*

*

Ads

FB

Senin, 26 September 2016

Petualang Asmara Jilid 033

Tidak ada seorang pun yang mengenal pemuda tanggung yang berkepala gundul ini, karena lima tahun yang lalu, Kun Liong masih merupakan seorang anak kecil yang berpakaian indah dan berambut panjang hitam mengkilap! Sekarang dia merupakan seorang pemuda tanggung berkepala gundul, berpakaian sederhana dan agak butut, mukanya agak kurus dan gerak-geriknya sederhana.

Bahkan Liok Siu Hok, kakek yang sudah tua itu sama sekali tidak mengenal cucu keponakannya ini ketika Kun Liong berdiri di depan toko citanya. Disangkanya hanya seorang tamu yang hendak berbelanja, sungguhpun dia memandang heran melihat seorang pemuda aneh, disebut hwesio akan tetapi biarpun gundul pakaiannya bukan seperti pendeta, kalau bukan hwesio mengapa kepalanya gundul? Barulah dia kaget ketika Kun Liong memberi hormat dan berkata,

“Kukong (Paman kakek), apakah Kukong tidak mengenal padaku? Aku adalah Kun Liong.”

Mata tua yang terbelalak itu makin melebar, kemudian mata itu mengenal wajah di bawah kepala gundul.

“Aihhhh... Kun Liong... engkau...?”

Tergopoh-gopoh dan membongkok-bongkok Kakek Liok Siu Hok keluar dari tokonya memegang tangan Kun Liong dan menarik pemuda gundul itu masuk ke dalam rumah setelah memerintahkan seorang pegawai untuk menjaga toko.

“Engkau kemana saja? Dan mengapa kepalamu...?”

“Kukong, aku tadi pulang ke rumah. Kenapa rumahku ditutup? Dan kemana perginya Ayah dan Ibuku?” Kun Liong balas bertanya tanpa menjawab pertanyaan paman kakeknya.

“Aihhh... mengapa baru sekarang engkau pulang? Telah begitu lama... bertahun-tahun... aku sendiri tidak tahu kemana perginya mereka setelah terjadi peristiwa hebat itu...”

“Kukong, apa yang telah terjadi?” Kun Liong bertanya.

Liok Siu Hok menyuruh cucu keponakannya minum teh yang disuguhkan pelayan, kemudian dia menceritakan semua yang terjadi semenjak Kun Liong pergi. Dia menceritakannya semua, tentang pengobatan gagal, tentang ditangkapnya Yap Cong San dan kemudian dibebaskan dengan paksa oleh Gui Yan Cu, dan betapa rumah keluarga Yap disita oleh pemerintah, toko obatnya ditutup. Ceritanya diselingi dengan tarikan napas panjang penuh penyesalan.

“Sayang ibumu terlampau keras hati, kalau menurut nasihatku, kita dapat menggunakan uang untuk membebaskan ayahmu dengan jalan halus sehingga tidak perlu mereka melarikan diri dan rumah mereka disita.”

Akan tetapi Kun Liong sudah tidak mendengarkan lagi karena dia telah menangis! Bukan main menyesal hatinya dan tampaklah dengan jelas sekarang betapa perbuatannya yang nakal dahulu itu telah menimbulkan malapetaka yang menimpa ayah bundanya! Ayah bundanya celaka karena dia! Kegagalan mengobati itu tentu karena tertumpahnya obat, ditumpahkan oleh Pek-pek, anjing peliharaan yang lari dikejar dan ditakut-takuti dengan mengikatkan kaleng-kaleng pada ekornya. Tentu ayahnya ditahan karena gagal mengobati, dan ibunya telah membebaskan ayahnya. Karena itu, ayah bundanya terpaksa lari. Mereka menjadi orang-orang buruan, menjadi pelarian dan rumah serta toko disita pemerintah. Semua gara-gara dia!






“Sudahlah, Kun Liong, jangan menangis. Masih untung bahwa mereka itu dapat menyelamatkan diri dan bahwa engkau ternyata juga selamat. Kemana saja engkau pergi dari mengapa kepalamu gundul? Apakah engkau masuk menjadi hwesio?”

Kun Liong menggeleng kepalanya.
“Aku pergi belajar ilmu, Kukong, dan tentang kepalaku... aku baru senang gundul, begitulah. Sekarang aku hendak pergi menyusul ayah ibuku. Kemana kiranya mereka pergi, Kukong?”

“Mana aku tahu? Mereka pergi tanpa memberi tahu dan semenjak itu, tak pernah memberi kabar. Aihhh, semenjak kecil ayahmu memang berdarah perantau dan petualang!” Kakek itu menarik napas panjang dan menggeleng kepalanya, kelihatan berduka sekali. “Dan engkau jangan pergi, biarlah menunggu saja di sini.”

“Tidak, Kukong. Sekarang juga aku akan pergi mencari ayah ibuku.” Kun Liong bangkit dari duduknya.

“Eh-eeehhh… nanti dulu, baru saja datang masa mau pergi lagi?”

“Biarlah, Kukong. Aku harus cepat dapat menemukan ayah bundaku.”

Memang didalam hatinya Kun Liong ingin segera menghadap ayah bundanya untuk menyatakan penyesalannya dan untuk minta ampun atas segala kesalahannya.

“Hemm, kau keras hati seperti ayahmu. Setidaknya engkau harus menerima bekal dariku, dan biar kusuruh carikan seekor kuda untukmu…”

“Tidak usah, Kukong. Aku dapat berjalan kaki, pula, tidak biasa menunggang kuda…”

“Aihhh, kalau begitu, kau harus membawa bekal uang, untuk keperluan di jalan.” Tanpa menanti jawaban, tergopoh-gopoh kakek itu lari ke dalam kamarnya dan tak lama kemudian dia sudah keluar membawa sebuah buntalan yang agak besar. “Terimalah ini, pakaian dan uang. Pakaian baru, mungkin agak kebesaran bagimu, akan tetapi ergkau sih, terburu-buru, kalau tidak tentu dapat kusuruh buatkan beberapa stel.”

Kun Liong tidak berani menolaknya, takut menyinggung perasaan paman kakeknya yang sudah tua itu. Dia menerima bungkusan dan mengangkat kedua tangan memberi hormat, mengucapkan terima kasih, kemudian meninggalkan rumah kakek itu yang mengantar sampai di depan toko sambil menarik napas berulang-ulang dan menggelengkan kepala dengan muka muram.

Setelah keluar dari kota Leng-kok, Kun Liong sejenak berdiri bingung. Kemana dia hendak menuju? Ke mana harus mencari ayah bundanya yang menjadi orang pelarian? Ke Cin-ling-san, bisik hatinya. Tidak salah lagi dalam menghadapi kesukaran itu, tentu ayah bundanya pergi kepada supeknya, Cia Keng Hong, Ketua Cin-ling-pai di Gunung Cin-ling-san!

Dengan langkah tegap dan hati mantap Kun Liong mulai melakukan perjalanan menuju ke Cin-ling-san. Dia belum pernah pergi ke tempat itu, akan tetapi ayahnya pernah menceritakan kepadanya dimana arah dan letaknya Cin-ling-san, tempat kediaman supeknya yang dipuji-puji oleh ayahnya dan terutama ibunya itu.

Kun Liong dapat melakukan perjalanan cepat karena sekarang dia tidak perlu lagi menunda-nunda perjalanan untuk bekerja dan mencukupi kebutuhan perutnya. Bekal uang yang diterima dari kukongnya cukup banyak, bahkan lima stel pakaian dalam buntalannya itu cukup untuk dipakai ganti pakaiannya yang kotor dan sudah butut.

Beberapa pekan kemudian, karena hari sudah mulai gelap, dia berhenti di kota Taibun di sebelah selatan kota Tai-goan, di tepi Sungai Fen-ho. Pegunungan Cin-ling-san sudah tidak terlalu jauh lagi. Dia sudah tiba di sebelah utara kota Sian dan Pegunungan Cin-ling-san terletak di sebelah selatan kota Sian, memanjang ke barat.

Ketika dia mengikuti pelayan menuju ke sebuah kamar di losmen kecil kota Taibun, dia menjadi perhatian para tamu lain. Dengan acuh tak acuh Kun Liong melangkah terus biarpun dia maklum bahwa seperti biasa, kepala gundulnya yang menarik perhatian orang. Dia sudah terlalu biasa dengan hal ini sehingga tidak merasa mendongkol lagi seperti dahulu ketika mula-mula kepalanya menjadi gundul.

Betapapun juga, dia melirik dengan muka terasa panas sekali ketika melihat bahwa di antara mereka yang memandangnya dengan senyum ditahan, tampak juga seorang dara remaja yang cantik manis. Biarpun dara itu cepat menutupi mulutnya dengan saputangan sutera ketika dia lewat, namun Kun Liong maklum bahwa seperti yang lain, tentu dara itu pun merasa lucu melihat seorang pemuda bukan pendeta berkepala gundul pelontos!

Dia merasa malu dan juga jengkel. Kalau orang lain yang mentertawakannya masih tidak mengapa. Akan tetapi seorang dara remaja! Buruk benarkah kepalanya? Dia menghampiri meja dimana terdapat tempat air yang disediakan pelayan tadi, untuk mencuci muka. Melihat bayangan kepala gundulnya di dalam air, Kun Liong menyeringai dengan hati kesal. Celakanya, ketika dia menyeringai ini mukanya kelihatan makin tidak menyenangkan baginya, seolah-olah wajah berkepala gundul di dalam baskom air itu pun ikut-ikutan mengejek!

“Sialan kamu!”

Dia memaki dan mencelupkan kepalanya ke dalam air baskom, sengaja membenamkannya lama-lama untuk menghukum muka yang mengejeknya itu sampai akhirnya terpaksa diangkatnya kembali mukanya dari dalam air dengan napas terengah-engah!

Digosoknya muka dan kepala gundulnya kuat-kuat dengan saputangan. Air baskom sudah diam lagi sehingga dapat menampung bayangannya. Akan tetapi bayangan muka dan kepala yang kemerahan karena digosok kuat-kuat itu makin menyebalkan hatinya.

“Biarlah dia tertawa sampai mulas! Kepala dan mukaku sudah begini, siapa peduli?”

Pikiran ini agak mendinginkan hatinya, akan tetapi dia masih merasa sebal dan melempar tubuhnya ke atas pembaringan.

Terbayanglah wajah yang ayu, lesung pipit yang manis kalau wajah itu tertawa, dan terdengarlah seperti bisik-bisik di telinganya,

“Tidak buruk, bahkan kelihatan bersih sekali. Yang banyak rambutnya mungkin malah penuh kutu. Hi-hik!”

Ahhh, Li Hwa memang seorang dara yang ayu manis! Mungkin satu-satunya anak perempuan yang tidak membenci gundulnya, yang tidak mentertawakan gundulnya! Di manakah anak itu sekarang? Tentu sudah menjadi seorang dara remaja yang cantik! Dan tentu lihai bukan kepalang, karena dara itu adalah murid dari The Hoo, panglima yang kabarnya memiliki kesaktian seperti dewa itu ! Kun Liong menarik napas panjang, agak kecewa. Dia sadar dan kaget. Aihh, mengapa dia kecewa? Mengapa dia seperti menyesal dan berduka begitu teringat bahwa Li Hwa adalah murid The Hoo?

Dia bangkit duduk dan termenung, meneliti diri sendiri. Ada apa dengan dia? Tadi, bayangan wajah Li Hwa, gema suara dara itu membuatnya gembira dan senang karena anak perempuan itu tidak mencela kepala gundulnya. Akan tetapi mengapa tanpa disadarinya, tiba-tiba dia menarik napas panjang dengan penuh sesal dan kecewa?

“Wah, apakah aku tiba-tiba merasa iri hati?” demikian celanya.

Tidak, bukan iri hati karena anak itu menjadi murid seorang sakti, karena dia sendiri juga telah diajar ilmu silat oleh Bun Hwat Tosu yang juga bukan manusia sembarangan. Habis mengapa? Karena putus harapan, melihat kedudukan Li Hwa terlalu tinggi untuk dia? Terlalu tinggi untuk apa? Pertanyaan ini seperti mengejek dan kembali Kun Liong merasa bimbang dan jengkel.

“Plakk!” Kepala gundulnya ditamparnya sendiri.

“Uhhh! Tolol benar! Tentu saja terlalu tinggi untuk menjadi temanmu. Habis apa lagi? Dan masih belum tentu lagi! Yang berteman bukan gurunya melainkan dia. Kalau memang dia mau berteman dengan aku, siapa berhak melarang? Dan kalau dia… wah celaka, aku sudah gila!” Kun Liong terbelalak. “Plakk!” Gundulnya menjadi sasaran tangannya lagi. “Apa-apaan ini mengenang dan bicara sendiri tentang Li Hwa sedangkan gadis itu tidak berada di sini? Tolol!” Setelah menempiling gundulnya sekali lagi, Kun Liong tidur pulas!

Dua jam kemudian dia terbangun oleh rasa laparnya. Cepat dia mencuci muka lagi, membawa bekal uang dan keluar dari losmen untuk mencari makanan. Melihat sebuah restoran cukup besar tak jauh dari losmen, dia segera melangkah masuk. Seorang pelayan menyambutnya.

“Apakah Siauw-suhu (pendeta cilik) hendak makan? Maaf, di sini tidak disediakan makanan ciak-jai (sayur tanpa daging), harap Siauw-suhu mencari di warung lain saja.”

Kun Liong menelan ludah berikut kata-kata makian yang sudah berada di ujung lidah. Setelah kemarahannya tertelan, dia berkata,

“Aku bukan hwesio!”

“Ahh, maaf… Tuan. Apakah Tuan hanya sendiri? Sayang meja telah penuh semua, kecuali kalau Tuan suka makan dengan membonceng di meja tamu lain…”

Kun Liong mendengar suara ketawa ditahan dan cepat dia nenoleh. Benar saja! Gadis remaja di losmen tadi yang kini lagi-lagi mendekap mulut dengan saputangan suteranya, menahan suara ketawa biarpun pundaknya bergoyang-goyang! Dan dua orang laki-laki yang duduk semeja dengan nona muda itu juga tersenyum. Seorang di antara mereka, yang usianya kurang lebih empat puluh tahun, segera mengangkat tangan berkata kepada pelayan yang sedang longak-longok mencarikan tempat duduk untuk Kun Liong.

“He, bung pelayan! Biarlah Tuan muda itu duduk makan bersama kami, meja kami masih kosong!”

Pelayan itu tertawa lebar, mengajak Kun Liong menghampiri meja itu dan membungkuk mengucapkan terima kasih kepada orang yang menawarkan tempat duduk untuk Kun Liong itu, kemudian Si Pelayan menoleh kepada Kun Liong, bertanya,

“Tuan hendak memesan makanan apa?”

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: