*

*

Ads

FB

Kamis, 15 September 2016

Petualang Asmara Jilid 007

Selain pembangunan yang mengandung seni bangunan megah itu dia pun menyuruh susun, perbaiki dan perkuat bangunan Tembok Besar di sebelah utara. Tembok besar ini dimulai pembangunannya dalam abad ke dua sebelum tarikh Masehi oleh Kaisar Chin She dari Kerajaan Cin yang kemudian mengalami perbaikan-perbaikan selama sejarah berkembang. Maksud pertama dari pembangunan Tembok Besar ini adalah untuk mencegah serbuan-serbuan bangsa asing dari utara yang sejak dahulu merupakan ancaman.

Selain memerintah untuk memperbaiki dan memperkuat Tembok Besar, yang panjangnya lebih dari tiga ribu lima ratus kilometer itu, juga Kaisar Yung Lo melanjutkan pekerjaan besar membuat Terusan Besar yang dimulai penggaliannya oleh para kaisar Mongol di jaman Kerajaan Goan-tiauw yang lalu. Terusan ini menghubungkan Sungai Yang-ce dan Sungai Huang-ho, terus ke utara sampai dekat kota raja Peking. Tentu saja untuk pembangunan-pembangunan hebat itu dibutuhkan banyak sekali biaya-biaya dan tenaga manusia, namun dengan kekerasan, pekerjaan raksasa itu dapat juga diteruskan.

Bukan pembangunan-pembangunan saja yang diusahakan kemajuannya oleh Kaisar Yung Lo, akan tetapi juga perdagangan dengan luar negeri. Untuk keperluan ini, perlu dicari hubungan dengan negara-negara baru di luar lautan dan dia memerintahkan kepada seorang laksamana yang amat terkenal sakti dan pandai, yaitu The Hoo.

Pada tahun 1405 mulailah The Hoo dengan pelayarannya yang terkenal, dengan armada yang kuat dan didampingi pembantu-pembantu yang sakti Ma Huan, tokoh Islam yang amat pandai dan sakti, Tio Hok Gwan, pengawal pribadinya yang lihai bukan main, dan masih banyak lagi jago-jago silat yang ahli. Armada ini menjelajah sampai ke Indocina, Sumatera, Jawa, India, Sailan dan sampai ke pantai Arab!

Tentu saja tidak semua usaha Kaisar ini berhasil, bahkan usahanya memperkembangkan kebudayaan dan kesusastraan menimbulkan banyak kesempatan untuk korupsi.

Akan tetapi harus diakui bahwa banyak pula hasilnya, di antaranya Tembok Besar dan juga Terusan Besar yang selesai dalam waktu sepuluh tahun, dan bangunan-bangunan lain di samping hubungan dengan negara-negara asing baru di sebelah selatan.

Keamanan perjalanan Kun Liong melalui hutan-hutan pun merupakan hasil dari usaha pemerintah menekan kejahatan. Apakah lenyapnya para perampok dan maling itu benar-benar dapat dianggap sebagai hasil baik? Sukar untuk dikatakan dengan pasti, karena lenyapnya kejahatan-kejahatan kasar itu terganti korupsi yang merajalela di kota. Apakah bedanya itu? Hanya cara yang kasar diganti oleh cara yang halus! Semua perbuatan itu, baik yang kasar maupun yang halus, terdorong oleh rasa takut. Takut kehilangan sesuatu yang menyenangkan, dan takut akan mendapatkan sesuatu yang tidak menyenangkan.

Pada hari ke tiga Kun Liong keluar dari hutan terakhir, menuruni lembah gunung dan tiba di luar sebuah dusun. Perutnya terasa lapar sekali dan timbul harapannya di dalam dusun itu. Akan tetapi ketika melihat dua orang anak laki-laki pengemis berkelahi memperebutkan sepotong roti kering yang kotor, Kun Liong berhenti dan cepat melerai.

“Eh, eh, kenapa berkelahi hanya untuk sepotong roti kering yang kotor?” Dia mencela.

Dua orang anak laki-laki berpakaian kotor dan lapuk itu berhenti berkelahi ketika tiba-tiba roti itu sudah terampas oleh Kun Liong. Mereka itu sebaya dengan Kun Liong, pakaian dan sepatu mereka sudah koyak-koyak. Yang seorang berkepala gundul sedangkan yang ke dua amat kurus dan pucat. Kini keduanya menghadapi Kun Liong dengan mata melotot marah.






“Kembalikan rotiku!” Si Gundul berteriak.

“Tidak, itu rotiku, hasilku mengemis di dusun, dia mau merampasnya!” teriak Si Kurus.

“Dia mendapatkan dua potong, sudah makan sepotong, sepantasnya yang sepotong itu diberikan kepadaku!” Si Gundul membantah.

“Perutku masih lapar!”

Kun Liong memandang roti di tangannya. Hanya roti kering yang sudah tengik sebesar kepalan tangannya dan sudah kotor pula. Roti begini diperebutkan. Tadinya ia ingitn membuang roti itu, akan tetapi mendengar keluhan mereka bahwa mereka lapar sekali dan sejak kemarin belum makan dia merasa kasihan sekali.

“Dia mau merampas sendiri rotinya!” Si Kurus berseru.

“Kurang ajar. Hayo pukul anak ini!” teriak Si Gundul dan mereka berdua yang tadinya berkelahi memperebutkan roti kering, kini maju mengeroyok Kun Liong dengan nekat!

Kun Liong adalah anak suami isteri pendekar, sejak kecil sudah menerima gemblengan ilmu silat, maka dengan mudah dia mengelak dan dua kali kakinya bergerak, membabat kaki mereka dan merobohkan dua orang anak itu. Mereka mengaduh, akan tetapi bangkit lagi dan makin marah.

“Sabarlah, siapa yang ingin merampas roti tengik ini? Aku hanya melerai, dan agar kalian berdua tidak berkelani. Roti sekecil ini tidak akan mengenyangkan perut, perlu apa diributkan dan dijadikan sebab perkelahian antara teman sendiri? Nah, kubagi dua. Makanlah dan tak perlu berkelahi!”

Kun Liong membagi roti menjadi dua potong dan memberikan kepada mereka, seorang sepotong. Mereka memandang dengan mata terbuka lebar, akan tetapi menerima potongan roti itu dan memakannya dengan lahap. Tentu saja sekali telan sepotong kecil roti itu lenyap ke dalam perutnya yang kosong.

“Kau siapa?” tanya Si Gundul dengan mulut bergerak-gerak, agaknya masih terasa sedapnya roti tadi dan masih ingin lagi.

“Kau tentu bukan anak sini, dan bukan jembel,” kata Si Kurus, memandang Kun Liong dengan sepasang matanya yang lebar. Anak ini begitu kurusnya sehingga matanya kelihatan besar sekali.

“Aku seorang pelancong,” kata Kun Liong yang enggan memperkenalkan diri karena kalau dia memperkenalkan namanya, tentu akan mudah bagi ayahnya untuk mencarinya. “Akan tetapi aku pun lapar sekali, mungkin lebih lapar daripada kalian.”

Dua orang anak yang tadi berkelahi itu saling pandang.
“Kalau begitu, kenapa kau tidak makan roti tadi? Engkau sudah dapat merampasnya dari kami.”

“Uhhh, siapa sudi makan roti rampasan? Lebih baik mati kelaparan!” Kun Liong berkata cepat.

Akan tetapi dua orang anak itu tentu saja tidak pernah mendengar tentang kebijaksanaan seperti itu.

“Bodoh sekali! Kenapa lebih baik mati kelaparan?” Si Kurus bertanya.

“Perut lapar sungguh amat menyiksa, seperti sekarang ini,” Si Gundul juga berkata sebagai tanggapan yang menentang pendapat Kun Liong tadi.

“Kalau yang dirampas itu kelebihan makanan, masih tidak mengapa. Akan tetapi merampas roti dari orang yang kelaparan juga, benar-benar amat rendah dan hina! Di antara teman senasib seharusnya tolong-menolong, kalau mendapat rejeki seharusnya saling memberi dan membagi.”

Kembali dua orang anak itu saling pandang, agaknya mereka dapat membenarkan pendapat ini dan keduanya mengangguk-angguk.

“Lapar benarkan engkau?”

Si Kurus bertanya, memandang Kun Liong dengan iba karena dia sudah terlalu sering merasakan betapa perih dan nyerinya perut kalau lapar.

“Tentu saja aku lapar, sejak kemarin hanya mendapatkan daun-daun muda di dalam hutan itu, sedikit pun tidak ada buahnya, dan seekor pun tidak ku melihat binatang di dalam hutan itu. Sialan benar!”

“Kalau begitu, mari kita mengemis makanan di dusun. Agaknya engkau tidak biasa kelaparan, bisa jatuh sakit. Kalau perut kami sudah kebal…” kata si Gundul.

Kun Liong mengangkat hidungnya dan meruncingkan mulutnya.
“Uhhh, tidak sudi aku mengemis! Mengemis tanda malas!”

“Malas…?” Hampir berbareng dua orang anak itu bertanya.

“Ya, malas. Dan kalian ini malas sekali. Untuk mengisi perut, harus dicari, bukan cukup dengan minta-minta saja.”

“Bagaimana mencarinya?” Mereka bertanya lagi.

“Bodohnya! Mencari, bekerja membantu orang lain dengan upah pembeli nasi.”

“Kalau tidak ada yang suka mempekerjakan kami?”

“Mencari sendiri, mengumpulkan kayu kering untuk dijual, menangkap binatang hutan. Eh, benar-benar kalian bodoh.”

“Bagaimana caranya menangkap binatang hutan? Mengejar seekor kelinci pun amat sukar dan tak mungkin bisa ditangkap.” Kata Si Kurus.

Wajah Kun Liong bersinar mendengar kata-kata “kelinci”.
“Dimana ada kelinci? Tahukah kalian daerah yang banyak binatangnya? Hayo kuperlihatkan kalian bagaimana menangkapnya dan kita makan daging kelinci panggang! Atau kijang, atau apa saja yang ada.”

“Binatang di hutan-hutan sudah habis diburu orang-orang dewasa. Yang kulihat hanya tinggal ular-ular saja di hutan sebelah timur itu,” kata Si Gundul.

“Ular? Daging ular pun enak sekali!” kata Kun Liong gembira.

“Hah?” Kedua orang anak itu terbelalak, akan tetapi Kun Liong sudah menyambar tangan mereka, diajak lari sambil berkata, “Hayo tunjukkan aku di mana ada ular!”

Tiga orang anak laki-laki itu berlarian memasuki sebuah hutan yang pohonnya jarang. Tak lama kemudian mereka melihat seekor ular yang kulitnya berwarna hijau, membelit dahan pohon yang rendah. Melihat ular ini, Kun Liong menjadi girang sekali.

“Wah ular itu beracun dan dagingnya enak sekali, hangat di perut dan rasanya gurih manis kalau dipanggang!”

Dua orang temannya terbelalak dan tidak berani maju mendekat ketika mendengar bahwa ular itu beracun. Kun Liong mangambil sebatang ranting, memegangnya dengan tangan kiri, menghampiri ular itu dan menggunakan rantingnya untuk mengusirnya.

Ular itu mendesis marah, apalagi ketika perutnya disogok-sogok oleh ranting dan tiba-tiba kepalanya bergerak meluncur dan menggigit ranting yang dipegang tangan kiri Kun Liong. Anak ini cepat menggerakkan tangan kanan, menyambar ke arah kepala ular dan menangkap lehernya, mencengkeram dengan cara ahli sehingga ular itu tidak mampu melepaskan diri.

Tubuh ular itu berkelojotan menggeliat dan mulai membelit lengan Kun Liong, akan tetapi jari-jari tangan kiri Kun Liong sudah mengetuk tengkuk ular itu beberapa kali dan tiba-tiba ular itu menjadi lemas tak berdaya sama sekali.

“Nah, sudah jinak. Ada yang membawa pisau?”

“Aku mempunyai pisau kecil,” Si Gundul berkata, mengeluarkan sebatang pisau kecil dari saku bajunya yang rombeng.

“Lekas kuliti dia. Aku mau mencari beberapa ekor lagi.”

“Ihhh, aku... aku tidak berani!” Si Gundul berkata.

“Aku takut digigit,” Si Kurus menyambung.

“Bodoh. Dia sudah tidak dapat menggigit lagi. Penggal lehernya di belakang warna hitam itu. Racunnya berkumpul di sana dan dari tempat itu ke bawah tidak ada racunnya. Buka kulitnya bagian perut ke belakang, kemudian tarik ekornya, tentu kulitnya terlepas.”

“Kau saja yang mengulitinya,” kata Si Gundul ragu-ragu.

“Dan kau yang mencari ular lain?”

“Aih, siapa berani? Seekor ini pun cukuplah, untuk kau sendiri.”

“Dalam keadaan kelaparan seperti ini, tiga ekor pun akan habis olehku sendiri, belum untuk kalian berdua!” kata Kun Liong. “Lekas kerjakan, aku akan pergi mencari lagi.”

Dia lalu pergi memasuki semak-semak belukar, meninggalkan dua orang anak jembel yang masih saling pandang itu.

Ketika Kun Liong kembali ke tempat itu dan membawa empat ekor ular lagi, ada yang hijau seperti ular pertama, ada yang hitam, ada yang belang dan kemerahan, kesemuanya masih hidup akan tetapi sudah lemas seperti ular pertama.

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: