana artinya yang berhubungan dengan rahasia penyimpanan pusaka-pusaka peninggalan gurunya? Ia mendapat akal dan ingin mempergunakan perngertian yang mendalam dari kakek yang berjuluk Siauw-bin Kuncu itu untuk mencoba membongkar rahasia yang tersembunyi di balik tiga baris kalimat itu.

"Baiklah, Locianpwe. Akan tetapi karena Locinpwe yang menantang, harap Locianpwe yang lebih dahulu menjawab pertanyaan-pertanyaan saya yang sulit-sulit. Kalau Locianpwe tidak dapat menjawab berarti Locianpwe kalah satu angka. Nanti kita saling perhitungkan, siapa yang mendapat angka terbanyak dia menang."

"Akur! Dapat menjawab mendapat satu angka, aku dapat menjawab dipotong satu angka. Majukan pertanyaanmu, bocah yang menyenamgkan hati!"

"Pertanyaan pertama. Apakah bedanya antara ketiga pelajaran yang Locianpwe sebutkan tadi, yaitu mengenai kalimat-kalimatnya yang saya sebutkan. Untuk jelasnya, apa bedanya antara tiga kalimat ini. Kebijaksanaan tertinggi seperti air! Tulus dan sungguh mengabdi kebajikan! Tukang saluran mengalirkan airnya ke mana dia suka!"

"Heh-heh-heh, pertanyaan kanak-kanak. Amat mudahnya, lebih baik kau tanyakan yang lain dan yang lebih sulit. Baiklah kujawab. Ketiganya tidak ada perbedaannya dan ketiganya mengandung nasihat agar manusia meniru sifat air yang amat bijaksana. Mengapa air disebut bijaksana dalam ayat-ayat suci itu? Pertama karena air bergerak secara wajar, tidak memaksa sesuatu tidak menentang sesuatu, menurut sifat alam, keluar dari sumbernya dan mengalir menuju ke tempat rendah, menyerahkan diri untuk segala macam benda yang membutuhkannya dan memanfaatkannya, tanpa pamrih, dan selalu menempatkan diri di tempat yang paing rendah. Itulah inti pelajaran itu dan ketiganya menggunakan sifat air sebagai contoh."

"Tepat sekali, Locianpwe dan biarlah untuk jawaban ini Locianpwe mendapatkan angka satu. Sekarang pertanyaan kedua. Ada hubungan apakah antara ketiga ayat itu?"

Kakek itu mengernyitkan alisnya. Pertanyaan ini sulit sekali karena tidak mengandung maksud pemecahan filsafat, lebih condong kepada pertanyaan teka-teki. Akan tetapi dia tidak mau kalah karena kalau dia tidak dapat menjawab berarti dia kehilangan nilai satu angka!

Memang Keng Hong sengaja mengajukan pertanyaan ini untuk memecahkan rahasia Siang-bhok-kiam. Ia maklum bahwa tiga kalimat di pedang itu diambil dari tiga bagian ayat Too-tik-khing., Tiong-yong dan Dhammapada, dan jika di dalam kalimat-kalimat itu terdapat rahasia yang sifatnya filsafat, maka sudah tentu akan dapat dipecahkan oleh kakek bongkok yang ternyata seorang ahli dalam segala macam agama. Kalau kakek bongkok ini tidak mampu memecahkannya, apalagi dia yang dahulu hanya menghafal saja segala kitab itu, belum dapat menyelami maknanya yang amat dalam. Kalau tidak memiliki maksud tersembunyi yang dalam, juga akan dapat dia pelajari dari jawaban kakek itu.

"Hubungannya hanya penggunaan air sebagai contoh nasihat. Tidak ada hubungan apa-apa lagi kecuali persamaan yang menyebut air itu. Kalau dipaksakan hubungannya, tiada lain hanya air dan memang oleh air, seluruh dunia ini dipersatukan dan jika mengingat akan air, tidak ada lagi yang terpisah-pisah, segala sesuatu di dunia ini sambung-menyambung dan sesungguhnya hanya satu, seperti air samudera, biarpun terdiri dari titik-titik air, namun tak dapat dibedakan karena merupakan kesatuan yang tiada bedanya."

Keng Hong menganguk-angguk, akan tetapi sesungguhnya di dalam hatinya dia menjadi bingung. Agaknya, ketika menuliskan kalimat-kalimat itu, gurunya maksudkan AIR! Akan tetapi, apa artinya air yang hendak ditunjukkan gurunya itu? Air di puncak Kiam-kok-san? Apa maksudnya? Air selalu mengalir ke tempat rendah! Dan di puncak itu ada sebuah kolam kecil yang menampug semua air yang jatuh dari langit, baik air hujan maupun air dari embun dan dari kolam ini, air mengalir ke bawah seperti sebuah sungai kecil, hanya dua kaki lebarnya, terus ke bawah melalui celah-celah batu karang.

"Bagus sekali jawabanmu, Locianpwe. Biarlah aku kalah dua nilai. Sekarang pertanyaan ketiga. Kalau ada orang menuliskan tiga buah kalimat tadi bersambung, dengan niat untuk memberitahukan sesuatu yang rahasia, yaitu hendak menunjukkan sesuatu tempat rahasia, apakah maksudnya?"

Mata kakek itu terbelalak.
"Eh, orang muda. Benar-benarkah engkau tidak gila?"






Tidak ada komentar: