*

*

Ads

FB

Senin, 26 September 2016

Petualang Asmara Jilid 031

Kakek itu tertawa sambil mengelus jengotnya.
“Siancai…! Anak-anak sekarang benar-benar bermata tajam sekali. Eh, Nona Li Hwa, bagaimana engkau bisa menduga bahwa pinto adalah Bun Hwat Tosu?”

“Suhu pemah menyatakan bahwa di antara sahabat-sahabat beliau yang memiliki kesaktian tinggi adalah seorang tua yang bersenjata sebatang tongkat terbuat dari akar kayu cendana dan berukirkan kepala naga. Ketika tadi Locianpwe menyebut kayu cendana dan kepala naga, maka tahulah teecu.”

“Ha-ha-ha, engkau memang cerdik, patut menjadi murid yang mulia The-taiciangkun! Gurumu terlalu memuji pinto. Beliau sendiri adalah seorang ahli silat yang tinggi sekali ilmunya, seorang ahli sastra yang jarang tandingannya, seorang ahli perang yang jempolan dan seorang pemimpin besar armada yang luas pengetahuannya. Mana mungkin pinto yang bodoh sederhana dapat dibandingkan dengan dia? Nah, Nona kecil yang baik, apakah sekarang engkau dapat pulang sendiri ke Liok-ek-tung?”

Li Hwa mengangguk.
“Liok-ek-tung tidak jauh lagi dari sini, Locianpwe. Harap Locianpwe sudi singgah di rumahku, agar kedua orang tuaku dapat menghaturkan terima kasih kepada Locianpwe yang sudah menolongku, dan apabila mungkin dapat bertemu dengan Suhu...”

Kakek itu menggeleng kepalanya.
“Tidak perlu, tidak perlu... dan tentang pertemuan dengan gurumu, kelak tentu akan tiba saatnya pinto menghadap yang mulia. Nah, pulanglah agar orang tuamu berlega hati.”

Sekali lagi Li Hwa mengangguk-anggukkan kepalanya di depan kaki kakek itu.
“Teecu menghaturkan terima kasih dan bermohon diri.”

Li Hwa bangkit berdiri, mengerling kepada Kun Liong.

“Selamat jalan, Adik Li Hwa! Jangan lupa kepadaku, ya!”

Li Hwa tersenyum, memandang kepala Kun Liong yang licin mengkilap.
“Mana bisa aku melupakan itu?” dia menuding.

Kun Liong juga tertawa dan meraba kepalanya.
“Mengapa ragu-ragu? Katakan saja kepalaku, kepala gundul buruk!”

“Tidak buruk, bahkan kelihatan bersih sekali. Yang banyak rambutnya mungkin malah penuh kutu, hi-hik!”

Li Hwa tertawa, Kun Liong tertawa dan keduanya saling pandang seperti dua orang sahabat lama. Setelah menjura sekali lagi kepada Bun Hwat Tosu, Li Hwa lalu meloncat dan berlarian menuju ke kota Liok-ek-tung di timur.






Setelah bayangan anak perempuan itu lenyap di balik pohon-pohon, Bun Hwat Tosu memandang Kun Liong dan bertanya,

“Kun Liong, bagaimana engkau bisa tahu bahwa Bun Hwat Tosu adalah Ketua Hoa-san-pai?”

“Nama Suhu dihormati dan dipuji-puji oleh Ayah Bunda teecu.”

Kakek itu mengerutkan alisnya. Mendengar namanya dihormati dan dipuji-puji hatinya merasa tidak enak. Pujian sama bahayanya dengan musuh yang datang dari belakang, berbeda dengan kata-kata keras yang seperti musuh datang dari depan.

“Siapa nama ayahmu?”

“Ayah bernama Yap Cong San.”

Akan tetapi Bun Hwat tidak mengenal nama ini.

“Ayah menjajarkan Suhu setingkat dengan Sukong Tiang Pek Hosiang.”

Kini kakek itu mengangkat kedua alisnya.
“Ahhh! Tiang Pek Hosiang bekas ketua Siauw-lim-pai? Heran sekali! Dan dia itu sukongmu (kakek gurumu)?”

“Ayah adalah murid beliau.”

Kakek itu mengangguk-angguk.
“Hemm, pantas kalau begitu… gerakanmu memiliki dasar Siauw-lim-pai sungguhpun sudah bercampur dengan ilmu silat lain yang aneh...”

“Dari ibu teecu.” Kun Liong memotong.

“Hemmm, ibumu juga lihai sekali?”

“Hanya kalah sedikit oleh Ayah, akan tetapi Ibu menang dalam hal ilmu pengobatan. Ibu adalah sumoi (adik seperguruan) dari Supek Cia Keng Hong…”

“Ahhhh! Benar-benar suatu kebetulan yang luar biasa! Kalau begitu, pinto telah kesalahan besar mengambil engkau sebagai murid!”

Serta-merta Kun Liong menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki orang tua itu karena khawatir kalau-kalau gurunya membatalkan pengangkatan murid.

“Harap Suhu tidak membatalkan teecu menjadi murid.”

“Kenapa? Engkau keturunan orang-orang pandai dan melihat dasarmu, sepatutnya engkau menjadi murid Siauw-lim-pai. Seorang murid Siauw-lim-pai tidak boleh belajar dari orang lain, dan kalau pinto menerimamu sebagai murid, tentu pinto kesalahan terhadap Siauw-lim-pai.”

“Teecu bukan murid Siauw-lim-pai!”

“Akan tetapi ayahmu?”

“Ayah pun bukan murid Siauw-lim-pai, hanya bekas murid. Sudah tidak diakui lagi. Menurut penuturan Ayah, Ayah pernah membuat kesalahan besar terhadap Siauw-lim-pai, biarpun diampuni akan tetapi tidak lagi diakui murid, hanya sebagai sahabat baik para pimpinan Siauw-lim-pai saja. Harap Suhu percaya keterangan teecu karena teecu tidak membohong.”

Kakek itu kembali mengelus jenggotnya. Dia sudah mendengar tentang riwayat Tiang Pek Hosiang yang mengundurkan diri dari Siauw-lim-pai (baca ceritaPedang Kayu Harum), akan tetapi dia tidak pernah mendengar tentang murid-murid kakek sakti itu. Dia mengira bahwa tentu ayah bocah ini tidak diakui sebagai murid Siauw-lim-pai karena tersangkut persoalan gurunya. Padahal, duduknya pekara tidaklah demikian. Yap Cong San kehilangan haknya sebagai anak murid Siauw-lim-pai karena dia menikah dengan Gui Yan Cu, dara yang dianggap terlibat dalam urusan gurunya, Tung Sun Nio dan Tiang Pek Hosiang sehingga dapat mencemarkan nama baik Siauw-lim-pai (baca ceritaPedang Kayu Harum ).

“Akan tetapi, kalau ayah bundamu sendiri adalah orang-orang pandai, perlu apa engkau belajar dari pinto?”

Kun Liong mengerutkan alisnya, memutar otak untuk memberi jawaban yang tepat. Kemudian dengan suara sungguh-sungguh dia menjawab,

“Belajar dari ayah dan ibu sendiri tidak akan maju, Suhu.”

“Hemm, mengapa tidak akan maju? Ayahmu adalah murid Tiang Pek Hosiang yang berilmu tinggi, sedangkan ibumu adalah sumoi dari Cia-taihiap (Pendekar Besar Cia) yang sakti, tentu ayah bundamu memiliki kepandalan tinggi pula. Bagaimana engkau dapat mengatakan bahwa belajar dari orang tuamu sendiri tidak akan maju?”

“Karena Ayah terlampau keras kepada teecu sehingga teecu selalu takut-takut, belajar dari Ayah tidak akan dapat maju, adapun ibu terlalu memanjakan teecu, belajar lelah sedikit sudah disuruh mengaso, juga tidak akan maju.”

Kini kakek itu mengerutkan alisnya yang berwarna putih, memandang tajam kepada Kun Liong, kemudian berkata,

“Sungguh alasan yang tidak dapat diterima. Engkau agaknya seorang anak yang nakal dan bandel, Kun Liong, apakah karena kenakalanmu maka engkau meninggalkan rumah?”

“Wah, tidak… tidak, Suhu. Dan bukan hanya itu alasan teecu. Masih ada lagi alasan kuat mengapa teecu tidak ingin agar Suhu membatalkan teecu sebagai murid Suhu.”

“Hemm, alasan tidak masuk akal apa lagi?”

“Pelajaran dari Ayah Bunda teecu dapat kapan saja, akan tetapi pertemuan dengan Suhu merupakan hal yang kebetulan sekali dan kiranya tidak akan ada kesempatan ke dua bagi teecu, maka tentu saja teecu ingin sekali menjadi murid Suhu yang namanya dipuji-puji oleh Ayah.”

Kakek itu menggeleng-geleng kepalanya.
“Hemm… alasan ini pun tidak kuat dan hanya menonjolkan kemurkaanmu akan ilmu silat saja.”

Kun Liong menjadi gugup,
“Ah, sama sekali tidak, Suhu! Teecu benci… benci… akan ilmu silat!”

“Heee?”

“Maksud teecu… teecu benci akan penggunaannya yang hanya ditujukan untuk memukul lain orang, melukai bahkan membunuh lain orang.”

“kalau begitu, mengapa engkau bersikeras hendak belajar ilmu silat dari pinto (aku)?”

“Justru karena itu, teecu ingin memiliki ilmu kepandaian tinggi agar teecu dapat mempergunakannya untuk mencegah orang-orang yang pandai silat menganiaya dan memukul orang lain.”

Kakek itu mengangguk-angguk.
“Bisa diterima alasanmu, akan tetapi untuk memperoleh ilmu silat tinggi, ayah bundamu cukup untuk mengajarmu, tidak perlu engkau belajar lagi dari pinto.”

Kun Liong menjadi gelisah. Dia masih berlutut dan kini dia mengangkat mukanya memandang kakek itu sambil berkata,

“Harap Suhu suka menerima teecu, dan sesungguhnya hal ini bukan semata untuk kepentingan teecu, melainkan demi kebersihan nama dan kehormatan Suhu sendiri.”

Bun Hwat Tosu terkejut sekali, menyentuh pundak Kun Liong dan bertanya,
“Apa maksudmu?”

Kun Liong menundukkan mukanya, hatinya menjadi berdebar takut melihat betapa ucapannya tadi membuat kakek itu bersikap demikian sungguh-sungguh. Namun sudah kepalang baginya, menggunakan siasat yang paling lihai. Dia tahu bahwa orang-orang aneh seperti Bun Hwat Tosu ini tidak membutuhkan apa-apa lagi dan satu-satunya hal yang masih dipentingkan hanya satu, yaitu nama yang menyangkut kehormatan. Maka dia sekarang menyinggung tentang nama dan kehormatan. Ternyata kakek itu benar-benar tergugah dan menaruh perhatian besar sekali!

“Teecu tidak bermaksud buruk. Suhu sendiri yang telah mengambil teecu sebagai murid dan Suhu sendiri yang telah mengucapkan kata-kata itu. Teecu mendengar bahwa kata-kata seorang budiman, yang sudah keluar dari mulut, mewakili suara hati dan menjadi janji yang lebih berharga daripada nyawa. Maka dari itu, kalau sekarang Suhu menarik kembali janji Suhu itu, bukankah hal ini akan menodai nama dan kehormatan Suhu?”

Bun Hwat Tosu mengelus-elus jenggotnya dan memandang kepada anak gundul itu dengan sinar mata tajam, kemudian dia menghela napas dan berkata,

“Yap Kun Liong, sekecil ini engkau sudah dapat menggunakan kata-kata untuk mendesak dan menghimpit seorang tua seperti pinto, membuat pinto tidak berdaya. Benar-benar engkau berbakat cerdik, dan entah apa yang akan terjadi kalau engkau sudah dewasa kelak. Kecerdikan dapat mengangkat orang ke tingkat tinggi, akan tetapi juga dapat menyeret orang ke tempat yang paling rendah. Baiklah, pinto tidak mungkin dapat menarik kata-kata sendiri. Pinto akan menurunkan ilmu kepadamu selama lima tahun, akan tetapi tidak boleh menyebut guru kepada pinto karena kalau hal ini pinto lakukan, yaitu mengambilmu sebagai murid, berarti pinto kurang hormat kepada Siauw-lim-pai dan Cin-ling-pai. Bagaimana, maukah engkau?”

Kun Liong mengangguk-angguk memberi hormat.
“Teecu menghaturkan terima kasih atas kemurahan hati Locianpwe.”

Bun Hwat Tosu menarik napas panjang.
“Hemm, kemurahan hati apa? Pinto terpaksa dan entah akibat apa yang akan pinto tanggung kelak apabila engkau melakukan penyelewengan!”

Serta-merta Kun Liong berkata lantang,
“Teecu bersumpah bahwa apa pun yang akan terjadi dengan diri teecu, teecu tidak akan menyebutkan nama Locianpwe, tidak akan menyangkut nama Locianpwe!”

“Sudahlah, agaknya memang engkau sudah berjodoh dengan pinto. Ingat, bukan sekali-kali pinto takut engkau menyebut nama pinto, akan tetapi jangan dihubungkan dengan Hoa-san-pai. Pinto telah lama mengundurkan diri dari Hoa-san-pai, dan andaikata nama pinto rusak oleh sepak terjangmu, masih tidak terlalu hebat. Akan tetapi kalau sampai Hoa-san-pai tersangkut, pinto pasti kelak akan mencarimu untuk mencabut kembali semua ilmu yang kau pelajari dari pinto, biarpun dengan bahaya tercabutnya pula nyawamu atau nyawa pinto.”

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: