*

*

Ads

FB

Sabtu, 01 Oktober 2016

Petualang Asmara Jilid 050

Kita tinggalkan dulu kuil Siauw-lim-si yang sedang berkabung dan mari kita tengok keadaan Pendekar Sakti Cia Keng Hong dan keluarganya yang merupakan tokoh-tokoh penting dalam cerita ini.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, lima tahun yang lalu, ketika Kun Liong berusia lima belas tahun dan dia pergi ke Cin-ling-san mencari ayah bundanya, dan hanya bertemu dengan Cia Giok Keng, puteri tunggal keluarga pendekar itu, karena pada waktu itu Cia Keng Hong dan isterinya sedang turun dan mereka justeru pergi ke kota Leng-kok, mengunjungi sahabat baik mereka, yaitu Yap Cong San suami isteri.

Dengan perasaan penuh harap dan gembira karena akan dapat berjumpa dengan sahabat-sahabat mereka, Cia Keng Hong dan isterinya, Sie Biauw Eng, memasuki kota Leng-kok.

Mereka berjalan kaki memasuki kota itu dengan wajah berseri gembira. Kalau orang melihat mereka sepintas lalu, tentu akan mengira bahwa mereka itu hanyalah dua orang pelancong biasa saja karena tidak ada apa-apa yang menonjol pada diri mereka, kecuali bahwa mereka merupakan sepasang suami isteri setengah tua yang tampan dan cantik.

Cia Keng Hong sudah berusia empat puluh tahun, tampak gagah dan tampan, dengan kumis dan jenggotnya yang panjang, akan tetapi tidak terlalu panjang. Rambutnya digelung ke atas dan dibungkus sehelai kain kepala berwarna kuning. Tubuhnya masih tegap dan langkahnya seperti seekor harimau. Pakaiannya longgar dan sederhana, jubah yang panjang menyembunyikan pedang Siang-bhok-kiam yang terselip di pinggangnya. Pedang Kayu Harum ini pernah menggegerkan dunia kang-ouw belasan tahun yang lalu (baca ceritaPedang Kayu Harum ). Kalau ada yang dapat menduga bahwa dia pandai ilmu silat, agakhya hanya karena sepatunya, sepatu kulit yang tinggi, kuat dan biasa dipergunakan merantau.

Isterinya, Sie Biauw Eng, masih tampak cantik jelita walaupun usianya sudah mendekati empat puluh tahun. Tubuhnya masih ramping padat, kedua pipinya belum diserang keriputan, masih halus putih dan agak kemerahan karena sehari itu dia berjalan kaki sampai jauh. Juga nyonya cantik ini tidak kelihatan membawa senjata. Siapa yang akan menyangka bahwa sabuk sutera putih yang dengan indahnya membelit pinggang ramping itu merupakan senjata maut yang belasan tahun lalu menimbulkan kengerian di dalam hati setiap orang lawan? Pakaiannya juga sederhana namun bersih dan tidak dapat menyembunyikan bentuk tubuhnya yang matang dan padat itu. Seperti suaminya, dia pun memakai sepatu kulit yang tinggi.

Biarpun kenyataan bahwa suami isteri ini melakukan perjalanan jauh berdua saja sudah menimbulkan dugaan bahwa mereka bukanlah orang-orang lemah, namun kiranya tidak akan ada orang yang pernah mimpi bahwa pria itu adalah Pendekar Sakti Cia Keng Hong yang lebih terkenal dengan julukan yang diberikan karena pedangnya, yaitu Siang-bhok-kiam. Dan siapa yang akan mengira bahwa wanita cantik yang wajahnya berseri dan bibirnya selalu tersenyum itu adalah Sie Biauw Eng, yang di waktu masih gadis dahulu berjuluk Song-bun Siu-li (Dara Cantik Berkabung)? Nama julukan yang amat terkenal di kalangan kaum sesat?

Pada waktu itu, kiranya tidak ada tokoh kang-ouw atau datuk kaum sesat yang lebih terkenal daripada Siang-bhok-kiam Cia Keng Hong dan isterinya, Song-bun Siu-li Sie Biauw Eng. Bahkan Cinling-pai yang sebetulnya hanya sekumpulan penduduk dusun pegunungan, karena diketuai dan dipimpin oleh Cia Keng Hong, menjadi amat terkenal dan disegani dunia kang-ouw.

Sambil menoleh ke kanan kiri memandangi bangunan-bangunan di dalam kota Leng-kok, Sie Biauw Eng berkata,






“Aihhh, sungguh banyak kemajuan terjadi di dalam kota ini. Hampir aku tidak mengenalnya lagi, padahal baru beberapa tahun kita tidak melihat Leng-kok.”

Cia Keng Hong tersenyum,
“Kau kira baru berapa tahun? Jangan mimpi, sudah lima belas tahun kita tidak pernah kesini dan lima belas tahun bukanlah waktu singkat, tentu saja banyak terjadi perubahan.”

“Hemmm, waktu berlalu dengan cepat sekali, tanpa terasa belasan tahun telah lewat! Betapapun juga, kemajuan di Leng-kok mengagumkan dan aku yakin bahwa jasa Cong San dan Yan Cu dalam kota ini tidaklah kecil.”

“Tentu saja! Mereka merupakan tabib-tabib yang terkenal di sini, agaknya tentu tidak ada seorang pun penduduk yang belum pernah mereka tolong. Kuharap saja putera mereka mewarisi kegagahan ayah bundanya sehingga tidak akan mengecewakan hati kita.”

“Hem, mengapa kita akan kecewa andaikata anak mereka itu tidak seperti yang kita harapkan?” Sie Biauw Eng bertanya, “Anak itu bukanlah kita, dan harapan kita belum tentu sama dengan harapan orang tuanya. Apa yang kita anggap tidak baik, belum tentu dianggap buruk pula oleh orang lain.”

“Wah, isteriku yang baik, lagi-lagi engkau berfilsafat!” Keng Hong menggoda.

“Bukan filsafat. Kau tahu bahwa aku tidak suka akan filsafat muluk-muluk yang hanya menjadi permainan kata-kata kosong belaka. Yang kukatakan tadi adalah kenyataan. Telah menjadi kesalahan kita pada umumnya bahwa kita selalu digoda harapan-harapan akan sesuatu, ingin melihat sesuatu sesuai dengan yang kita kehendaki. Inilah salahnya maka seringkali kita mengalami puas dan kecewa. Kita tidak dapat menerima apa adanya sehingga tidak pernah tenang. Anak Cong San itu... eh, siapa namanya...?”

“Yap Kun Liong, masa kau lupa lagi?”

“Oya, Kun Liong, seperti apa pun dia, kita harus dapat menerima dan melihat dia seperti keadaannya, bebas dari prasangka dan harapan kosong.”

“Ah, mana mungkin begitu, isteriku? Dia bukan orang lain, dia calon mantu kita...”

“Hemm, belum juga melihat orangnya, bagaimana sudah hendak memastikan bahwa dia calon jodoh Giok Keng? Kita harus melihatnya dulu, apa sekiranya cocok kalau dijodohkan dengan anak kita. Selain itu, kita pun harus menanyakan pendapat dua orang anak yang bersangkutan itu pula.”

“Hemmm... hemmm...”

“Hemm-hemm apa maksudmu?” Biauw Eng memandang suaminya.

“Kalau kau terlalu memanjakan Keng-ji, bahkan dalam soal perjodohan, engkau hanya akan merusak hidupnya...”

“Ehh! Apakah yang kau katakan ini? Mari kita bicarakan hal ini dulu sebelum kita bertemu Cong San dan Yan Cu.”

“Sudahlah, isteriku. Perlukah kita bertengkar setelah tiba di tempat ini? Kita bicarakan urusan jodoh perlahan-lahan...”

“Tidak bisa! Harus sekarang kita bicarakan lebih dulu. Aku mau ketegasan dalam hal ini, itu disana ada warung, kita berhenti dulu di sana!”

“Tenanglah... ingat akan kandunganmu...” Keng Hong memperingatkan.

“Engkau sih yang bicara tidak beres. Hal ini tidak ada sangkut-pautnya dengan ini... apalagi baru dua bulan... ah, semua gara-gara engkau!”

Mereka memasuki warung dan memilih tempat duduk di sudut, jauh dari tamu lainnya. Setelah hidangan yang mereka pesan disediakan, mereka bicara bisik-bisik namun kelihatan serius sekali.

“Semua salahmu! Sampai bingung memikirkan bagaimana harus memberitahukan Giok Keng! Dia sudah lima belas tahun dan... akan mempunyai adik! Betapa terlambatnya! Dan aku sudah tua! Salahmu...!” Suara Biauw Eng mengandung isak tertahan.

“Hishhh! Kenapa hanya aku saja yang salah? Bukankah hal ini akibat perbuatan kita berdua? Sudahlah, isteriku. Perlukah hal seperti ini dibuat cekcok? Engkau masih muda! Siapa bilang engkau sudah tua? Engkau masih patut mempunyai anak lima orang lagi!”

“Ngacau...!”

Blauw Eng membentak dan mendelik, akan tetapi melihat suaminya yang tercinta itu tersenyum-senyum, perlahan-lahan kemarahannya mereda dan kedua pipinya menjadi merah.

“Tidak perlu kau bingung, Keng-ji tentu akan menari kegirangan kalau mendengar akan mempunyai seorang adik yang sudah bertahun-tahun diinginkannya.”

“Sebetulnya aku pun tidak hendak membicarakan hal kandungan. Aku sudah menerimanya sebagai anugerah Tuhan, akan tetapi engkau sih, membawa-bawa dalam persoalan perjodohan Giok Keng. Apakah engkau akan berkeras kepala mengambil keputusan tentang perjodohan anak kita tanpa mempedulikan perasaan hatinya sendiri?”

Keng Hong menarik napas panjang.
“Isteriku, Giok Keng masih kanak-kanak, mana mungkin dia mempunyai pendapat tentang jodoh? Kita adalah ayah bundanya, andaikata aku salah pilih, kiranya engkau tidak akan membiarkan saja. Pilihan kita tentu telah kita pikirkan masak-masak, dan kita tujukan semata demi kebahagiaan anak kita.”

“Aku percaya, akan tetapi harus kita sadari bahwa pendapat kita belum tentu sama dengan pendapat Giok Keng. Pemuda yang kita anggap baik belum tentu menyenangkan hatinya. Suamiku, mengapa kau tidak bersikap bijaksana dalam hal ini? Ingatlah akan riwayat kita sendiri. Perjodohan tidak boleh dipaksakan. Perjodohan harus terjadi atas dasar dorongan hasrat kedua orang anak yang hendak berjodoh itu sendiri. Perjodohan bukan hal main-main, melainkan dilakukan satu kali untuk selama hidup. Sekali salah pilih, akan menderita selamanya.”

“Nah, itulah! Karena tidak ingin anak kita salah pilih, sebaiknya kita yang memilihkan, dan kurasa anak suami isteri seperti Cong San dan Yan Cu tentulah baik!”

“Betapapun juga, biarkan dia memilih sendiri.”

“Kalau dia yang masih hijau dan bodoh itu salah pilih?”

“Kewajiban kita untuk turun tangan menyadarkannya!”

“Hemm, aku tetap ingin berbesan dengan Cong San.”

“Mungkin saja, kalau Keng-ji cocok dan suka kepada Kun Liong. Mengapa engkau bingung seperti kucing hendak bertelur? Kalau memang sudah jodoh, apa yang dikhawatirkan kelak tidak akan bertemu?”

Keng Hong merengut.
“Gila kau! Masa aku disamakan kucing hendak bertelur? Mana ada kucing bisa bertelur?”

Biauw Eng tertawa, girang dapat membalas dan membikin suaminya marah.
“Karena bingungnya, kau seperti kucing hendak bertelur! Soal jodoh kita bicarakan nanti kalau semua pihak sudah setuju. Mengapa tergesa-gesa? Bukankah kedatangan kita ini untuk mengunjungi mereka dan sekalian melihat bagaimana macamnya putera mereka itu?”

“Ya, sudahlah, asal engkau jangan berkokok ribut seperti ayam hendak beranak!”

“Hehh? Mana ada ayam beranak...? Wah, engkau membalas, ya?”

Biauw Eng mencubit lengan suaminya dan keduanya tertawa. Dalam keadaan seperti itu, suami isteri itu masih seperti ketika mereka berbulan madu dahulu! Dan memang demikianlah cinta kasih antara suami isteri yang benar-benar saling mencinta. Tidak ada usia tua, tidak ada keriput, tidak ada uban, tidak ada dan tidak pernah ada istilah buruk bagi mereka yang saling mencinta!

“Husshhh! Malu dilihat orang! Dan kalau tiba-tiba Cong San dan Yan Cu muncul dan melihat kita bukan langsung ke rumah mereka melainkan bersendau-gurau di warung arak, bisa kita dicap sombong!”

Keng Hong segera membayar harga makanan, kemudian mereka bergegas keluar dari warung dan langsung menuju ke rumah Yap Cong San yang di kota itu terkenal sebagai Yap-sinshe (Tabib Yap).

Dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka mendengar bahwa suami isteri sahabat baik mereka itu telah kurang lebih lima tahun meninggalkan Leng-kok tanpa pamit dan tak seorang pun mengetahui kemana mereka pergi.

“Ji-wi (Kalian Berdua) sudah lama sekali terlambat. Yap-sinshe dan isterinya, juga puteranya, telah bertahun-tahun pergi.”

“Mengapa? Apa yang terjadi?” Keng Hong bertanya, masih dicekam keheranan.

“Mereka... melarikan diri...” Seorang kakek bekas tetangga Yap-sinshe menjelaskan.

“Tidak mungkin!” Biauw Eng berseru. “Mereka bukanlah orang-orang pengecut yang melarikan diri begitu saja! Siapa yang mereka takutkan?”

“Mereka menjadi orang-orang buruan pemerintah.”

“Ehhh...?” Keng Hong segera memegang tangan kakek itu dan berbisik, “Harap Loheng sudi menceritakan kepada kami.”

Kakek itu mengangguk.
“Marilah, mari singgah di rumahku dan nanti kuceritakan kepada Ji-wi.”

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: