*

*

Ads

FB

Kamis, 15 September 2016

Petualang Asmara Jilid 005

“Hushh, bukan begitu. Akan tetapi kalau engkau menghukum si jahat, engkau harus dapat menundukkan yang jahat bukan? Dan untuk dapat menundukkan si jahat, engkau harus lebih kuat dari mereka, padahal mereka itu adalah orang-orang kuat. Itulah perlunya engkau memperdalam ilmu silat dan mempergiat latihanmu, di samping pelajaran sastra dan pengobatan.”

Kun Liong mengangguk-angguk kemudian mengerutkan alisnya.
“Akan tetapi aku paling tidak suka melihat kekerasan, tidak suka melihat perkelahian, Ibu. Aku tidak mau berkelahi, aku benci perkelahian.”

“Siapa menyuruh engkau berkelahi? Belajar ilmu silat itu bukan untuk berkelahi!”

“Ibu tadi bilang seorang pendekar harus menentang si jahat, kalau ditentang tentu berarti berkelahi.”

“Bukan, anakku. Perkelahian hanya terjadi antara dua pihak yang mempertahankan kepentingan diri sendiri masing-masing, memperebutkan sesuatu yang baik berupa kebenaran sendiri maupun berupa keuntungan untuk diri sendiri. Kalau kita membela yang tertindas, menentang si jahat sehingga terjadi pertandingan itu bukanlah pertandingan namanya. Mengertikah engkau?”

Kun Liong mengerutkan kedua alisnya, meruncingkan mulutnya, dan menggeleng kepala.

“Aku tidak mengerti, dan aku tetap tidak suka, aku tetap benci pertempuran.”

Ibunya memandang dengan sinar mata penuh selidik.
“Apakah engkau takut akan pertempuran? Takut terluka, takut mati, takut kalah?”

Sepasang mata anak itu terbelalak memandang ibunya, penasaran dan suaranya lantang,

“Aku...? Takut...? Tidak, ibu, aku tidak takut apapun. Aku hanya benci akan kekerasan. Dan Pek-lian-kauw itu, mengapa menentang pemerintah? Mengapa menganggap pemerintah menindas rakyat? Betulkah itu, ibu?”

Ibunya menggeleng kepala.
“Aku tidak tahu, Liong. Yang sudah jelas, kalau ada dua pihak bertentangan, sudah pasti sekali mereka itu saling menyalahkan, sudah pasti mereka itu masing-masing menganggap pihak sendiri benar dan pihak sana yang salah. Itu adalah urusan orang-orang yang murka akan kedudukan dan kemuliaan, kita tidak perlu mencampurinya, maka sikap ayahmu adalah tepat dan benar. Andaikata ayahmu melukai atau membunuh tosu itu, berarti bukan dia seorang melainkan kita semua terlibat dalam permusuhan dan pertentangan yang tiada habisnya.”

Sambil bercakap-cakap menceritakan keadaan dunia kang-ouw kepada puteranya yang mendengarkan dengan bengong dan penuh kagum, apalagi ketika ibunya menyebut-nyebut nama para tokoh kang-ouw yang dianggap sebagai pendekar-pendekar pilihan, timbul keinginan hati Kun Liong untuk menjumpai pendekar-pendekar itu!

Sedangkan ibunya sibuk membuat campuran obat yang diambil dari resep simpanan, dan menanti kembalinya suaminya.






Tak lama kemudian Yap Cong San muncul dengan wajah keruh. Begitu memasuki toko, dia melempar diri di atas kursinya dan mengeluh,

“Tetap saja tersangkut!”

“Apa maksudmu? Apa kehendak Ma-taijin memanggilmu?” tanya isterinya.

“Aku dituduh bersahabat dengan tosu Pek-lian-kauw!”

“Wah, itu fitnah!” Kun Liong berteriak penasaran.

“Apa sebabnya kau dituduh begitu?” Gui Yan Cu bertanya, sepasang alisnya berkerut, hatinya ikut penasaran.

“Agaknya, seorang di antara tiga perwira itu melihat pertemuanku dengan Loan Khi Tosu, melihat betapa aku dapat menangkis tongkat tosu itu dan menyelamatkan nyawa mereka, kemudian melihat betapa aku melepaskan tosu itu pergi tanpa bertanding dengannya, dan melaporkan hal ini kepada Ma-taijin. Pembesar ini menegurku, mengapa aku yang memiliki kepandaian tidak turun tangan terhadap seorang pemberontak yang sudah jelas membunuh dan melukai orang, apalagi melukai tiga orang perwira pengawal. Dia bertanya apakah aku bersimpati kepada pihak pemberontak!”

“Hemmm… tuduhannya hanya ngawur belaka. Kemudian bagaimana?”

“Aku menjawab bahwa aku segan bermusuhan dengap Pek-lian-kauw yang mempunyai banyak orang pandai. Aku bilang bahwa aku takut…”

“Ayah membohong! Aku tahu betul, ayah dan ibu tidak takut kepada apapun, kepada setan dan iblispun tidak takut. Dan aku tahu, tosu itulah yang gentar menghadapi ayah!”

“Kun Liong, diamlah!” Ayahnya membentak marah, “Sudah berapa kali kukatakan kepadamu, engkau tidak boleh mencampuri urusan orang-orang tua. Dengarkan saja dan tutup mulut, kalau tidak bisa menutup mulut, pergilah dan jangan mendengarkan!”

“Baik, ayah.” Kun Liong menunduk dan kedua bibirnya dirapatkan masuk ke dalam mulutnya.

“Lalu bagaimana?” Gui Yan Cu mendesak, alisnya makin dalam.

“Dia bilang dapat memaafkan sikapku, akan tetapi aku harus dapat menyembuhkan tiga orang perwiranya.”

“Hemm, harus katanya? Nyawa orang berada di tangan Thian, bukan di tangan kita. Habis bagaimana jawabanmu?”

“Aku menjawab terus terang bahwa racun di tubuh mereka itu adalah racun ular senduk yang amat berbahaya dan sukar sekali dicari obatnya dan bahwa aku akan berusaha sekuatku.”

“Bagaimana sambutannya?”

“Dia bilang tidak peduli diobati apa dan bagaimana asal tiga orang perwiranya itu sembuh. Dalam kata-katanya terkandung ancaman bahwa kalau aku gagal mengobati, tentu dia akan mengungkit kembali urusan tosu Pek-lian-kauw itu.”

“Hemm, pembesar itu agaknya mempunyai niat buruk. Akan tetapi kita tidak perlu gelisah. Memang amat sukar mengobati racun ular senduk sampai sembuh, akan tetapi ada obat yang untuk sementara waktu, sedikitnya sebulan, dapat menahannya sehingga si korban tidak akan tewas. Dalam waktu sebulan itu, kalau engkau suka minta pertolongan ke kuil Siauw-lim-pai dimana aku mendengar disimpan banyak sekali obat-obat yang mujijat, kurasa mereka masih akan dapat diselamatkan.”

Berseri wajah Yap Cong San.
“Bagus kalau begitu! Memang aku mempunyai ingatan untuk minta pertolongan para suhu di Siauw-lim-si (Kuil Siauw-lim-pai), akan tetapi perjalanannya pulang pergi ke sana akan memakan waktu paling cepat setengah bulan dan tadinya aku tidak mempunyai harapan untuk menolong mereka. Akan tetapi, kalau engkau ada obat penawar selama sebulan, bagus sekali, isteriku!”

“Inilah obatnya, sudah kusediakan sejak tadi. Berikan kepada mereka, dimasak dengan air lalu diminumkan, kemudian cepat-cepat berangkat ke Siauw-lim-si, tentu urusan ini akan dapat diatasi dengan baik.”

Yap Cong San memandang isterinya dengan wajah berseri dan penuh rasa sukur.
“Engkau memang bijaksana sekali, isteriku.”

Dia hendak merangkul, akan tetapi isterinya melirik ke arah Kun Liong, tersenyum dengan kedua pipi kemerahan sambil meruncingkan mulut, persis seperti kebiasaan Kun Liong.

“Husshhh...!”

Suaminya teringat, mengurungkan niatnya dan Kun Liong berkata,
“Ayah, aku ikut ke Siauw-lim-si!”

“Wah, kau kira ayahmu pergi melancong ya? Keperluan ini penting sekali, bukan waktunya melancong.”

Melihat puteranya menunduk dan kecewa, Yan Cu berkata,
“Kun Liong, ayahmu betul. Perjalanan ini amat jauh dan perlu cepat-cepat. Kelak kalau tidak ada sesuatu kepentingan, engkau akan kuajak melancong ke Telaga Barat yang indah!”

Hiburan ini tidak meringankan hati Kun Liong yang berkata,
“Ibu selalu membenarkan ayah!” Kemudian dia berlari ke luar.

Suami isteri yang saling mencinta itu kini tidak malu-malu lagi untuk saling berpelukan dan berciuman mesra.

“Dia tidak tahu betapa engkau mencintaku, tentu saja selalu membenarkan aku!” Yap Cong San berbisik sambil mengelus rambut kepala isterinya.

“Ah, dan kau jangan terlalu keras kepadanya. Kasihan dia, tidak punya saudara…”

“Aihh, apakah engkau ingin sekali dia mempunyai adik?” Si suami menggoda, akan tetapi si isteri berkata sungguh-sungguh,

“Siapa yang tidak ingin mempunyai seorang anak perempuan yang mungil sebagai adik Kun Liong?”

“MUDAH-MUDAHAN Kwan Im Pouw-sat (Dewi Welas Asih) akan memberkahi kita dengan seorang anak perempuan. Kalau urusan ini sudah selesai, mari kita bersembahyang di Kuil Kwan Im Bio, kemudian kita menyewa perahu di telaga semalam suntuk kita berdua berpengantin baru di perahu, siapa tahu Kwan Im Pouwsat akan kebetulan bersenang hati memberi anugerah…”

“Husshhh, tak tahu malu! Sudah berapa umur kita, masih mau berpengantin baru! Kau lekas berangkatlah. Urusan antara kita baru akan terlaksana kalau urusan Ma-taijin sudah beres dan berhasil baik. Berangkatlah, dan hati-hatilah di jalan, suamiku. Sampaikan hormatku kepada para suhu di Siauw-lim-si, terutama sekali kepada locianpwe (orang tua gagah) Thian Kek Hwesio ketua Siauw-lim-pai.”

Thian Kek Hwesio adalah ketua Siauw-lim-pai yang baru, menggantikan kedudukan Tiang Pek Hosiang yang telah mengundurkan diri karena merasa bahwa dia telah melakukan perbuatan sesat di waktu mudanya sehingga dia tidak ingin mengotori nama Siauw-lim-pai (baca ceritaPedang Kayu Harum ).

Yap Cong San dan isterinya amat menghormat dan menjunjung tinggi hwesio tua ini, bukan hanya karena Cong San bekas anak murid Siauw-lim-pai dan karena hwesio itu adalah ketua Siauw-lim-pai, akan tetapi terutama sekali karena hwesio itulah yang telah berjasa mengingatkan Cong San dengan nasihat-nasihat yang amat berharga ketika pendekar ini hampir mengalami keretakan rumah tangganya akibat cemburu sehingga dia sadar akan kekeliruannya.

Hal itu telah dijelaskan oleh Cong San kepada isterinya sehingga Yan Cu juga merasa berhutang budi kepada hwesio tua yang dianggapnya telah memiliki jasa besar akan kebahagiaan rumah tangganya, berarti kebahagiaan hidupnya pula. (Baca ceritaPedang Kayu Harum ).

Berangkatlah Cong San pada hari itu juga menuju ke Kuil Siauw-lim-pai setelah dia mengobati tiga orang perwira dengan obat penawar buatan isterinya. Dengan menunggang kuda, dia dapat melakukan perjalanan cepat dan seperti yang dia harapkan Thian Kek Hwesio menyambut bekas sute (adik seperguruan) itu dengan ramah sekali dan segera memberikan obat yang dibutuhkan Cong San setelah mendengar penuturan bekas sutenya.

“Yap-sicu, engkau telah bersikap benar sekali. Pinceng (aku) merasa berterima kasih bahwa sicu masih menjaga akan nama Siauw-lim-pai sehingga tidak melibatkan diri dalam pertentangan yang buruk itu.”

“Ahh, suheng mengapa berkata demikian? Ah, maaf, losuhu (sebutan pendeta), teecu (murid) sampai lupa menyebutmu suheng (kakak seperguruan). Mengapa losuhu bersikap sungkan? Sudah tentu sekali teecu menjaga nama Siauw-lim-pai, bukan hanya karena teecu adalah bekas anak muridnya, melainkan terutama sekali karena Siauw-lim-pai adalah sebuah perkumpulan besar dan mulia, tidak selayaknya kalau sampai terseret ke dalam pemberontakan Pek-lian-kauw.”

Setelah bermalam satu malam dan melewatkan waktu semalam unuk melepaskan rindu terhadap bekas saudara-saudara seperguruannya, dan mendengar bahwa sudah bertahun-tahun bekas gurunya, Tiang Pek Hosiang, tidak pernah keluar dari Ruang Kesadaran, pada keesokan harinya Cong San berpamit dan kembali secepatnya ke Leng-kok.

**** 005 ****
Petualang Asmara







Tidak ada komentar: