*

*

Ads

FB

Kamis, 06 Oktober 2016

Petualang Asmara Jilid 060

Bi Kiok maju berlutut dan Ang Hwi Nio memasangkan benda itu di atas kepala Bi Kiok. Kemudian dara itu disuruhnya berdiri.

“Lihat, muridmu menjadi makin cantik saja, Bu-moi!”

Bu Leng Ci tersenyum bangga dan kedua orang wanita sakti itu merasa girang karena kini mereka berdua dapat menjagoi di dunia kaum sesat, tidak takut lagi menghadapi seorang di antara datuk yang manapun juga!

Sebuah rumah yang cukup indah dibangun di pulau kecil di sebelah timur untuk tempat tinggal Bu Leng Ci dan muridnya, dan Bu Leng Ci yang merasa berterima kasih lalu menceritakan semua pengalamannya kepada kakak angkatnya, juga menceritakan tentang bokor emas dan tentang suami isteri lihai yang dijumpainya di tepi sungai Huang-ho di lereng pegunungan Lu-liang-san.

Ketika Liong Bu Kong yang pergi memburu binatang bersama beberapa orang anggauta Kwi-eng-pang pulang dan bertemu dengan Bu Leng Ci dan Bi Kiok, dia terheran dan menjadi girang mendengar bahwa Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci yang namanya sudah dikenalnya sebagai seorang di antara lima datuk itu kini telah menjadi adik angkat ibunya! Lebih girang lagi hatinya melihat Yo Bi Kiok yang cantik manis. Dara remaja ltu telah menjadi saudara misannya, biarpun hanya saudara angkat!

Akan tetapi sikap Bi Kiok yang selalu berwajah dingin dan pendiam itu mengecewakan hati Bu Kong sehingga pemuda ini pun membuang niatnya untuk mengajak dara remaja itu main-main dengannya.

Beberapa hari kemudian, Kian Ti dan empat temannya yang mentaati permintaan Bu Leng Ci pergi mencari suami isteri yang bernama Yap Cong San dan Gui Yan Cu, kembali ke pulau dengan tangan hampa. Mereka tidak berhasil menemukan suami isteri yang dicarinya itu. Mereka juga girang sekali ketika mendengar bahwa Siang-tok Mo-li yang terkenal itu kini menjadi adik angkat ketua mereka. Hal ini berarti bahwa kedudukan mereka lebih kuat lagi biarpun adik angkat ketua mereka itu tidak menjadi anggauta Kwi-eng-pang.

Namun, beberapa bulan kemudian, pulau kecil yang dijadikan tempat tinggal Bu Leng Ci itu menjadi tempat yang menyeramkan dan menakutkan bagi para anggauta Kwi-eng-pai karena wanita itu terkenal sebagai pembenci pria sehingga tidak ada yang berani mendekati pulau!

Bahkan Liong Bu Kong sendiri pun tidak berani mendekat. Hanya Kwi-eng-pangcu saja yang berani mengunjungi adik angkatnya. Dan kalau ada keperluan mengantarkan sesuatu, Kwi-eng-pangcu selalu mengutus pelayan atau anggauta Kwi-eng-pang wanita. Dia sendiri pun tidak suka kepada pria, akan tetapi tidaklah membenci mati-matian seperti Bu Leng Ci. Dia sudah merasa puas melihat para pria menjadi muridnya, menjadi anak buahnya, dan menjadi kaki tangannya yang setia dan taat kepadanya. Yang tidak disukainya adalah kalau pria itu menguasainya atau lebih tinggi tingkatnya daripada dia. Karena ini pula maka dia sengaja menarik Bu Leng Ci sebagai adik angkat sehingga merasa kuat untuk menghadapi tiga orang di antara kelima datuk.

Kurang lebih dua tahun lamanya Bu Leng Ci bersama muridnya menjadi penghuni pulau kecil itu. Bi Kiok telah menjadi seorang dara yang cantik manis, berusia enam belas tahun, akan tetapi makin tampak sikapnya yang dingin dan wataknya yang pendiam. Hadiah dari Kwi-eng Niocu berupa hiasan rambut burung hong kemala menjadi benda kesayangannya yang tak pernah terpisah dari rambutnya atau bajunya.






Bu Leng Ci yang menyayang dara itu bukan hanya sebagai murid tunggal, bahkan seperti anak sendiri, menurunkan semua ilmunya kepada Yo Bi Kiok sehingga dara itu setelah selama tujuh tahun lebih menjadi muridnya, kini telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi.

Pada suatu pagi, seorang pelayan wanita dari Kwi-eng Niocu menyampaikan undangan ketua ini kepada Bu Leng Ci. Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci segera datang menumpang perahu kecil pelayan itu bersama Bi Kiok, menghadap kakak angkatnya.

“Seorang anggauta kita telah menemukan suami isteri yang pernah kau sebut dahulu itu!” Ang Hwi Nio menyambut kedatangan adik angkatnya dengan pemberitahuan ini, suaranya penuh ketegangan. “Dan isterinya yang menurut katamu dahulu terkena Siang-tok-soa, ternyata tidak mati”

“Ah, kalau begitu kita harus dapat menawan mereka. Mereka adalah ayah bunda dari Yap Kun Liong yang tahu di mana adanya bokor emas!”

“Perlukah itu? Menurut ceritamu, yang tahu mungkin sekali hanyalah bocah itu, dan perlu apa menawan orang tuanya?”

“Kalau kita tawan orang tuanya, tentu kelak anak itu muncul. Sukar sekali mencari bocah setan itu. Sudah bertahun-tahun aku mencari tanpa hasil, Ang-ci.”

“Mungkin karena kau belum pernah bertemu dengan anak itu, bagaimana bisa mencarinya?”

“Memang aku belum pernah bertemu dengannya, akan tetapi Bi Kiok tentu akan mengenal mukanya.”

Diam-diam jantung Bi Kiok berdebar tegang. Tentu saja dia akan mengenal Kun Liong si gundul itu, dan gurunya pun pernah bertemu dengan Kun Liong, akan tetapi gurunya tidak tahu bahwa anak itulah yang mereka kini cari-cari. Entah bagaimana, dia tidak tega untuk mencelakakan anak itu, bahkan kini mendengar bahwa ayah bunda Kun Liong hendak ditawan, dia merasa tidak enak sekali. Akan tetapi dia diam saja, hanya menjawab karena kedua orang wanita sakti itu memandangnya penuh pertanyaan.

“Tentu saja teecu akan mengenalnya kalau bertemu dengan Kun Liong.”

“Biarlah aku mengutus enam orang murid kepala untuk menangkap mereka. Kita harus menjaga nama. Tidak perlu aku turun tangan sendiri menghadapi orang-orang yang tidak terkenal seperti mereka. Aku akan mengundang mereka, kalau mereka tidak mau, barulah orang-orangku akan menawan mereka. Menurut keterangan penyelidik mereka kini tinggal di Puncak Cemara di Lu-liang-san.”

Bu Leng Ci hendak mencegah, mengingat bahwa suami isteri itu lihai sekali. Akan tetapi dia tidak membuka mulutnya karena tentu saja dia tidak mau menceritakan betapa dia sendiri tidak dapat mengalahkan mereka. Biarlah kakak angkatnya ini membuktikan sendiri setelah mengirim murid-muridnya.

Demikianlah, enam orang laki-laki setengah tua yang merupakan murid-murid kepala dari Kwi-eng Niocu dan tokoh-tokoh Kwi-eng-pang, berangkat ke Lu-liang-san yang tidak jauh dari Kwiouw, hanya makan waktu satu hari perjalanan.

Seperti kita ketahui, Yap Cong San dan isterinya berada di Puncak Cemara di Pegunungan Lu-liang-san. Gui Yan Cu telah sembuh sama sekali dari luka akibat pasir beracun, dan tak lama kemudian telah sembuh sama sekali, dia mengandung sehingga terpaksa mereka memperpanjang waktu untuk tinggal dulu di tempat yang indah menyenangkan itu.

Pada waktu itu, kandungan Yan Cu berusia dua bulan. Suami isteri yang berbahagia itu sedang duduk berdua di atas rumput, tak jauh dari pondok mereka, memandang ke bawah dimana tampak pemandangan yang mempesonakan.

“Ah, betapa rinduku kepada dunia di bawah sana,” Yan Cu menarik napas panjang. “Betapa rinduku kepada Kun Liong, kepada Cia Keng Hong-suheng dan Enci Biauw Eng. Betapa rinduku kepada masakan-masakan kota yang lezat... aaihh...”

Cong San meraih pundak isterinya dan memeluknya, hatinya terharu dan dia merasa kasihan sekali kepada isterinya.

“Jangan khawatir, isteriku. Kita tinggal di sini sampai engkau melahirkan. Keadaan seperti sekarang ini tentu saja amat tidak baik kalau melakukan perjalanan jauh, apalagi dengan adanya banyak bahaya di tengah jalan. Setelah nanti anak kita cukup kuat, kira-kira setahun, kita berangkat meninggalkan tempat sunyi ini, langsung ke Cin-ling-san.”

“Ke tempat Suheng?”

“Ya. Engkau dan anak kita yang masih kecil biar tinggal bersama isterinya, sedangkan aku akan minta bantuan Keng Hong untuk bersamaku mencari Kun Liong. Dengan bantuannya, mustahil kalau aku tidak akan dapat menemukan anak itu.”

Yan Cu menarik napas lega.
“Aahhh, anak nakal itu! Tentu akan dapat ditemukan kalau Suheng membantumu. Ingin aku mendengar apa yang akan dikatakan Kun Liong kalau berada di depanku setelah dia pergi selama tujuh tahun ini...”

Tiba-tiba tangan Cong San yang merangkul pundak isterinya itu menegang. Yan Cu merasakan ini dan keduanya menoleh.

“Ada orang...” bisik Cong San. Mereka telah berdiri ketika enam orang laki-laki setengah tua itu tiba di situ.

“Apakah kalian yang bernama Yap Cong San dan Gui Yan Cu?”

Seorang di antara mereka bertanya, suaranya kasar dan nyaring. Cong San dan Yan Cu bersikap tenang, mengira bahwa tentu orang-orang ini petugas pemerintah yang hendak menangkap mereka berhubung dengan urusan Ma-taijin di Leng-kok tujuh tahun yang lalu.

“Saya bernama Yap Cong San dan ini isteri saya Gui Yan Cu. Siapakah Cuwi (Tuan Sekalian) dan ada perlu apakah mencari kami?” jawab Cong San dengan sikap masih tenang sekali karena dia tidak menyangka akan terjadi hal yang tidak baik.

Kalau benar mereka itu orang-orang pemerintah, urusannya dengan Ma-taijin bukanlah urusan besar. Dan mustahil kalau untuk urusan begitu saja setelah lewat tujuh tahun masih akan dibesar-besarkan.

“Kami melaksanakan tugas yang diperintahkan pangcu kami untuk mengundang Ji-wi menghadap pangcu.”

Berkerut alis Cong San dan Yan Cu. Kalau bukan orang pemerintah, tentu akan terjadi hal yang gawat.

“Siapa pangcu (ketua) kalian?”

Cong San bertanya, hatinya mulai tegang dan dia bersikap waspada menghadapi segala kemungkinan buruk.

“Kami dari Kwi-eng-pang di Telaga Kwi-ouw. Harap Ji-wi ikut bersama kami menghadap Pangcu sekarang juga!”

“Kami berdua tidak pernah mengenal pangcu dari Kwi-eng-pang. Ada keperluan apakah ketua kalian dengan kami?”

“Hal ini bukan urusan kami! Tentu ada urusan penting maka Pangcu memanggil kalian,” jawab pemimpin rombongan itu dengan suara tak sabar.

Cong San dapat menduga bahwa tentu keselamatan mereka berdua takkan terjamin kalau dia bersama isterinya pergi mengunjungi ketua kaum sesat yang sudah amat terkenal di dunia kang-ouw itu. Pula, dia tidaklah demikian bodoh untuk datang memasuki guha harimau.

“Maaf, Cuwi. Karena kami tidak mengenal Kwi-eng-pangcu dan tidak mempunyai urusan dengannya, kalau memang pangcu kalian ada urusan dengan kami, harap dia datang saja ke sini untuk bicara.”

Tiba-tiba enam orang itu merobah sikap, tidak seramah tadi. Pandangan mata mereka mengandung kemarahan dan seorang di antara mereka berseru,

“Manusia sombong! Berani membantah perintah Pangcu?”

“Kawan-kawan, maju!”

“Kalian mau apa?” Yan Cu membentak marah dan tangannya meraba gagang pedang.

“Perintah Pangcu, kalau kalian mau menghadap, baik. Kalau tidak mau, terpaksa kami pergunakan kekerasan menawan kalian!”

“Singggg! Keparat, kalian mengira begitu mudah?”

Yan Cu sudah mencabut senjata pedangnya dan hendak menerjang maju, akan tetapi tiba-tiba suaminya menyentuh lengannya.

“Tidak perlu menyerang. Biarkan mereka bergerak, kita lihat saja sampai di mana kepandaian manusia-manusia sesat ini.”

Suami isteri itu berdiri beradu punggung, sikap mereka tetap tenang walaupun mereka marah sekali. Yan Cu berdiri siap dengan pedang di tangan sedangkan Cong San sudah mengeluarkan sepasang Im-yang-pit dan memegangnya dengan kedua tangan. Dia tadi melarang isterinya bergerak, karena amat tidak baik bagi kandungan isterinya kalau banyak mengerahkan sin-kang.

Enam orang anggauta Kwi-eng-pang itu sudah mulai mengurung. Terdengar suara menyeramkan ketika mereka itu menggerak-gerakkan senjata mereka yang beraneka macam itu. Melihat betapa kedua orang suami isteri itu mengeluarkan senjata dan hendak melawan, mereka gembira sekali dan juga tidak menyangka-nyangka.

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: