*

*

Ads

FB

Rabu, 21 September 2016

Petualang Asmara Jilid 029

“Sudah diperiksa, Pangcu!”

Tiba-tiba Si Tinggi Besar yang baru saja masuk menjawab dan berdiri tegak seperti sikap seorang perajurit menghadap komandannya.

“Apa isi bungkusannya? Emas dan perak?”

“Bu... bukan... Pangcu...”

“Habis, apa isinya?”

“Batu-batu karang dan akar-akaran!”

“Plakkk!” Ketua itu menepuk ujung kursinya dengan marah. “Sialan! Apa yang kalian lakukan?”

“Harap Pangcu maafkan. Kami telah salah menangkap, dan kami akan melakukan penjagaan lagi di sana. Akan tetapi... mereka... mereka itu…?”

“Pergi menjaga! Sekali lagi kalian keliru menangkap orang akan kuhajar! Biarkan mereka di sini. Pergi kalian bertiga!!” Si Brewok dan dua orang temannya pergi seperti anjing-anjing dibentak.

Ketua ini kini menoleh ke arah kakek itu dan bertanya,
“Mengapa kebetulan sekali Totiang lewat di tempat ini dan untuk apa semua batu dan akar itu?”

“Aihhh, pinto adalah seorang yang hidup dari menjual bahan-bahan obat. Batu-batu itu dapat dipergunakan sebagai bubuk obat, dan itu adalah bahan campuran obat pembersih darah. Pinto sedang mencari telur kura-kura hitam yang kabarnya banyak terdapat di pantai Sungai Huang-ho, telur belum dapat malah pinto ditangkap.”

“Hemmm... dan kau, bocah gundul? Apakah engkau murid tukang obat ini?”

Kun Liong sudah mengerutkan alisnya, kelihatan marah sekali disebut gundul! Setelah kepalanya gundul pelontos, temyata sebutan gundul merupakan sebutan yang amat menyakitkan hatinya, karena mengingatkan dia akan keadaannya yang tidak menyenangkan itu. Akan tetapi sebelum dia melontarkan jawaban yang keras, tosu itu sudah mendahuluinya menjawab,

“Benar, Pangcu. Dia adalah murid pinto yang keras hati dan bandel.”

Kun Liong menoleh dan memandang kakek itu, dan tiba-tiba dia sadar akan keadaan dirinya. Memang dia keras hati. Kalau dia menuruti kemarahannya dan mengeluarkan kata-kata keras dan tidak enak terhadap ketua ini, bukan hanya dia seorang yang akan menderita hukuman, juga kakek yang tidak berdosa itu akan terbawa-bawa. Maka dia menahan kemarahannya dan menggigit bibir, tidak mengeluarkan suara.

“Kalian memang tidak bersalah dan anak buah kami kesalahan menangkap orang. Akan tetapi karena kalian sudah terlanjur masuk ke sini, sebelum urusan ini beres kalian akan kami tahan.”






“Akan tetapi...” tosu itu membantah.

“Tidak ada tapi! Haii, pengawal! Antarkan mereka ini masuk ke kamar tahanan biar mereka berdua menemani anak perempuan itu!”

Empat orang pengawal sudah maju dan menggunakan tombak mereka untuk menggiring tosu dan Kun Liong pergi dari situ, ke sebuah bangunan lain yang kokoh dan kuat dan akhirnya mereka didorong masuk ke dalam sebuah kamar empat meter persegi, kosong dan hanya ada beberapa helai tikar dan di dalamnya terdapat seorang anak perempuan yang usianya kurang lebih delapan tahun, bersikap tenang dan cantik, berpakaian indah seperti puteri bangsawan, akan tetapi yang amat mencolok adalah sikapnya yang penuh ketenangan itu.

Dengan sepasang matanya yang lebar ia memandang Kun Liong dan tosu yang didorong masuk ke dalam kamar tahanannya, kemudian pintu kamar tahanan yang terbuat dari baja dan di atasnya terdapat ruji baja itu ditutup kembali dan dikunci dari luar. Dari lubang-lubang ruji tampak kepala para penjaga yang tertutup kain kuning, dan ujung-ujung tombak mereka.

Anak perempuan itu tetap di atas lantai, matanya memandang Kun Liong dan kakek itu bergantian, penuh perhatian.

“Engkau siapakah?”

Kun Liong bertanya dan diam-diam dia mendapat kenyataan bahwa anak perempuan ini pandai duduk seperti cara orang bersamadhi, bersila dan punggungnya lurus tegak.

Anak perempuan itu menggerakkan kepala menoleh kepadanya, gerakan kepalanya begitu tiba-tiba sehingga rambutnya yang panjang dan dikuncir dua buah itu seperti dua ekor ular hiam bergerak.

“Engkau siapa? Dan kakek ini siapa? Mengapa kalian dijebloskan di sini?” Anak perempuan itu balas bertanya, suaranya mengandung keangkuhan dan kekerasan.

Seketika berkerut sepasang alis tebal Kun Liong.
“Sombong engkau, ya?” katanya tak senang.

Akan tetapi gadis cilik itu sama sekali tidak mempedulikannya dan kini membuang muka, memandang kepada Si Kakek Tua yang telah duduk di depannya dengan sikap tenang.

“Anak baik kulihat tulang pahamu yang kanan patah, akan tetapi sudah disambung, apakah sudah baik?”

Anak perempuan itu melirik ke arah kaki kanannya yang sama sekali tidak kelihatan karena tertutup pakaiannya, juga tidak ada tanda-tanda bahwa dia menderita sakit.

“Totiang, engkau awas sekali!” serunya kagum.

“Pinto adalah seorang yang biasa mengobati tulang patah, tentu saja tahu. Coba kuperiksa sebentar!”

Anak perempuan itu mengangguk dan kakek itu lalu meraba paha kanan anak itu, kemudian mengangguk-angguk.

“Sambungannya sudah benar, hanya obat penguatnya kurang manjur. Tulang kakimu sudah tersambung, akan tetapi engkau tidak boleh banyak bergerak dulu sedikitnya dua pekan engkau tidak boleh menggunakan kakimu secara kuat.”

Kemarahan Kun Liong atas kekasaran dan kesombongan anak perempuan itu lenyap sama sekali, terganti oleh rasa iba ketika mendapat kenyataan bahwa anak ltu menderita tulang paha patah. Sudah ditawan, menderita luka pula!

“Aihhh, siapakah yang begitu kejam mematahkan tulang kakimu?” tanyanya dan sekarang anak perempuan itu menjawab.

“Aku berusaha melawan. Aku sanggup menghajar tikus-tikus penculik itu seorang demi seorang kalau saja mereka tidak mengeroyok secara curang dan Si Brewok itu memukul patah pahaku dengan ruyungnya.”

Kun Liong mengepal tinju.
“Sudah kusangka, Si Brewok, Si Tinggi Besar dan temannya itu bukan manusia baik-baik!”

“Siapakah engkau, Nona? Dan mengapa engkau diculik?” tosu itu bertanya dengan suara sungguh-sungguh. Mereka bertiga duduk di atas tikar yang tergelar di lantai.

“Aku Souw Li Hwa dan ayahku bernama Souw Bun Hok, tinggal di Lok-ek-tung. Ketika aku sedang bermain-main seorang diri dengan perahu di Sungai Huang-Ho, mereka menyergap dan menculik aku. Menurut keterangan mereka, aku ditahan sampai orang tuaku datang menebusku dengan seribu tail perak. Sudah dua pekan aku ditahan di sini.”

Kakek itu mengangguk-angguk.
“Sungguh mengherankan sekali. Sepanjang pengetahuanku, Ui-hong-pang bukanlah kaum penculik anak-anak!”

Ucapan ini dikeluarkan dengan lirih, akan tetapi Kun Liong yang mendengarnya menjadi heran karena kata-kata itu membuktikan bahwa tosu tua ini telah mengenal Ui-hong-pang! Mengapa ketika ditangkap pura-pura tidak mengenal perkumpulan itu?

“Apakah ayahmu dapat menebusmu dengan uang sebanyak itu?”

Kun Liong bertanya dengan hati penasaran. Kembali dia menghadapi perbuatan manusia yang jahat!

Gadis cilik yang bernama Souw Li Hwa itu menggeleng kepalanya.
“Mana mungkin ayahku menebus dengan uang sebanyak itu? Ayah hanya bekas juru mudi saja yang sekarang sudah mengundurkan diri karena tua, dan selama bekerja, Ayah tidak pemah mengumpulkan uang haram!”

Kun Liong kaget sekali dan kini mengertilah dia mengapa anak itu demikian angkuh, kiranya keturunan orang yang hebat.

“Wah, ayahmu hebat!” Dia memuji.

“Memang, akan tetapi ayahku tidak akan dapat menolongku. Biarpun begitu, aku tidak khawatir. Aku percaya bahwa Suhu tentu akan membebaskan aku, dan kalau Suhu sampai turun tangan sendiri, tikus-tikus itu tentu akan dibasmi habis sampai ke akarnya!”

“Siapa sih gurumu?” tanya Kun Liong.

“Nama guruku tidak boleh disebut-sebut. Tikus-tikus itu yang melihat aku melakukan perlawanan, juga menanyakan nama Suhu, akan tetapi sampai mati aku tidak akan menyebut namanya. Ketua tikus-tikus Ui-hong-pang itu mengatakan sudah tahu siapa guruku, akan tetapi aku tidak percaya!”

Tosu tua yang sejak tadi mendengarkan saja, lalu memegang tangan anak perempuan itu dan bertanya halus.

“Nona kecil, apakah suhumu she The?”

Anak itu berteriak heran.
“Bagaimana Totiang bisa menduga?”

“Benarkah?”

Anak itu mengangguk.

Tosu itu menarik napas panjang.
“Aihhh, pantas saja kalau begitu, engkau diculik bukan karena ayahmu melainkan karena suhumu.”

“Bagaimana Totiang tahu? Apakah Totiang mengenal suhuku?”

Kun Liong juga memandang kakek itu dengan penuh keheranan. Kakek itu kembali menarik napas panjang dan mengangguk perlahan.

“Sungguh kebetulan sekali kejadian ini... siapa kira aku akan bertemu dengan engkau. Tentu saja aku mengenal suhumu, Nona. Dan karena engkau murid The-taiciangkun (Panglima Besar The), maka Ui-hong-pang menculikmu. Kalau pinto tidak salah dengar, pangcu dari perkumpulan ini adalah murid Kwi-eng Niocu (Nona Bayangan Hantu) Ang Hwi Nio, Majikan Telaga Siluman. Tentu pangcu itu membela gurunya yang menaruh dendam terhadap gurumu.”

“Mengapa Totiang?”

“Ketika suhumu dahulu sebagai panglima besar mengadakan pembersihan, membasmi golongan sesat dan jahat, ayah Si Bayangan Hantu roboh dan tewas di tangan gurumu yang sakti. Tentu saja wanita iblis itu menaruh dendam, dan untuk membalas secara langsung kepada The-taiciangkun adalah tidak mungkin, maka dia melalui muridnya membalas dendam dengan jalan menculikmu. Mungkin hal ini dilakukan untuk memancing agar gurumu datang ke sini.”

“Tikus-tikus tak tahu diri!” Li Hwa berseru, “Kalau Suhu datang, mereka tentu akan mampus semua!”

Tosu itu menarik napas panjang dan menggeleng kepala.
“Mungkin begitu, akan tetapi juga belum tentu gurumu mengotorkan tangan menghadapi mereka ini. Setelah pinto secara kebetulan lewat di sini, biarlah pinto yang mewakilinya. Marilah, Nona, dan kau juga muridku, mari kita keluar dari sini.”

“Ehhh...?” Kun Liong berseru heran.

Tosu itu mengira bahwa Kun Liong tidak suka menjadi muridnya, maka dia bertanya,
“Apakah kau tidak mau menjadi muridku? Aku sudah terlanjur mengakuimu.”

“Teecu suka, akan tetapi… bagaimana kita dapat keluar dari sini, Suhu?”

Tosu itu tertawa, kemudian mengelus kepala yang gundul itu.
“Muridku yang baik sekali, siapa namamu?”

“Teecu bernama Yap Kun Liong…”

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: