*

*

Ads

FB

Senin, 19 September 2016

Petualang Asmara Jilid 019

Dan penduduk dusun itu, terutama Kakek Lo dan Akian, biarpun mereka itu orang-orang biasa yang tidak memiliki ilmu kepandaian, tidak memiliki kekuatan, mereka itu tak boleh dikatakan pengecut karena mereka berani mengikutinya untuk menentang ular besar yang sebenarnya amat mereka takuti karena sudah banyak menjatuhkan korban. Ternyata bukan kekuatan atau kelemahan yang menentukan baik buruknya seseorang!

Pada keesokan harinya, setelah matahari naik tinggi, Kun Liong tiba di sebuah kampung nelayan, di tepi Sungai Huang-ho. Semalam dia kurang tidur, biarpun dia tidak melakukan perjalanan semalam suntuk, namun dia sukar dapat tidur pula karena gangguan kepalanya yang masih terasa gatal-gatal.

Dengan tubuh lelah, mata mengantuk, dan perut lapar sekali dia memasuki perkampungan nelayan. Dia harus mencari pengisi perutnya, kalau tidak, dia tidak akan dapat melanjutkan perjalanan. Ke mana dia akan pergi kelak bukan menjadi persoalan baginya. Ke mana saja, pokoknya tidak pulang ke Leng-kok. Apalagi setalah kini kepalanya menjadi gundul pelontos macam ini. Tentu ayahnya akan marah sekali, dan dia merasa malu. Dia ingin melanjutkan perjalanan, ke mana saja dan dia mulai merasa suka dengan cara hidup baru ini, sungguhpun dalam perantauan yang belum lama ini dia telah mengalami hal-hal yang membuat dia nyaris tewas.

Kun Liong mendekati sebuah perahu yang agak besar, melihat tiga orang nelayan sedang mempersiapkan jala dan alat-alat menangkap ikan lainnya. Melihat seorang anak laki-laki berkepala gundul pelontos yang sama sekali asing dan tak mereka kenal, tiga orang itu memandang penuh perhatian, kemudian seorang di antara mereka, yang kumisnya panjang, berkata dengan nada suara halus,

“Apakah Siauw-suhu (Guru Kecil) membutuhkan sedekah? Kami akan berangkat mencari ikan. Kalau Siauw-suhu suka mendoakan kami agar hari ini mendapatkan ikan banyak, aku akan mencarikan makanan untuk sedekah bagi Siauw-suhu.”

Kun Liong mengerutkan kedua alisnya. Hatinya terasa panas sekali. Dia disangka seorang hwesio kecil yang minta sedekah tunjangan makanan! Akan tetapi karena dia menganggap orang itu tidak berniat jahat, dan hanya berbuat karena kebodohannya, dia menjawab, suaranya tenang,

“Lopek (Paman Tua) telah membuat dua kesalahan dengan ucapan Lopek tadi.”

Melihat sikap yang tenang, kalimat yang teratur tidak seperti cara berbicara anak dusun, tiga orang nelayan itu makin tertarik dan makin keras dugaan mereka bahwa anak ini tentulah seorang pendeta kecil yang merantau. Akan tetapi, laki-laki setengah tua yang panjang kumis tadi, menjadi terheran dan bertanya,

“Dua kesalahan? Apa yang telah kulakukan?”

“Pertama, Lopek salah duga. Aku bukan seorang pendeta kecil dan tidak minta sedekah, tidak minta-minta walaupun saat ini perutku lapar sekali. Kesalahan Lopek yang ke dua lebih hebat lagi. Lopek suka memberi sedekah akan tetapi ditukar dengan doa agar mendapatkan banyak ikan, itu bukan sedekah namanya, melainkan jual beli mengharapkan keuntungan!”






Tiga orang nelayan itu terbelalak dan saling pandang dengan heran. Biarpun anak berkepala gundul polontos itu menyangkal dirinya seorang pendeta kecil, akan tetapi cara dia bercakap sungguh tidak seperti anak-anak dusun biasa! Si Kumis Panjang merasa terpukul dan malu karena dia seolah-olah mendapat teguran dari seorang anak kecil, maka dia berkata agak kasar,

“Kalau kau bukan hwesio kecil, engkau mau apa mendekati kami, bocah asing?”

“Aku ingin menawarkan tenagaku untuk bekerja membantu kalian.”

“Apa? Engkau minta pekerjaan kepada kami?” Tiga orang itu kembali saling pandang dan tersenyum lebar.

“Mengapa tidak?” Kun Liong berkata ketika melihat tiga orang itu agaknya mentertawakannya. “Aku lapar, sejak kemarin belum makan. Aku perlu mendapatkan makan, maka aku mau bekerja, sekedar mendapatkan makan.”

“Soal makanan adalah urusan kecil, akan tetapi pekerjaan kami bukanlah pekerjaan ringan, dan seorang bocah halus macam engkau ini...”

“Aku tidak takut akan pekerjaan berat. Harap Lopek suka menerimaku, Lopek takkan menyesal karena aku tidak mau menerima makanan cuma-cuma, ingin kutukar dengan bantuan tenagaku!”

Memang biasanya para nelayan itu membutuhkan bantuan kanak-kanak, pembantu yang tenaganya murah dan pekerjaannya hanya untuk membantu dan melayani mereka di waktu mereka sibuk menjala atau mengail ikan. Pekerjaan yang sebetulnya tidak berat benar, memasak air, menanak nasi untuk mereka, membantu dengan pembetulan jala jika ada yang robek, memasang umpan kail, mengumpulkan ikan dan di waktu mereka sibuk bekerja, menguasai perahu agar jangan terbawa ombak sungai.

Biarpun pekerjaan itu tidak berat bagi anak-anak nelayan, akan tetapi seorang anak yang belum pernah mengerjakannya akan merasa berat sekali, apalagi kalau dibuat mabok oleh air sungai yang kadang-kadang besar juga ombaknya.

“Bagaimana, akan kita ajakkah dia?” Seorang di antara mereka bertanya kepada dua orang temannya.

“Hemmm, boleh kita coba saja,” kata Si Kumis Panjang yang kemudian menoleh dan berkata kepada Kun Liong sambil tertawa, “Akan tetapi, kalau engkau nanti mabok dan tidak bisa bekerja, kami tidak akan memberi apa-apa kepadamu.”

“Tentu saja!” Kun Liong menjawab gagah. “Aku pun akan merasa malu untuk menerima makanan kalau aku tidak mampu bekerja!”

“Kalau begitu mari bantu kami!”

Kun Liong cepat naik ke atas perahu dan mulai melakukan pekerjaan seperti yang diperintahkan oleh tiga orang itu. Tubuhnya lemas, perutnya lapar sekali, akan tetapi dia merasa betapa tenaganya menjadi besar dan semua pekerjaan dapat dia lakukan dengan amat mudah. Tiga orang itu kembali saling pandang dan menjadi girang. Temyata bocah gundul itu tidak membual dan benar-benar suka dan rajin bekerja!

Setelah mereka siap, perahu didayung ke tengah, kemudian layar dikembangkan. Perahu nelayan itu meluncur ke tengah sungai yang amat lebar, meluncur cepat karena didorong oleh angin, mendahului air sungai yang mengalir. Si Kumis Panjang sambil tersenyum memberi roti kering dan air kepada Kun Liong. Anak yang kadang-kadang timbul keangkuhan dari kekerasan hatinya itu, menolak.

“Biarpun pekerajaanmu belum selesai karena kita belum kembali ke pantai, akan tetapi engkau tadi sudah membantu kami. Makanlah, anggap saja roti dan air ini upah bantuanmu tadi. Engkau kelihatan pucat, dan karena kita menghadapi pekerjaan berat sampai malam nanti, perutmu harus diisi lebih dulu.”

Ucapan ini membuat hati Kun Liong terasa ringan dan makanlah dia. Bukan main sedapnya roti itu. Bukan main segarnya air jernih dingin itu. Rasanya belum pernah dia makan roti seenak itu, atau air sesegar itu dan dia tahu bahwa bukan roti atau airnya yang mendatangkan rasa sedap, melainkan lapar dan hausnya!

Pendapat Kun Liong memang ada betulnya, akan tetapi tidak mutlak. Hidup akan selalu terasa bahagia dan nikmat apabila kita dapat menerima dan menghadapi segala sesuatu sebagaimana adanya, hidup dalam tiap detik yang dilaluinya, tidak terapung dalam keriangan masa lalu atau tenggelam dalam harapan masa datang.

Hidup adalah saat ini, sekarang ini, bukan kemarin dan bukan esok. Pikiran selalu mempermainkan kita, membentuk kenangan-kenangan masa lalu dengan segala suka-dukanya, membuat kita selalu mengejar kenangan, suka dan menjauhi kenangan duka, menciptakan corak dan bentuk hidup sekarang dan yang akan datang sehingga kita dibuatnya hidup seperti dalam kurungan yang dibuat oleh pikiran kita sendiri.

Hidup seperti itu membuat segala langkah kita tidak wajar lagi, melainkan langkah-langkah kita sudah ditentukan dan diatur berdasarkan pengalaman lalu, berdasarkan pengetahuan dan kepercayaan yang sudah terbentuk dalam pikiran kita. Keadaan seperti itu tidak memungkinkan kita bebas, tidak memungkinkan kita mempergunakan mata dan telinga seperti sewajarnya. Apa yang terpandang, apa yang terdengar, ditutup oleh pendapat dan prasangka oleh penilaian yang kesemuanya adalah pekerjaan pikiran, sehingga mata dan telinga kita tidak dapat melihat atau mendengar keadaan sebenamya dari yang dipandang dan didengar! Kalau kita memandang sesuatu, yang kita pandang sesungguhnya bukanlah itu atau dia, melainkan itu atau dia seperti yang terbayang dalam ingatan kita!

Demikian pula dengan makanan. Kalau kita menghadapi sesuatu, dalam hal makanan seperti pada saat itu, tanpa campur tangan si pikiran yang selalu dapat saja menciptakan kenang-kenangan akan makanan yang lezat-lezat, maka tidak ada lagi penilaian apakah makanan yang kita hadapi itu mahal atau murah, berharga atau tidak, dan tanpa adanya gangguan pikiran ini, semua makanan, apapun juga macamnya, asal itu memenuhi syarat sebagai makanan pengusir lapar dan penguat tubuh, akan terasa enak!

Karena itulah, pendapat Kun Liong bahwa yang membuat makanan terasa enak adalah lapar, hanya benar sebagian saja, karena betapapun laparnya, kalau dia makan dengan pikiran mengenangkan hal-hal lain, seperti mengenangkan masakan lezat, memikirkan dan mengenangkan kedukaan dan lain-lain, belum tentu roti sederhana dan air biasa itu akan terasa enak seperti yang dirasakannya pada saat itu!

Ternyata kemudian oleh Kun Liong betapa pekerjaan di atas perahu yang kelihatan ringan itu terasa amat berat olehnya, karena tidak biasa! Agak pening juga kepalanya ketika perahu itu dipermainkan ombak sungai yang cukup besar sehingga teroleng ke kanan kiri.

Akan tetapi, dengan tekad teguh Kun Liong bekerja dengan penuh semangat, sedikitpun tidak pernah mengeluh sehingga memuaskan hati tiga orang nelayan itu. Yang lebih menggirangkan hati para nelayan itu adalah baru hari itu mereka mengalami nasib yang demikian baiknya sehingga sebelum tengah malam, perahu mereka telah penuh dengan hasil pekerjaan mereka, ikan-ikan yang besar dan dari mutu terbaik!

Tentu saja sebagai orang orang yang sudah menebal kepercayaannya akan tahyul, kemujuran ini mereka hubungkan dengan kehadiran Kun Liong, yang biarpun temyata bukan pendeta, namun memiliki “hok-gi’ (kemujuran) besar dan di samping itu juga amat rajin bekerja, terlalu rajin dan terlalu aneh bagi seorang pendatang baru!

Biasanya, sampai semalam suntuk mereka mencari ikan, dan kalau selama sehari semalam itu mereka mendapatkan ikan sebanyak setengah perahu saja mereka sudah merasa beruntung. Sekarang, belum lewat tengah malam, mereka telah kembali ke pantai dengan perahu penuh ikan terbaik!

Dengan sikap manis mereka lalu mengajak Kun Liong bermalam di rumah mereka, memberinya makan sekenyangnya, bahkan Si Kumis Panjang membelikan setelan pakaian baru untuknya. Di samping ini, pada keesokan harinya ketika mereka menjual hasil mereka semalam ke pasar, mereka menceritakan dengan panambahan bumbu-bumbu tahyul, bahwa mereka telah kedatangan seorang bintang penolong, seorang pembawa rezeki, seorang “anak ajaib”! Cerita ini cepat tersiar dan sebentar saja nama Kun Liong sebagai “anak ajaib” dikenal orang sedusun!

Segala bentuk penonjolan yang biasa disebut hasil atau kemajuan pribadi seseorang, selalu menimbulkan persoalan-persoalan yang lebih meyusahkan daripada menyenangkan. Orang yang berhasil memperoleh sesuatu yang dicita-citakan, biasanya hasil itu tidaklah senikmat ketika dibayangkannya dan ketika belum tercapai tangan, sedangkan hasil atau kemajuan itu yang sudah jelas menimbulkan iri kepada orang lain sehingga terciptalah pertentangan dan permusuhan!

Karena itu, segala bentuk cita-cita, sesungguhnya hanyalah lamunan orang yang tidak mau menghadapi keadaan sekarang, orang yang ingin lari dari kenyataan saat ini dan bersembunyi di balik lamunan yang dibentuk oleh pikiran, membangun istana awang-awang yang disebutnya cita-cita! Karena cita-cita ini hanya merupakan istana asap di awang-awang, maka apabila sudah tercapai, akan membuyar dan mengecewakan sehingga memaksa si orang yang selalu merasa enggan melihat dan menghadapi kenyataan “saat ini” untuk melamun lagi, dipermainkan pikiran yang pandai sekali mengkhayalkan bayangan-bayangan indah masa depan.

Karena itu, berbahagialah orang yang selalu sadar dan dengan penuh kewaspadaan menghadapi “saat ini” dengan pikiran bebas dari segala ingatan masa lalu harapan masa depan dan menghadapi segala apa yang ada saat ini sebagaimana adanya, dengan kewajaran yang tidak dibuat-buat atau dipaksakan, tanpa rencana dan tanpa pendapat, tanpa penilaian, sehingga apa pun yang dihadapinya merupakan sebuah pengalaman yang baru!

Sudah tentu saja yang dimaksudkan adalah hal-hal mengenai urusan batin, bukan hal-hal lahir seperti pekerjaan dan lain-lain yang sudah semestinya dipergunakan akal budi dan pikiran supaya dapat dikerjakan dengan baik dan lancar. Akan tetapi mengenai hubungan antara manusia yang menyangkut rasa dan batin, jika tidak kosong bebas, maka hubungan itu sudah tentu menimbulkan pertentangan karena di sebelah dalam kita sudah terjadi pertentangan yang ditimbulkan oleh pikiran.

Melihat dan mendengar sesuatu dengan pikiran bebas dari segala ikatan, penilaian, pendapat, mengawasi dengan penuh kewaspadaan terhadap sesuatu di saat ini dan terhadap tanggapan kita sendiri akan sesuatu itu, dengan demikian kita belajar mengenal diri sendiri. Mengenal diri sendiri adalah langkah pertama ke arah kebijaksanaan.

Kun Liong seolah-olah dijadikan rebutan di antara para nelayan, setelah tersiar dongeng tentang dirinya yang penuh keanehan, dibujuk dan ditawari upah tinggi dan hadiah-hadiah berharga. Namun, semua itu ditolak oleh Kun Liong yang sebetulnya sama sekali tidak berniat menjadi nelayan dan tidak ingin bekerja di tempat itu untuk selamanya. Kalau dia membantu tiga orang nelayan yang dipimpin oleh Si Kumis Panjang itu karena pada waktu itu dia membutuhkan makan dan ingin menukar makanan dengan tenaga bantuannya. Bahkan setelah membantu selama tiga hari, dia sudah mulai merasa bosan dan ingin pergi melanjutkan perjalanan dan perantauannya yang tidak bertujuan dan tidak mempunyai arah tertentu.

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: