*

*

Ads

FB

Senin, 19 September 2016

Petualang Asmara Jilid 017

“Locianpwe adalah seorang mariusia, aku tidak percaya bahwa Locianpwe lebih sayang.kepada ular daripada kepada manusia, membela ular dan memusuhi manusia!” Kun Liong membantah lagi penuh penasaran.

“Ho-ho-ha-ha-ha! Aku disebut Coa-ong (Raja Ular), siapa lagi kalau bukan aku yang membela ular-ular ini? Aku tidak sudi dimasukkan kelompok manusia! Ular-ular ini jauh lebih baik daripada manusia!”

“Locianpwe agaknya lupa bahwa ular-ular berbisa telah membunuh banyak manusia, dan merupakan binatang ganas yang berbahaya bagi manusia!”

Kun Liong membantah, suaranya sama sekali tidak membayangkan rasa takut, bahkan terdengar nyaring penuh penasaran.

“Apa kau bilang?”

Kakek itu mencoba untuk melebarkan matanya, akan tetapi hasilnya, sepasang matanya itu bertambah sipit hampir terpejam sama sekali. Leherya yang panjang bergerak-gerak makin memanjang dan kelihatannya lucu sekali. Lengannya yang panjang dan dapat bergerak seperti ular merayap itu menudingkan telunjuk tangan ke arah Kun Liong.

“Jangan memutar-balikkan kenyataan, ya? Kau hanya mengingat manusia yang terbunuh oleh ular-ular, sama sekali tidak ingat akan ular-ular yang terbunuh oleh manusia! Mungkin perbandingannya tidak ada seratus lawan satu, seratus ekor ular telah dibunuh manusia dan baru seorang manusia yang terbunuh oleh ular! Itu pun terjadi karena si manusia mengganggu ular, kalau tidak, tak mungkin ada ular menyerang manusia, kecuali ular besar yang menyerang apa saja kalau sudah lapar karena membutuhkan penyambung hidup. Sedangkan manusia-manusia macam engkau ini, menangkap dan membunuh ular untuk apa? Tanpa makan ular kalian masih dapat hidup. Kau bilang ular-ular itu berbahaya bagi kehidupan manusia, bukankah itu terbalik dan sebetulnya manusia-manusia macam kalian inilah yang amat berbahaya bagi kehidupan ular?”

Kun Liong menjadi merah sekali mukanya. Di dalam hati anak yang masih belum rusak benar oleh kepalsuan-kepalsuan seperti manusia dewasa dia dapat menerima pendapat kakek aneh itu dan dalam kewajarannya dia mau tidak mau harus membenarkan pendapat itu. Akan tetapi maklum bahwa nyawa kepala dusun dan anak buahnya terancam bahaya maut, dia membantah,

“Biarpun pendapat Locianpwe tak dapat kusangkal kebenarannya, akan tetapi Locianpwe adalah seorang manusia, tidak mungkin hendak mengorbankan nyawa manusia untuk membela ular!”

“Memang aku raja ular! Bergaul dengan ular jauh lebih menyenangkan daripada bergaul dengan manusia-manusia yang palsu!”

Kakek itu segera mendekatkan ujung terompetnya ke bibir dan terdengarlah suara melengking yang dahsyat sekali, yang membuat Kun Liong dan semua penduduk dusun itu menggigil kedua kakinya dan tidak dapat melangkah dari tempat mereka berdiri seolah-olah kaki mereka menjadi lumpuh!

Temyata bahwa suara terompet itu bukanlah suara biasa, melainkan suara yang mengandung getaran dahsyat sekali dari tenaga khikang dan diam-diam Kun Liong terkejut bukan main. Pemah dia mendengar dari ayah bundanya akan kesaktian ini. Hanya orang yang sudah memiliki sin-kang amat kuat saja dapat mengerahkan tenaga dalam suara sehingga melumpuhkan lawan!






Pemah dia merasakan getaran khi-kang dari suara nyanyian tosu Pek-lia-kauw, yaitu Loan Khi Tosu, akan tetapi getaran yang terkandung dalam suara tosu itu tidaklah sedahsyat suara terompet ini sehingga dia bahkan dapat mengacau nyanyian tosu itu dengan nyanyiannya. Pernah ayahnya mendemonstrasikan suara melengkingnya yang mengandung khi-kang, akan tetapi agaknya kekuatan ayahnya juga tidak sehebat dan sedahsyat suara yang terkandung dalam tiupan suling aneh ini!

Empat belas orang itu, Kun Liong, Kakek Lo, Akian, kepala dusun dan sepuluh orang anak buahya, hanya berdiri seperti arca dengan mata terbelalak lebar memandang ke arah ular-ular yang kini maju merayap menghampiri mereka!

Dapat dibayangkan betapa ngeri dan takut rasa hati mereka, akan tetapi mereka tak dapat menggerakkan kaki untuk melarikan diri, bahkan bibir mereka yang bergerak-gerak tidak dapat mengeluarkan suara, hanya terdengar ah-ah-uh-uh dan ada di antara mereka yang mengeluarkan air mata saking takutnya.

Hanya Kun Liong seorang yang berdiri tenang karena dia sama sekali lupa akan keadaan diri sendiri lupa akan bahaya yang mengancam nyawanya sendiri, dan yang menjadi perhatiannya hanyalah keadaan orang-orang yang terancam bahaya maut itu. Di dalam hatinya dia merasa menyesal bukan main. Semua ini terjadi gara-gara dia! Kalau dia tidak menangkap ular-ular itu agaknya kakek iblis Ban-tok Coa-ong tidak akan membunuh mereka!

Rasa penasaran dan penyesalan yang besar ini membuat dia sejenak lupa sama sekali akan suara melengking dari terompet sehingga dia terbebas dari pengaruh khi-kang dan berteriak keras,

“Kakek iblis! Jangan bunuh mereka! Kalau mau bunuh, bunuhlah aku karena akulah yang menangkap ular-ularmu. Mereka tidak berdosa!”

Kembali kakek itu tercengang. Dalam perantauannya di dalam dunia kang-ouw, sebagai seorang di antara lima datuk persilatan yang terkenal, sudah banyak dia bertemu dengan orang gagah, bukan hanya gagah karena tinggi ilmu kepandaiannya, akan tetapi gagah karena berjiwa satria, seorang yang tidak gentar menghadapi maut dan yang siap mengorbankan nyawa untuk orang lain.

Akan tetapi, selama hidupnya belum pemah dia bertemu dengan seorang kanak-kanak yang usianya baru sepuluh tahun sudah memiliki jiwa satria seperti ini! Dia benar-benar tercengang, terheran, dan kagum bukan main. Aihhh, kalau saja puteranya bersikap seperti anak ini, pikirnya. Dia menarik napas panjang dan menjadi marah karena iri hati kepada ayah anak yang gagah perkasa itu.

Melihat betapa ular-ular itu telah tiba dekat sekali di depan kaki para penduduk dusun, Kun Liong yang sudah terbebas dari suara terompet, melompat ke depan kakek itu sambil membentak,

“Kakek iblis, tidak malukah engkau? Sungguh engkau pengecut hina!”

“Plakkk!”

Secara tiba-tiba sekali tangan kiri kakek itu bergerak dan tubuh Kun Liong terguling dalam keadaan lumpuh karena dia telah tertotok secara aneh sekali. Dan kakek itu masih terus meniup terompetnya yang membuat ular-ular itu seperti mabok dan marah.

Mulailah ular-ular itu menyerang dan menggigit empat belas orang itu dan pada saat itu, Ban-tok Coa-ong menghentikan tiupan terompetnya sehingga orang-orang itu kini dapat bergerak dan dapat berteriak-teriak. Mereka berusaha melawan, akan tetapi mana mungkin melawan ular yang demikian banyaknya? Sedikitnya ada sepuluh ekor ular besar kecil menggigit tubuh setiap orang dan setiap gigitan saja sudah mengandung racun yang cukup untuk mencabut nyawa!

Hanya Kun Liong seorang di antara empat belas orang itu yang tetap tidak bergerak biarpun tubuhnya juga digigit beberapa ekor ular. Tiga belas orang yang lain, selain menjerit-jerit dan makin lama suaranya menjadi rintih memilukan, juga mereka berkelojotan dan bergulingan ke sana-sini sampai akhirnya mereka diam tak bergerak, tubuh mereka bengkak-bengkak dan berwama biru kehitaman!

Hal ini adalah karena di dalam tubuh Kun Liong sudah terdapat racun inti bisa ular. Ibunya yang amat sayang kepada puteranya ini telah memberi minum obat yang mengandung racun anti bisa ular itu kepadanya, semenjak kecil, sedikit demi sedikit sehingga kini Kun Liong telah menjadi kebal terhadap racun ular.

Gigitan-gigitan itu memang membuat bagian tubuh yang tergigit menjadi bengkak dan merah, akan tetapi racun ular itu tidak dapat menjalar ke dalam tubuhnya, tertolak oleh darahnya yang mengandung racun penolak dan racun ular itu hanya terkumpul di tempat gigitan.

Hal ini tidak diketahui oleh Ban-tok Coa-ong yang tertawa-tawa dan bergembira menyaksikan orang-orang yang disiksanya itu. Kalau saja tidak ada sedemikian banyaknya orang yang dikeroyok ular-ulamya, andaikata hanya Kun Liong seorang sebagai seorang ahli racun ular tentu saja Ban-tok Coa-ong akan dapat mengetahui keanehan ini.

Sekarang tidak terdengar suara lagi. Tubuh empat belas orang itu diam, tidak bergerak lagi dan ular-ular itu sudah merayap pergi setelah para korbannya tidak bergerak lagi. Mereka itu bukanlah ular-ular pemakan bangkai dan mereka hanya menyerang untuk membunuh, didorong dan dirangsang oleh suara terompet.

“Ayahhh... jangan bunuh dulu mereka...!”

Tiba-tiba terdengar suara teriakan dan gema suara teriakan itu belum lenyap ketika tahu-tahu di situ telah berdiri seorang anak laki-laki berambut panjang sampai ke punggung dan dibiarkan terurai begitu saja. Anak ini paling banyak tiga belas tahun usianya, wajahnya tampan akan tetapi gerak matanya mengerikan, seperti gerak bola mata seorang yang tidak waras otaknya!

“Bouw-ji (Anak Bouw), mau apa kau?” kakek itu bertanya, suaranya penuh dengan kasih sayang.

Akan tetapi anak laki-laki ini tidak menjawab hanya tertawa ha-ha-hi-hi, berjalan melihat-lihat tubuh empat belas orang yang menggeletak tak bergerak dengan muka biru menghitam itu. Hanya muka Kun Liong seorang yang tidak menjadi biru menghitam, cuma bengkak dan merah sedikit di pipi kanan bekas gigitan ular.

Akan tetapi seperti juga tiga belas orang yang lain, dia roboh pingsan setelah tujuh kali digigit ular berbisa. Kalau di dalam tubuh tiga belas orang itu, bisa ular mengamuk dan mulai menjalar ke arah jantung, di dalam tubuh Kun Liong terjadi hal lain lagi. Bisa ular bertemu dengan racun di dalam tubuhnya yang menolak sehingga terjadi pertempuran, namun bisa ular kalah kuat dan hanya berhenti di tempat gigitan.

“He-he-hi-hi, Ayah. Jarum-jarumku dengan racun baru belum pemah dicoba kehebatannya. Mereka ini hendak kujadikan kelinci percobaan, Ayah!”

Anak berambut panjang itu sudah mengeluarkan sekepal jarum-jarum kecil yang berwama merah.

“Bodoh! Mereka sudah hampir mati, tidak ada gunanya. Untuk percobaan, harus memilih korban yang masih sehat,” Ayahnya mencela.

“Hi-hi-hi, mereka belum mati dan dalam keadaan keracunan bisa ular mereka merupakan kelinci-kelinci percobaan yang amat menarik. Racun di jarumku ini lebih hebat daripada racun ular, dan sekarang dapat dibuktikan, Ayah!”

Tanpa menanti jawaban lagi, anak itu menggerak-gerakkan tangan kanannya dan tampaklah sinar-sinar kecil menyambar ke arah tengkuk empat belas orang yang roboh pingsan itu. Agaknya ia sengaja melempar dengan tenaga kecil terukur sehingga jarum-larum itu hanya menancap setengahnya di tengkuk empat belas orang itu. Kemudian sambil tertawa-tawa anak itu meloncat ke dekat ayahnya dan mereka berpelukan sambil memandang ke arah korban mereka, menanti apa yang akan terjadi.

Kun Liong siuman ketika merasa nyeri. Akan tetapi dia segera teringat akan keadaannya, maka dia diam saja tidak bergerak, apalagi karena tiba-tiba dari tengkuknya menjalar hawa panas ke arah kepalanya, kemudian seluruh tubuhnya terasa panas dan sakit-sakit semua, membuat dia tidak dapat bergerak dan hanya dapat memandang dengan mata setengah terpejam, mengintai dari balik bulu matanya, melihat betapa kakek mengerikan itu kini berpelukan sambil tertawa-tawa dengan seorang anak laki-laki kecil yang tampan akan tetapi menyeramkan, ketika ia mengerling ke arah tiga belas orang dusun, dia terkejut setengah mati dan bulu tengkuknya meremang, berdiri satu-satu saking ngerinya.

Apa yang terjadi dengan tiga belas orang itu. Benar-benar amat mengherankan dan mengerikan. Seperti mayat-mayat hidup, tiga belas orang itu satu demi satu bangkit berdiri dengan gerakan kaku! Mereka itu benar-benar seperti mayat-mayat hidup dalam dongeng penakut kanak-kanak, muka mereka kehitaman, mata mereka melotot tak pemah berkedip, mulut mereka penuh busa, berlepotan di sekeliling bibir, napas mereka terengah-engah mengeluarkan suara “ngaak-ngiik” seperti napas orang menderita penyakit mengi. Kemudian, seperti ada sesuatu yang mendorong mereka dari belakang, tiga belas orang itu berlari kaku ke depan seperti orang berlumba, akan tetapi agaknya mereka lari secara ngawur, gerakan mereka kaku sekali dan arahnya tidak sama!

“He-he-hi-hi-hi...! Racunku menang, Ayah! Mengalahkan racun ular! Mari kita mengikuti mereka dan melihat!”

Anak berambut panjang itu bersorak dan meloncat, mengikuti “mayat-mayat hidup” yang lari berpencar tidak karuan itu. Ban-tok Coa-ong menggeleng-geleng kepala dan terpaksa mengikuti puteranya.

Untung bagi Kun Liong karena ayah dan anak yang agaknya berotak miring itu tidak memperhatikannya sehingga tidak melihat keanehan bahwa di antara empat belas orang itu, hanya Kun Liong seoranglah yang tidak terpengaruh oleh racun merah.

Melihat ayah dan anak itu pergi mengikuti para korban yang berubah mengerikan itu, Kun Liong menggunakan sisa tenaganya untuk merangkak pergi dari situ, memasuki semak-semak dan terus merangkak-rangkak karena dia tidak kuat bangkit. Jauh juga dia merangkak, dan akhimya dia roboh terguling, pingsan di dalam semak-semak yang gelap.

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: