*

*

Ads

FB

Kamis, 06 Oktober 2016

Petualang Asmara Jilid 058

Dalam beberapa tahun saja, karena dia memiliki wajah yang cantik manis, dia jatuh ke dalam pelukan berbagai pria yang tadinya bertekuk lutut bersumpah menyatakan cinta, akan tetapi kemudian meninggalkannya untuk wanita lain. Belasan orang pria yang sudah dibunuhnya karena itu, dan akhirnya, ketika dia betul-betul jatuh cinta kepada seorang laki-laki gagah di pantai selatan, dia kembali menjadi isteri laki-laki ini dan hidup bahagia di pantai selatan. Pada waktu itu dia baru berusia tujuh belas tahun!

Betapa menyedihkan hatinya ketika suami terakhir yang benar-benar dicintanya ini pun tidak setia kepadanya, dan mata duitan pula. Suaminya adalah seorang tokoh dunia kaum sesat, dan pada suatu hari, suaminya itu membiusnya dengan obat sehingga dia tertidur dan dalam keadaan seperti itu, dia telah “dijual” oleh suaminya kepada lima laki-laki golongan hitam yang berani membayar mahal. Selama dua hari dua malam, dalam keadaan pulas karena selalu dilolohi obat bius ini, dia dipermainkan dan ditiduri oleh lebih dari sepuluh orang laki-laki dan untuk itu suaminya telah mengantongi banyak uang!

Setelah sadar, Leng Ci mendapatkan dirinya telah terhina dan suaminya telah kabur membawa uang hasil penjualan dirinya dan semua barang berharga dalam rumah. Bu Leng Ci lalu mencari suaminya itu dan beberapa bulan kemudian, dia dapat menemukan suaminya, membunuhnya dan mengganyang jantung pria itu hidup-hidup!

Itulah pertama kalinya makan jantung pria, semenjak itu setiap membunuh seorang pria, dia selalu makan jantungnya. Makin lama Bu Leng Ci makin lihai, apalagi ketika kemudian dia berhasil menarik hati seorang datuk kaum sesat yang menjagoi daerah selatan, yaitu Lam-hai Sin-ni (ibu Sie Biauw Eng) yang berkenan menurunkan beberapa ilmu silat tinggi, kepandaian Bu Leng Ci meningkat tinggi. Bahkan dia memperdalam pula ilmu pedang samurai dari suami pertamanya yang masih sayang kepadanya dan dengan suka hati menggemblengnya.

Selama Lam-hai Sin-ni masih hidup, tentu saja Bu Leng Ci tidak berani menjagoi di daratan dan dia bahkan bersembunyi di Jepang untuk memperdalam ilmu samurainya. Ketika jago samurai, suami pertamanya meninggal dunia, dia mewarisi semua milik bekas suami itu, termasuk pedang samurainya. Dia telah mendengar akan kematian Lam-hai Sin-ni, barulah dia berani mendarat dan mulai melakukan petualangannya di daerah selatan sehingga belasan tahun kemudian dia menjadi datuk dari kaum sesat untuk daerah selatan.

“Demikianlah riwayat singkatku, muridku. Kaum pria hanya memandang wanita sebagai alat untuk memuaskan nafsu birahinya belaka! Cinta yang didengang-dengungkan, yang diucapkan dengan seribu satu macam sumpah, hanya dipergunakan sebagai umpan untuk memikat. Setelah kepuasan nafsu berahinya terpenuhi, maka mulailah matanya melirik ke kanan kiri mencari korban baru untuk memuaskan nafsu-nafsunya. Karena itu, aku muak dan aku benci kepada kaum pria umumnya!”

Biarpun dia sendiri telah banyak mengalami hal-hal yang mengerikan dan yang membuat hatinya mengeras, mendengar cerita gurunya ini, meremang juga bulu tengkuk Bi Kiok.

Maka berangkatlah guru dan murid itu melanjutkan perjalanan, meninggalkan pantai Sungai Huang-ho menuju ke barat untuk mengunjungi Kwi-eng-pai di Telaga Setan di barat.






Akan tetapi, baru berjalan setengah hari lamanya, di luar sebuah hutan mereka bertemu dengan lima orang laki-laki yang kelihatannya gagah perkasa dan yang melakukan perjalanan dengan ilmu berlari cepat. Setelah dekat, guru dan murid ini mengenal seorang di antara mereka yang bukan lain adalah Kiang Ti, Ketua Ui-hong-pang yang berpakaian serba kuning, murid kepala Kwi-eng Niocu Si Bayangan Hantu yang pernah dilukai oleh Bu Leng Ci.

Melihat orang ini, sambil terkekeh Bu Leng Ci menggerakkan kakinya melompat dan dia telah berdiri menghadang di tengah jalan! Akan tetapi, ketika melihat wanita itu, Kiang Ti tidak menjadi takut atau kaget, bahkan tersenyum lebar dan cepat dia menjura sambil berkata,

“Aihh, sungguh beruntung sekali dapat berjumpa dengan Locianpwe di sini! Kami memang sedang menanti Locianpwe.”

Bibir yang tipis merah itu tersenyum mengejek,
“Apakah kau membawa teman untuk membalas pukulanku dahulu itu? Kalau hendak membalas, mengapa bukan gurumu sendiri saja yang datang?”

Biarpun ucapan itu terdengar mengandung ejekan dan penghinaan, namun ketua dari Ui-hong-pang itu sama sekali tidak menjadi marah, bahkan tersenyum makin lebar.

“Maaf, maaf... mana saya berani? Sama sekali bukan demikian, Locianpwe. Sesungguhnya kami diutus oleh Subo (Ibu Guru) untuk mencari Locianpwe dan mengundang Locianpwe untuk hadir dalam pertemuan puncak antara lima datuk yang akan mengadakan pertemuan dengan pimpinan Pek-lian-kauw, berempat di Kwi-ouw.”

Girang sekali hati Bu Leng Ci. Ternyata bahwa pengiriman “kartu nama” darinya itu berhasil. Dia telah diakui dan mendapat kehormatan besar! Betapapun juga, dia menekan kegirangan hatinya sehingga tidak tampak pada mukanya, dan dia berkata,

“Apakah kalian mengenal seorang bernama Yap Cong San dan isterinya bernama Gui Yan Cu?”

Kian Ti dan teman-temannya saling pandang. Mereka berlima adalah tokoh-tokoh Kwi-eng-pang, murid-murid terkemuka dari Kwi-eng Niocu dan sudah mempunyai pengalaman luas. Namun karena mereka itu bergerak di daerah barat, sedangkan Yap Cong San dan isterinya bertahun-tahun berada di Leng-kok dan tak pernah terjun ke dunia kang-ouw, maka mereka tidak mengenal suami isteri ini.

“Kami tidak pernah mendengar nama mereka, Locianpwe.”

“Mereka adalah orang-orang penting, sebaiknya kalau kalian mencari mereka yang berada di daerah ini. Kalau berhasil menangkap mereka, bawa ke Kwi-ouw. Aku dan muridku akan langsung mendahului ke Kwi-ouw.”

Kiang Ti dan teman-temannya menyanggupi dan kelima orang itu lalu melanjutkan perjalanan mencari suami isteri seperti yang diperintahkan Bu Leng Ci. Sedangkan Bu Leng Ci sendiri melanjutkan perjalanan menuju ke Kwi-ouw dan diam-diam dia mentertawakan murid-murid Kwi-eng Niocu itu.

“Subo, dua orang yang telah berhasil dilukai Subo, mana mungkin dapat ditangkap oleh lima orang itu?” Tiba-tiba Bi Kiok bertanya.

“Heh-heh, kau cerdik muridku. Memang kecil sekali kemungkinan mereka akan dapat menangkap suami isteri itu biarpun si isteri telah terluka oleh Siang-tok-soa di dadanya. Akan tetapi peduli apa? Kalau lima orang Kwi-eng-pai itu tewas, berarti suami isteri itu menjadi musuh Kwi-eng-pang, dan kalau sampai mereka berhasil menawan suami isteri itu, ada gunanya juga bagi kita. Mereka itu adalah ayah bunda bocah setan yang bernama Kun Liong itu.”

Sebelum Bi Kiok menjadi murid iblis betina itu, tentu dia akan berseru kaget mendengar ini, atau setidaknya tentu akan berubah air mukanya. Akan tetapi, semuda itu, Bi Kiok telah dapat menguasai perasaannya sehingga biarpun dia kaget bukan main, namun tidak ada perubahan pada wajahnya yang cantik dan dingin.

Namun pertemuan puncak antara lima orang datuk itu tidak lengkap. Yang hadir dalam pertemuan itu hanyalah Bu Leng Ci, Kwi-eng Niocu, dan Hek-bin Thian-sin saja. Sedangkan dua orang datuk yang lebih tua dan lebih terkenal, yang dianggap sebagai datuk nomor satu dan nomor dua, yaitu Toat-beng Hoatsu dan Ban-tok Coa-ong, tidak muncul. Hal ini mengecewakan para pimpinan Pek-lian-kauw, maka atas persetujuan bersama, pertemuan puncak diundur sampai kedua orang datuk itu dapat ditemukan dan diundang.

Melihat sarang yang menjadi pusat Kwi-eng-pang di mana Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio menjadi ketuanya, Bu Leng Ci merasa iri hati sekali. Sebagai seorang perantau dan petualang, melihat keadaan “rekannya” yang makmur ini, hatinya ingin sekali seperti rekannya itu.

Keadaan Kwi-eng-pang memang kuat sekali. Markas mereka berada di pulau kecil yang letaknya di tengah-tengah Kwi-ouw, sebuah telaga yang besar dikurung hutan-hutan pegunungan sehingga bayangan hutan-hutan yang gelap membuat air telaga yang tenang dan dalam itu kelihatan hitam menyeramkan. Karena ini agaknya maka telaga ini disebut Telaga Setan.

Di atas pulau ini didirikan rumah-rumah, memenuhi pulau. Rumah gedung yang mewah di tengah-tengah adalah tempat tinggal Sang Ketua, sedangkan rumah-rumah di sekitarnya ditinggali para pimpinan dan anggauta Kwi-eng-pang yang jumlahnya lebih dari dua ratus orang, laki-laki dan wanita.

Pekerjaan para anggauta Kwi-eng-pang, selain berlatih silat, juga sebagai nelayan di telaga, ada yang bercocok tanam di sekeliling telaga yang memiliki tanah subur, ada pula yang berburu binatang di dalam hutan-hutan. Akan tetapi yang menjamin kehidupan mereka hidup mewah dan makmur adalah “sumbangan-sumbangan” dari para penduduk di daerah itu, sumbangan atau “pajak” yang diberikan baik secara sukarela karena takut atau dengan paksaan!

Telaga itu sendiri sebetulnya amat dalam dan mengandung banyak ikan. Akan tetapi semenjak Kwi-eng Niocu bermarkas di tempat itu belasan tahun yang lalu, keadaan telaga berubah menjadi tempat yang berbahaya sekali, Di sekeliling pulau, di dalam air telaga dipasangi banyak alat rahasia yang membahayakan para pendatang, dan setelah banyak penduduk sekitar daerah itu yang biasanya mencari ikan di telaga tewas dalam kedaan mengerikan, kini tidak ada lagi orang berani mendekati telaga itu.

Hanya para anggauta Kwi-eng-pang saja yang berani mendayung perahunya di atas telaga karena mereka telah hafal akan rahasia disitu. Dengan demikian, selain memonopoli semua ikan yang berada di dalam air telaga, juga keadaan markas di pulau itu terlindung kuat, tidak mudah diserbu musuh seperti keadaan sebuah benteng saja layaknya!

Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio adalah seorang wanita berusia lima puluh tahun lebih. Selamanya belum pernah menikah sehingga orang-orang yang tidak suka kepadanya mengatakan bahwa saking jahatnya maka Ang Hwi Nio menjadi seorang perawan tua! Tubuhnya masih ramping, agak tinggi, dan biarpun usianya sudah mendekati enam puluh tahun, rambutnya belum ada ubannya sama sekali, matanya masih terang dan giginya masih utuh tersusun rapi seperti keadaan seorang perawan muda saja!

Pakaiannya selalu bersih dan rapi, seperti pakaian seorang nyonya bangsawan, juga rambutnya diminyaki dan digelung rapi, dihias emas permata yang mahal-mahal. Melihat orangnya, yang tidak mengenalnya tentu akan mengira dia seorang wanita yang mulai berangkat menjadi nenek-nenek lemah! Akan tetapi sesungguhnya dia adalah seorang yang berilmu tinggi, seorang yang ditakuti dunia kang-ouw.

Bahkan mendengar namanya disebut saja sudah cukup membuat jantung orang berdebar tegang dan bulu tengkuk meremang karena sudah terkenal di mana-mana nama ini, sudah diketahui semua orang bahwa wanita yang tak pernah keluar dari pulau itu, sekali keluar tentu akan ada yang tewas di tangannya. Hebatnya, setiap kali dia turun tangan membunuh orang yang dikehendakinya, tidak ada yang dapat melihatnya, hanya melihat bayangannya saja dan mendengar suara ketawanya yang halus. Karena sepak terjangnya inilah maka dia dijuluki Kwi-eng Niocu (Nona Bayangan Hantu). Disebut nona karena dia masih perawan dan disebut Bayangan Hantu karena yang tampak hanya bayangannya.

Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio tinggal di pulau telaga itu dan hidup sebagai seorang ratu! Rumahnya merupakan gedung indah dan mewah seperti sebuah istana saja, setiap hari dikelilingi pelayan-pelayan cantik dan cara hidupnya royal dan mewah sekali.

Memang Ang Hwi Nio ini tidak pernah menikah. Akan tetapi dia mempunyai seorang anak angkat, juga merupakan murid yang paling pandai. Anak angkat ini bernama Liong Bu Kong, pada waktu itu berusia sembilan belas tahun. Seorang pemuda yang berwajah tampan dan gagah sekali sehingga patut tinggal di dalam istana itu, patut menjadi putera seorang bangsawan, dan mengherankan kalau pemuda setampan ini menjadi putera seorang iblis betina seperti Kwi-eng Niocu!

Wajah pemuda ini tampan dan bibirnya selalu menyungging senyum dikulum, sepasang matanya bersinar-sinar dan wajahnya selalu berseri. Akan tetapi bagi yang memperhatikan, di balik sinar mata itu terdapat sesuatu yang membuat orang menjadi curiga dan ngeri. Tidak ada seorang pun mengetahui dari mana datangnya pemuda ini. Para anggauta Kwi-eng-pang sendiri hanya mengetahui bahwa ketua mereka itu datang-datang membentuk Kwi-eng-pang sudah membawa seorang anak laki-laki bernama Liong Bu Kong yang menurut pengakuannya adalah anak angkatnya.

Melihat keadaan ini semua, tidak mengherankan apabila timbul iri dan ingin di dalam hati Bu Leng Ci. Dia merasa suka tinggal di tempat itu, dan melihat betapa rekannya itu, Ang Hwi Nio, hidup dalam kemewahan dan kemuliaan, dihormati sebagai ratu oleh dua ratus orang lebih, disegani dan ditakuti orang-orang di sekitar daerah itu.

“Tempatmu ini hebat sekali, membuat orang betah berada di sini,” kata Bu Leng Ci ketika pada suatu siang dia bersama muridnya duduk berhadapan dengan Ang Hwa Nio di tepi telaga, dalam sebuah taman buatan yang indah, di bawah pohon yang liu yang bergerak-gerak meliuk-liuk seperti tubuh seorang penari yang lemah gemulai!

“Engkau suka dengan tempat ini?”

Kwi-eng Niocu bertanya tanpa mengangkat muka karena dia sedang asik memeriksa kuku jari-jari tangannya. Kukunya panjang-panjang dan terpelihara baik-baik, diberi warna merah muda, dan dipelihara meruncing. Kelihatannya memang bagus dan cantik sekali, akan tetapi dalam pandangan orang kang-ouw tangan dengan kuku jari panjang-panjang menarik itu sama sekali tidak tampak indah menggairahkan, bahkan sebaliknya mendatangkan rasa ngeri karena satu di antara kehebatan ilmu wanita ini terletak pada kukunya yang beracun itu! Jangankan sampai kena dicengkeram, baru tergurat sedikit saja sudah cukup mengirim nyawa lawan ke neraka!

“Kalau memang suka mengapa tidak tinggal di sini saja?”

Bu Leng Ci mengangkat muka, sinar matanya menyambar dan kedua alisnya berkerut.
“Apa maksudmu, Pangcu (Ketua)?” tanyanya, suaranya mengandung kemarahan. “Engkau begitu berani memandang rendah kepadaku dan menyuruh aku menjadi kaki tanganmu atau anak buahmu?”

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: