*

*

Ads

FB

Sabtu, 01 Oktober 2016

Petualang Asmara Jilid 042

“Wuussss...!!”

Kedua tangan Giok Keng sudah menerjang lagi dengan totokan totokan lihai sekali dan hal ini tidaklah mengherankan karena dara itu mainkan jurus jurus San in Kun hoat (Ilmu Silat Awan Gunung), semacam ilmu silat tinggi sekali yang dipelajari dari Cia Keng Hong. Ilmu silat San in Kun hoat ini hanya terdiri dari delapan jurus, akan tetapi setiap jurusnya merupakan gerakan gerakan yang luar biasa lihainya. Kalau saja Giok Keng sudah memiliki sin-kang yang kuat, tentu dia dapat merobohkan Kun Liong dengan ilmu silat tinggi ini. Akan tetapi karena dara itu menyangka bahwa pemuda gundul itu memiliki kekebalan luar biasa, dia mengganti kepalan dengan totokan.

Namun kecepatan dan keanehan gerakannya membuat Kun Liong sibuk sekali. Terpaksa pemuda ini lalu mainkan jurus dari Pat hong sin kun untuk menjaga diri dan memang daya tahan dari ilmu silat ini luar biasa. Jangankan hanya dua buah tangan Giok Keng yang datang dari dua jurusan, andaikata dia diserang dari delapan jurusan sekalipun, dia akan dapat melindungi dirinya sesuai dengan sifat Ilmu Silat Pat hong sin kun (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin).

Setelah beberapa lama Giok Keng tak dapat mengenai sasaran tubuh lawannya, dara itu menjadi makin marah dan timbullah kenakalan Kun Liong untuk mengejeknya,

“Hayo, keluarkan Thi khi-I beng, hendak kulihat bagaimana lihainya.”

“Eihhh...!!”

Giok Keng tak dapat menahan kemarahannya. Thi khi I beng adalah ilmu sakti yang hanya dimiliki ayahnya. Tentu saja dia belum diajar ilmu itu, atau belum tentu selamanya akan diajar ilmu itu yang menurut ayahnya tidak boleh sembarangan dimiliki orang yang dasarnya belum kuat benar lahir batin. Kini pemuda gundul ini menantang Ilmu Thi khi I beng. Hati siapa tidak menjadi gemas?

“Jahanam gundul keparat sombong! Tak perlu dengan Thi khi I beng untuk melawan manusia macam engkau!”

Kini dara itu merobah ilmu silatnya dan gerakannya menjadi aneh sekali. Baru beberapa jurus saja, dengan gerakan memutar setelah mendesak Kun Liong dengan totokan-totokan maut, dara itu berhasil menendang pinggul Kun Liong sehingga pemuda itu terlempar dan terbanting.

“Wah, curang! Kusangka hanya menotok terus, tahu tahu menendang pinggul!”

“Mampuslah!”

Giok Keng sudah menubruk maju.
“Ciaaattt!”

Dua buah jari tangan kirinya menusuk ke arah mata Kun Liong yang masih telentang dan baru hendak bangkit duduk.

“Aihhhh...!”






Kun Liong meloncat ke atas, menghindarkan totokan dan tangan sudah dikepal untuk balas menghantam kepala dara itu dari atas. Akan tetapi entah mengapa, dia tidak tega memukul dan kepalannya dibuka, berubah menjadi cengkeraman dan dia berhasil menjambak sebuah di antara dua kuncir rambut dan menariknya.

“Aduhhhh... curang kau, setan!”

Giok Keng yang dijambak rambutnya menjerit, akan tetapi berbareng dia pun menggunakan jari tangannya menotok pundak sambil mengerahkan tenaga.

“Dukkk!!” Tubuh Kun Liong menjadi lemas dan dia roboh terguling!

Sambil bertolak pinggang berdiri di dekat tubuh Kun Liong yang rebah telentang, Giok Keng tersenyum mengejek, menggerakkan kepalanya untuk memindahkan rambutnya yang agak awut-awutan dijambak Kun Liong tadi ke belakang punggung, napasnya agak terengah, muka dan lehernya berkeringat, pipinya merah segar.

“Hemmm…, kalau hendak membunuhmu, betapa mudahnya!” Dia mengejek.

Biarpun tubuhnya masih lemas dan tak dapat digerakkan, namun Kun Liong masih dapat menggerakkan mulut bicara, dan pandang matanya sama sekali tidak takut atau menyerah, bahkan mengejek!

“Kalau begitu, mengapa tidak kau bunuh? Hemmm, kau tidak berani membunuhku, ya? Karena kalau kau membunuh orang yang kau curangi sehingga tanpa tersangka sangka kena totokan, berarti engkau seorang dara pengecut paling besar!”

“Setan gundul! Kau masih berani membuka mulut besar?”

“Mengapa tidak? Engkau seorang dara yang cantik tapi galak, berhati baik akan tetapi pura pura keras. Engkau puteri seorang pendekar besar yang tentu berjiwa pendekar pula, akan tetapi kau memperlakukan seorang tamu dengan kurang ajar dan menghina. Tunggu saja kau, akan kulihat bagaimana sikapmu kalau kuceritakan kepada ayah bundamu kelak!”

Sepasang mata yang indah itu terbelalak.
“Ehh...? Kau... kau siapa?”

“Ayahmu adalah Supekku (Uwa Guru) karena ibuku adalah sumoinya.”

“Apa? Engkau... engkau she Yap?”

“Tidak ada keduanya!”

“Engkau yang bernama Yap Kun Liong putera Paman Yap Cong San?”

“Hanya inilah orangnya!”

“Celaka! Kenapa kau tidak bilang sejak tadi ?” Tergopoh gopoh Giok Keng menotok kembali pundak Kun Liong sehingga pemuda itu terbebas dan dapat bangkit berdiri lagi. Mereka berdiri saling berhadapan, saling pandang. Akhirnya Giok Keng yang membuka mulut berkata dengan nada suara penuh permintaan. “Eh, kau jangan...”

“Namaku bukan eh!”

“Orang she Yap...”

“Mengapa kau sombong amat, sih? Memangnya aku penjahat sampai kau tidak sudi menyebut namaku?”

Giok Keng membanting-banting kakinya dengan jengkel, gerakan yang ia warisi dari ibunya. Biasanya dia amat pandai berbantah, dan dimanja oleh siapa pun, sekarang dia selalu dibantah dan dicela habis-habisan oleh Si Gundul ini! Akan tetapi dia takut kalau-kalau Si Gundul ini mengadu kepada ayah ibunya, terutama sekali kepada ibunya. Mereka memanjakannya, akan tetapi ibunya keras dan kalau ibunya sudah marah, dia amat takut kepada ibunya.

“Kun Liong...”

“Eh, eh, engkau memang kurang ajar, tidak tahu aturan, ya?”

“Kenapa lagi? Cerewet benar kau!”

“Bukan cerewet, akan tetapi ayahmu adalah suheng ibuku, berarti di antara kita masih ada hubungannya.”

“Hubungan apa? Keluarga bukan, kenal pun baru sekarang!”

“Eeehh, orang tua kita adalah saudara seperguruan, berarti kita masih ada bau bau...”

“Bau apa? Kurang ajar kau!”

“Maksudku, masih bau bau... eh, hubungan sanak. Engkau keponakan ibuku dan aku keponakan ayahmu, berarti kita masih saudara misan seperguruan. Bukan begitukah? Jadi, karena engkau masih kecil...”

“Sombong! Apa kau kira engkau ini sudah kakek-kakek? Aku bukan anak kecil!”

“Kalau begitu engkau nenek nenek!”

“Aku bukan anak kecil, usiaku sudah empat belas tahun lebih, hampir lima belas tahun!”

“Dan aku sudah lima belas tahun. Nah, berarti aku lebih tua. Engkau adalah piauw sumoi, dan aku adalah piauw-suhengmu (kakak misan seperguruan). Engkau jangan kurang aturan menyebut namaku begitu saja, ya?”

Kembali Giok Keng membanting kaki dengan gemas. Dia merasa kalah bicara. Dengan susah payah dia menekan perasaannya dan berulang kali menghela napas, menahan tangannya agar jangan menampar kepala gundul itu. Entah kenapa, tangannya gatal gatal untuk menampar kepada gundul licin itu!

“Baiklah, Piauw suheng!” Dia mengejek sambil membungkuk dibuat buat. “Aku minta engkau jangan mengadu kepada ayah bundaku, ya?”

Kun Liong menggerakkan hidung. Rasakan engkau sekarang, pikirnya! Bocah galak harus dihajar! Dengan angkuh dia menegakkan tubuh mengangkat muka.

“Salah siapa! Engkau telah menyambutku dengan cara yang kurang ajar sekali, bahkan berani memukul aku. Biar kuberitahukan kepada Supek dan Supek bo, aku ingin melihat bagaimana kalau kau dimarahi, mungkin dipukul!”

“Aihhh... janganlah, Piauw suheng... ibuku keras sekali. Apa kau tidak kasihan kepada piauw sumoimu?”

“Huh, enak dan gampangnya. Sudah menghina, sudah memukul, malah minta tolong segala. Kiranya aku ini orang apa, hah?”

“Piauw suheng yang baik, kau maafkan aku, ya? Aku tidak marah lagi kepadamu, aku tidak menghinamu lagi. Habis engkau sendiri juga salah. Siapa yang menyangka bahwa engkau putera Paman Yap Cong San kalau melihat... eh...”

“Bilang saja kepala gundulku! Kenapa sih ragu ragu?” Kun Liong menghardik sampai Giok Keng kaget.

“Ya, ya... karena kepalamu yang gundul itu mendatangkan keraguan dan kecurigaan padaku sehingga aku bersikap keras. Ketahuilah, ayah dan ibuku sedang pergi, malah pergi ke tempat ayahmu dan aku diberi tugas untuk mewakili mereka menjaga di sini, memimpin Cin-ling pai. Bayangkan saja betapa beratnya! Maka begitu melihat engkau yang kucurigai akan mengacau Cin-ling-san, aku terus turun tangan. Maafkan aku, ya?”

Kun Liong merasa seperti dielus elus. Enak sekali rasanya, akan tetapi mulutnya tetap diruncingkan agar kelihatan cemberut dan marah.

“Kalau aku membiarkan semua orang menampar kepalaku kemudian cukup dengan permintaan maaf saja, agaknya kepalaku akan remuk dalam waktu singkat. Tidak cukup hanya dengan permintaan maaf.”

“Habis, harus bagaimana?” tanya Giok Keng penasaran. “Apakah aku harus berlutut di depan kakimu?”

Kun Liong ingin sekali menuntut hukuman seperti yang dia lakukan kepada Hwi Sian, yaitu agar dara ini pun mencium kepalanya. Akan tetapi dia berpikir panjang. Kalau sampai dara ini marah, karena wataknya begini keras, bisa berabe. Dan lebih hebat lagi kalau dara ini mengadu kepada ayah bundanya, lebih celaka sekali kalau sampai ayahnya mendengar akan hal itu!

Dara ini takut kepada ibunya yang keras, tentu tidak tahu betapa dia pun amat takut kepada ayahnya yang keras pula! Tidak, dia tidak boleh menyuruh Giok Keng mencium kepalanya. Tiba tiba dia mendapat akal dan menjawab sambil tersenyum.

“Engkau amat menghinaku karena kepalaku yang gundul, bahkan tadi engkau telah menampar kepalaku. Nah, sekarang aku baru mau menghabiskan urusan ini sampai di sini saja kalau engkau suka menampar kepalaku sampai tiga kali lagi!”

Mata Giok Keng terbelalak lebar.
“Apa...? Sudah gilakah engkau? Kalau kupukul dengan sungguh sungguh, tentu akan pecah kepalamu. Jangankan sampai tiga kali, satu kali saja cukup...”

“Sudahlah, menyombong lagi! Biar pecah, lebih baik agar ayah bundamu tahu bahwa puteri mereka telah menyambut kedatangan piauw suhengnya dengan pukulan maut sampai kepalanya pecah!”

“Aihhh... habis bagaimana?”

“Terserah kepadamu. Pendeknya, aku ingin kau menggunakan tanganmu menampar kepalaku sampai tiga kali!”

Giok Keng memandang kepala itu dengan muka menunjukkan kebingungan hatinya. Tangannya memang gatal-gatal rasanya, ingin sekali dia menampari kepala itu, akan tetapi kalau dia menampar sampai Kun Liong terluka atau mampus, tentu dia tidak akan mendapat ampun dari ibunya. Ia memutar otak dan akhirnya dengan wajah berseri dia berkata,

“Baik, akan kutampar kepalamu tiga kali, akan tetapi luput!”

“Eeh, mana bisa? Aku tidak menangkis tidak mengelak mana bisa luput? Padahal engkau puteri Ketua Cin ling-pai! Siapa mau percaya?”

“Habis bagaimana?”

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: