*

*

Ads

FB

Rabu, 21 September 2016

Petualang Asmara Jilid 027

“Huh! Palsu! Air mata palsu! Perempuan rendah tak tahu malu! Kau menikmatinya, ya? Kalau engkau lebih suka tidur dengan bajingan itu, kenapa kau tadi tidak ikut saja dengan dia?”

Wanita itu menjerit,
“Apaaa...?!! Kau... kau… kau tega berkata demikian? Suamiku, aku… aku terpaksa melakukannya untuk menolong nyawamu!”

Wanita itu kini menghentikan tangisnya dan memandang suaminya penuh rasa penasaran.

“Hemm, alasan kosong! Memang kau sudah tergila-gila kepadanya! Kau kira aku tuli? Kau kira aku tak tahu betapa engkau menikmatinya? Betapa engkau merasa puas dengan dia? Perempuan rendah pelacur dan hina...!!”

“Suamiku...!!”

Wanita itu menubruk dan merangkul suaminya, akan tetapi kembali suaminya mendorong, bahkan menampar pipi isterinya dengan keras.

“Plakkk!! Jangan dekati aku! Jangan sentuh aku dengan tubuhmu yang ternoda, yang kotor dan hina! Kau pergi sana ikut dengan siucai gila yang menjadi kekasihmu itu!!”

Wanita itu bangkit perlahan, tampak perubahan dalam sikapnya dan pandang matanya. Dia bangkit berdiri, tidak mempedulikan pakaiannya yang lebih banyak terbuka daripada tertutup itu, kemudian terdengar suaranya, masih bercampur isak tetapi bernada dingin,

“Cihhh! Laki-laki tak tahu diri! Baik, dengarkan sekarang, buka telingamu lebar-lebar seperti tadi, buka matamu lebar-lebar seperti ketika engkau menonton tadi! Aku menikmatinya, memang! Nah, habislah! Aku lebih puas dengan dia daripada dengan engkau! Sudah cukupkah? Masih kurang puas? Aku lebih suka ikut dengan dia kalau saja dia mau, daripada ikut dengan engkau manusia tak tahu diri, tak kenal budi. Cihhh! Aku muak melihatmu, dan aku tidak sudi lagi berdekatan denganmu!” Tiba-tiba wanita itu meloncat keluar dari perahu.

“Byuuurrr...!”

Air muncrat tinggi dan dengan mata terbelalak Kun Liong melihat betapa tubuh itu disambar air yang mengalir agak kuat di tempat itu, lalu tenggelam. Tubuhnya terlalu lelah, dadanya sesak dan sakit-sakit sehingga dia merasa tidak kuasa menolong wanita itu. Dia mengharapkan Si Suami akan menolong isterinya maka dia menoleh kepada laki-laki yang berdiri bengong di pinggir perahu.

“Isteriku…! Di mana engkau…? Apa yang telah kau lakukan ini? Isteriku, maafkanlah aku… aku berdosa padamu, aku... aku cinta padamu...! Jangan tinggalkan aku…!” Dan Gui-kauwsu itu pun moloncat keluar dari perahu.

“Byuuur…!”

Untuk kedua kalinya air sungai muncrat ke atas dan dengan mata terbelalak lebar Kun Liong melihat betapa guru silat itu gelagapan dan tenggelam. Ternyata guru silat itu, seperti juga isterinya, sama sekali tidak pandai renang! Lupa akan keadaan dirinya sendiri, Kun Liong meloncat keluar dari perahu.






Akan tetapi dia pun gelagapan karena arus air amat deras, dan tenaganya amat lemah. Pula, ketika dia mencari-cari dengan matanya, dia tidak dapat melihat lagi tubuh kedua orang itu. Terpaksa dia berenang kembali ke perahunya dan dengan amat susah payah, akhirnya dapat juga dia naik ke perahunya. Dia masih menggunakan sisa tenaganya untuk mendayung perahu, mencari-cari tubuh suami isteri itu, akan tetapi sama sekali tidak tampak.

Dalam keadaan setengah pingsan karena peristiwa hebat itu dan karena kehabisan tenaga ditambah luka oleh pukulan di lambungnya tadi, Kun Liong rebah di perahu, membiarkan perahu hanyut perlahan-lahan, akhimya dia tidak bergerak-gerak lagi, setengah tidur setengah pingsan!

Anak ini mengalami ketegangan hati hebat ketika menyaksikan peristiwa di perahu tadi. Dia benar-benar tidak mengerti akan sikap orang-orang dewasa itu. Mengapa siucai itu melakukan perbuatan yang begitu hina? Dan mengapa isteri guru silat itu membiarkan dirinya diperkosa, bahkan menawarkan dirinya!

Benarkah untuk menyelamatkan suaminya? Dan yang paling aneh baginya yang membuat dia bingung sekali, adalah sikap Gui-kauwsu sendiri. Tadi Gui-kauwsu membela isterinya mati-matian terhadap penghinaan Ouw-siucai, kemudian melihat isterinya diperkosa siucai itu, timbul kebenciannya sehingga dia menampar dan mengusir, memaki dan menghina isterinya.

Setelah isterinya nekat membunuh diri dengan terjun ke sungai, dia yang tidak pandai berenang nekat pula terjun dan mengaku cinta! Mengapa orang-orang dewasa itu bersikap seperti itu? Dan isteri kauwsu itu benarkah lebih suka kepada Si Siucai? Ataukah hanya untuk membalas perlakuan suaminya? Apakah isteri itu pun mencinta suaminya? Dia benar-benar tidak mengerti dan dalam tidur setengah pingsan itu, wajah suami isteri dan siucai itu ganti berganti mengganggunya, menjadi muka yang amat besar, tanpa tubuh, menakutkan sekali.

Cinta terlalu halus untuk dapat dimengerti pikiran manusia yang kasar, terlalu tinggi untuk dicapai pikiran yang rendah dan terlalu dalam untuk dijajaki pikiran yang dangkal. Pikiran yang berputar sekitar sayang diri, demi aku, untuk aku, tak mungkin dapat mengerti cinta yang bersih daripada kepentingan diri tanpa pamrih itu.

Gui-kauwsu ingin menguasai isterinya lahir batin, memonopoli isterinya lahir batin dan menganggap hal ini sebagai perasaan cintanya terhadap isterinya. Keinginan menguasai dan memiliki lahir batin ini tentu saja menimbulkan iri jika melihat isterinya menoleh kepada orang lain dan menimbulkan cemburu, bahkan menimbulkan benci!

Adakah iri itu cinta? Adakah cemburu itu cinta? Adakah benci itu cinta? Adakah cinta mendatangkan derita? Hanya pengejaran dan pemuasan nafsulah yang akan mendatangkan derita. Keinginan menguasai dan memiliki lahir batin terhadap sesuatu, benda maupun manusia, berarti mengundang datangnya derita sengsara, pertentangan dan penyesalan.

Memang, berhasil menguasai dan memiliki sesuatu atau seseorang, dapat mendatangkan rasa puas, akan tetapi kepuasan nafsu keinginan ini hanya seperti angin lalu karena keinginan itu selalu didorong oleh pengejaran akan sesuatu yang lebih indah. Kalau sudah didapat, tentu akan lepas dari pengejaran dan perhatian, karena keinginan sudah mencari lagi ke depan untuk mendapatkan yang lebih indah lagi!

Pada keesokan harinya, setelah sinar matahari naik tinggi, Kun Liong bangun dari tidurnya. Dadanya masih terasa sakit sedikit, akan tetapi tenaganya sudah agak pulih. Melihat betapa perahunya berhenti, dia cepat melihat ke depan dan ternyata dia telah tiba di daerah yang berbatu-batu. Sungai menjadi lebar sekali, akan tetapi batu-batu itu menonjol ke permukaan air. Perahunya tertahan oleh sebaris batu dan untung saja terdampar di situ, tidak terbentur keras dan pecah.

Ketika dia berdiri di pinggir perahu, tiba-tiba dia membelalakkan mata melihat sesuatu tersangkut pada batu tak jauh dari situ. Tadinya dia mengira seekor ikan besar yang mati, akan tetapi setelah matanya terbiasa, dia hampir berteriak saking kagetnya. Yang dilihatnya itu adalah mayat isteri Gui-kauwsu! Hanya sebagian muka, rambutnya, dan perutnya yang tampak, perut yang mengembung besar sehingga kelihatan seperti perut ikan, putih bersih. Mayat yang telanjang bulat!

Kun Liong mengejap-ngejapkan matanya, ingin mengusir penglihatan itu. Ketika dia memandang ke kanan kiri, hampir dia terpekik lagi melihat sesosok mayat lain, juga terdampar dan tersangkut batu. Mayat Gui-kauwsu sendiri, mukanya tidak tampak akan tetapi dia dapat mengenal celana hitam baju putih dan sarung pedang di punggung mayat yang tertelungkup itu!

Kun Liong menghela napas panjang penuh kengerian. Sudah dia duga bahwa tentu suami isteri itu akan tewas melihat betapa mereka tidak pandai renang dan arus sungai yang dalam itu amat derasnya. Perahunya tersangkut dan agaknya bocor. Seorang diri saja tak mungkin dia dapat mengambil dua jenazah itu untuk dikuburkan ke darat. Dia tidak dapat berbuat apa-apa, bahkan harus meninggalkan perahu yang tersangkut dan terjepit ini.

Dia teringat akan bokor di bawah perahu. Sayang kalau dibiarkan begitu saja. Bokor itu amat penting dan menjadi rebutan orang-orang di dunia kang-ouw. Kalau kelak dia bawa pulang dan dia serahkan ayahnya, siapa tahu bokor itu akan agak meredakan kemarahan ayahnya. Dengan hati-hati dia lalu turun ke air, mengumpulkan napas, menyelam dan meraba-raba. Bokor itu masih ada, terikat di bawah perahu. Dilepaskannya ikatan itu dan dibawanya bokor meninggalkan perahu, berenang dari batu ke batu, sampai akhimya dia tiba di darat yang berbatu-batu.

Pandang matanya tertarik kepada sebuah batu besar di tepi sungai dan tak terasa dia meraba kepalanya. Batu itu besar dan halus, bentuknya seperti kepalanya! Dihampirinya batu itu dan diraba-rabanya. Benar-benar batu yang halus dan besar sekali, dikelilingi batu-batu yang tidak sebesar batu kepala itu. Ketika dia meraba-raba ini, dia menemukan sebuah lubang terhimpit di antara batu-batu dan segera dia memasukkan bokor ke dalam lubang ini.

Lubang itu dalam sekali dan begitu bokor dimasukkan, benda itu meluncur dan hilang! Sama sekali tidak tampak dari luar dan betapapun Kun Liong merogoh ke dalam lubang, jari tangannya tidak dapat mencapainya. Hatinya menjadi girang. Benda itu tersimpan dengan aman dan hanya kalau batu berbentuk kepalanya itu didorong roboh, bokor itu dapat ditemukan. Akan tetapi siapakah orangnya yang akan mendorong batu besar itu? Pula, siapakah yang akan kuat mendorong batu sebesar itu? Agaknya akan membutuhkan tenaga sedikitnya belasan orang kuat!

Hatinya meniadi ringan. Benda itulah yang selama ini membuat hatinya berat dan setelah benda itu disimpan di tempat aman, dia dapat melanjutkan perjalanannya tanpa khawatir terlibat dalam perebutan bokor emas. Sejenak dia memandang ke sekeliling sampai dia yakin benar kelak akan dapat mengenali tempat ini.

Mudah mengenalinya. Bentuk pegunungan di utara itu, pemandangan di seberang yang penuh pohon-pohon raksasa, sungai yang penuh batu-batu menonjol dan belokan sungai di depan itu. Apalagi dengan adanya batu yang berbentuk kepala gundulnya ini, dia tidak akan dapat melupakan tempat ini, dan dia pasti kelak akan mengingat tempat persembunyian bokor emas!

Mulailah Kun Liong melanjutkan perjalanannya ke timur, menyusuri sepanjang pantai sungai. Di dalam kantungnya masih terdapat sisa-sisa uang upah perahu. Sayang bahwa tiga orang penumpangnya itu tidak membayarnya sepeser pun, bahkan yang dua orang sudah mati dan yang seorang lagi? Teringat akan siucai gila itu, meremang bulu tengkuknya.

Sungguh banyak berkeliaran orang berilmu tinggi di dunia ini, namun mengapa setiap orang berilmu tinggi yang dijumpainya demikian jahat dan kejam? Pertama-tama Loan Khi Tosu, tosu Pek-lian-kauw yang membunuh orang tanpa berkedip mata. Kemudlan Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok dengan puteranya, Ouwyang Bouw yang mengerikan dan yang ilmunya jauh lebih tinggi daripada tosu Pek-lian-kauw itu. Setelah itu Si Siucai gila yang menyeramkan! Dia harus berhati-hati. Ternyata perantauannya membawanya kepada bahaya yang beberapa kali nyaris merenggut nyawanya.

Kun Liong tersenyum seorang diri. Betapa ibunya akan terbelalak dan ayahnya akan menggeleng-geleng kepala kalau melihat dia seperti sekarang ini. Dia dapat membayangkan keheranan hati ayah bundanya itu. Kun Liong tertawa dan meraba kepalanya. Dapatkah ibunya menyembuhkan kepalanya sehingga dapat tumbuh rambut kembali? Aha! Tentu ayah dan ibunya akan mengira dia sudah menjadi hwesio! Kenangan akan ayah bundanya dan akan lucunya kalau mereka melihat dia membuat Kun Liong merasa gembira dan dia berloncatan di atas batu-batu besar yang berserakan di tepi sungai.

Tiba-tiba dia menyelinap dan bertiarap, bersembunyi di balik batu-batu besar ketika dia melihat tiga orang laki-laki muncul dari balik pohon-pohon di tepi sungai. Yang seorang bertubuh tinggi besar seperti raksasa, mukanya licin tidak berambut dan sebatang pedang tergantung di punggungnya. Orang ke dua brewok dan kelihatan galak sekali, pakaiannya kasar seperti orang pertama, bahkan tidak berlengan, dan di pinggangnya tergantung ruyung berduri yang menyeramkan. Orang ke tiga masih muda, juga bajunya tidak berlengan dan punggungnya tergantung sebuah golok.

“Benarkah dia lewat disini?” tanya Si Brewok kepada yang termuda.

“Benar, aku sudah mengikutinya sejak kemarin. Dia tertukar keledai dan membawa buntalan yang berat.” kata yang muda.

“Seorang tosu mempunyai apa sih?” tanya Si Tinggi Besar.

“Aihhh, lupakan dulu urusan merampok!” Si Brewok menegur. “Kita sedang menanti datangnya utusan yang akan membawa uang tebusan.”

“Masa seorang tosu?”

“Mungkin saja! Kalau bukan utusan, masa seorang tosu menunggang keledai siang malam, bertukar keledai, menginap di hotel, dan membawa bungkusan besar?” kata yang muda. “Nah, itu dia...!” sambungnya sambil menuding ketika dia menoleh ke belakang. Tiga orang itu dengan gerakan cepat sekali berlompatan sudah menyelinap dan sembunyi di belakang pohon-pohon.

Kun Liong juga mengintai dari balik batu-batu dan melihat seorang kakek tua menunggang seekor keledai perlahan-lahan menuju ke tempat itu. Di depan kakek itu, di punggung keledai, tampak buntalan besar dan berat, sedangkan di punggung kakek itu pun tergendong sebuah buntalan kain.

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: