*

*

Ads

FB

Sabtu, 01 Oktober 2016

Petualang Asmara Jilid 048

Kun Liong bersikap tenang akan tetapi dia menggeleng kepalanya.
“Pada saat ini Siauw-lim-si tidak menerima kunjungan orang-orang asing. Harap Sam-wi kembali saja dari mana Sam-wi datang dan jangan memasuki kuil karena para suhu sedang sibuk.”

“Eh, eh, omongan apa ini?” Orang she Song yang bermuka merah menegur dengan suaranya yang galak. Dia memang termasuk orang yang wataknya berangasan. “Engkau bilang bahwa kau bukan seorang hwesio biarpun kepalamu gundul. Sekarang engkau menghalangi kami hendak memasuki Siauw-lim-si. Sebenarnya siapakah engkau dan apa kehendakmu terhadap kami?”

“Aku adalah seorang sahabat baik dari para pimpinan Siauw-lim-pai, karena itu aku harus mencegah kalian melakukan pengacauan di Siauw-lim-si.”

“Manusla sombong! Apakah ehgkau menantang berkelahi?” Si Muka Merah membentak.

Kun Liong menggeleng kepalanya.
“Aku tidak menantang siapa pun, akan tetapi aku tidak ingin melihat orang-orang menggunakan kepandaian untuk melakukan kejahatan, apalagi terhadap Siauw-lim-pai. Karena itu, harap Sam-wi (Tuan Bertiga) suka pergi lagi dan jangan mengganggu para pimpinan Siauw-lim-pai yang sedang sibuk.”

“Bocah lancang! Kau tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa! Manusia sombong seperti engkau layak dlhajar!”

Si Muka Merah sudah mengepal tinju dan hendak menerjang maju, akan tetapi Si Pengantuk melarangnya,

“Saudara Song, jangan!”

Si Muka Merah itu mundur kembali, akan tetapi mukanya menjadi makin merah karena dia marah bukan main. Kini Si Pengantuk melangkah maju menghadapi Kun Liong dan memandang penuh selidik, kemudian berkata,

“Sahabat muda, engkau dengan tegas melarang kami memasuki kuil Siauw-lim-si dan menuduh kami hendak mengadakan pengacauan. Agaknya engkau salah sangka. Kami bukan berniat melakukan kekacauan, karena itu harap engkau jangan menghalangi kami.”

Kun Liong menggeleng kepalanya.
“Melihat sikap kalian, aku tidak dapat percaya dan aku menduga bahwa tentu engkau tidak mempunyai niat baik. Akan tetapi, kalau engkau suka memberi tahu kepadaku apa niat kedatangan kalian bertiga, aku akan melaporkan kepada Ketua Siauw-lim-pai dan kalian menanti dulu di sini.”

Akan tetapi Si Pengantuk masih kelihatan tenang dan sabar.
“Orang muda, kami memang ada urusan penting dengan Ketua Siauw-lim-pai, akan tetapi urusan ini tidak dapat kuberitahukan kepada siapapun juga.”

“Kalau begitu menyesal sekali, harap kalian suka pergi lagi saja.” Kun Liong berkata tegas.






“Kalau kami tidak mau dan hendak terus memasuki kuil?”

“Terpaksa aku mencegah kalian.”

“Orang muda, engkau menantang kami?”

“Nah, lagi-lagi aku dituduh menantang!” Kun Liong tersenyum. “Engkau ini orang tua disebut tai-hiap yang berarti pendekar besar dan dengan sendirinya tentu seorang pendekar maklum akan duduknya perkara. Sam-wi datang hendak memaksa memasuki kuil, aku sebagai seorang yang merasa pula bertanggung jawab akan keselamatan kuil Siauw-lim-si, menolak kedatangan Sam-wi dan minta agar Sam-wi pergi lagi saja, akan tetapi Sam-wi hendak memaksa. Tentu saja kalau Sam-wi memaksa aku akan mencegah. Eh, kini Sam-wi menuduh aku menantang! Benarkah pendapat seperti itu?”

Si Pengantuk she Tio berkata, kini suaranya dingin dan tegas.
“Orang muda, agaknya engkau memiliki sedikit kepandaian dan terlalu mengandalkan kepandaian itu sehingga berani bicara main-main dengan kami. Minggir dan jangan mencari perkara!”

“Kalian yang terlalu, aku tidak mau minggir.”

“Kalau begitu bersiaplah kau, orang muda. Mari kita memutuskan urusan ini dengan mengadu kepandalan.”

“Aku tidak mau berkelahi.”

Si Pengantuk tercegang dan bingung juga bagaimana harus bersikap terhadap pemuda gundul yang aneh ini. Si Muka Merah sudah membentak lagi,

“Dia pengecut!”

“Aku tidak takut kepada kalian bertiga, pasti bukan pengecut,” bantah Kun Liong yang tersinggung juga disebut pengecut.

“Kalau berani, majulah!” tantang Si Muka Merah.

“Tentu saja berani, akan tetapi aku tidak suka berkelahi!”

“Eh, orang muda! Engkau bersikap menantang kami akan tetapi menyatakan tidak suka berkelahi, sebenarnya apakah maksudmu!”

“Maksudku sudah jelas, Tai-hiap. Aku minta agar kalian bertiga tidak memasuki kuil dan suka pergi dengan aman dan damai. Nah, bukankah kita tidak saling mengganggu dan urusan dapat dihabiskan sampai di sini saja?”

“Bocah sombong! Tio-taihiap, biar aku menghajarnya!” orang she Song yang bermuka merah tak dapat menahan kemarahannya lagi karena merasa bahwa pemuda gundul itu sengaja mempermainkan mereka.

Teriakannya ini disusul dengan gerakan tubuhnya yang sudah menerjang maju dan mengirim pukulan tangan kanannya ke arah dada Kun Liong.

Pukulan kasar ini biarpun dilakukan dengan pengerahan sin-kang dan cepat serta keras sekali datangnya, bagi Kun Liong yang sudah dapat mengukurnya bukan merupakan serangan berbahaya. Karena itu, pemuda ini sama sekali tidak mau mengelak atau menangkis, melainkan dia menerima pukulan dengan dadanya sambil mengerahkan tenaga sin-kang yang dahulu dipelajarinya dari Bun Hwat Tosu.

Dengan sin-kang yang sama, Bun Hwat Tosu dahulu pernah menerima pukulan Hek-tok-ciang (Tangan Beracun Hitam) dari Ketua Ui-hong-pang tanpa terluka, bahkan Si Ketua itu sendiri yang terluka tangannya oleh pukulan sendiri yang membalik hawanya.

“Bukkkk!”

Keras sekali datangnya pukulan itu, mengenai dada Kun Liong dan membuat tubuh pemuda gundul itu terguncang, namun berkat tenaga sin-kang yang menolak dan membetot, tangan yang memukul itu meleset seolah-olah memukul karet yang amat keras dan Si Muka Merah itu meringis ketika tangannya menyeleweng dan tubuhnya terpental sampai terhuyung ke kiri! Ketika dia melihat ke arah tangan kanannya, tangannya itu telah bengkak-bengkak! Dan ketika dia melirik ke arah pemuda gundul itu, Si Pemuda masih berdiri tegak dengan sikap tenang dan mulut tersenyum.

“Hemm, tukang pukul orang! Masih ada lagikah pukulanmu yang lunak seperti tahu tadi?”

Kun Liong mempermainkan Si Muka Merah yang menjadi marah sekali. Dengan tangan kirinya, Si Muka Merah sudah meraba punggung dan tampaklah sinar berkilauan ketika dia telah mencabut pedangnya.

“Saudara Song, jangan main senjata!” Si Pengantuk menegur.

“Sute, mundurlah!”

Orang bermuka pucat she Kui yang menjadi suheng dari Si Muka Merah sudah meloncat ke depan. Gerakannya lincah, ringan dan cepat bukan main. Sekali pandang saja, tahulah Kun Liong bahwa kepandaian Si Muka Pucat ini lebih lihai daripada Si Muka Merah yang kasar. Begitu menyerang, Si Muka Pucat she Kui itu telah mengirm totokan halus yang cepat sekali ke arah leher dan pundak Kun Liong.

Biarpun dia sama sekali belum berpengalaman, namun berkat bimbingan dua orang sakti yang berilmu tinggi, pandang mata Kun Liong menjadi awas sekali. Dia maklum bahwa amat berbahayalah untuk melindungi tubuhnya dengan sin-kang seperti yang dilakukannya tadi karena kini yang menjadi sasaran serangan lawan adalah jalan darah yang lemah dan totokan lawan itu selain cepat juga mengandung hawa pukulan yang amat kuat.

Maka dia pun lalu menggerakkan tubuh mengelak dan begitu dia bergerak, Si Pengantuk menahan seruannya saking kagum. Gerakan Kun Liong jauh lebih cepat daripada gerakan Si Muka Pucat dan serangan bertubi-tubi yang dilanjutkan oleh orang she Kui itu selalu tak dapat berhasil, kalau tidak dielakkan tentu kena ditangkis secara tepat sekali oleh Kun Liong. Tidaklah mengherankan kalau semua serangan itu gagal karena Kun Liong sudah melindungi dirinya dengan gerakan Ilmu Silat Sakti Im-yang-sin-kun bagian pertahanan.

Si Pengantuk yang memperhatikan dengan teliti gerakan Kun Liong, terkejut menangkap dasar-dasar Ilmu Silat Siauw-lim-pai, akan tetapi ilmu silat yang dimainkan pemuda itu hanya mempunyai dasar ilmu silat Siauw-lim-pai, sedangkan perkembangan dan gerakannya sama sekali tidak dia kenal! Padahal, biasanya dia boleh berbangga bahwa jarang ada ilmu silat yang tidak dikenalnya, apalagi ilmu silat yang berdasar Siauw-lim-pai.

Ketika kakek pengantuk itu melihat betapa pemuda gundul itu sama sekali tidak membalas serangan temannya, namun semua serangan temannya itu sama sekali tidak pernah berhasil tahulah dia bahwa temannya she Kui itu pun bukan lawan pemuda gundul yang amat aneh ilmu silatnya itu. Maka dengan gerakan ringan sekali seperti seekor burung terbang dia sudah meloncat ke depan, menyambar lengan temannya, menarik sambil berseru,

“Mundurlah, Saudara Kui!”

Tubuh orang she Kui yang bermuka pucat itu tertarik dan melayang meninggalkan lawan. Kun Liong yang kehilangan lawan itu memandang kaget ketika melihat betapa tahu-tahu lawannya telah berganti orang, yaitu Si Pengantuk yang ia tahu amat lihai.

“Sam-wi benar-benar keras kepala dan ingin mengandalkan kepandaian untuk memaksakan kehendak sendiri!”

Kun Liong mencela, namun tetap siap siaga menghadapi lawan yang ia tahu tak boleh dipandang ringan itu.

“Orang muda, engkaulah yang keras kepala. Pergilah!”

Si Pengantuk sudah menyerang, akan tetapi gaya serangannya jauh berbeda dengan gerakan kedua orang temannya tadi, Si Pengantuk ini hanya menggerakkan tangan kirinya, dan ujung jari tangan kirinya melecut seperti ujung cambuk yang lemas, mengarah leher dan pundak Kun Liong.

Pemuda itu terkejut bukan main. Biarpun serangan itu kelihatannya bersahaja dan tidak sungguh-sungguh, namun kepretan tangan itu mendatangkan hawa pukulan yang panas sekali! Tentu saja dia tidak berani menerima serangan sehebat itu, maka cepat dia pun mengerahkan tenaganya ke arah tangan, menggerakkan tangan kanannya menangkis jari-jari tangan lawan itu dan dari tangannya mengepul uap putih.

“Plak! Plakkk!”

Kakek pengantuk itu mencelat mundur dengan terkejut sekali. Ternyata bahwa lengan pemuda gundul itu mampu menangkis kepretan ujung jari tangannya, padahal dia tahu benar bahwa jarang ada orang kang-ouw yang sanggup menangkisnya tanpa terdorong mundur atau terluka tangannya. Pemuda itu menangkis dengan kekuatan dahsyat dan sama sekali tidak kelihatan menderita! Bahkan tangan pemuda itu mengeluarkan uap putih yang aneh!

Lagi-lagi dia tadi telah mempergunakan Pek-in-ciang yang dipelajarinya dari Tiang Pek Hosiang. Kalau lawannya terkejut dan terheran, Kun Liong juga kagum sekali ketika merasa betapa hawa tamparan ujung jari itu membuat lengannya tergetar hebat. Makin yakinlah hatinya bahwa lawannya ini benar-benar berilmu tinggi!

“Orang muda, terpaksa aku tidak boleh mengalah lagi kepadamu!”

Kakek pengantuk itu berkata, kedua lengannya bergerak dan terdengarlah suara berkerotokan seolah-olah seluruh tulang-tulang lengannya patah-patah! Kun Liong yang belum berpengalaman, memandang dengan mata terbelalak dan hati ngeri karena dia dapat menduga bahwa tentu kakek itu mengeluarkan ilmunya yang mujijat.

“Omitohud... harap tahan dulu, Tio-taihiap...!”

Si Pengantuk dan Kun Liong yang sudah siap untuk bertanding mati-matian karena maklum bahwa lawan tak boleh dibuat main-main, segera melangkah mundur dan menoleh. Kiranya Thian Kek Hwesio sendiri, Ketua Siauw-lim-pai yang telah berada di situ. Melihat kakek ini, Si Pengantuk cepat menjura dengan hormat diikuti dua orang temannya dan Si Pengantuk berkata,

“Harap Thian Kek-suhu suka memaafkan kami...”

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: