*

*

Ads

FB

Rabu, 21 September 2016

Petualang Asmara Jilid 021

Ketika Kun Liong melihat ke depan, Matanya terbelalak dan mukanya menjadi agak pucat. Dia melihat betapa sungai memuntahkan aimya dari arah kiri, membanjir dan air yang masuk ke sungai itu berwama coklat kemerahan, amat keruh. Dia harus membawa perahunya ke pinggir. Namun terlambat. Arus sudah demikian kuatnya sehingga betapa pun dia mendayung perahunya agar minggir, perahu itu masih terseret ke dalam dan akhirnya disambar oleh air bah ketika tiba di tempat pertemuan antara anak sungai dan sungai itu.

Kun Liong berusaha mengatur keseimbangan perahunya, namun tenaga air yang menyeret perahunya terlalu besar, gelombang terlalu hebat dan dia berteriak keras ketika perahunya terguling dan dia sendiri terlempar ke dalam air!

Kun Liong gelagapan, cepat dia menahan napas dan menggerakkan kakinya. Tubuhnya timbul ke permukaan air, melihat perahunya tadi telah pecah, agaknya terbanting pada batu karang. Melihat sepotong papan pecahan perahu di dekatnya, Kun Liong segera menyambarnya dan berpegang erat-erat pada papan itu. Arus air bukan main derasnya, dan gelombang amat besar sehingga dia tidak dapat berdaya apa-apa kecuali bergantung pada papan yang membawanya hanyut cepat sekali.

Entah berapa lamanya dia hanyut itu, dia sendiri tidak ingat lagi. Akan tetapi setelah hari hampir senja, air sungai tidak sehebat tadi gelombangnya, sungguhpun arusnya masih kuat. Sudah hampir sehari dia hanyut! Kun Liong berusaha untuk berenang ke pinggir sambil berpegang pada papan itu. Namun usahanya gagal. Arus masih terlalu kuat, apalagi dibebani papan itu, tak mungkin dia dapat melawan arus berenang ke pinggir. Untung sedikit banyak dia dapat berenang, kalau tidak, tentu dia akan celaka!

Setelah tiba di bagian yang airnya tidak bergelombang lagi, hanya arusnya masih agak kuat, Kun Liong mencari akal. Dia melepaskan papan yang dianggapnya telah menyelamatkan nyawanya tadi, kemudian menyelam. Niatnya hendak berenang ke pinggir sambil menyelam, tentu di bawah arus tidak sekuat di permukaan.

Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika dia sudah menyelam sampai ke dasar sungai, arus di bawah makin kuat! Dia terseret dan melihat benda putih di dekat kakinya, disangkanya batu karang maka cepat dia menangkap benda yang putih itu dan berpegang kuat-kuat.

Akan tetapi, “batu karang” itu jebol dan dia terbawa hanyut. Dalam kepanikannya, dia masih merangkul batu itu sambil menendang-nendangkan kedua kakinya sehingga tubuhnya mumbul lagi dan timbul di permukaan air. Dia gelagapan dan menyemburkan air dari mulut. Banyak juga air terminum olehnya tadi. Kalau tidak tertolong, dia tentu tewas sekarang, pikirnya.

“Tolooonggg...!”

Tanpa disadarinya lagi, dia berteriak dengan sekuat tenaga, kemudian menggerakkan kaki tangan agar tidak tenggelam, terpaksa membiarkan tubuhnya terseret dan hanyut. Masih tak disadarinya bahwa lengan kirinya tetap saja memeluk “batu karang” putih tadi!

Dia hanyut memperhatikan ke sekeliling dan alangkah girangnya ketika tiba-tiba tampak sebuah perahu tak jauh dari situ.

“Pegang tali ini...!!”

Dia mendengar orang berteriak dan melihat seorang laki-laki tua melempar tali sambil berdiri membungkuk di pinggir perahu. Seorang anak perempuan dengan mata terbelalak memandang dan agaknya anak itu khawatir sekali, dia berpegang pada ujung baju di belakang tubuh kakek tua, telunjuknya menuding ke arah Kun Liong yang sudah berhasil menyambar dan memegang tali dengan tangan kanannya.






Kakek itu memandang Kun Liong yang berpegang pada tali dengan muka penuh keheranan, apalagi ketika dia melihat benda yang berada dalam pelukan lengan kiri anak itu.

“Heiiii! Engkau ini bocah luar biasa sekali! Bagaimana engkau bisa berada di tengah sungai dan apa yang kau bawa itu?”

Hati Kun Liong mendongkol. Kakek yang luar biasa masih mengatakan dia yang luar biasa. Masa menolong orang, belum juga orangnya naik sudah menghujaninya dengan pertanyaan-pertanyaan. Dan dia baru teringat bahwa batu dari dasar sungai tadi masih dipeluknya!

“Naikkan aku dulu, baru kita bicara!” katanya marah. “Dan batu ini...”

Tiba-tiba dia terbelalak dan tidak melanjutkan kata-katanya karena ketika dia melirik ke arah batu yang sudah hampir dilemparkannya itu, dia mendapat kenyataan bahwa batu itu sama sekali bukan batu, melainkan sebuah benda yang aneh, agaknya sebuah bokor atau tempat abu, terbuat dari benda mengkilap kuning dan dihias batu-batu putih yang berkilauan!

“Kakek yang baik, tolong naikkan aku dulu!” kembali dia berkata dan tiba-tiba tubuhnya melayang ke atas dan sebuah tangan yang kuat menyambutnya dari udara dan dia diturunkan dengan tenang oleh kakek itu.

Kiranya kakek itu bukan orang sembarangan! Dia tidak ditarik naik seperti biasa, melainkan dilontarkan ke atas dengan renggutan kuat sekali sehingga tubuhnya terlempar ke atas.

Mereka saling pandang penuh perhatian. Bagi Kun Liong, tidak ada apa-apa yang aneh pada diri kakek itu dan anak perempuan yang berdiri dengan matanya yang terbelalak itu.

Seorang kakek yang usianya tentu ada enam puluh tahun, tubuhnya tinggi tegap dan nampaknya kuat. Pakaiannya sederhana sekali, bahkan membayangkan kemiskinan, seperti pakaian nelayan-nelayan miskin, tidak bersepatu pula! Rambutnya sudah banyak putihnya, disatukan menjadi gelung kecil di atas kepala, jenggot dan kumisnya juga kelabu dan pendek, tidak terpelihara. Akan tetapi gerak-gerik kakek ini, dan caranya menaikkan Kun Liong ke perahu, jelas membuktikan bahwa kakek ini bukan seorang nelayan biasa.

Adapun anak perempuan itu manis sekali, rambutnya hitam dan gemuk panjang, dikepang dua, akan tetapi angin membuat rambutnya awut-awutan menambah manis. Pakaiannya juga sederhana dan kakinya tidak bersepatu.

Kakek itu menggeleng-geleng kepala, seolah-olah masih tidak mau percaya dengan pandang matanya sendiri.

“Heran... ajaib... engkau siapakah, Nak?”

“Namaku Yap Kun Liong, tadinya aku berperahu, perahuku pecah dan aku terguling ke dalam air, hanyut sampai hampir satu hari lamanya. Untung di sini engkau dapat menyelamatkan aku, Kek. Siapakah engkau dan mengapa tidak takut berperahu di tempat berbahaya ini?”

“Aku Kakek Yo, orang menyebutku Yo-lokui (Setan Tua Yo) dan ini cucuku bernama Yo Bi Kiok.”

“Kun Liong, Kong-kong (Kakek) memang tinggal di daerah ini dan sudah biasa berperahu, tidak aneh kalau kami berperahu di sini. Akan tetapi engkau, seorang diri berperahu di tempat ini yang ditakuti orang, kau hanyut sehari masih hidup dan membawa benda itu, benar-benar engkau seorang yang aneh sekali!”

“Bokor itu... dari mana engkau mendapatkannya?”

Kakek itu bertanya sambil memandang kagum. Sekilas pandang saja ia tahu bahwa benda itu terbuat dari emas murni dan hiasannya adalah batu-batu kemala putih yang amat berharga!

“Ah, ini? Aku menyelam untuk membebaskan diri dari gelombang dan arus, malah terseret arus di bawah yang amat kuat. Aku berpegang pada batu karang dan temyata batu itu adalah benda inilah. Aku sendiri tidak tahu benda apa ini, akan tetapi sungguh indah...”

“Coba aku melihat sebentar,” kakek itu berkata.

Kun Liong menyerahkan benda itu dan selagi Yo-lokui memeriksa bokor itu, Kun Liong duduk di atas papan berhadapan dengan Bi Kiok, menatap wajah anak perempuan itu yang memandangnya dengan mata lebar dan jeli bersinar-sinar dan bibir anak itu tersenyum.

“Bi Kiok, engkau manis sekali!” Kun Liong berkata dengan tulus.

Sepasang mata itu makin melebar, senyumnya makin manis dan Bi Kiok menjawab,
“Kun Liong engkau... lucu sekali!”

Agak tersinggung hati Kun Liong. Dia dianggap apakah? Masa dikatakan lucu? Akan tetapi dia melanjutkan,

“Engkau memang manis, terutama sekali rambutmu dan matamu.”

“Dan engkau memang amat lucu, terutama sekali kepalamu.”

Kedua pipi Kun Liong menjadi merah dan ingin dia menampar anak itu kalau tidak ingat bahwa anak itu adalah cucu Yo-lokui yang telah menyelamatkannya dan bahwa anak itu adalah seorang perempuan. Akan tetapi, disinggung kepalanya, dia lalu membuang muka dan cemberut, tidak lagi mempedulikan Bi Kiok dan memandang kakek yang agaknya menjadi arca memandang kepada bokor di kedua tangannya.

“Bagaimana, Kek? Berhargakah benda yang kutemukan itu?”

Kakek itu membalikkan tubuh memandang Kun Liong, mukanya berubah sungguh-sungguh, dan dia berkata dengan suara gemetar.

“Berharga? Aihhh, anak baik. Engkau telah menemukan pusaka yang tak ternilai harganya!”

“Hemm... pusaka? Apa sih harganya benda kuno seperti itu? Hanya mengkilap dan bagus dipandang, akan tetapi tidak dapat mengenyangkan perutku.”

“Ah, laparkah engkau, Kun Liong?” tiba-tiba Bi Kiok bertanya.

Kemarahannya terhadap anak itu masih mengganjal di dalam perutnya, maka cepat-cepat Kun Liong menggeleng kepalanya dan menjawab dingin,

“Tidak!”

“Tadi kau bilang...”

“Bi Kiok, perlukah bertanya lagi? Dia hanyut di sungai sehari lamanya dan kau masih bertanya apakah dia lapar?”

Kakek itu mencela cucunya dan diam-diam dia memandang Kun Liong penuh perhatian. Maklumlah dia bahwa anak laki-laki ini bukan bocah sembarangan, bukan anak dusun yang bermain-main dengan perahu dan hanyut. Sikapnya jauh berbeda, dan kata-katanya menunjukkan bekas pendidikan orang pandai.

“Yap-kongcu, pakaianmu basah semua, engkau tentu lelah dan lapar. Marilah ikut bersama kami. Ketua kami tentu akan girang sekali melibat bokor ini, dan akan memberimu apa saja sebagai penukarannya. Engkau telah menemukan harta yang tak ternilai harganya dan yang sudah bertahun-tahun dicari oleh ketua kami.”

Kun Liong mengerutkan alisnya.
“Apakah sesungguhnya bokor ini, Kek? Apanya yang berharga?”

“Kalau hanya dinilai dari emas dan batu kemalanya saja, sudah cukup membuat orang kaya. Akan tetapi bukan itulah sebabnya. Lihat, Kongcu, lihat melalui celah tutupnya ini.”

Kun Liong menerima bokor itu dan mengintai melalui celah penutup bokor yang terbuka sedikit. Dia melihat corat-coret seperti huruf-huruf dan goresan-goresan di sebelah dalam. Karena dari celah itu tidak mungkin melihat jelas, apalagi membaca huruf-hurufnya, Kun Liong hendak membuka penutup bokor, ternyata tutup itu melekat kuat sekali seolah-olah menjadi satu dengan bokornya! Kakek itu mencegah,

“Tak mungkin dibuka oleh yang tidak mengetahui rahasianya, Yap-kongcu. Ketua kami tentu mengetahui rahasia untuk membukanya. Ketahuilah, kalau aku tidak salah menduga, bokor inilah yang oleh ketua kami dicari-cari selama bertahun-tahun. Entah sudah berapa ratus kali kami bergantian menyelam dan mencari namun selalu tanpa hasil. Siapa kira, engkau yang tidak sengaja mencari, malah berhasil menemukannya. Benar-benar yang dinamakan jodoh tak dapat ditolak oleh manusia!”

Kakek itu mendayung perahunya dan Kun Liong tidak berkeberatan diajak oleh kakek penolongnya itu. Akan tetapi ucapan kakek itu membuat dia duduk bengong memandangi bokor yang dipangkunya. Ah, tentu sebuah pusaka kuno yang amat langka, pikirnya.

“Kakek yang baik, apakah engkau tahu akan asal-usul bokor ini?”

Kakek itu menghela napas panjang sebelum menjawab, kemudian sambil tetap mendayung perahunya, dia berkata perlahan,

“Yap-kongcu, keadaan ini sungguh luar biasa anehnya. Selama bertahun-tahun, kami semua menutup mulut dan bokor ini tidak pernah disebut-sebut, sungguhpun kami tak pemah berhenti mencarinya. Orang luar sama sekali tidak tahu akan bokor ini dan kami dilarang untuk menceritakannya kepada siapa saja dengan ancaman hukuman mati! Akan tetapi, karena engkaulah orang yang kebetulan menemukan bokor ini, agaknya engkau berhak untuk mengetahui riwayatnya. Tentu saja kalau dugaanku betul bahwa bokor inilah yang kami cari selama ini. Yang dapat memastikan aseli dan tidaknya hanyalah ketua kami, satu-satunya orang yang pernah melihat bokor ini.”

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: