*

*

Ads

FB

Kamis, 15 September 2016

Petualang Asmara Jilid 010

Dibantu oleh isterinya, Yap Cong San mempergunakan semua kepandaiannya untuk mengobati dan menolong tiga orang perwira pengawal Ma-taijin. Akan tetapi, tanpa bantuan obat khusus, mana mungkin mereka menyembuhkan luka akibat pukulan jari tangan Sakti Pek-tok-ci? Obat yang mereka dapakan dari Siauw-lim-pai, satu-satunya obat yang mungkin menyembuhkan luka beracun itu, telah tumpah dan hanya tinggal sedikit! Untuk mencari obat semacam itu lagi ke Siauw-lim-si, waktunya sudah tidak cukup lagi.

Setelah membawa sisa obat yang tumpah seadanya, ditambah obat-obat buatan sendiri, dibantu oleh Gui Yan Cu, isterinya yang lebih pandai dalam hal ilmu pengobatan, kemudian menggunakan sin-kang mereka berdua untuk mengobati tiga orang perwira itu secara bergantian, akhirnya Yap Cong San dan isterinya pulang untuk beristirahat. Pengobatan dengan obat khusus yang amat kurang itu membuat mereka lelah dan khawatir akan hasil pengobatan itu.

“Aihh, ke manakah perginya anak bengal itu?” Cong San menggerutu setelah tiba di rumah tidak melihat adanya Kun Liong.

“Tentu saja dia pergi meninggalkan rumah, takut pulang karena di rumah menanti ayahnya yang siap untuk memaki dan memukulnya,” Yan Cu menjawab.

Suami itu memandang isterinya, lalu menarik napas panjang.
“Kalau terlalu dimanja, begitulah jadinya!”

“Kalau terlalu ditekan dengan kekerasan, begitulah jadinya?”

Keduanya saling memandang, kemudian Cong San yang mengalah dan menarik napas panjang lagi.

“Isteriku, aku tidak menekan dan tidak bersikap keras terhadap anak kita. Akan tetapi tidaklah engkau melihat bahwa keadaan tiga orang perwira itu berbahaya sekali dan karena perbuatan Kun Liong, maka obat menjadi tumpah dan kini sukar mengobati mereka sampai sembuh?”

“Yang menumpahkan obat bukan Liong-ji (Anak Liong), melainkan Pek-pek, anjing peliharaan kita. Siapapun yang menumpahkan obat, yang tumpah sudah tumpah, mau diapakan lagi? Hal itu merupakan kecelakaan. Siapapun yang menumpahkan tentu bukan dilakukan dengan sengaja. Kalau sampai hal itu membuat tiga orang perwira itu tidak sembuh, berarti memang sudah semestinya demikian. Kita harus dapat dan berani menghadapi segala kenyataan yang menimpa kita, suamiku.”

Kembali Cong San menarik napas panjang. Apa pun yang terjadi, dia tidak menghendaki bentrokan pendapat dan kesalahan paham dengan isterinya. Dan akan menjadi gelap baginya, hidup akan menjadi penderitaan kalau hal itu terjadi.

Dipandangnya wajah isterinya yang baginya luar biasa cantik jelitanya itu, ditangkapnya tangan isterinya dan ditarik sehingga tubuh Yan Cu berada dalam pelukannya. Dalam keadaan begini, dengan tubuh isterinya berada demikian dekat, didekap dalam pelukan di atas dadanya, segala kekhawatiran lenyap dari hati Cong San. Dan inilah yang dia inginkan. Ia kembali menghela napas, kini helaan napas penuh kelegaan dan kebahagiaan.






“Semua ucapan mereka memang benar, isteriku. Biarlah kita hadapi apa yang akan terjadi kalau sampai pengobatan kita gagal.”

Yan Cu menengadah, memandang wajah suaminya, mengangkat kedua lengan merangkul leher sehingga muka suaminya menunduk, menempel di dahinya, kemudian dengan sikap penuh kasih sayang dan agak manja, kemanjaan seorang isteri yang membutuhkan kasih suaminya selama dia hidup, Yan Cu berkata lirih,

“Gagal atau berhasil pengobatan kita, tergantung dari nasib mereka sendiri, perlu apa kita khawatir? Yang lebih penting adalah memikirkan anak kita yang sudah pergi. Sebaiknya aku pergi mencarinya.”

Cong Sang memperketat pelukannya.
“Jangan! Biarkan dia menyesali kenakalannya. Kalau dicari, tentu dia akan merasa amat dimanjakan. Dia sudah besar, sudah pandai menjaga diri, biarlah dia pergi semalam lagi, tidak akan berbahaya. Besok pagi-pagi barulah engkau pergi mencarinya kalau dia belum kembali. Malam ini aku lebih membutuhkan engkau isteriku.”

Cong San menunduk dan mencium dengan pandang mata dan gerakan yang sudah amat dikenal oleh Yan Cu.

“Ihhh, seperti pengantin baru saja! Dua persoalan menghimpit kita, pertama adalah kemungkinan gagal pengobatan para perwira, ke dua adalah perginya Kun Liong tanpa pamit, dan engkau bersikap seperti pengantin baru saja!” Yan Cu mengomel manja dan mengelak dari ciuman suaminya.

Cong San tersenyum, dan biarpun mereka sudah menjadi suami isteri sebelas tahun lamanya, tetap saja senyum pria itu masih memiliki daya tarik yang selalu mendatangkan debar penuh gairah kasih di hati Yan Cu.

“Kita akan selalu seperti pengantin baru sampai selama kita hidup!”

“Aihhh! Tidak ingat anak kita? Engkau sudah menjadi ayah, aku sudah menjadi ibu, bukan muda remaja lagi!” Yan Cu mencela manja.

Cong San menciumnya dan sekali ini Yan Cu sama sekali tidak mengelak, bahkan menerima dan menyambut pencurahan kasih sayang suaminya itu dengan hangat.

“Biar kelak aku menjadi kakek dan engkau menjadi nenek yang sudah mempunyai selosin buyut (anak cucu), kita akan tetap seperti pengantin baru!”

Yan Cu tidak dapat membantah lagi dan malam itu, sepasang suami isteri ini benar-benar seperti sepasang pengaritin baru yang sedang berbulan madu, lupa akan segala persoalan yang mengganggu, lupa akan ancaman Ma-taijin dan lupa pula akan anak mereka yang pergi tanpa pamit.

Pada keesokan harinya, setelah bangun dari tidur dan menghadapi sarapan pagi, barulah teringat kembali mereka akan persoalan yang mereka hadapi. Demikianlah hidup! Alangkah bedanya keadaan hati dan pikiran mereka berdua malam tadi dan pagi ini! Seperti siang dan malam. Kebalikannya! Dan memang sesungguhnyalah bahwa suka dan duka, puas dan kecewa, menang dan kalah, hanyalah sebuah benda dengan dua muka, keduanya tidak dapat saling dipisahkan dan siapa mengejar yang satu sudah pasti akan bertemu dengan yang lain.

Pengalaman akan suka, puas, dan menang akan dihidupkan oleh ingatan dan mendorong orang untuk terus mengejarnya, untuk mengalaminya kembali sehingga untuk selamanya orang hidup dalam mengejar ingatan mengejar bayangan. Sebaliknya, pengalaman akan duka, kecewa, dan kalah yang dihidupkan oleh ingatan mendorong orang untuk selalu menjauhinya, tidak tahu bahwa pengejaran akan bayangan suka menimbulkan duka, akan bayangan puas menimbulkan kecewa dan akan bayangan menang menimbulkan kalah karena keduanya itu tak dapat dipisahkan.

Maka terjadilah perlumbaan antar manusia dalam mengejar kesukaan menjauhkan kedukaan, bukan hanya saling berlumba, juga saling mendorong, saling menjegal, saling memukul, bahkan saling membunuh untuk memperebutkan bayangan ingatan!

“Aku akan menengok para perwira, mudah-mudahan mereka dapat sembuh,” kata Cong San sehabis sarapan suaranya berat.

“Aku akan mencari Kun Liong, mudah-mudahan dapat kutemukan,” kata Yan Cu, juga suaranya tidak segembira malam tadi karena dia maklum bahwa mereka berdua menghadapi persoalan yang tidak menyenangkan.

Dengan ucapan-ucapan itu, suami isteri ini saling berpisah. Cong San pergi ke gedung tempat tinggal Ma-taijin, sedangkan Yan Cu segera pergi melakukan penyelidikan dan bertanya-tanya kepada para tetangga akan diri puteranya yang telah pergi sehari dua malam meninggalkan rumah tanpa pamit.

Gui Yan Cu adalah seorang wanita yang cerdik. Dia maklum bahwa puteranya tentu tidak melarikan diri ke utara, timur atau barat karena dusun-dusun di bagian ini merupakan tempat tinggal orang-orang yang sudah mengenal keluarganya. Kalau puteranya itu melarikan diri, tentu anak yang dia tahu amat cerdik itu melarikan diri ke arah selatan, daerah yang asing bagi mereka dan dusun-dusunnya terletak jauh dari Leng-kok.

Sebagai pelarian yang takut ditemukan ayah bundanya anak itu tentu mengambil jurusan yang satu ini. Karena itu, maka Yan Cu lalu melakukan penyelidikan ke arah selatan, setelah para tetangganya tidak ada yang melihat Kun Liong dan tak seorang pun di antara mereka tahu ke mana perginya anak itu.

Dan dugaan nyonya itu memang tepat sekali! Ketika melarikan diri, memang Kun Liong sengaja mengambil jalan ke jurusan selatan, karena tepat seperti diduga ibunya, dia tidak ingin ada orang mengenalnya karena kalau hal ini terjadi, sudah pasti sekali dalam waktu singkat ayahnya atau ibunya akan dapat mengejar dan memaksanya pulang!

Dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi, Gui Yan Cu melakukan pengejaran dan jarak yang ditempuh oleh puteranya dalam waktu sehari semalam, hanya membutuhkan waktu setengah hari saja baginya. Tibalah dia di dusun di mana Kun Liong menjadi sebab kebakaran dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia melakukan penyelidikan, dia mendengar akan seorang anak laki-laki yang menyebabkan kebakaran dengan melepaskan ular-ular beracun di dalam rumah yang sedang pesta, kemudian betapa anak itu ditangkap dan dipukuli orang-orang, akan tetapi secara aneh anak itu dapat melarikan diri dan tak seorang pun tahu ke mana perginya.

“Semalam suntuk kepala dusun dan tukang-tukang pukulnya pergi mencari akan tetapi sia-sia. Anak setan itu seperti menghilang. Kalau dapat dicari, tentu dia akan dipukul sampai mampus!” Tukang warung nasi menutup keterangannya.

Gui Yan Cu menahan kemarahan hatinya. Kalau dahulu, sepuluh tahun yang lalu, dia mendengar penuturan ini, tentu dia akan mengamuk dan menghajar orang sekampung itu, atau setidaknya dia akan menghajar kepala kampung, atau paling sedikit dia akan menampar pipi tukang warung nasi yang menceritakan perihal anaknya.

Akan tetapi sekarang dia bukanlah seorang dara remaja yang ganas lagi, melainkan seorang nyonya dan ibu yang bingung memikirkan puteranya, dan yang maklum betapa sakit hati para penduduk karena ada yang mengacau pesta, dan betapa jahat pandangan mereka terhadap kenakalan anaknya.

Karena dia tidak berhasil mencari di sekitar dusun itu, pula karena dia khawatir akan keadaan suaminya yang harus menghadapi ancaman kepala daerah kalau tidak berhasil menyembuhkan tiga orang perwira yang terluka, Yan Cu mengambil keputusan untuk pulang dahulu, kemudian setelah urusan Leng-kok beres, baru dia akan mengajak suaminya untuk mencari Kun Liong.

Dapat dibayangkan betapa kaget dan marah hati nyonya perkasa ini ketika dia tiba di rumah pada waktu senja hari itu, dia disambut oleh seorang kakek dengan wajah keruh dan penuh kegelisahan. Kakek itu adalah Liok Sui Hok, paman tua suaminya. Kakek inilah yang membantu suaminya membuka toko obat di Leng-kok, dan karena Liok Sui Hok tidak mempunyai keturunan pula, sudah duda dan hidup seorang diri di rumahnya yang besar di Leng-kok kakek ini menganggap keponakannya itu seperti anak sendiri.

“Sungguh celaka... suamimu gagal mengobati para perwira, dan dia kini ditahan oleh Ma-taijin...” Demikianlah sambutan kakek itu begitu melihat Yan Cu datang.

Yan Cu menggigit bibirnya, sejenak tak dapat berkata-kata. Memang hal ini sudah dikhawatirkannya, akan tetapi sungguh tak disangka bahwa kepala daerah she Ma itu benar-benar berani menahan suaminya!

“Hemm... si keparat Ma itu perlu dihajar!” katanya dan dia sudah membalikkan tubuh hendak pergi lagi ke rumah pembesar itu.

“Wah-wah, nanti dulu! Harap kau bersabar, perlu apa menggunakan kekerasan menghadapi pembesar? Jangan-jangan engkau malah akan dianggap pemberontak dan melawan pemerintah!”

“Paman! Pemerintah mempunyai hukum dan kalau suamiku bersalah berarti dia melanggar hukum, tentu saja saya tidak berani menggunakan kekerasan. Akan tetapi dalam hal ini, suamiku tidak bersalah. Kalau sampai dia ditahan, hal itu berarti bahwa Ma-taijin mempergunakan hukumnya sendiri, dan aku pun bisa menggunakan hukumku sendiri terhadap dia!”

“Sabarlah! Dia adalah kepala daerah di sini, di Leng-kok ini kekuasaannya paling besar dan harus ditaati oleh seluruh rakyat.”

“Apakah dia raja?”

“Bukan, akan tetapi biasanya, setiap kepala daerah merasa menjadi raja kecil dalam daerah masing-masing. Karena itu, besok aku akan pergi ke kota Khan-bun, kepala daerah di sana lebih tinggi pangkatnya dan dengan bantuan teman-teman yang tinggal di sana, agaknya aku akan dapat menarik pengaruh dan bantuannya untuk menolong suamimu.”

Yan Cu mengerutkan alisnya. Dia sudah banyak mendengar akan tindakan sewenang-wenang para pembesar setempat. Keadilan yang berlaku pada waktu itu hanyalah keadilan uang! Siapa yang dapat menyogok, dialah yang akan dilindungi dan dimenangkan oleh mereka yang berkuasa!

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: