*

*

Ads

FB

Kamis, 15 September 2016

Petualang Asmara Jilid 008

Dua orang anak itu terbelalak keheranan dan juga penuh kagum. Mereka sendiri dengan penuh rasa takut memaksakan diri dan akhirnya setelah dengan susah payah berhasil juga menguliti ular pertama.

Melihat betapa daging ular banyak yang terpotong, Kun Lion menjadi tidak sabar, minta pisau itu dan menguliti ular-ular itu dengan cepat dan mudah. Mula-mula dipenggalkan leher ular, kemudian kulit di bagian leher dibuka sedikit, dengan pisau dia menusuk daging setelah menyingkap kulitnya bagian leher, terus menancapkan ujung pisau pada batang pohon sehigga tubuh ular tergantung. Setelah itu, dia “melepaskan” kulit ular itu dari tubuh ular, seperti orang melepas kaos kaki dari kakinya saja!

Sibuklah dua orang anak jembel itu membuat api dengan batu api. Biarpun mereka tadi merasa jijik melihat ular-ular itu, setelah dikuliti dan tampak dagingnya yang putih bersih, melihat pula cara Kun Liong menguliti ular demikian mudah dan biasa, timbul keinginan tahu mereka untuk mencicipi daging ular panggang.

Setelah daging ular masak dan dua orang anak itu mencoba mencicipinya, mereka tercengang dan menjadi girang sekali, menyerbu daging ular dengan lahapnya, terutama sekali Si Gundul.

“Wah, benar gurih dan manis!” serunya girang.

“Lezat sekali, belum pernah aku makan daging seenak ini!” kata Si Kurus.

Diam-diam hati Kun Liong merasa terharu menyaksikan dua orang anak itu. Semuda dan sekecil itu sudah harus mengalami hidup kelaparan dan menderita sengsara!

“Mengapa kalian menjadi pengemis? Orang tua kalian di mana?”

“Orang tua kami sudah mati semua, menjadi korban ketika terjadi perang, ketika pemerintah melakukan pembersihan dan membasmi penjahat-penjahat,” jawab Si Kurus.

“Eh, apakah orang tua kalian penjahat?”

Si Gundul menggeleng kepalanya.
“Sama sekali bukan. Aku dan dia tetangga di sebuah dusun di seberang, di balik gunung itu. Ketika terjadi perang antara gerombolan perampok melawan pemerintah, kami menjadi korban. Tidak membantu perampok dan menyembunyikan mereka, kami dibunuh perampok. Membantu perampok kami dibunuh tentara pemerintah. Orang tua kami dicurigai karena ada perampok yang bersembunyi di rumah kami, maka mereka dibunuh semua. Kami yang masih kecil tidak dibunuhnya, dibiarkan hidup.”

Hemm, dibiarkan hidup untuk menjadi pengemis yang terlantar, pikir Kun Liong dan hatinya yang pada dasarnya memang tidak suka akan kekerasan itu kini makin membenci perang dan pertempuran!

“Mari, kalian kuajari cara menangkap ular agar kalian dapat mencari penghasilan. Ular-ular berbisa itu kalau kalian bawa ke kota dalam keadaan hidup dan menjualnya kepada rumah makan, tentu akan menghasilkan uang lumayan. Juga rumah-rumah obat membutuhkan racunnya untuk obat.”






Dua orang anak itu girang sekali. Sehari itu Kun Liong menghabiskan waktunya di dalam hutan yang banyak ularnya untuk mengajari dua orang teman barunya cara menangkap ular. Karena kedua orang anak itu belum cekatan dan masih kurang berani, maka dia mengajarinya untuk pertama-tama sebelum mereka tangkas menggunakan tangan, menangkap ular dengan kayu yang ujungnya bercabang, menjepit leher ular dengan kayu bercabang itu. Dia memberi tahu akan obat daun-daun dan akar-akar yang harus diminum airnya dan digosok-gosokkan kepada kedua lengan agar dapat kebal terhadap gigitan ular berbisa yang biasa.

Akhirnya, dengan bantuan kayu yang ujungnya bercabang, kedua orang anak itu berhasil juga menangkap masing-masing seekor ular hijau, dan atas petunjuk Kun Liong mereka berhasil pula “melumpuhkan” ular dengan menekan dan mengetuk tengkuk ular itu. Bukan main senangnya hati mereka. Mereka tidak takut kelaparan lagi, biarpun kalau terpaksa setiap hari makan daging ular!

“Kalau makan daging ular terus-menerus kalian bisa celaka, bisa sakit.” kata Kun Liong. “Daging ular mengandung obat dan panas, boleh dimakan sekali waktu, bukan menjadi makanan utama seperti ayam hutan saja?”

“Mengapa ayam hutan?”

“Ayam hutan paling suka makan ular dan kelabang!” jawah Kun Liong.

“Malam ini kau tidur di mana?” tanya Si Gundul sambil mempermainkan ularnya yang sudah lumpuh.

“Entah, apakah bisa bermalam di rumahmu?”

“Wah, dia mana punya rumah!” kata Si Kurus. “Orang-orang seperti kami ini, boleh tidur di emper orang saja sudah untung, kadang-kadang diusir dan ditendang bersama makian.”

“Eh, kita nonton saja, ayoh! Di dusun ada keramaian, ada pesta. Siapa tahu kita kebagian rezeki sisa masakan-masakan yang enak!” kata Si Gundul.

“Ihhh! Dasar kau ini tulang jembel!” Kun Liong mencela. “Sudah diajari bekerja menangkap ular masih mengharapkan sisa makanan orang!”

Ditegur demikian, Si Gundul menunduk, tidak berani melawan karena dia sudah menganggap Kun Liong sebagai “gurunya”, guru menangkap ular. Si Kurus membela temannya.

“Dia tidak bisa disalahkan, karena selama ini, dari manakah kami dapat makan kalau bukan dari sisa orang? Pula, kalau ada pesta, banyak sekali masakan yang tidak habis dimakan, biasanya pelayan-pelayan yang baik hati suka membagi sedikit sisa-sisa makanan kepada kami.”

“Hemm, kalau ada pesta mengapa kita tidak masuk saja dan ikut berpesta?” tiba-tiba Kun Liong berkata karena hatinya sudah merasa penasaran sekali mengapa ada orang berpesta pora sedangkan di sini ada anak-anak yang kelaparan!

“Wah, mana boleh masuk? Kita akan dipukul!” kata Si Kurus.

Dua orang anak itu kini percaya sepenuhnya kepada Kun Liong yang dianggapnya anak dari “kota’ dan amat pandai. Otomatis mereka menganggap Kun Liong sebagai pemimpin mereka, maka dengan gembira mereka pun lari di belakang Kun Liong sambil memegang ular masing-masing.

Si Kurus dan Si Gundul masing-masing telah menangkap seekor ular, adapun Kun Liong sendiri membawa dua ekor ular yang cukup besar dan menyeramkan, seekor berkulit hitam bermata merah, yang seekor lagi adalah ular belang yang terkenal jahat racunnya.

Benar saja, di sebelah dusun tak jauh dari situ, tampak kesibukan yang menggembirakan di runah kepala dusun. Hari telah mulai gelap ketika tiga orang anak itu tiba di depan rumah kepala daerah dan mereka menonton dari luar.

Rumah itu penuh tamu yang memakai pakaian serba baru dan suasana amat gembira dengan senda-gurau mereka. Tuan rumah nampak menyambut tamu-tamunya sambil mengelus jenggotnya yang panjang. Pesta ini adalah pesta ulang tahunnya yang ke lima puluh dan biarpun kelihatannya pesta itu meriah, banyak tamu dan dengan sendirinya banyak hidangan yang dikeluarkan, namun sesungguhnya kepala dusun ini sama sekali tidak menderita rugi karenanya.

Besarnya sumbangan yang masuk dari mereka yang menyumbang karena ingin menjilat, sebagian besar yang kurang mampu, menyumbang karena takut dianggap kurang menghormat, jumlahnya lima kali lipat lebih besar daripada jumlah pengeluaran untuk pesta itu. Tentu saja dia merasa gembira sekali. Pertama, wibawa dan kehormatannya sekaligus terangkat naik dengan adanya pesta itu, ke dua dia sekeluarga merasa gembira sekali dan bangga karena dapat mengadakan pesta besar-besaran ketiga keuntungan yang masuk sekali ini melampaui penghasilannya selama beberapa bulan!

“Wah, berbahaya ini…” Si Gundul berbisik, “Yang berpesta adalah kepala dusun, mari kita menyingkir sebelum ditendang oleh para pengawal.”

Kun Liong melihat bahwa di bagian depan berjajar belasan orang tinggi besar yang sikapnya seperti anjing-anjing penjaga yang siap menggonggong dan menggigit, maka rasa penasaran di hatinya pun meningkat.

“Mereka belum mulai makan, hidangan belum dikeluarkan, baru minuman. Mari menyelinap dan ke belakang saja,” kata Kun Liong.

“Eh, ke belakang mau apa?” Si Kurus berbisik.

“Ke dapur. Cepat sebelum masakan dihidangkan!”

Tiga orang anak itu menyelinap ke kegelapan malam terlindung bayangan-bayangan pohon, menuju ke belakang, ke dapur rumah besar itu di mana terdapat kesibukan-kesibukan yang tidak segembira di bagian depan.

Para koki dan pelayan sibuk mempersiapkan hidangan yang beraneka macam, siap untuk segera menghidangkan ke luar apabila ada perintah dan tanda dari depan. Yang paling sibuk adalah koki gendut yang menjadi koki kepala. Karena gemuknya dan keadaan hawa di dapur itu panas oleh api, ditambah lagi dia harus mondar-mandir ke sana-sini untuk memeriksa pekerjaan para pembantunya, maka mukanya yang gemuk itu basah oleh peluh, bahkan pakaiannya juga basah. Dengan wajah bersungut-sungut karena tegang dan repot, dia menghapus peluh berkali-kali dari muka dan leher, menggunakan sehelai kain putih yang tergantung di depan dada dan perutnya.

“Hah! Mau apa kalian berkeliaran di sini?”

Tiba-tiba koki gendut itu membentak ketika dia berdiri di pintu dapur untuk mencari angin dan hawa sejuk, agar panas yang menyiksa itu berkurang, dan melihat Kun Liong dan dua orang temannya, Si Kurus dan Si Gendut sudah ketakutan dan menggigil, tidak berani bergerak. Akan tetapi Kun Liong yang menyembunyikan kedua ekor ular di tangannya itu ke belakang tubuh, membungkuk dan berkata,

“Lopek (Paman Tua) yang baik, kami adalah tiga orang anak yang menderita lapar. Melihat banyaknya masakan yang tentu akan berlebihan, berlakulah baik kepada kami dan berikan sedikit masakan-masakan itu.”

Sepasang mata yang kecil sipit, hampir tak tampak karena mukanya yang gemuk, makin menyipit dalam usahanya memperlebar, dan sejenak mulut yang juga terlalu kecil bagi muka selebar itu, ternganga tak dapat menjawab.

Selamanya belum pernah koki gendut ini melihat kekurangajaran seperti ini, juga belum pernah mendengar ucapan pengemis serapi itu. Kalau anak jembel minta sisa makanan yang sudah tidak terpakai lagi, hal itu adalah lumrah dan sudah biasa dia memberikan sisa makanan yang sudah hampir bau kepada anjing-anjing atau jembel-jembel kelaparan.

Akan tetapi anak ini, dengan gaya bahasanya yang sopan seperti seorang bangsawan saja layaknya, minta “sedikit makanan” yang masih segar, masih mengepul panas dan belum dihidangkan kepada para tamu. Mana ada aturan macam ini?

“Keparat cilik! Jembel busuk. Pergi kalian! Kalau tidak kusiram kalian dengan air mendidih!” teriaknya.

Peistiwa ini menambah panas tubuhnya yang sudah berpeluh karena dia merasa terganggu dan jengkel, bahkan merasa dipermainkan oleh anak kecil.

“Babi gendut yang pelit!” Tiba-tiba Si Gundul memaki dari tempat yang gelap.

“Apa? Bocah gembel ingin mampus…!”

Koki itu marah dan mengulur tangan hendak menangkap, akan tetapi Kun Liong dan dua orang temannya sudah lari menyelinap ke dalam gelap dan lenyap.

Makin penasaran dan mendongkol hati Kun Liong apalagi ketika ditegur oleh Si Kurus,
“Apa kata kami tadi? Percuma saja, untung kita belum sampai disiram air panas atau dipukuli mereka.”

“Sudah, lebih baik kita menanti sampai pesta bubar dan minta sisanya, tentu berlimpah-limpah dan banyak yang dibuang,” kata Si Gundul. “Tentu masih ada beberapa butir bakso, beberapa potong tulang berdaging dan beberapa helai bakmi.”

Ingin Kun Liong menampar muka Si Gundul itu kalau tidak ingat bahwa memang kedua orang anak ini adalah pengemis-pengemis yang sejak kecil secara terpaksa harus puas dengan makanan sisa, maka dia menahan kemendongkolan hatinya. Akan tetapi dia makin penasaran kepada penghuni rumah dan para tamu-tamunya yang berpesta pora, sama sekali tidak mempedulikan orang-orang yang kelaparan di luar rumah itu.

“Dengar baik-baik, kita kacaukan dapur itu. Dari jendela di sana itu, dari kanan kiri, kita lemparkan ular-ular ini ke dalam. Tentu mereka akan lari dan pada saat itu, kalian masuk dan mengambil sepanci masakan yang paling enak, bawa lari ke luar. Aku akan melempar ular dari jendela kiri, Si Gundul dari jendela kanan, dan engkau yang bertugas menyambar masakan dalam panci.”

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: