*

*

Ads

FB

Rabu, 21 September 2016

Petualang Asmara Jilid 028

Jantung Kun Liong berdebar penuh ketegangan. Dia merasa kasihan kepada kakek itu, yang pakaiannya longgar seperti pakaian seorang tosu. Ingin dia berteriak memperingatkan, akan tetapi tiga orang tadi berada di antara dia dan tosu itu. Untuk lari menyambut juga tidak mungkin, tentu didahului mereka. Akan tetapi kakek yang dikhawatirkan itu mulai bemyanyi dengan suara lantang!

“Mengerti akan orang lain adalah bijaksana
mengerti akan diri sendiri adalah waspada
mengalahkan orang lain adalah kuat
mengalahkan diri sendiri lebih gagah perkasa!

Kata-kata yang benar tidaklah manis
kata-kata yang manis belum tentu benar
yang baik tidak akan berbantah
yang berbantah belum tentu baik!”

Kun Liong mengenal sajak yang dinyanyikan itu. Yang pertama adalah ayat ke tiga puluh tiga dan yang ke dua ayat ke delapan puluh satu dari kitab To-tik-keng, diambil bagian depannya saja. Pada saat itu, tosu tua ini sudah tiba dekat dan tiba-tiba muncullah tiga orang tadi! Mereka langsung mengurung dan Si Brewok sudah mendekat dan memegang tali di hidung keledai.

“Siancai…, Sam-wi-sicu (Tiga Orang Gagah) siapakah dan mengapa menghentikan pinto (saya)?”

Tosu itu bertanya setelah mengangkat sepasang alisnya tanda keheranan dan kekagetan.

“Tak perlu banyak cakap lagi, turunlah dan ikut dengan kami!” Si Brewok membentak.

“Siancai...! Pinto adalah seorang tua yang tidak mempunyai urusan apa-apa, yang hidup dengan tenang dan damai, tak pernah berbuat kesalahan kepada siapapun juga, apalagi kepada Sam-wi yang tidak pinto kenal...”

“Ha-ha-ha, kakek ini selain pandai menyanyi juga pandai berceloteh!” Si Tinggi Besar berkata sambil tertawa-tawa.

“Aihhhh...” Tosu itu menggeleng kepala. “Yang dicari belum ketemu, sekarang timbul kesulitan baru lagi!”

Mendengar ini, Si Brewok girang dan cepat berkata,
“Totiang tentu akan dapat bertemu dengan yang dicari asal membawa tebusan cukup. Dan marilah ikut dengan kami.”

“Apa? Pinto tidak mengerti...”

Si Brewok agaknya kehilangan kesabarannya. Dipegangnya lengan kanan kakek itu dan ditariknya, hendak dipaksa turun.

“Eh-eh-eh, mengapa ditarik-tarik? Engkau sungguh tidak menghormati orang yang sudah tua!”






Kemarahan dan rasa penasaran di dalam hati Kun Liong tak dapat ditahan lagi dan dia sudah meloncat keluar dari balik batu, lari menghampiri dan berkata marah kepada tiga orang yang memandang kepadanya dengan terheran-heran itu.

“Sam-wi bertiga kelihatannya adalah orang-orang gagah yang berkepandaian tinggi! Akan tetapi siapa kira, ternyata sekarang Sam-wi mengganggu seorang kakek yang lemah dan tidak bersalah apa-apa. Apakah Sam-wi (Tuan Bertiga) tidak merasa malu?”

“Bocah gundul, kau muncul seperti setan. Siapa engkau?” bentak Si Brewok heran.

“Dia tentu mata-mata yang sejak tadi bersembunyi!” kata temannya yang muda.

“Ah, siapa lagi kalau bukan kaki tangan kakek ini?” kata yang tinggi besar.

“Tangkap saja mereka berdua!” Si Brewok membentak. “Hayo kalian ikut bersama kami! Ataukah kami harus rnenggunakan senjata?”

Dia sudah melepas ruyungnya dan mengancam kepada kakek itu. Juga Si Tinggi Besar telah melolos pedangnya ditodongkan ke dada Kun Liong, sedangkan orang yang termuda memegang kendali keledai dan menuntunnya.

Kakek itu hanya menggeleng-geleng kepala dan memandang Kun Liong sambil tersenyum.

“Anak yang baik, mari kita ikut saja agar dapat melihat bagaimana kesudahan urusan aneh ini. Naiklah ke sini, anak baik, di belakangku.”

Kun Liong menggeleng kepala.
“Keledai itu sudah terlalu tersiksa oleh muatan yang berat, aku berjalan kaki saja, Totiang.”

“Hayo jalan, jangan banyak mengobrol”

Si Tinggi Besar mendorong pundak Kun Liong dan pedangnya tetap ditodongkan di lambung anak itu. Hal ini membuat Kun Liong mendongkol sekali dan dia mendorong pedang itu ke samping sambil berkata,

“Aku tidak bersalah apa-apa. Aku mau ikut sudah baik. Perlu apa ditodong-todong?”

Pedang itu terdorong miring dan Si Tinggi Besar kelihatan terkejut dan marah, sudah membuat gerakan hendak menyerang. Akan tetapi Si Brewok membentak dan melarangnya. Bergeraklah rombongan aneh ini menuju ke sebuah bukit yang tampak dari situ.

Kakek itu tertawa dan melorot turun dari atas punggung keledai, berjalan dekat Kun Liong.

“Anak baik, engkau membuat pinto malu. Memang keledai itu sudah cukup menderita. Biarlah pinto jalan kaki saja.”

Kun Liong hanya tersenyum dan melangkah perlahan dengan kepala menunduk. Sungguh sial, pikirnya. Di mana-mana bertemu dengan orang-orang yang menggunakan kekerasan dan kekuasaan menekan orang lain! Di mana-mana dia bertemu dengan halangan, dan karena membela kakek tua yang lemah ini, dia ikut pula menjadi tawanan. Entah golongan apa tiga orang yang menangkap dia dan kakek itu, dan entah urusan apa yang membuat kakek itu ditangkap.

Dia selalu terlibat dengan urusan lain yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan dia sendiri. Apakah selama ini dia terlalu lancang dan usil? Apakah selanjutnya dia harus diam saja melihat segala sesuatu yang terjadi pada lain orang dan yang tidak ada hubungannya dengan dirinya? Ah, tak mungkin. Mana bisa dia diam saja menyaksikan hal yang menimbulkan rasa penasaran? Melihat seorang kakek tua renta yang lemah ini diganggu tiga orang yang kelihatan gagah itu, bagaimana dia harus diam saja di tempat persembunyiannya!

“Tidak mungkin!” Kun Liong lupa diri dan kata-kata ini terlompat keluar dari mulutnya.

“Apa yang tidak mungkin?”

Si Tinggi Besar membentak. Orang termuda itu berjalan di depan menuntun kendali keledai, Kun Liong di sebelah kakek itu berjalan di tengah dan Si Brewok bersama Si Tinggi Besar paling belakang.

Ternyata perjalanan itu cukup jauh, keluar masuk hutan dan mendaki bukit yang bentuknya seperti sebuah mangkuk menelungkup. Ada tiga jam mereka berjalan dan akhimya, ketika mendaki sampai di lereng dan membelok melalui sebuah tebing, tampaklah tembok-tembok bangunan di dekat puncak. Bangunan-bangunan itu dikelilingi pagar tembok yang cukup tinggi dan di luar pagar tembok sudah tampak para penjaga dengan pakaian seragam kuning, bukan seragam tentara melainkan seragam perkumpulan silat.

Setelah rombongan ini tiba dekat pintu gerbang pagar tembok, tampaklah oleh Kun Liong bahwa para penjaga itu merupakan pasukan-pasukan panah, tombak, dan golok. Mereka berlari berjajar dengan rapi dan hanya mata mereka yang bergerak memandang penuh perhatian ke arah kakek dan Kun Liong, tubuh mereka sama sekali tidak bergerak, tetap berdiri dalam keadaan siaga!

Ketika dua orang tawanan ini dibawa masuk melalui pintu gerbang pagar tembok, tampaklah oleh Kun Liong pasukan-pasukan lain berderet-deret. Ada pasukan ruyung, pasukan pedang, dan kesemuanya berbaris rapi. Kini dia dapat menduga bahwa tiga orang yang menangkapnya itu tentulah merupakan tokoh-tokoh dari pasukan ruyung, yaitu Si Brewok, Si Tinggi Besar tentu dari pasukan pedang, dan yang termuda itu dari pasukan golok.

Kakek itu melangkah sambil menoleh ke kanan kiri, agaknya terheran-heran, dan akhirnya dia berkata perlahan,

“Siancai… tempat apakah ini? Seperti benteng dan dijaga pasukan-pasukan. Apakah pinto menjadi tangkapan pasukan asing?”

“Jangan bicara ngawur, Totiang!” Si Brewok membentak. “Engkau menjadi tamu dari Ui-hong-pang!”

“Heh? Ui-hong-pang (Perkumpulan Burung Hong Kuning)? Apa itu?”

Kakek itu membuka matanya lebar-lebar, juga Kun Liong tidak mengenal nama perkumpulan ini. Akan tetapi dia makin curiga dan khawatir. Kalau dia dan kakek lemah itu terancam bahaya di tempat yang terjaga kuat ini, harapan untuk lolos sungguh tidak ada sama sekali!

“Kita ini mau diapakan, Totiang?”

Kun Liong berbisik, akan tetapi suaranya sama sekali tidak mengandung ketakutan, hanya keheranan. Kakek itu menunduk dan memandang, kemudian bertanya,

“Engkau takut, Nak?”

Kun Liong menggeleng kepala kuat-kuat dan menjawab,
“Aku tidak bersalah apa-apa terhadap siapa juga, mengapa takut?”

Diam sejenak dan mereka melangkah terus memasuki sebuah bangunan yang terbesar.

“Kau… dari kuil mana?” Tiba-tiba tosu tua itu bertanya.

Kun Liong mengerutkan alisnya dan memandang kakek itu dengan hati penasaran. Dengan suara yang agak dingin dia menjawab,

“Aku bukan seorang hwesio!”

“Sssstt, tidak boleh bicara lagi. Kita menghadap Pangcu!” bentak Si Brewok ketika mereka memasuki sebuah ruangan yang luas di tengah bangunan itu.

Juga di dalam bangunan itu terjaga oleh pasukan pengawal seragam. Setiap lorong dan pintu terjaga kuat dan setelah mereka menghampiri seorang laki-laki gagah yang duduk di atas sebuah kursi kuning, di situ terdapat beberapa orang yang tidak seragam pakaiannya, dan agaknya mereka ini adalah pembantu-pembantu dan pengawal-pengawal pribadi Si Ketua Perkumpulan itu.

Kun Liong memandang ke arah ketua penuh perhatian. Dia seorang laki-laki yang bertubuh tinggi besar, berwajah gagah, usianya tiga puluh tahun lebih dan pakaiannya serba kuning akan tetapi warna kuningnya lebih tua daripada warna kuning seragam anak buah pasukannya. Berbeda dengan sikap tiga orang anak buahnya yang menangkap kakek dan Kun Liong, ketua ini tersenyum ramah ketika menerima mereka.

“Duduklah, Totiang, dan engkau juga, saudara kecil!” katanya dengan suara lantang sambil menuding ke arah beberapa buah kursi kosong di depannya.

“Terima kasih,” kakek itu menjura dan duduk, sedangkan Kun Liong tanpa berkata apa-apa juga mengambil tempat duduk di dekat kakek itu.

“Siapakah nama Totiang?” Ketua itu kembali bertanya dengan suara ramah.

“Eh, nama pinto...? Pinto tidak bernama, hanya disebut orang Bu Beng Tosu,” jawab kakek itu.

“Sungguh tidak kami sangka mereka akan mengirim seorang tosu untuk menjadi utusan menyambut anak itu. Apakah Totiang sudah membawa tebusannya?”

“Menyambut anak? Utusan? Tebusan? Apakah artinya ini? Sungguh pinto tidak mengerti.”

“Agaknya Cuwi telah salah menangkap orang!”

Kun Liong berkata, suaranya nyaring dan dia memandang ketua itu dengan sinar mata penuh ketabahan.

Ketua itu mengerutkan alisnya dan menoleh kepada Si Brewok, membentak,
“Apa artinya ini? Siapa kakek dan bocah ini?”

Si Brewok menjadi pucat.
“Maaf, Pangcu. Sikapnya mencurigakan, dia beruang dan melakukan perjalanan seorang diri lewat di tempat yang telah ditentukan, membawa buntalan-buntalan besar. Kami mengira dialah utusan itu.”

“Bodoh! Lekas periksa buntalannya!”

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: