*

*

Ads

FB

Kamis, 06 Oktober 2016

Petualang Asmara Jilid 053

Betapapun juga, mereka berdua sudah mendengar jelas akan perubahan di dunia kang-ouw pada waktu itu. Mereka mendengar bahwa kini muncul lima orang datuk kejam sesat yang sepak terjangnya mengerikan, tidak saja menjagoi dunia kaum sesat, bahkan seringkali mengacau dunia kang-ouw dan merobohkan banyak orang gagah.

Mereka itu adalah Ban-tok Coa-ong Ouw-yang Kok, Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci, Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio, Hek-bin Thian-sin (Malaikat Muka Hitam) Louw Ek Bu, dan seorang lagi yang hanya dikenal namanya akan tetapi belum pernah ada yang bertemu dengannya yang terkenal julukannya saja, yaitu Toat-beng Hoat-su (Kakek Ajaib Pencabut Nyawa)!

Mendengar penuturan para tokoh kang-ouw yang menceritakan kepada mereka akan kelihaian lima orang datuk kaum sesat ini, timbul keinginan di hati Keng Hong dan terutama Biauw Eng untuk bertemu dengan mereka dan mencoba kesaktian mereka.

Keinginan seperti ini memang wajar dimiliki oleh ahli-ahli seperti mereka, bukan keinginan menundukkan dan menjagoi, melainkan keinginan untuk mengukur kepandaian masing-masing. Namun Keng Hong mencegah isterinya dengan menyabarkan diri dan berkata bahwa tidak semestinya mereka yang telah memimpin sebuah partai seperti Cin-ling-pai merendahkan diri berkenalan dengan tokoh-tokoh yang dianggap jahat seperti iblis itu.

“Pula, dalam keadaan dirimu sedang mengandung, amat berbahaya untuk bertanding menghadapi lawan yang sakti, selain itu tidak baik kalau kita terlalu lama meninggalkan Giok Keng seorang diri saja di Cin-ling-san. Sebaiknya kita lekas pulang dan mengingat akan munculnya banyak orang pandai di kalangan kaum sesat, kita harus lebih tekun menggembleng Giok Keng dan meningkatkan kepandaian para anggauta Cin-ling-pai.”

Mendengar ucapan suaminya yang tak dapat dibantah kebenarannya, Biauw Eng tidak membantah, maka pulanglah suami isteri pendekar ini ke Cin-ling-san dengan hati kecewa karena mereka tidak berhasil bertemu dengan Yap Cong San dan Gui Yan Cu seperti yang mereka harap-harapkan.

Tentu saja mereka berdua sama sekali tidak pernah mimpi bahwa putera tunggal sahabat-sahabat mereka itu, Yap Kun Liong, baru beberapa pekan saja datang mengunjungi Cin-ling-san, bahkan telah bentrok dan bertanding dengan puteri mereka.

Ketika mereka tiba di Cin-ling-san, Giok Keng yang merasa takut kalau-kalau ayahnya mendengar akan penyambutannya terhadap Yap Kun Liong, tentu saja menutup mulutnya dan sama sekali tidak menceritakan tentang kedatangan pemuda gundul itu kepada ayah bundanya.

Ketika Cia Keng Hong mendengar penuturan ayah bundanya akan nasib yang menimpa diri keluarga Yap, diam-diam Giok Keng merasa kasihan sekali kepada Kun Liong. Kemudian dia mendengar tentang lima orang datuk kaum sesat yang selain amat lihai juga kabarnya jahat seperti iblis, maka dia merasa ngeri dan dengan tekun dia memperdalam ilmu-ilmunya di bawah bimbingan ayahnya sendiri.

Selama hampir tiga tahun dara yang telah berangkat dewasa ini berlatih dengan rajin sehingga dia hampir dapat mewarisi seluruh ilmu kepandaian ibunya dan hanya beberapa macam ilmu yang terlalu tinggi dan sulit saja yang belum dapat dia warisi dari ayahnya. Namun harus diakui bahwa untuk mencari tanding bagi Giok Keng di waktu itu, benar-benar bukan merupakan pekerjaan yang mudah!






Cia Giok Keng telah menjadi seorang gadis berusia tujuh belas tahun yang amat cantik jelita dan gagah perkasa. Adiknya lahir tak lama setelah ibunya pulang ke Cin-ling-san sehingga pada waktu itu Cia Bun Houw telah menjadi seorang anak laki-laki berusia hampir tiga tahun, bertubuh sehat berwajah tampan dan berwatak gembira seperti encinya (kakaknya) ketika masih kecil.

Dengan lahirnya adik laki-laki ini, berkuranglah sifat kemanjaan Giok Keng, apalagi karena dia kini sudah dewasa, dan yang tinggal kepada dara ini hanya kekerasan hatinya yang diwarisi dari ibunya. Ayahnya seringkali memandang kagum karena melihat puterinya ini seolah-olah melihat isterinya ketika masih gadis! Begitu persis wataknya!

Maka diam-diam Keng Hong suka merasa khawatir sendiri. Biarpun watak isterinya tidak jahat, namun andaikata isterinya itu tidak saling mencinta dengan dia dan kemudian menjadi isterinya yang cinta dan setia, andaikata isterinya itu tetap berkecimpung di dalam dunia kaum sesat, agaknya isterinya akan memiliki kekerasan yang mengerikan, dapat terjerumus ke dalam watak yang kejam!

Yang lebih menggelisahkan hati Cia Keng Hong, dan menambah kerut di wajahnya adalah sikap Giok Keng yang sama sekali tidak mengacuhkan tentang perjodohan! Padahal usianya sudah tujuh belas tahun! Sedikit pun dara itu tidak mau mendengar kalau orang tuanya bicara tentang perjodohan, dan berkelebat pergi dengan marah kalau mendengar usul dan bujukan orang tuanya agar dia segera menentukan pilihan untuk menjadi jodohnya.

“Aku tidak ingin kawin. Harap Ayah dan Ibu jangan bicara tentang itu-itu saja. Muak aku mendengar tentang kawin!”

Pernah dia berkata demikian kepada ayah bundanya yang hanya dapat saling pandang dengan melongo.

“Nah, lihat. Betapa dia manja dan membawa kehendak sendiri!” Keng Hong mengomel.

“Sabarlah, suamiku. Kalau memang dia belum ingin, apakah kita harus memaksanya?”

Cia Keng Hong hanya dapat menarik napas panjang dan diam-diam dia makin merasa rindu kepada Cong San dan Yan Cu, ingin sekali dia dapat bertemu dengan mereka yang hilang tak tentu rimbanya itu untuk membicarakan tentang jodoh anak mereka.

Pada suatu hari lewat tengah hari keadaan di Cin-ling-san sunyi dan nyaman. Matahari yang bersinar terang tidak terhalang awan tebal seperti biasanya mendatangkan hawa yang hangat mengusir dingin yang biasanya membuat orang kedinginan. Kenyamanan hawa di siang hari itu dimanfaatkan oleh Pendekar Sakti Cia Keng Hong dan isterinya.

Pada waktu itu, Cia Keng Hong telah berusia empat puluh tahun sedangkan isterinya sudah tiga puluh tujuh tahun. Mereka berdua yang telah mendengar akan banyaknya tokoh kaum sesat yang lihai, biarpun makin tua mereka tidak pernah lalai untuk berlatih ilmu silat dan menjaga daya tahan tubuh dan kekuatan sin-kang dengan bersamadhi setiap hari.

Pada siang hari itu pun mereka memanfaatkan hawa yang hangat nyaman dengan duduk bersamadhi berdua di dalam kamar mereka. Putera mereka, Bun Houw, sedang tidur di dalam kamarnya sendiri yang berdekatan dengan kamar mereka, sedangkan Giok Keng, seperti biasa di saat seperti itu, sedang berlatih seorang diri di lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) yang berada di samping rumah.

Pada waktu itu, para penduduk dusun di lereng Puncak Cin-ling-san yang juga dikenal sebagai anggauta-anggauta Cinling-pai, telah mendapat latihan keras sehingga tingkat kepandaian mereka memperoleh kemajuan pesat selama tiga tahun ini.

Pada siang hari itu, sebagian dari mereka bekerja di sawah ladang, dan sebagian pula ada yang berlatih di bawah pohon-pohon rindang. Seperti yang diajarkan oleh pimpinan mereka, para anggauta ini berlatih berpasangan, baik laki-lakinya, wanitanya, maupun anak-anaknya.

Gerakan mereka cepat-cepat dan terutama kaum dewasanya, mereka memiliki sin-kang yang kuat yang merupakan ilmu khas dari para anggauta Cin-ling-pai. Untuk para anggauta ini, Cia Keng Hong menurunkan ilmu silatnya yang ampuh dan lihai sekali, yaitu San-in-kun-hoat (Ilmu Silat Awan Gunung) dan menggembleng mereka dengan cara-cara bersamadhi untuk menghimpun sin-kang yang kuat.

Isterinya, Sie Biauw Eng, menurunkan ilmu meringankan tubuh yang disebut Hui-niau-coan-in (Burung Terbang Menerjang Awan) sehingga rata-rata para anggauta Cin-ling-pai memiliki kecepatan gerak yang mengagumkan. Gabungan ilmu dari suami isteri pendekar ini yang masing-masing merupakan ilmu-ilmu pilihan yang tinggi nilainya, dikombinasikan dan menjadi landasan ilmu silat para anggauta Cin-ling-pai.

Tentu saja di samping ilmu ini, Keng Hong masih mengajarkan ilmu silat yang lebih tinggi, akan tetapi hanya kepada beberapa orang yang dianggapnya telah cukup matang ilmunya dan mereka ini berjumlah sebelas orang merupakan anggauta-anggauta pimpinan atau murid-murid tertua. Betapapun juga, tidak ada seorang di antara mereka yang diwarisi dua macam ilmu yang jarang tandingannya di dunia persilatan, yaitu Thai-kek-sin-kun dan Thi-khi-i-beng.

Yang pertama adalah karena ilmu itu merupakan ilmu rahasia dari Kun-lun-pai dan karena dia bukan murid Kun-lun-pai, tentu saja dia tidak berani mengajarkan ilmu rahasia itu kepada orang lain. Yang ke dua, Thi-khi-i-beng, adalah ilmu mujijat yang pernah diperebutkan para jagoan di dunia kang-ouw (baca ceritaPedang Kayu Harum ) dan di dunia ini hanya dia seorang yang memilikinya. Ilmu ini amat ganas, merupakan sin-kang yang dapat menyedot habis tenaga sakti lawan, membuat lawan kehabisan tenaga, lumpuh bahkan bisa tewas. Kalau belum memiliki dasar yang amat kuat, berbahayalah memiliki ilmu ini. Karena itu, Keng Hong tidak berani menurunkan kepada orang lain bahkan belum berani mengajarkan kepada puterinya sendiri karena dia menganggap puterinya belum kuat menerima ilmu mujijat itu.

Pada siang hari itu, serombongan pemuda Cin-ling-san sedang berlatih silat berpasangan, dipimpin oleh dua orang kakak beradik yang menjadi murid-murid kepala dari Cin-ling-pai. Mereka berdua ini adalah Kwee Kin Ta, berusia tiga puluh lima tahun, dan Kwee Kin Ci, adiknya berusia tiga puluh tahun. Keduanya adalah dua orang pemuda ketika Cin-ling-pai mula-mula berdiri, dan telah belajar ilmu silat cukup lama di bawah pimpinan Cia Keng Hong, maka boleh dibilang mereka adalah dua orang yang paling tinggi tingkat kepandaiannya di antara para anggauta Cin-ling-pai.

Kedua orang ini tidak pernah menikah dan hidup membujang di cin-ling-san, merupakan wakil-wakil dari Ketua Cin-ling-pai, bersama sembilan orang adik-adik seperguruannya, murid-murid kepala yang kesemuanya berjumlah sebelas orang itu. Dengan penuh ketekunan kedua orang ini mewakili ketua mereka mengawasi para pemuda sebanyak lima belas orang yang sedang berlatih di siang hari itu.

Tiba-tiba kedua orang saudara Kwee ini terkejut ketika mendengar suara orang tertawa, juga para pemuda yang sedang berlatih berhenti bersilat dan menoleh ke arah dua orang kakek berjenggot panjang yang tertawa-tawa dan tahu-tahu telah berada di dekat mereka. Yang mengejutkan kedua orang saudara Kwee itu adalah karena hadirnya dua orang kakek ini sama sekali tidak mereka ketahui dan hal ini saja sudah membuktikan bahwa dua orang tua itu bukan orang sembarangan!

“Ha-ha-ha, nama Cin-ling-pai dan ketuanya memang setinggi awan, akan tetapi mengapa para anggautanya hanya begini saja?”

Seorang di antara mereka, kakek yang mukanya merah berkata sambil menyeringai lebar.

“Ahh, Ang-kui (Setan Merah), tentu saja karena mereka ini tentu hanya orang-orang rendahan dari Cin-ling-pai. Betapapun jugat kurasa orang Cin-ling-pai bukan dewa-dewa yang berkepala tiga berlengan enam dan pandai terbang, ha-ha!!”

Para anggauta Cin-ling-pai itu adalah pemuda-pemuda yang biarpun sudah banyak digembleng selain ilmu silat juga kesabaran, tetap saja naik darah mendengar ucapan-ucapan yang nadanya mengejek itu. Dua orang di antara mereka tak dapat menahan kemarahan lagi, meloncat ke depan dua orang kakek itu sambil berteriak hampir berbareng,

“Orang tua sombong, berani engkau menghina Cin-ling-pai?”

“Kalau kau menantang, terimalah seranganku!”

Dua orang muda itu segera menerjang dengan pukulan keras ke arah kedua orang kakek itu dan dua orang bersaudara she Kwee tidak sempat lagi mencegah mereka. Akan tetapi kakek-kakek asing yang diserang hanya tersenyum, sama sekali tidak gugup melainkan mengangkat kedua tangan mereka dengan gerakan lambat, satu tangan menangkis dan tangan ke dua menampar dari samping.

Biarpun gerakan mereka kelihatan lambat, namun aneh sekali, dua orang pemuda itu tidak mampu menghindar lagi. Mereka mengaduh dan terpelanting tak dapat bangun kembali. Melihat dua orang teman mereka roboh dengan muka di bagian pipi terdapat tanda telapak tangan hitam dan mereka itu pingsan, para pemuda menjadi marah sekali dan serta-merta dua orang kakek itu mereka terjang dan keroyok!

Sambil tertawa-tawa, kedua orang kakek itu bergerak dan terjadilah pertempuran yang seru, akan tetapi baru beberapa jurus saja, kembali empat orang pemuda terpelanting dengan tanda telapak tangan hitam di tubuh mereka dan mereka itu pingsan.

“Mundur kalian!”

Kwee Kin Ta dan Kwee Kin Ci berteriak nyaring, kemudian mereka berdua meloncat ke depan, tanpa banyak cakap lagi sudah menyerang dengan pukulan-pukulan berat. Kwee Kin Ta menyerang kakek muka merah dengan kedua lengan dilonjorkan ke depan, yaitu jurus dari Ilmu Silat San-in-kun-hoat yang disebut Siang-in-twi-san (Sepasang Awan Mendorong Gunung), jurus yang ke tiga.

Dua orang kakek itu ketika tertawa-tawa tadi bukan semata-mata sengaja hendak mengejek melainkan karena mereka memang kecewa dan terheran melihat pemuda-pemuda itu berlatih dengan gerakan yang mereka anggap terlampau rendah. Akan tetapi, ketika kakek muka merah itu menghadapi serangan yang dilakukan oleh Kwee Kin Ta, dia terkejut bukan main.

Dari kedua tangan yang didorongkan itu menyambar hawa pukulan yang dahsyat sekali! Memang, Ilmu Silat San-in-kun-hoat yang diajarkan oleh Cia Keng Hong kepada para anggauta Cin-ling-pai, dan yang telah dikuasai dengan baik oleh dua orang saudara Kwee, adalah ilmu tingkat tinggi yang hebat. Ilmu silat ini hanya terdiri dari delapan jurus, namun jurus-jurus itu dahsyat sekali dan dapat dikembangkan dengan hebat sesuai dengan bakat masing-masing.

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: