*

*

Ads

FB

Kamis, 06 Oktober 2016

Petualang Asmara Jilid 051

Dengan hati berdebar penuh kekhawatiran, Keng Hong dan Biauw Eng mengikuti kakek itu memasuki rumahnya yang sederhana dan miskin. Setelah mereka dipersilakan duduk dan disuguhi air teh, kakek itu lalu bercerita tentang kesalahan Yap-sinshe tidak berhasil mengobati para perwira yang terluka sehingga ditangkap dan kemudian bersama isterinya, Yap-sinshe melarikan diri dari tahanan dan menjadi orang buruan.

“Mengapa tidak berhasil mengobati sampai ditangkap?” Keng Hong bertanya.

Kakek itu menarik napas panjang dan menggerakkan kedua pundaknya.
“Aku tidak tahu, akan tetapi agaknya sudah pasti sekali Yap-sinshe bentrok dengan Pembesar Ma, kepala daerah di Leng-kok ini. Apa sebabnya aku tidak tahu, dan agaknya tidak ada orang yang tahu kecuali mereka sendiri.”

“Dan puteranya? Ke mana perginya putera mereka, Yap Kun Liong?”

“Ahhh, Yap-kongcu sudah lebih dulu pergi sebelum ayahnya ditangkap. Entah ke mana. Sampai sekarang mereka bertiga tidak pernah muncul. Bahkan ketika kakek Liok Siu Hok meninggal dunia dua minggu yang lalu, mereka tidak muncul.”

Keng Hong dan isterinya teringat bahwa Kakek Liok Siu Hok adalah paman tua dari Cong San, satu-satunya keluarga sahabat mereka itu yang tinggal, karena itu, agak aneh kalau sampai Cong San seanak isteri tidak muncul ketika kakek itu meninggal dunia.

“Bagaimana matinya?”

“Mati tua... dan agaknya karena duka. Kasihan kakek itu tidak mempunyai keluarga lagi, mati dalam kesunyian.”

Keng Hong dan isterinya menghaturkan terima kasih, lalu keluar dari rumah kakek itu.

“Ke mana kita harus mencari mereka?” katanya dengan suara kecewa.

“Tiada gunanya dicari kalau mereka itu melarikan diri. Kalau mereka ingin berjumpa dengan kita, tentu mereka yang akan datang mengunjungi Cin-ling-san.”

“Benar kata-katamu. Kalau begitu kita pulang saja.”

“Tidak, aku masih belum puas. Aku harus mengerti duduknya perkara ini dan memaksa dia mengaku!” kata Biauw Eng gemas.

“Dia? Siapa?”

“Siapa lagi kalau bukan pembesar jahat she Ma itu!”

“Wah-wah! Isteriku, ingat, kita bukan orang muda petualang seperti dahulu lagi! Kita adalah pemimpin Cin-ling-pai dan orang she Ma itu adalah orangnya pemerintah! Apa kau ingin dicap pemberontak?”






“Serahkan saja kepadaku. Mari ikut!”

“Eh, ke mana?”

Keng Hong tak berdaya menghadapi isterinya yang ia tahu sedang marah dan penasaran itu!

“Ke gedung Kepala Daerah!”

Keng Hong tidak membantah dan diam-diam ia gembira melihat betapa isterinya sama sekali belum berubah, masih seperti Song-bun Siu-li dahulu, dara cantik jelita yang kadang-kadang disebut dewi akan tetapi adakalanya disebut iblis betina yang ganas! Isterinya ini, biarpun usianya sudah tiga puluh tujuh lebih, ibarat gunung berapi belum kehilangan kawahnya, bagaikan merica belum kehilangan pedasnya, dan bagaikan bunga mawar harum belum kehilangan durinya! Tanpa disadarinya, mulut Cia Keng Hong tersenyum-senyum dan dia tidak tahu betapa isterinya mengerling kepadanya dan mengerutkan alis penuh curiga ketika melihat senyumnya. Tiba-tiba Biauw Eng berhenti melangkah.

“Mengapa kau mesam-mesem? Mentertawakan aku, ya?”

“Wah, tidak! Aku hanya...”

“Hanya apa...?”

“Kasihan kepada Ma-taijin!”

“Huh! Lihat saja nanti, si keparat itu!”

Waktu itu hari telah sore dan kantor pembesar kepala daerah sudah lama ditutup. Pembesar Ma sedang beristirahat di dalam kamar seorang di antara selirnya, tidur nyenyak kelelahan. Semalam pembesar ini kurang tidur, menjamu beberapa orang tamu rahasia yang kini masih berada di dalam gedungnya dan juga beristirahat di dalam kamar-kamar tamu yang disediakan untuk mereka.

Ketika Keng Hong dan isterinya tiba di halaman gedung pembesar Ma, tentu saja mereka dihadang oleh para penjaga. Akan tetapi kepala penjaga bersikap hormat ketika melihat sikap suami isteri itu yang tenang dan gagah. Dia menjura dan bertanya,

“Ada keperluan apakah Ji-wi (Anda Berdua) datang ke sini? Tanpa ijin, siapa pun dilarang memasuki halaman ini.”

Pada waktu itu, Biauw Eng masih marah dan penasaran sekali mengingat akan nasib Yap Cong San dan isterinya, akan tetapi dia masih ingat akan kedudukannya sebagai isteri Ketua Cin-ling-pai maka dia menahan diri dan tidak terlalu ringan tangan seperti wataknya ketika masih gadis dahulu. Akan tetapi suaranya ketus dan dingin ketika dia berkata,

“Laporkan kepada Ma-taijin bahwa kami ingin bertemu dan bicara dengannya!”

Kepala penjaga mengerutkan alisnya. Hatinya tidak senang mendengar suara ketus dan melihat sikap yang amat tidak menghormat terhadap Ma-taijin itu, maka dia menjawab,

“Tidak mungkin begitu mudah. Siapa pun yang hendak menghadap, harus lebih dulu mengajukan permohonan disertai keterangan nama, tempat tinggal dan keperluannya. Pula, permintaan itu baru bisa diajukan besok pagi karena sekarang kantor sudah tutup dan Taijin sedang beristirahat, tidak boleh diganggu.”

“Apa kau bilang?” Biauw Eng menudingkan telunjuknya ke arah muka kepala penjaga itu. “Apa kau kira tanpa laporanmu kami tidak bisa menemui orang she Ma itu?”

Para penjaga terkejut dan delapan orang penjaga sudah datang mendekat dan siap untuk menghadapi suami isteri itu. Akan tetapi Keng Hong cepat menjura dan berkata halus,

“Harap kalian suka melaporkan kepada Ma-taijin bahwa Cia Keng Hong dan isterinya mohon bertemu dan bicara dengan Ma-taijin.”

Akan tetapi para penjaga itu tidak mengenal nama ini. Biarpun nama ini amat terkenal, akan tetapi tentu saja yang mengenalnya hanyalah tokoh-tokoh kang-ouw saja dan tidak sembarangan orang seperti para penjaga itu mengenalnya. Karena itu, disebutnya nama ini sama sekali tidak ada artinya bagi mereka.

“Siapapun adanya Ji-wi, tanpa surat ijin khusus, tak berani kami mengganggu Taijin, dan sebaliknya Ji-wi segera pergi dan jangan membikin ribut di sini. Kami masih bersikap sabar, kalau sampai para pengawal tahu, tentu Ji-wi akan mendapat susah. Kalau Ji-wi ada urusan penting dengan Taijin, harap besok pagi saja mengajukan surat permobonan menghadap.”

“Keparat! Kalau begini kami tidak perlu dengan kalian!”

Blauw Eng sudah tidak sabar lagi, langsung dia melangkah ke depan, sama sekali tidak mempedulikan para penjaga yang menghadang di depannya.

Delapan orang itu tentu saja agak segan untuk menyerang seorang wanita, maka mereka hanya berdiri menghadang dan menghalangi di depan Biauw Eng sambil melintangkan tombak dan golok di tangan.

“Pergi!”

Biauw Eng membentak dan terdengar suara senjata-senjata itu terlempar disusul tubuh delapan orang penjaga itu terpelanting ke kanan kiri. Mereka berteriak kaget dan marah. Ketika mereka cepat melompat bangun lagi dan siap menerjang, mereka terbelalak melihat Keng Hong sudah berdiri tegak di depan mereka.

Pendekar ini menyambar sebatang golok yang tadi terlempar, kemudian sambil memandang mereka dengan senyum di bibir, kedua tangannya mematah-matahkan golok itu sedemikian mudahnya seperti orang mematahkan sebatang lidi saja!

Melihat demonstrasi kehebatan kedua tangan ini delapan orang itu terbelalak dengan muka pucat, kedua kaki mereka mundur-mundur dan tak seorang pun di antara mereka berani menerjang ke depan.

“Anjing-anjing pengacau dari mana berani membikin ribut di sini?”

Bentakan ini disusul munculnya tiga orang pengawal yang bertubuh tinggi besar dan bersikap garang. Melihat munculnya tiga orang pengawal yang terkenal jagoan ini, delapan orang penjaga itu berbesar hati. Kepala penjaga segera berkata,

“Mereka memukul kami, mereka hendak membunuh Taijin,”

Mendengar ini, Keng Hong dan Biauw Eng marah sekali, sedangkan tiga orang pengawal itu terkejut bukan main. Tampak sinar berkilat ketika mereka mencabut pedang dan meloncat ke depan menghadapi Keng Hong dan Biauw Eng.

Karena khawatir kalau-kalau isterinya tidak mampu mengendalikan diri dan membunuh alat pemerintah, Keng Hong sudah mendahului isterinya, melangkah ke depan, mendorongkan tangan kirinya ke arah tiga orang pengawal yang menerjang maju itu sambil membentak,

“Mundur kalian!”

Tentu saja tiga orang pengawal itu tidak mempedulikan bentakan ini dan sama sekali tidak peduli akan dorongan tangan Keng Hong, akan tetapi segera mereka itu berteriak kaget ketika merasa betapa tubuh mereka terdorong oleh angin yang amat dahsyat, yang membuat mereka tidak mampu mempertahankan diri dan terjengkang ke belakang! Ketika mereka merangkak bangun dan memandang, ternyata kedua orang suami isteri itu telah lenyap.

“Heii, ke mana mereka...?” tanya mereka.

“Celaka... mereka memasuki gedung...” jawab para penjaga yang tadi hanya memandang dengan mata terbelalak.

“Hayo kejar...!”

Berbondong mereka mengejar ke dalam gedung dan seorang di antara para perigawal sudah membunyikan kentungan tanda bahaya, memanggil berkumpul semua pengawal dan penjaga.

Keng Hong dan Biauw Eng memang telah berlari memasuki gedung, tidak rnau membuang waktu melayani para penjaga dan pengawal. Biauw Eng menangkap seorang pelayan wanita yang berlari ketakutan, menjambak rambutnya, dan menghardik,

“Lekas katakan di mana kamar Taijin!”

Jari-jari tangan Biauw Eng sengaja mencengkeram pundak pelayan itu yang merasa nyeri bukan main, sampai mukanya yang pucat mengeluarkan peluh dingin. Akan tetapi saking takutnya dia tidak dapat mengeluarkan suara, hanya menudingkan telunjuknya ke arah kamar besar di dekat ruangan tengah. Biauw Eng melepaskan tubuh pelayan itu yang mendeprok berlutut dan tidak mampu bergerak lagi saking takutnya, hanya menangis di atas lantai tak berani mengangkat muka.

Ketika Biauw Eng dan Keng Hong tiba di depan pintu kamar itu, Keng Hong berbisik,
“Isteriku, jangan membunuh orang...”

Biauw Eng mengangguk lalu menggunakan kakinya menendang daun pintu.
“Brakkk!” daun pintu jebol dan tampaklah seorang laki-laki tua, berusia hampir enam puluh tahun berdiri dengan mata terbelalak marah.

Seorang wanita muda dan cantik dengan pakaian tidak lengkap menjerit kecil dan cepat bersembunyi di atas pembaringan, di bawah selimut. Kakek itu sudah berpakaian lengkap, agaknya tadi terkejut mendengar kentungan tanda bahaya. Dia adalah Ma-taijin yang tentu saja menjadi marah sekali, terganggu dari istirahatnya yang asyik bersama selirnya.

“Apa ini? Siapa kalian berani kurang ajar? Pengawal! Tangkap mereka...!” Mataijin berseru marah.

Biauw Eng sudah melangkah masuk kamar.
“Apakah engkau Ma-taijin?” tanyanya.

Pembesar itu mengangkat muka membusungkan dada.
“Sudah tahu aku Ma-taijin, hayo lekas berlutut minta ampun!”

“Manusia rendah!”

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: