*

*

Ads

FB

Kamis, 15 September 2016

Petualang Asmara Jilid 004

Sebelum menjawab, Yap Cong San melirik ke arah puteranya yang masih berdiri di situ dan Kun Liong tersenyum kepada ayahnya, senyum yang memancing maaf dari ayahnya.

Sejak kecil, Kun Liong paling takut kepada ayahnya dan paling manja kepada ibunya. Mungkin karena ayahnya keras maka ibunya memanjakannya atau bisa jadi juga sebaliknya, karena ibunya memanjakannya maka ayahnya bersikap keras kepadanya. Melihat puteranya tidak apa-apa, legalah hati pendekar itu dan ia cepat menjura kepada tosu yang bermata lamur itu.

“Totiang, saya tidak bermaksud mencampuri urusan orang lain. Akan tetapi karena pekerjaanku adalah menolong orang sakit, sedapat mungkin berusaha mencegah kematian merenggut nyawa orang, tentu saja saya tidak tega menyaksikan totiang hendak membunuh orang.”

“Ayah, kakek tua bangka ini sudah membunuh banyak sekali orang. Dia iblis jahat!”
Tiba-tiba Kun Liong berkata menudingkan telunjuknya kepada tosu itu.

“Kun Liong, diam!” Ayahnya membentak.

Tosu itu mengangguk-angguk.
“Hemm kiranya dia anakmu? Pantas pemberani, kiranya ayahnya seorang yang lihai. Gerakanmu tadi jelas menunjukkan bahwa engkau tentu seorang tokoh Siauw-lim-pai yang lihai sekali, sicu (orang gagah). Karena Siauw-lim-pai merupakan perkumpulan besar yang disegani dan dihormati oleh perkumpulan kami, biarlah pinto mengalah terhadapmu dan ketahuilah bahwa pinto adalah Loan Khi Tosu, pemimpin Pek-lian-kauw di daerah ini. Yang terbunuh oleh pinto adalah kaki tangan pemerintah yang selalu memusuhi kami, maka pinto harap sicu tidak ikut campur.”

Yap Cong San memang sudah menduga bahwa tosu itu seorang tokoh Pek-lian-kauw ketika ia melihat bunga teratai putih dari baja itu. Dia menjadi tidak enak hati karena maklum bahwa Pek-lian-kauw adalah kumpulan orang-orang yang menentang pemerintah, yang menganggap pemerintah mulai menyeleweng, pembesar-pembesarnya tukang korup dan rakyat mulai ditindas pula, tidak becus menanggulangi gangguan-gangguan yang datang dari para bajak laut yang hanya menyusahkan kehidupan rakyat.

Dia menganggap mereka itu sekumpulan orang-orang yang memberontak, namun karena dia melihat pula akan keadaan pemerintah yang makin memburuk, maka dia selalu menjauhkan diri dan tidak mau mencampuri pertentangan antara Pek-lian-kauw dan pemerintah itu.

“Totiang, saya datang hanya untuk menyusul anak saya yang ternyata berada di sini. Karena totiang tidak mengganggu anak saya, maka sayapun tidak akan mengganggu totiang, akan tetapi tiga orang yang terluka itu menjadi tanggungan saya untuk mencoba mengobati dan menyembuhkannya.”

Tosu itu menyeringai,
“Heh-heh, boleh kau coba, sicu. Dan melihat muka sicu, pinto mau mengampuni mereka. Bolehkah pinto mengetahui nama besar sicu?”

“Saya hanyalah seorang biasa saja yang tidak terkenal, tidak ada gunanya dikenal oleh seorang tokoh Pek-lian-kauw seperti totiang.”






Tosu itu mendengus. Dia maklum dari tangkisan tadi bahwa yang berada di depannya adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai yang berkepandaian tinggi. Karena itu, dia tidak mau mencari perkara dan suka mengalah, pertama karena agaknya akan sukar baginya menandingi lawan ini, ke dua karena para pimpinan Pek-lian-kauw dengan keras melarang Pek-lian-kauw mencari bibit permusuhan dengan perkumpulan-perkumpulan besar seperti Siauw-lim-pai yang amat kuat.

“Kalau begitu, selamat tinggal dan sampai jumpa, sicu!”

Tosu itu menyambar bunga teratai putih dari baja yang tadi menjadi tempat duduknya, kemudian sekali meloncat dia sudah lenyap dari situ, tubuhnya melayang cepat sekali keluar dari kuil tua.

“Ayah, mengapa ayah membiarkan si jahat itu pergi?” Kun Liong bertanya penasaran.

Ayahnya memandang dengan bengis.
“Kun Liong, jangan mencampuri urusan orang lain! Mau apa engkau berkeliaran sampai ke tempat ini?”

Mendengar suara ayahnya dan melihat sikap bengis itu, Kun Lion menundukkan muka dan menjawab lirih.

“Tadinya aku hendak mencari bambu kuning, ayah...”

“Hemmm, mencari bambu tapi melibatkan diri dengan urusan gawat! Anak lancang, kau tak tahu akan bahaya. Kalau tosu itu berhati kejam, apa kau kira sekarang engkau masih hidup? Hayo lekas pulang dan minta bantuan orang untuk mengangkut mereka yang terluka ini. Cepat!”

Kun Liong mengangguk-angguk lalu melarikan diri secepatnya pulang ke kota untuk memenuhi perintah ayahnya. Yap Cong San lalu berlutut memeriksa keadaan tiga orang itu. Mereka belum tewas, bahkan Si Cambang Melintang sudah siuman.

“Yap... sinshe… tolonglah kami...” katanya sambil mengeluh.

Pendekar itu mengenal mereka sebagai perwira-perwira pengawal kepala daerah, maka ia mengangguk dan memeriksa. Kiranya di leher tiga orang itu menancap sebatang jarum hitam. Melihat keadaan luka di sekeliling jarum yang kulitnya menghitam, tidak ragu lagi hatinya bahwa jarum itu tentu mengandung racun yang jahat.

Pek-lian-kauw selain terkenal mempunyai banyak orang pandai, juga terkenal dengan keahlian mereka mempergunakan racun. Cepat dia mencabuti jarum-jarum itu dan kembali Si Cambang Melintang jatuh pingsan.

Tak lama kemudian datanglah sepasukan pengawal dari Ma-taijin terdiri dari belasan orang. Pasukan ini dikirim setelah ibu Kun Liong mendengar dari puteranya akan peristiwa di kuil tua dan nyonya perkasa itu sendiri melaporkan kepada kepala daerah.

Tubuh tiga orang perwira pengawal itu, juga mayat dua orang yang terdahulu dibunuh Loan Khi Tosu diangkut. Yap Cong San mengikuti dari belakang setelah menyimpan tiga batang jarum hitam. Jarum-jarum itu perlu untuk diselidiki racunnya sebelum dia mengobati tiga orang perwira itu, dan dia perlu berunding dengan isterinya yang lebih ahli dalam hal racun dibandingkan dengan dia.

Setelah memasuki kota Leng-kok, para korban itu langsung diangkut ke perkemahan kepala daerah sedangkan Cong San pulang ke rumahnya untuk berunding dengan isterinya dan mengambil obat.

“Sungguh menjengkelkan sekali tosu itu, ibu. Sayang bahwa ayah membiarkannya pergi begitu saja setelah dia membunuh dua orang dan melukai tiga orang. Enak sekali bagi tosu itu. Padahal aku yakin ayah pasti mengalahkannya!” Kun Liong mengomel depan ibunya.

Nyonya Yap Cong San atau Gui Yan Cu, yang masih kelihatan cantik dan muda sekali biarpun usianya sudah kurang lebih tiga puluh tahun, tersenyum dan menarik tangan puteranya, dirangkulnya penuh kasih sayang.

“Habis, kalau menurut pendapatmu, dia harus diapakan? Apakah ayahmu harus membunuhnya?”

Kun Liong menatap wajah ibunya dengan mata terbelalak.
“Membunuh? Ayah membunuhnya? Aihh! Sama sekali tidak, ibu. Bukan maksudku supaya ayah menjadi pembunuh. Akan tetapi sedikitnya, tosu itu harus ditangkap dan diserahkan kepada yang berwajib agar supaya mendapat hukuman atas kejahatannya. Kalau dibiarkan saja terlepas seperti yang dilakukan ayah, bukankah terlalu enak?”

“Husshh, kau tahu apa, Kun Liong? Di balik peristiwa itu tentu ada hal-hal lain sehingga ayahmu membiarkannya pergi. Kalau mendengarkan ceritamu tadi, tosu itu yang duduk di atas sebuah bunga teratai putih dari baja, dan mendengar nyanyian seperti yang kau ceritakan tentulah seorang tokoh Pek-lian-kauw. Karena itulah ayahmu ingin lepas tangan dan tidak mau terlibat.”

“Ibu, apakah Pek-lian-kauw itu?”

“Dijelaskan juga engkau takkan mengerti, anakku. Pek-lian-kauw sebuah perkumpulan besar yang menentang pemerintah.”

“Apakah ayah takut kepada Pek-lian-kauw?”

“Bukan soal takut atau berani, akan tetapi ayahmu tidak mau terlibat pertentangan besar itu, dan aku membenarkan ayahmu karena memang tidak ada gunanya melibatkan diri, akan membawa akibat yang berkepanjangan dan hebat. Yang penting sekali adalah bahwa engkau tidak diganggunya dan syukur demikian, hatiku sudah khawatir sekali tadi ketika pencari kayu memberi tahu.”

Percakapan itu berhenti dengan masuknya Yap Cong San. Isterinya segera menyambutnya dan bertanya,

“Bagaimana dengan para korban itu?”

Yap Cong San menggeleng kepala, menarik napas panjang dan mengeluarkan tiga batang jarum hitam, memperlihatkan kepada isterinya sambil berkata,

“Aku tidak mengenal jarum ini, maka baru kuberi obat untuk mencegah menjalarnya racun dan kutotok jalan darah mereka.”

Gui Yan Cu memeriksa jarum hitam, memasukkan jarum itu ke dalam mangkok putih, menuangkan air jernih sedikit dan air itu berubah hitam. Dia mencabut tusuk sanggulnya yang terbuat dari perak, mencelupkan benda itu ke dalam air beracun. Ujung tusuk sanggul yang putih itu kini berubah menghijau. Setelah memeriksa dan mencium racun itu, mata yang indah dan lebar itu terbelalak dan dia berseru.

“Racun ular senduk...!”

“Apa? Kalau begitu... nyawa mereka takkan dapat tertolong lagi!” Yap Cong San berkata, “Hemmm... Loan Khi Tosu dari Pek-lian-kauw itu benar-benar terlalu kejam.”

“Memang dia kejam!” Tiba-tiba Kun Liong berseru, “Tidak seharusnya ayah melepaskannya begitu saja!”

“Diam kau! Anak kecil tahu apa?” Yap Cong San membentak.

Isterinya memandang kepadanya, lalu menarik napas panjang dan dengan halus berkata kepada Kun Liong,

“Liong-ji, (anak Liong), ayah ibumu sedang sibuk, kau pergilah bermain-main di luar dan menjaga toko kalau-kalau ada tamu datang mencari kami.”

Kun Liong bersungut-sungut. Selalu begitu. Ayahnya demikian keras, ibunya demikian lunak kepadanya. Kalau saja ayahnya selunak ibunya, atau ibunya sekeras ayahnya, dia akan mengerti dan tidak menjadi penasaran! Dia berlari ke luar dan duduk termenung di bangku dalam toko obat.

Baru saja anak itu keluar dan suami isteri itu sekali lagi meneliti racun jarum, Kun Liong sudah berlari masuk lagi dan berkata,

“Ada tamu utusan dari Ma-taijin!”

Yap Cong San dan isterinya segera keluar dan utusan itu mengatakan bahwa kepala daerah she Ma itu memanggil Yap-sinshe datang menghadap. Karena maklum bahwa tentu kepala daerah ingin melihat dia cepat-cepat mengobati tiga orang perwiranya yang terluka, Yap Cong San segera berangkat sambil membawa beberapa macam obat anti racun yang ada, sungguhpun dia tahu bahwa obat-obat itu tidak akan dapat menyembuhkan luka yang terkena racun ular senduk.

Seperginya Yap Cong San, melihat anaknya masih cemberut tidak puas, Gui Yan Cu merangkul puteranya dan berkata,

“Kun Liong, jangan kau kecewa kepada ayahmu. Ayahmu bersikap tepat dan benar. Biarlah kuceritakan kepadamu tentang Pek-lian-kauw. Perkumpulan itu bukan perkumpulan orang jahat, sungguhpun seperti perkumpulan yang menamakan dirinya pejuang rakyat, mereka dapat berlaku kejam sekali terhadap musuh-musuh mereka. Mereka menentang pemerintah karena dalam anggapan mereka, pemerintah tidak baik dan menindas rakyat, membikin sengsara rakyat. Karena itu, mereka dimusuhi oleh pemerintah yang tentu berusaha membasminya. Nah, ayahmu tidak ingin melihat dirinya terlibat dalam permusuhan itu dan sikapnya itu tepat sekali. Mengertikah engkau?”

“Ibu, aku tidak kecewa atau menyesal kepada ayah. Aku hanya ingin melihat di dunia ini jangan ada orang menyakiti atau membunuh orang lain dan kalau itu terjadi, dia harus dihukum!”

Ibunya tersenyum, dan merasa bangga
“Memang sebaiknyalah mempunyai pendirian itu, anakku. Pendirian seorang pendekar yang menentang penindasan. Akan tetapi engkau harus tahu bahwa yang melakukan kejahatan itu tentutah mereka yang lebih kuat, sedangkan yang dijatuhi atau yang menderita tentulah mereka yang lemah. Karena itu, seorang pendekar harus menggembleng diri sendiri agar supaya kuat...”

“Wah, dan menjadi penindas jahat?” Kun Liong memotong.

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: