*

*

Ads

FB

Senin, 19 September 2016

Petualang Asmara Jilid 016

Setelah berada di depan ular yang mendesis-desis dan lidah merahnya keluar masuk mulut dengan cepat sekali itu, Kun Liong berhenti. Terlalu berbahaya kalau mendekat lagi. Dia mengukur jarak antara dia dan ular, dan mengingat apa yang telah dipelajari dari ibunya. Ibunya pernah menundukkan seekor ular besar, sungguhpun tidak sebesar ular di depannya ini.

Menurut pelajaran yang diberikan ibunya, seekor ular besar berbeda bahayanya dengan ular kecil yang beracun. Ular kecil gigitannya mematikan karena mengandung bisa. Akan tetapi seekor ular besar yang tidak berbisa seperti ini, bahayanya terletak pada mulut yang dapat menjadi lebar sekali, yang gigitannya tak mungkin dapat dilepaskan oleh Si Korban, dan juga terletak pada belitan tubuhnya yang amat kuat.

Untuk membuat mulut lebar itu tidak berdaya, harus dipergunakan umpan, karena sekali ular itu menggigit korbannya, gigi-giginya yang melengkung ke dalam itu akan merupakan kaitan yang sukar melepaskan si korban dan dalam keadaan menggigit korbannya ular itu tidak dapat menyerang lawan dengan mulutnya.

Mudah untuk membuat mulut itu tidak berdaya, pikir Kun Liong, yang berbahaya adalah belitan tubuh itu. Harus cepat dapat menotok tengkuk di belakang kepala sehingga tubuh itu menjadi setengah lumpuh.

Ular itu kini mengeluarkan desis keras ketika Kun Liong melepaskan ayamnya. Ayam betina gemuk itu mengenal bahaya. Dia meronta-ronta dan menggerakkan sayap hendak lari dan terbang, akan tetapi tali yang mengikat kaki itu menahannya. Dengan mata yang memandang tanpa berkedip, Kun Liong menggerakkan talinya sehingga tubuh ayam itu terlempar ke depan, ke dekat ular.

Menakjubkan melihat ular sebesar itu, membayangkan kelambanan, dapat menggerakkan kepala dengan kecepatan luar biasa dan tahu-tahu ayam itu memekik-mekik dan meronta-ronta, namun tak mungkin dapat melepaskan diri dari gigi-gigi runcing yang telah menancap di tubuhnya dan mengait daging dan tulang.

Kun Liong menanti sebentar, melihat ayam yang meronta-ronta dan memekik-mekik itu mulai lemas, dan beberapa kali moncong ular itu bergerak ke depan secara tiba-tiba memaksa tubuh korbannya masuk makin dalam, kemudian dengan gerakan ringan Kun Liong sudah meloncat ke dekat kepala ular, menubruk dan merangkul leher ular yang menegakkan kepalanya, menggunakan jari tangannya, mengerahkan semua tenaga untuk memijat dan memukul tengkuk ular.

Bau yang amis dan wengur membuatnya muak, dan melihat moncong ular yang besar itu dia merasa ngeri juga. Kalau moncong ular itu tidak penuh ayam yang mulai ditelan berikut bulu-bulunya, tentu dia yang menjadi korban dan kiranya ular itu tidak akan menghadapi kesukaran untuk menelan tubuhnya bulat-bulat.

Ular itu marah sekali, akan tetapi karena dia tidak dapat menyerang dengan mulutnya yang penuh ayam, dia hanya menggunakan tubuhnya untuk membelit. Pukulan pada tengkuknya mendatangkan rasa nyeri dan ketika Kun Liong akhirnya berhasil menotok urat kelemahan binatang itu di tengkuk, tubuh ular itu telah berhasil pula membelit tubuh Kun Liong, menggunakan tenaga dari ekornya!

Kun Liong menggunakan lengannya melindungi leher karena dia maklum bahwa kalau
sampai lehernya terbelit dan tercekik, dia tidak akan dapat melepaskan diri lagi dan tentu akan mati. Dia berhasil melindungi leher, akan tetapi pinggang, kedua kaki, dada dan lengannya terhimpit dan terbelit, membuat dia sukar bernapas dan tidak dapat bergerak!






Ketika melihat betapa kepala dusun dan anak buahnya yang menyaksikan keadaannya itu datang mendekat dengan senjata di tangan, siap membantunya, Kun Liong menggeleng kepala dan berkata,

“Jangan...!”

Dia merasa khawatir sekali karena kalau orang-orang itu menyerbu dan melukai ular besar ini, tentu ular itu makin marah dan memperkuat libatannya dan hal ini berarti ancaman maut baginya.

Untung bahwa kepala dusun itu seorang yang cukup cerdik untuk dapat mengerti bahwa
kalau keadaan anak itu terancam bahaya, tidak mungkin anak itu menolak untuk dibantu. Maka dia memberi isyarat kepada anak buahnya untuk diam, dan mereka itu kini hanya memandang dengan mata terbelalak penuh kekhawatiran melihat Kun Liong bergulat dalam usahanya membebaskan diri dari belitan tubuh ular yang licin dan amat kuat itu.

Biarpun tubuh bagian leher setengah lumpuh, namun tenaga dari ekomya masih amat kuat dan agaknya ular itu hendak membuat tubuh Kun Liong remuk dengan himpitannya.

Kun Liong maklum bahwa keadaannya berbahaya. Biarpun dia telah berhasil memukul tengkuk ular itu sehingga untuk sementara ular itu tidak dapat menelan tubuh ayam dan mulutnya tidak akan menggigitnya akan tetapi tenaga pukulannya tidak cukup kuat sehingga ular itu hanya akan lumpuh untuk beberapa saat lamanya saja. Kalau ular itu dapat memulihkan kembali tenaganya, menelan tubuh ayam tadi dan mulutnya sudah kosong, tentu dia tidak akan tertolong lagi. Sekali gigit dia akan mati dan tubuhnya akan
ditelan perlahan-lahan ke dalam perut yang besar itu
.
Kembali Ilmu Sia-kut-hoat yang pernah dipelajarinya dari ayahnya, dia pergunakan untuk menolong dirinya. Dengan menggunakan ilmu ini, biarpun perlahan-lahan karena belitan ular itu benar-benar amat kuat, akhirnya Kun Liong dapat membebaskan kedua lengannya.

Ekor ular itu ikut membelit ke pinggangnya, maka mudah baginya untuk menangkap ekor ular itu dan dengan sekuat tenaga dia menarik dan membetot bagian ekor ular itu sampai terdengar bunyi suara tulang berkerotok, tanda bahwa sambungan tulang di ekor itu terlepas!

Karena kedua ujung tubuhnya yang menjadi serupa pegangan dan pusat tenaganya telah
menjadi lumpuh, ular itu kebingungan. Tubuhnya bergerak-gerak lemah dan otomatis libatannya menjadi kendur sehingga dengan mudah Kun Liong melepaskan diri dan meloncat keluar dari lilitan tubuh ular yang melingkar-lingkar.

“Dia sudah dapat kujinakkan!” katanya kepada orang-orang yang menonton dengan heran dan kagum.

Akan tetapi karena tubuh ular besar itu masih bergerak-gerak, orang-orang itu masih merasa takut dan tidak berani datang mendekati.

“Dia tidak akan dapat menggigit atau melilit lagi. Kita ikat leher dan ekornya, bawa pulang ke dusun. Dagingnya enak sekali! Juga kulitnya amat berharga” kata Kun Liong.

Kakek yang menjadi orang pertama melompat ke depan mendekati ular. Dan mengulur tangan menepuk-nepuk kepala ular itu dan ketika melihat betapa ular itu sama sekali tidak menyerangnya, dia tertawa terkekeh-kekeh dan semua orang menjadi berani. Beramai-ramai mereka mengikat ular itu dengan tali yang memang mereka bawa dari dusun.

Kun Liong lalu menangkap-nangkapi ular-ular beracun kecil sampai belasan ekor lebih. Kini sambil memanggul ular yang sudah diikat dan membawa ular-ular berbisa kecil yang
sudah lumpuh, penduduk dusun yang dipimpin kepala kampung itu tertawa-tawa gembira dan penuh kebanggaan, berjalan beriring hendak keluar dari dalam hutan.

“Mudah saja untuk mengusir ular-ular dari hutan ini” Kun Liong sibuk memberi penjelasan kepada kepala dusun. “Cuwi dapat mempergunakan bubukan garam untuk mengusir ular. Ular-ular itu paling takut karena garam dapat mencelakakan mereka, menjadi racun yang merusak kulit mereka. Pertama-tama Cuwi sebarkan garam di bagian hutan yang dekat dusun, atau dapat juga dipergunakan api untuk membakar semak-semak. Pasti binatang-binatang itu akan lari ketakutan dan tidak akan berani datang kembali, mereka akan mencari tempat persembunyian lain yang lebih aman.”

Tiba-tiba rombongan itu berhenti berjalan ketika terdengar suara yang mirip suara suling, akan tetapi aneh sekali, tidak seperti suling biasa. Jelas bahwa suara itu keluar dari sebuah alat tiup macam suling, hanya suaranya melengking terus tanpa pernah berhenti sedikit pun, nadanya naik turun, kalau naik menjadi tinggi sekali sampai hampir tidak terdengar lagi dan seperti menusuk-nusuk telinga, kalau turun menjadi amat rendah seperti gerengan seekor harimau yang menggetarkan jantung.

“Suara apa itu...?”

Kun Liong bertanya, akan tetapi dia tidak memerlukan jawaban lagi ketika menoleh dan melihat betapa orang-orang itu saling pandang dengan mata terbelalak dan wajah pucat, kemudian mereka menahan seruan kaget ketika mendengar suara mendesis-desis dari sekeliling mereka, disusul munculnya puluhan, bahkan ratusan ekor ular besar kecil yang mengurung mereka!

Tadinya ular-ular itu bergerak dan mendesis-desis akan tetapi tiba-tiba suara melengking itu berubah pendek-pendek seperti memberi aba-aba dan... ular-ular itu lalu berhenti, tidak bergerak seperti mati!

“Apa... apa ini...?”

Kun Liong kembali bertanya, memandang ke sekeliling dan bergidik melihat betapa ular-ular itu memang telah mengurung mereka, agaknya datang dari empat penjuru hutan itu dan seolah-olah binatang-binatang itu terlatih sehingga dapat melakukan pengurungan yang rapat dan rapi! Tentu suara suling aneh itu yang mengatur “barisan” ular ini. Diam-diam dia kagum bukan main.

Suara melengking menghilang dan dapat dibayangkan betapa kaget hati penduduk dusun itu ketika tiba-tiba, entah dari mana dan bagaimana datangnya, tahu-tahu di depan mereka telah berdiri seorang laki-laki yang luar biasa, seorang kakek berusia lima puluh tahun, pakaiannya lorek-lorek seperti kulit ular, tubuhnya kurus tinggi dan lehernya amat panjang, kepalanya lonjong.

Benar-benar seorang manusia yang bentuk tubuhnya “mendekati” bentuk ular! Tangan orang ini memegang sebuah benda yang bentuknya seperti suling akan tetapi ujung bagian depan besar dan terbuka seperti corong, agaknya sebuah alat tiup terompet yang aneh. Di punggungnya tampak gagang sebatang pedang.

“Hahhhh! Siapa kalian ini berani mati sekali mengganggu anak buahku, mengganggu binatang peliharaanku! Lepaskan mereka!”

Tiba-tiba dia menggetarkan tangah kanannya ke depan. Ujung lengan bajunya menyambar ke depan dan... semua ular yang dipegang rombongan itu terlepas karena tiba-tiba mereka termasuk Kun Liong merasa ada angin menyambar dan membuat lengan mereka seperti kehilangan tenaga dan lumpuh untuk beberapa detik lamanya!

Kepala dusun dan anak buahnya sudah berdiri menggigil, bahkan ada yang saking takutnya sudah menjatuhkan diri berlutut. Kun Liong teringat akan cerita Kakek Lo dan Akian yang pada saat itu sudah berlutut pula, yaitu cerita tentang ular-ular hutan itu yang katanya ada yang memelihara.

Kiranya cerita itu bukan cerita bohong belaka karena kini benar-benar ada seorang manusia aneh yang mengaku ular-ular itu sebagai anak buah dan peliharaannya! Dia teringat pula akan penuturan ibunya bahwa di dunia kang-ouw banyak terdapat manusia-manusia aneh yang memiliki kepandaian tinggi dan memiliki kesaktian. Maka kini melihat orang aneh yang sekali menggerakkan tangan mampu membuat mereka semua terpaksa melepaskan ular-ular yang ditangkapnya tadi, Kun Liong dapat menduga bahwa tentu orang ini adalah seorang di antara manusia-manusia sakti di dunia kang-ouw. Cepat dia melangkah maju dan memberi hormat dengan merangkap kedua tangan di depan dada sambil berkata,

“Locianpwe (Orang Tua Perkasa), harap Locianpwe tidak menyalahkan para penduduk dusun ini, mereka tidak berdosa karena akulah yang telah menangkap ular-ular ini.”

Manusia aneh itu sejenak memandang ke arah ular-ular yang hanya dapat bergerak lambat, termasuk ular besar yang telah setengah lumpuh, kemudian menoleh kepada Kun Liong dan memandang dengan heran.

“Ular-ularku ditotok dan dilumpuhkan! Engkau yang melakukan ini? Dari mana engkau memperoleh ilmu menangkap ular?”

“Pemah kupelajari dari orang tuaku sendiri.”

“Hemmm, kalian manusia-manusia jahat dan lancang, berani melumpuhkan dan menangkapi ular-ularku! Kalian tidak berhak hidup lagi karena kalian telah berani menghina Ban-tok Coa-ong!”

Mendengar ini, kepala dusun menjatuhkan diri berlutut, diturut oleh semua anak buahnya.

“Harap Locianpwe sudi mengampunkan kami...”

“Hemmm, aku barangkali bisa mengampuni, akan tetapi ular-ularku ini pasti tidak!” kata kakek itu sambil terkekeh, sikapnya kejam sekali.

Kun Liong menjadi marah. Dia melangkah maju lagi dan berkata,
“Locianpwe yang telah memiliki nama julukan demikian menyeramkan tentu bukanlah seorang manusia biasa, melainkan tokoh besar di dunia kang-ouw. Apakah Locianpwe tidak malu dan tidak ditertawakan orang-orang gagah sedunia kalau Locianpwe membunuh orang-orang dusun yang tidak mampu melawan?”

Kembali kakek itu tercengang memandang Kun Liong. Sikap dan ucapan bocah ini benar-benar membuat dia kaget, heran, dan kagum.

“Kalian telah mengganggu ular-ularku, sudah pantas dihukum. Siapa yang akan mentertawakan aku?”

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: