*

*

Ads

FB

Senin, 19 September 2016

Petualang Asmara Jilid 018

Ban-tok Coa-ong adalah nama julukan yang diberikan oleh orang-orang kang-ouw kepada kakek itu. Namanya adalah Ouwyang Kok, seorang pendatang baru di dunia kang-ouw, akan tetapi biarpun baru kurang lebih sepuluh tahun dia terjun ke dunia kang-ouw, namanya telah dikenal sebagai seorang di antara para datuk persilatan yang ditakuti orang di waktu itu.

Tidak ada orang lain yang mengetahui asal-usulnya, akan tetapi kurang lebih sepuluh tahun yang lalu, manusia aneh ahli ular ini turun dari pegunungan yang asing dan tak pemah dikunjungi orang, di perbatasan Nepal, masuk ke Tiongkok menggendong seorang anak laki-laki yang berusia tiga tahun, kemudian membuat nama besar di dunia kang-ouw karena kepandaiannya yang amat tinggi dan sepak terjangnya yang aneh. Namun, keganasannya terhadap mereka yang menantangnya, dan keahliannya bermain dengan ular, menghasilkan nama julukan Ban-tok Coa-ong (Raja Ular Selaksa Racun)!

Anak yang dibawanya itu adalah putera tunggalnya, bemama Ouwyang Bouw yang semenjak kecil digemblengnya, namun karena cara hidup Ouwyang Kok tidak lumrah manusia dan penggemblengan terhadap anaknya pun terlalu hebat, maka anak itu memiliki watak yang aneh pula, seperti seorang yang agak miring otaknya!

Ibu anak itu, isteri tercinta dari Ouwyang Kok, telah meninggal dunia di sebuah di antara puncak-puncak Pegunungan Nepal, tewas digigit ular beracun yang amat luar biasa sehingga tidak tertolong. Agaknya peristiwa inilah yang membuat Ouwyang Kok kini menjadi seorang “Raja Ular”!

Kini anak dan ayahnya itu berlari-lari sambil tertawa-tawa menyaksikan ulah para korban yang lari seperti mayat hidup. Suara tertawa mereka makin menjadi ketika mereka melihat beberapa orang di antara para korban yang lari kaku itu terjerumus ke dalam jurang, dan ada pula yang menabrak pohon terus memeluk pohon itu dan mati kaku dalam keadaan memeluk batang pohon, kedua kakinya melingkari batang pohon, sepuluh jari tangan mencengkeram pohon dan mulutnya menggigit kulit pohon. Mengerikan!

Ada pula dua orang di antara tiga belas orang dusun yang roboh ke dalam jurang dan menabrak pohon, setelah beberapa orang lagi raboh karena kakinya tersangkut akar kayu, roboh terus mencengkeram rumput-rumput dan mati dalam keadaan seperti itu. Dua orang ini adalah Akian dan kepala dusun. Agaknya mereka berdua memiliki tubuh yang lebih kuat maka dapat berlari kaku dan belum roboh. Kebetulan sekali mereka lari sejurusan, yaitu ke jurusan dusun mereka! Mungkin juga masih ada sedikit sisa ingatan mereka untuk lari pulang ke dusun mereka.

Ketika mereka tiba di luar dusun, beberapa orang penduduk dusun yang merasa khawatir dan siap menyusul ke hutan, dapat berlari menyambut dua orang itu. Setelah dekat mereka itu berdiri bengong dan penuh rasa heran dan ngeri melihat betapa kepala dusun dan Akian berlari kaku seperti itu, muka mereka biru kehitaman mata terbelalak tanpa berkedip dan kemerahan, mulut menyeringai penuh busa putih!

Keadaan menjadi geger dan terdengar jerit-jerit mengerikan ketika dua orang mayat hidup ini menubruk dan memeluk dua orang yang terdekat. Karena kaget dan heran, dua orang itu tidak sempat mengelak ketika mereka dipeluk oleh dua orang mayat hidup itu.

Mereka hendak meronta, akan tetapi seluruh tubuh merasa panas, dan ketika jari-jari tangan mencengkeram mereka, ketika gigi yang kini mengandung racun itu menggigit leher, mereka berdua menjerit-jerit, jerit yang makin melemah dan akhimya mereka berdua roboh terguling bersama mayat hidup yang menyerang mereka, tewas dalam keadaan masih dalam berpelukan.






“Ha-ha-ha-ho-ho, lucu sekali...!”

“Hi-hi-hi, hebat bukan jarum-jarumku, Ayah?”

Para penduduk dusun terbelalak memandang ayah dan anak yang tahu-tahu telah berada di situ sambil tertawa-tawa. Melihat keadaan mereka, dan melihat peristiwa mengerikan yang menimpa diri kepala dusun, Akian, dan dua orang teman mereka yang menjadi korban, mereka menjadi ketakutan dan serta merta mereka melarikan diri masuk ke dalam dusun, menyeret keluarga mereka yang berada di luar rumah, memasuki rumah masing-masing, menutup pintu dan saling berpelukan dengan anak isteri dalam keadaan ketakutan sekali, kedua kaki mereka menggigil dan mata mereka terbelalak lebar seperti mata kelinci-kelinci yang mencium bau harimau, mata mereka memandang ke arah pintu dan muka mereka pucat sekali.

Akan tetapi, agaknya Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok dan puteranya sudah merasa puas, mereka bergandengan tangan dan pergi meninggalkan dusun itu. Tadinya mereka hanya berjalan dengan langkah perlahan, akan tetapi lambat laun gerakan mereka makin cepat dan akhimya mereka itu bergerak seperti terbang saja!

Setelah lama menanti dan mengintai sampai berjam-jam dan merasa yakin bahwa siluman-siluman itu sudah tidak berada di luar dusun, barulah penduduk berani keluar dan berindap-indap berbondong-bondong karena mereka membutuhkan semua teman untuk memberanikan diri, mereka keluar dari dusun.

Biarpun hati mereka merasa ngeri sekali, terpaksa mereka mengurus jenazah Akian dan kepala dusun bersama dua orang penduduk yang menjadi korban mereka, bahkan mereka memberanikan diri untuk mencari ke dalam hutan. Hanya tujuh orang mereka temukan, dalam keadaan mengerikan. Ada yang mati dalam keadaan masih memeluk batang pohon, ada yang mencengkeram rumput!

Penuh rasa takut dan ngeri hati penduduk, namun mereka terpaksa mengangkut mayat-mayat itu ke dusun untuk diurus sebagaimana mestinya. Mayat empat orang lain tidak mereka temukan dan mereka tidak tahu ke mana perginya empat orang itu. Tentu saja mereka tidak tahu bahwa empat orang itu pun sudah menjadi mayat dengan tubuh remuk-remuk ketika mereka terjungkal ke dalam jurang.

Karena mereka tidak dapat menemukan Kun Liong, mereka menjadi curiga dan menghubung-hubungkan anak itu dengan siluman besar kecil yang mereka lihat di luar dusun. Timbul dugaan mereka bahwa anak yang tadinya datang sebagai penolong itu tentulah sebangsa siluman dan kedatangannya itu hanya pancingan belaka sehingga teman-temannya mendapatkan korban banyak orang!

Teringat akan ini, mereka menjadi penasaran sekali mengapa tidak mereka keroyok dan bunuh saja anak kecil yang datang secara aneh itu sehingga mereka dapat terbujuk, belasan orang ikut memasuki hutan menjadi korban.

Kun Liong merintih dan membuka matanya. Melihat daun semak-semak belukar menyelimuti dirinya, ia teringat dan seketika ia menghentikan rintihannya, menahan derita yang amat hebat, yaitu rasa gatal-gatal pada kepalanya. Ia bangkit duduk dan mengintai dari dalam semak-semak, melalui celah-celah antara daun-daun. Tidak tampak sesuatu. Hari sudah menjelang senja dan suasana di hutan itu sunyi sekali.

Kun Liong melupakan rasa gatal di kepalanya, lalu dengan hati-hati dia bangkit berdiri, keluar dari semak-semak, dan berindap-indap dia menuju ke tempat yang ditinggalkannya tadi. Sunyi di situ, dan tidak ada seorangpun, baik yang hidup maupun yang mati.

Semua penduduk dusun yang menjadi korban tadi tidak tampak lagi, dan kakek berjuluk Ban-tok Coa-ong yang mengerikan tadi pun tidak tampak lagi, demikian pula anak laki-laki berambut panjang yang melepas jarum.

Jarum! Teringat ini, Kun Liong meraba tengkuknya dan benar saja, di situ masih menancap sebatang jarum kecil, masuk ke dalam daging tengkuk sampai setengahnya. Cepat Kun Liong mencabut jarum itu, melihat jarum merah itu maklumlah dia bahwa jarum itu mengandung racun berbahaya. Dengan jijik dibuangnya jarum itu ke dalam semak-semak.

Ke mana perginya mereka? Rasa heran ini menambah gatal-gatal pada kepalanya dan Kun Lion tidak dapat nenahan lagi. Dengan kedua tangannya, digaruknya kepala yang amat gatal itu dan... dia terbelalak setelah mengeluarkan teriakan kaget, memandang rambut kepalanya yang kini berada di antara sepuluh jari tangannya! Begitu digaruk kepalanya, semua rambutnya tontok!

Diraba kepalanya, dan bagian yang ada rambutnya, begitu dipegang, rambut-rambutnya rontok semua seperti tanaman layu yang sudah membusuk akamya. Dengan mata masih terbelalak lebar dia mengelus-elus kepala dengan kedua tangannya. Kepalanya menjadi licin bersih, tidak ada selembar pun rambut yang masih tumbuh, semua rontok. Dirabanya alisnya. Masih lengkap. Hanya rambut di kepala saja yang rontok semua.

“Ahhh... tidaaaakkk...!”

Kun Liong berseru dan berlari-lari mencari air jernih. Setelah ia melihat air tergenang di bawah sebatang pohon, sisa air hujan kemarin, cepat dia berlutut dan melihat bayangannya sendiri. Matanya terpentang lebar dan dua titik air mata meloncat ke atas pipinya. Kepalanya sudah gundul pelontos! Lebih bersih daripada kepala seorang hwesio!

“Ahhhh... mengapa...?”

Dia meraba-raba kepala dengan tangan kanan, dan mengusap air mata dengan tangan kiri.

Tentu saja Kun Liong takkan mengerti karena peristiwa itu terjadi ketika dia masih pingsan, terjadi di dalam tubuhnya dan yang biarpun membawa akibat lenyapnya semua rambut kepala, akan tetapi sesungguhnya telah menyelamatkan nyawanya!

Di dalam tubuhnya terdapat semacam racun anti racun ular yang dicampur obat dan semenjak dia kecil, oleh ibunya seringkali diminumkannya. Ketika dia digigit ular sampai di tujuh tempat, racun ular tidak mampu melawan racun di tubuhnya, dan ular racun ular itu berkumpul saja di tempat gigitan.

Ketika Ouwyang Bouw, putera Bantok Coa-ong, menyambit tengkuknya dengan jarum merah sehingga racun jarum merah itu memasuki tubuhnya bertemulah tiga macam racun dan terjadi perang tanding antara tiga macam racun yang amat hebat.

Sudah menjadi kenyataan bahwa betapa pun jahatnya, racun bertemu racun cepat berubah sifatnya, dapat menjadi obat, dan ketika tiga macam racun itu bertemu di dalam tubuh Kun Liong berubah menjadi ramuan yang dahsyat, menjadi semacam obat kuat tiada taranya dan tiada seorang pun manusia yang tahu karena bertemu secara kebetulan, dengan ukuran yang tepat, atau terlalu keras sedikit sehingga akibatnya, rambut kepala Kun Liong rontok semua, akan tetapi tubuhnya terbebas sama sekali dari pengaruh racun, bahkan di luar tahunya, tercipta semacam kekuatan dahsyat di dalam tubuh anak ini!

Hanya sebentar saja Kun Liong dilanda kekagetan dan penyesalan akan kehilangan rambut kepalanya. Dia sudah bangkit lagi dan teringat betapa dia telah menimbulkan malapetaka kepada penduduk dusun, Kun Liong tidak berani kembali ke dusun. Apalagi rambut kepalanya sudah menjadi habis seperti itu. Dia lalu melarikan diri, meninggalkan hutan itu dan mengambil jurusan timur, tidak berani ke utara di mana terletak dusun itu. Dia melarikan diri berlawanan dengan matahari yang sudah condong ke barat.

Sambil berjalan secepat mungkin, pikirannya penuh dengan peristiwa yang telah dialaminya. Dia maklum bahwa Ban-tok Coa-ong adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian hebat sekali, jauh lebih lihai daripada kepandaian Loan Khi Tosu, memiliki watak yang lebih aneh lagi, aneh menyeramkan seperti orang gila!

Akan tetapi, kalau dia teringat akan ucapan kakek itu ketika membandingkan watak ular dan watak manusia, diam-diam dia menjadi bingung karena mau tidak mau dia harus membenarkan bahwa watak ular atau binatang apapun juga jauh lebih wajar dan bersih daripada watak manusia. Bahkan ketika barisan ular itu menyerang penduduk, mereka bergerak bukan karena memang memusuhi manusia, melainkan karena terpaksa oleh pengaruh bunyi terompet yang ditiup oleh seorang manusia pula! Bukan ular-ular itulah yang berniat membunuh manusia, melainkan manusia yang berjuluk Ban-tok Coa-ong itulah. Betapa kejamnya manusia! Betapa kejinya!

Dan betapa anehnya pengalaman berturut-turut yang menimpa dirinya. Mula-mula bertemu dengan tosu Pek-lian-kauw, itu sudah hebat. Disusul dengan pengalamannya dikeroyok penduduk yang hampir merenggut nyawanya ketika dia tanpa sengaja menimbulkan kebakaran, pengalaman yang lebih hebat lagi di mana hampir dia mati. Kemudian, dia bertemu dengan Ban-tok Coa-ong dan pengalaman ini benar-benar amat luar biasa dan dia sendiri tidak tahu mengapa dia masih dapat hidup sampai detik ini, dan hanya rambut-rambutnya yang rontok.

“Hemm, masih untung!” Kun Liong berkata dan hatinya yang tadi terasa berat karena memikirkan rambutnya habis, kini menjadi ringan. “Rambut bukan nyawa dan tanpa rambut aku masih hidup!”

Pengalaman-pengalaman itu mempertebal keyakinannya bahwa manusia menjadi kejam karena kekuatannya. Makin kuat manusia, makin kejamlah dia, makin sewenang-wenang karena merasa berkuasa. Kalau begitu, apakah lebih baik menjadi orang lemah dan tidak memiliki kepandaian?

Orang yang lemah hanya akan menjadi injakan yang kuat. Orang lemah mengalah karena tidak dapat melawan, dan yang demikian itu bukan mengalah namanya, melainkan pengecut. Yang kuat kejam, yang lemah pengecut! Pengecut demikian, kalau diberi kekuatan, diberi kekuasaan, tentu akan berubah menjadi orang kejam juga. Si kuat kejam dan si lemah pengecut tiada bedanya, keduanya adalah orang-orang yang belum mengenal dirinya, belum mengenal keadaan sebenarnya.

Biarpun masih kecil, Kun Liong sudah banyak dijejali pelajaran tentang hidup, banyak sudah membaca filsafat. Akan tetapi, karena dia masih kecil, maka dia belumlah terpengaruh benar oleh segala macam pelajaran kebatinan itu sehingga dia masih memiliki kebebasan, sehingga dia tidak menjiplak begitu saja melainkan membuka mata dan telinganya menghadapi kenyataan-kenyataan hidup yang dialaminya.

Pikiran-pikiran itu tidak membuat dia menjadi bingung dan berat sebelah. Dia melihat kenyataan bahwa tidak semua orang berkepandaian dan kuat mempunyai watak kejam. Ayahnya dan ibunya adalah orang-orang gagah perkasa yang berkepandaian tinggi, akan tetapi mereka tidaklah kejam, apalagi jahat!

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: