*

*

Ads

FB

Sabtu, 01 Oktober 2016

Petualang Asmara Jilid 045

Memang pada saat itu Thian Kek Hwesio sedang mencurahkan perhatian terhadap suara bisikan halus yang memasuki telinganya seperti hembusan angin lalu, suara yang amat dikenalnya karena suara itu adalah suara gurunya, suara Tiang Pek Hosiang!

“Kacung itu kini menjadi sute kalian yang termuda, dan biarlah urusan pusaka hilang kelak dia yang akan mencarinya.”

Thian Kek Hwesio membuka matanya dan berkata,
“Sute, tidak usah kita menyusul ke sana. Kelak akan ada orang yang bertugas mengambilnya kembali. Sekarang harap Sute menyuruh para murid memakamkan dua jenazah ini sebagaimana mestinya.”

Thian Le Hwesio memandang penasaran, akan tetapi tentu saja dia tidak berani membantah kehendak ketuanya, mengangguk dan mengundurkan diri untuk memimpin para anak buah Siauw-lim-pai untuk mengubur dua jenazah maling itu.

Diam-diam hwesio tua ini merasa tidak puas dan penasaran sekali. Boleh jadi Kwi-eng-pai merupakan perkumpulan kaum sesat yang amat terkenal dan ditakuti, apalagi ketuanya yang berjuluk Kwi-eng-Niocu (Nona Bayangan Hantu) yang kabarnya menjadi seorang di antara datuk-datuk kaum hitam di waktu itu.

Akan tetapi Siauw-lim-pai juga sebuah perkumpulan bersih yang amat besar. Kalau sampai terdengar dunia kang-ouw betapa Siauw-lim-pai dihina, pusakanya dicuri oleh orang Kwi-eng-pai tanpa berani membalas atau mencari, bukankah Siauw-lim-pai akan ditertawakan orang dan para tokoh Siauw-lim-pai dianggap penakut?

Betapapun juga, Thian Le Hwesio masih tidak berani membantah kehendak suhengnya yang menjadi ketua, dan hanya menanti kesempatan baik untuk merebut kembali pedang dan hio-louw pusaka Siauw-lim-pai yang dicuri orang itu.

Adapun Thian Kek Hwesio yang maklum bahwa kini di dunia kang-ouw timbul pertentangan dan persaingan antara mereka yang pro dan anti pemerintah, bersikap bijaksana. Tidak saja dia ingin mentaati pesan gurunya yang berdiam di Ruangan Kesadaran, dan yang kini menggembleng sutenya yang termuda, Si Bekas Kacung itu, akan tetapi juga Ketua Siauw-lim-pai yang bijaksana ini tidak mau melibatkan Siauw-lim-pai ke dalam gelanggang pertentangan hanya karena dua buah pusaka saja.

Kalau dia atau Thian Lee Hwesio atau para tokoh Siauw-lim-pai yang lain maju menyerbu Kwi-eng-pai, tentu berarti melibatkan Siauw-lim-pai ke dalam pertentangan. Sebaliknya kalau kacung yang kini digembleng suhunya itu yang kelak menyerbu, karena bocah itu bukan jadi anggauta Siauw-lim-pai resmi, tidak ada hubungannya dengan Siauw-lim-pai, tentu Siauw-lim-pai akan bebas dari libatan permusuhan.

Lima tahun lewat dengan amat cepatnya. Di dalam Ruang Kesadaran yang terletak di bagian belakang kompleks bangunan Kuil Siauw-lim-si terasing dari dunia luar, Kun Liong digembleng setiap hari oleh Tiang Pek Hosiang yang sudah menjadi makin tua.

Selama lima tahun itu Kun Liong hanya menerima dua macam ilmu yang amat tinggi, yaitu Ilmu Silat Im-yang-sin-kun yang dapat dipergunakan untuk main silat tangan kosong maupun dengan sepasang senjata apa saja, dan ilmu sin-kang yang disebut Pek-in-ciang (Tangan Awan Putih), sin-kang yang amat lembut namun memiliki kekuatan yang amat dahsyat.






Siang malam Kun Liong berlatih. Tubuhnya menjadi kurus karena kurang makan, mukanya agak pucat karena tak pernah kenyang menerima sinar matahari, namun matanya kini mengeluarkan cahaya yang aneh dan tajam menusuk seolah-olah menembus jantung orang yang dipandangnya.

Yang tidak pernah berubah adalah kepalanya. Tetap gundul, tidak ada sehelai pun rambutnya tumbuh! Dia telah menjadi seorang pemuda dewasa berusia dua puluh tahun, tampan wajahnya, amat sederhana gerak-geriknya, dan yang paling menarik adalah kepala gundulnya. Melihat kepalanya, semua orang tentu menganggap dia sebagai hwesio, akan tetapi pakaiannya sama sekali bukan pakaian hwesio.

Pada suatu pagi, Tiang Pek Hosiang berkata kepada Kun Liong yang sudah menghadap dan berlutut di depannya,

“Kun Liong, tibalah saatnya engkau keluar dari ruangan ini dan beritahukan kepada Ketua Siauw-lim-pai agar menyediakan sebuah peti mati sederhana untukku, dan kelak membakar jenazahku di puncak bukit belakang kuil tanpa upacara, tak perlu mengundang orang-orang kang-ouw.”

“Sukong...!”

Kun Liong terkejut bukan main mendengar pesan kakek itu, memandang terbelalak dan mukanya pucat.

Kakek itu tersenyum lebar.
“Mengapa, Kun Liong? Mengapa mendengar aku akan mati engkau menjadi terkejut dan pucat mukamu seperti orang takut?”

“Sukong, siapakah yang tidak ngeri dan takut menghadapi kematian?”

“Mengapa timbul takut, Kun Liong?”

“Karena kita tidak tahu apa dan bagaimana kematian itu, Sukong. Kita menjadi ngeri membayangkan apa yang akan terjadi dengan kita.”

“Ha-ha, benarkah demikian? Kalau kematian itu sesuatu yang tidak kita kenal, mana mungkin kita menjadi takut akan sesuatu yang tidak kita ketahui? Barulah timbul takut kalau kita mengetahui sesuatu akan kematian yang kita ketahui dari dongeng nenek moyang kita, dari tahyul, mengenal siksaan-siksaan sesudah mati, semua itulah yang menimbulkan rasa takut, bayangan kita sendiri yang timbul dari dongeng-dongeng itu.”

“Tidak hanya itu, Sukong. Teecu sendiri tidak percaya akan adanya dongeng tentang neraka, akan tetapi teecu merasa ngeri kalau membayangkan kematian.”

“Hemm, kalau begitu, yang kau takutkan bukanlah kematian itu sendiri, melainkan kau takut untuk berpisah dari hidup yang kau kenal ini, takut untuk meninggalkan segala yang kau kenal di dunia kehidupan ini. Andaikata orang-orang yang kau sayang, benda-benda yang kau sukai di dunia ini, dapat bersamamu pergi ke kematian, agaknya takut itu pun akan lenyap. Bukankah begitu?”

Kun Liong berpikir dan mengangguk,
“Agaknya teecu tidak akan takut lagi, Sukong.”

“Jelas bahwa orang takut akan kematian karena sesungguhnya dia takut akan berpisah dari isi dunia kehidupan yang disukainya. Bagi seseorang yang sudah dapat mematikan akunya sewaktu hidup, tiada perubahan keadaan antara hidup dan mati. Yang berbeda hanya sebutannya saja karena bagi dia yang tiada lagi ber-aku, setiap saat adalah sama, apa pun yang akan terjadi dengan dia. Mengertikah engkau, Kun Liong?”

Kun Liong mengangguk-anggukkan kepalanya yang gundul, akan tetapi mulutnya berkata terus terang,

“Teecu mengerti akan tetapi masih sukar untuk menyelami wejangan ini, Sukong. Akan tetapi, kalau benar Sukong hendak pergi meninggalkan penghidupan ini, perkenankanlah teecu merawat Sukong sampai saat terakhir.”

“Jangan, Kun Liong. Sudah tiba waktunya engkau keluar dari sini, biarlah aku melewatkan beberapa hari lagi ini seorang diri saja di sini. Nah, keluarlah dan sampaikan pesanku kepada Thian Kek Hwesio. Pergilah!” Kakek itu sudah memejamkan matanya kembali sambil duduk bersila.

Kun Liong merasa terharu juga. Selama lima tahun dia tidak pernah berpisah dari kakek itu dan menerima gemblengan-gemblengan yang hebat. Dia berlutut dan membentur-benturkan dahinya di atas lantai depan kaki sukongnya itu, menitikkan air mata, kemudian sambil menarik napas panjang keluarlah dia dari ruangan itu membuka daun pintu, menutupkan lagi dari luar dan melangkah ke ruangan dalam.

Dua orang hwesio penjaga terkejut sekali melihat seorang pemuda gundul keluar dari Ruangan Kesadaran. Cepat mereka meloncat menghampiri dan siap untuk menerjang, akan tetapi mereka melongo ketika mengenal Kun Liong, apalagi karena Kun Liong cepat menjura kepada mereka dan berkata,

“Ji-wi Suhu apakah lupa kepada Liong-ji? Aku mendapat pesan dari Sukong untuk disampaikan kepada Thian Kek-losuhu.”

“Kau... kau kacung Liong-ji...? Bagaimana bisa keluar dari Ruangan Kesadaran?”

Seorang di antara dua hwesio itu bertanya, membelalakkan matanya dan hampir tidak percaya.

“Panjang ceritanya, akan tetapi Thian Kek-losuhu tentu mengerti, harap bawa aku menghadap beliau.”

Dua orang hwesio itu saling pandang, kemudian mereka mengiringkan Kun Liong pergi menghadap Thian Kek Hwesio yang tentu saja tidak kaget melihat munculnya Kun Liong. Kakek tinggi besar ini memandang penuh kagum, juga diam-diam dia girang mempunyai seorang sute (adik seperguruan) begini muda dan gagah.

“Liong-ji, engkau baru keluar sekarang?” Ketua Siauw-lim-pai itu menyambut dengan kata-kata ini.

Kun Liong segera berlutut di depan kakek itu dan berkata,
“Pertama-tama teecu mohon maaf sebanyaknya bahwa teecu telah membohong kepada Locianpwe. Teecu sebenarnya she Yap bernama Kun Liong, teecu adalah putera tunggal Ayah Yap Cong San di Leng-kok.”

Para hwesio yang kebetulan berada di kamar itu terbelalak kaget, akan tetapi Thian Kek Hwesio tersenyum dan mengangguk-angguk.

“Pengakuanmu ini makin menggirangkan hatiku, Yap-sicu karena berarti babwa Sicu adalah orang sendiri. Tentu saja pinceng (aku) memaafkan hal itu.”

“Terima kasih atas kebijaksanaan Locianpwe. Hal kedua yang perlu teecu laporkan adalah bahwa selama lima tahun ini, teecu berada di dalam Ruangan Kesadaran bersama Sukong.”

“Hal itu pun pinceng sudah tahu, Yap-sicu dan pinceng merasa girang sekali mendengar bahwa Suhu berkenan menurunkan ilmunya kepada seorang pilihan seperti Sicu. Mudah-mudahan saja Sicu dapat mempergunakan pelajaran dari Suhu itu untuk membela kebenaran dan keadilan.”

“Tentu saja teecu akan memperhatikan pesan Locianpwe. Dan laporan ketiga dari teecu adalah pesan dari Sukong bahwa Sukong minta agar Locianpwe suka menyediakan sebuah peti mati sederhana untuk Sukong dan kelak Sukong minta agar jenazahnya diperabukan di puncak bukit di belakang kuil tanpa upacara dan tidak perlu memberi tahu orang-orang kang-ouw.”

“Omitohud...!” Thian Kek Hwesio menangkap kedua tangan ke depan dada dan memejamkan kedua matanya. “Pinceng akan melaksanakan semua perintah Suhu.”

“Sekarang teecu mohon diri dari Locianpwe, akan meninggalkan Siauw-lim-si,” kata Kun Liong sambil memberi hormat.

“Nanti dulu, Sicu. Tidakkah Suhu memerintahkan sesuatu untuk Sicu kerjakan?”

“Tidak, Locianpwe.”

“Kalau begitu, agaknya Subu menghendaki agar pinceng yang minta bantuan Sicu. Dahulu ketika Suhu memberi tahu kepada pinceng bahwa Sicu diambilnya sebagai murid, Suhu mengatakan bahwa Siculah yang akan ditugaskan untuk mencari kembali dua buah pusaka yang dahulu dicuri oleh maling-maling itu. Karena itu, sekarang pinceng mengharapkan bantuan Sicu untuk mendapatkan kembali dua buah pusaka yang dicuri itu.”

“Ahh, jadi maling-maling itu berhasil membawa pergi dua buah pusaka? Pusaka apakah yang dibawanya dan siapakah maling itu, Locianpwe?”

“Yang diambil adalah sebatang pedang Liong-bwe-kiam (Pedang Ekor Naga) dan sebuah hio-louw emas berukirkan burung hong bermata kemala. Adapun pencurinya, kalau tidak salah dugaan kami adalah tokoh-tokoh dari Kwi-eng-pai yang berpusat di pulau di tengah-tengah Telaga Kwi-ouw (Telaga Hantu).”

Hwesio tua itu lalu menceritakan tentang dua orang anggauta maling yang tertangkap dan betapa mereka membunuh diri dengan duri kembang hijau sehingga tidak sempat mengaku.

“Yang mengkhawatirkan hati kami adalah Sute Thian Le Hwesio. Suhu telah memesan bahwa Sicu yang akan mencari kembali pusaka-pusaka yang tercuri, akan tetapi Sute tidak sabar lagi dan dua bulan yang lalu Sute Thian Le Hwesio sudah diam-diam meninggalkan kuil dan menurut para murid, katanya Sute menyatakan bahwa dia pergi untuk merampas kembali pusaka-pusaka itu. Karena itu, pinceng harap sukalah Sicu membantu dan menyusul Sute ke Kwi-ouw untuk membantunya mengambil kembali pusaka yang tercuri.”

“Baikiah, Locianpwe. Teecu akan berusaha sedapat mungkin untuk mendapatkan kembali dua pusaka itu.”

Setelah Thian Kek Hwesio memberi petunjuk kepada Kun Liong di mana letaknya Telaga Hitam, berangkatlah Kun Liong meninggalkan kuil itu. Setelah berada di luar dan melihat pemandangan alam yang indah, terlupalah olehnya akan hal-hal yang tidak menyenangkan, akan kematian sukongnya, akan tugas berat yang dipikulnya, dan yang terasa olehnya hanyalah kelegaan hati yang membuat dadanya seperti melembung dan ringan.

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: