*

*

Ads

FB

Kamis, 13 Oktober 2016

Petualang Asmara Jilid 061

Ketua mereka hanya memberi perintah untuk menangkap, tidak memberi tahu bahwa suami isteri itu akan melawan. Kalau mereka tidak melawan, tentu mereka hanya akan menawan mereka dan tidak akan mengganggu mereka. Sekarang mereka mendapat kesempatan untuk memperlihatkan kepandaian dan menawan suami isteri yang melawan itu setelah melukai mereka.

Betapapun juga, enam orang itu bukanlah orang sembarangan, melainkan murid-murid pilihan dari Kwi-eng Niocu dan mereka sudah berpengalaman dalam banyak pertandingan. Melihat sikap dan cara suami isteri itu menghadapi mereka, mereka dapat menduga bahwa suami isteri itu “berisi”, maka tanpa sungkan-sungkan lagi karena di tempat sunyi itu tidak ada orang lain, mereka serentak maju berenam, mengeroyok!

Terdengar suara nyaring hiruk-pikuk ketika mereka menerjang maju, suara beradunya senjata mereka yang terpental ke sana-sini, ditambah suara teriakan mereka penuh kekagetan karena dalam beberapa gebrakan saja, selain senjata mereka terlempar ke sana-sini, juga mereka roboh malang-melintang, empat orang roboh terluka oleh sepasang pit di tangan Cong-San, sedangkan dua orang lagi roboh dan terluka paha dan pundak mereka oleh kilatan pedang di tangan Yan Cu! Semua ini terjadi tanpa suami isteri itu pindah dari tempat mereka!

Dapat dibayangkan betapa kaget hati enam orang itu. Muka mereka pucat dan mereka memandang dengan mata terbelalak, maklum bahwa kalau kedua orang suami isteri itu menghendaki, dilain saat mereka semua tentu akan dapat terbunuh dengan mudah. Mengertilah sekarang mereka, bahwa jangankan menghadapi suami isteri itu, biar menghadapi seorang di antara mereka saja, mereka berenam takkan mampu menang!

“Pergilah kalian dari sini!” Cong San membentak dengan sikap keren. “Dan katakan kepada pangcu kalian bahwa karena kami tidak mempunyai urusan dengan dia, maka kami tidak membunuh kalian dan kami tidak dapat pergi menemuinya. Nah, pergilah cepat!”

Enam orang itu merangkak bangun dan dengan penuh rasa sukur karena tidak dibunuh, mereka itu saling membantu dan pergi secepat mungkin meninggalkan tempat itu.

Cong San dan Yan Cu saling pandang masih merasa penasaran dan juga terheran-heran mengapa secara tiba-tiba mereka itu dimusuhi oleh Kwi-eng-pang. Padahal belum pernah mereka berurusan dengan Kwi-eng-pang, bahkan bertemu pun belum dengan ketua Kwi-eng-pang yang tersohor itu. Mereka tahu bahwa Ketua Kwi-eng-pang adalah Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio yang kabarnya adalah seorang di antara lima datuk kaum sesat yang terkenal sebagai manusia-manusia iblis.

“Kita harus pergi dari sini sekarang juga,” kata Cong San. “Mereka itu berbahaya. Kalau tadi mereka tidak memandang rendah kepada kita, agaknya belum tentu kita dapat mengusir mereka dalam waktu singkat. Kepandaian mereka rata-rata cukup tangguh.”

“Aku tidak takut!” kata Yan Cu. “Masa kita harus melarikan diri dari mereka? Biarpun Kwi-eng Niocu si iblis betina sendiri yang datang, akan kuhadapi dia!”

Cong San merangkul isterinya.
“Aku percaya, isteriku. Memang kita tidak usah takut menghadapi kaum sesat. Akan tetapi, kau harus ingat bahwa selagi kau mengandung, tidak semestinya kita melibatkan diri dalam pertandingan-pertandingan berat. Hal itu berbahaya bagi kandunganmu. Ingat, ketika dahulu kita bertemu dengan Siang-tok Mo-li seorang di antara lima datuk itu, kau terluka. Apalagi kebarnya Kwi-eng Niocu lebih jahat dan lihai. Bukan aku takut, akan tetapi karena mengingat akan kandunganmu dan keadaanmu, sebaiknya kita mengalah kali ini. Mudah saja kalau kelak kita mencari Kwi-eng Niocu dan menghajarnya atas kelakuannya hari ini! Marilah, sayang.”






Untuk kesekian kalinya, Yan Cu tidak dapat membantah. Biarpun hatinya penuh dengan rasa penasaran dan kemarahan, terpaksa dia menurut, pergi meninggalkan tempat itu, menuju ke utara. Setelah melakukan perjalanan hampir sebulan dengan lambat dan hati-hati mengingat kandungan Yan Cu, akhirnya mereka tiba di kota Tai-goan dan di sini Cong San mengajak Yan Cu singgah di rumah seorang kenalannya.

Seorang laki-laki tua berusia enam puluh tahun lebih menyambut kedatangan mereka dengan ramah. Kakek yang usianya hampir tujuh puluh tahun ini tinggi kurus dan rambutnya sudah putih semua, namun masih kelihatan gesit dan kuat. Dia ditemani oleh seorang nyonya berusia empat puluhan tahun, dan seorang laki-laki suami nyonya itu yang usianya hampir lima puluh tahun. Tiga orang ini menyambut mereka dan Si Kakek Rambut Putih segera berseru girang,

“Ah, kiranya Yap-enghiong yang datang! Biarpun hampir dua puluh tahun tidak jumpa, saya tidak akan pangling (lupa) kepadamu!”

Yap Cong San cepat memberi hormat dan berkata,
“Terima kasih atas kebaikan Theng-ciangkun (Perwira Theng) dan maaf atas kedatangan kami yang tiba-tiba tanpa memberi tahu lebih dahulu ini. Ini adalah isteri saya.”

Kakek itu cepat membalas penghormatan Yan Cu dan berkata,
“Ahh, Nyonya Muda, kau kelihatan lelah sekali. Silakan masuk saja beristirahat! Ceng-ji (Anak Ceng), kau ajaklah Nyonya Yap beristirahat di dalam.”

Kakek itu memperkenalkan nyonya itu sebagai puterinya, dan laki-laki itu sebagai mantunya yang bernama Tan Hoat.

Dengan ramah-tamah nyonya yang bernama Ceng itu menggandeng tangan Yan Cu dan diajak masuk ke dalam. Kemudian Kakek Theng bersama mantunya mempersilakan Cong San duduk di ruangan dalam menyuruh pelayan menghidangkan minuman. Setelah hidangan disuguhkan dan mereka sudah minum teh, Cong San menghela napas panjang lalu berkata,

“Saya harap Theng-ciangkun suka maafkan. Sekali ini terpaksa saya hendak minta bantuan Ciangkun, yaitu agar memperbolehkan saya bersama isteri saya tinggal di sini sampai isteri saya melahirkan. Tentu saja kalau Ciangkun tidak keberatan.”

Kakek itu kelihatan terkejut dan heran. Dia maklum bahwa tentu terjadi sesuatu yang hebat menimpa keluarga pendekar bekas murid Siauw-lim-pai yang hanya dikenalnya sepintas lalu akan tetapi yang telah diketahui kegagahannya itu. Dia tahu pula bahwa pendekar ini adalah sahabat baik sekali dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong yang dikaguminya. Maka tanpa ragu-ragu dia menjawab,

“Tentu saja boleh dan sama sekali tidak keberatan! Kami hanya tinggal berempat di rumah besar ini, yaitu saya sendiri, anak perempuan dan mantu saya ini, dan seorang cucu perempuan. Selain itu, hanya ada dua orang pelayan. Masih ada kamar untuk engkau dan isterimu, Yap-enghiong dan kami menyambut kedatanganmu dengan gembira. Saya bukan seorang perwira pengawal lagi, sudah beberapa tahun mengundurkan diri karena sudah tua. Akan tetapi... kalau boleh saya bertanya, bagaimanakah engkau dan isterimu sampai tiba di sini dan... dan... selama ini tinggal dimana? Sudah lama saya tidak pernah bertemu pula dengan Cia Keng Hong-taihiap yang kabarnya berada di Cin-ling-san sehingga tidak dapat bertanya pula tentang keadaanmu.”

Cong San menarik napas panjang, kemudian dengan singkat menceritakan riwayatnya yang lalu. Betapa dia terkena urusan dengan Ma-taijin dan puteranya hilang, dan betapa dalam mencari puteranya mereka mengalami banyak hal berbahaya, sedangkan puteranya masih belum dapat ditemukan.

“Tadinya kami akan tinggal terus di puncak Pegunungan Lu-liang-san, akan tetapi siapa kira, muncul malapetaka lain, yaitu orang-orang Kwi-eng-pang.”

Dia menceritakan tentang kedatangan enam orang Kwi-eng-pang, kemudian menambahkan,

“Kalau tidak pergi cepat-cepat, tentu mereka itu akan datang lagi bersama lebih banyak teman dan ketua mereka. Bukannya kami takut, akan tetapi... isteri saya sedang mengandung, maka lebih baik kami mengalah dan pergi. Ketika kami tiba di kota ini, saya teringat kepada Theng-ciangkun dan timbul pikiran saya untuk minta pertolongan Ciangkun.”

Kakek itu bengong mendengarkan penuturan itu, kadang-kadang mengangguk-angguk adakalanya menggeleng-gelengkan kepalanya, kemudian berkata,

“Harap engkau menenangkan hatimu, Yap-enghiong. Biarlah isterimu beristirahat di sini sampai melahirkan. Dan kalau kawanan penjahat Kwi-eng-pang berani mengganggu ke sini, hemmm... ruyungku belum berkarat dan aku ingin sekali merasai kelihaian Kwi-eng Niocu yang kabarnya seperti iblis betina itu!”

Cong San menghaturkan terima kasih dan tersenyum kagum mendengar ucapan bersemangat itu. Kakek she Theng itu bernama Theng Kiu, bekas pengawal yang setia sekali dari Kaisar Yung Lo semenjak kaisar itu belum menjadi kaisar seperti sekarang dan masih menjadi raja muda di utara. Dahulu, Theng Kiu ini terkenal dengan senjata ruyungnya sehingga dia dijuluki Kim-pian (Si Ruyung Emas), dan ilmu kepandaiannya, biarpun tidak terlampau tinggi, namun sudah menempatkan dia di golongan orang-orang gagah. Menurut penafsiran Cong San kalau dia tidak salah ingat, Kakek Theng ini mungkin tidak akan kalah oleh seorang di antara enam orang Kwi-eng-pang yang menyerangnya di Lu-liang-san.

Demikianlah, mulai hari itu, Cong San dan isterinya tinggal menumpang di rumah bekas perwira pengawal Theng Kiu. Suami isteri itu merasa bersukur dan berterima kasih sekali. Kakek Theng amat ramah, akan tetapi juga puterinya dan mantunya, suami isteri Tan Hoat, amat baik terhadap mereka. Bahkan puteri suami isteri ini yang bernama Tan Cui Lin, seorang dara berusia lima belas tahun yang manis, juga bersikap menyenangkan.

Untuk membalas kebaikan tuan rumah, Cong San berkenan melatih ilmu silat kepada Tan Cui Lin yang tentu saja sebagai cucu tunggal kakek Theng, sudah mempelajari dasar-dasarnya sejak kecil. Karena ini, Tan Cui Lin menyebut “suhu” kepada Cong San, dan “subo” kepada Yan Cu.

Sambil menanti isterinya melahirkan, selain melatih ilmu silat kepada muridnya, juga Cong San mulai “membuka praktek” pengobatan di Tai-goan, yang mula-mula diperkenalkan kepada sahabat-sahabat Kakek Theng sehingga dalam waktu beberapa bulan saja namanya telah terkenal dan setiap hari ada saja yang datang minta resep obat kepadanya. Dengan adanya sedikit penghasilan ini, agak lega hati Cong San karena dia menyerahkan semua hasil ini kepada keluarga Kakek Theng yang telah menampung mereka.

Waktu berjalan dengan cepatnya dan beberapa bulan kemudian Yan Cu telah melahirkan seorang anak perempuan dengan selamat di rumah keluarga Theng Kiu. Mereka memberi nama Yap In Hong kepada anak itu. Atas bujukan dan nasihat Kakek Theng, karena pekerjaan Cong San mulai maju dan banyak sudah penduduk yang menjadi langganannya, dengan menjual semua perhiasan yang masih dimiliki Yan Cu, ditambah simpanan sedikit-sedikit selama ini, dan dibantu pula oleh Kakek Theng, Cong San membeli sebidang tanah di Tai-goan.

Di atas tanah itu telah ada bangunannya, akan tetapi bangunan kuno yang sudah hampir ambruk. Oleh karena itu, mulailah dia membangun kembali rumah itu dan tiap hari dia pergi memimpin para tukang untuk memperbaiki rumah yang dibelinya. Dia dan isterinya sudah mengambil keputusan untuk tinggal di Tai-goan!

Yang membantunya adalah Tan Hoat, dan kadang-kadang muridnya, Cui Lin, datang pula membantu, mengatur ini itu, membersihkan dan mengatur kebun di belakang rumah, menanami bunga-bunga.

Membangun kembali rumah yang rusak itu memakan waktu berbulan-bulan, dan In Hong telah menjadi seorang anak yang mungil dan hebat berusia setengah tahun lebih ketika akhirnya rumah itu siap untuk ditempati.

Pada hari terakhir itu, Cui Lin membantu suhunya membersihkan rumah baru dan mengatur perabot rumah sederhana dengan penuh kegembiraan. Dara ini sayang sekali kepada suhu dan subonya, dan merasa beruntung menjadi murid seorang yang berilmu tinggi seperti mereka. Baru belajar setahun lebih saja, dia telah memperoleh kemajuan hebat, dan hal ini dikatakan secara jujur oleh kakeknya sendiri.

“Ketahuilah, cucuku. Gurumu adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai yang berilmu tinggi, murid dari manusia sakti Tiang Pek Hosiang. Dan subomu juga bukan orang sembarangan karena dia itu masih sumoi dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong yang kini menjadi Ketua Cin-ling-pai di Cin-ling-san. Kau belajarlah baik-baik dan dalam beberapa tahun lagi, kakekmu ini sudah tidak akan kuat melawanmu.”

Maka gembira sekali hati Cui Lin setelah suhu dan subonya mengambil keputusan untuk tinggal di Tai-goan. Dengan demikian berarti dia akan dapat belajar terus. Dia membantu suhunya memberes-bereskan rumah baru itu dari pagi sampai lewat tengah hari. Besok pagi keluarga suhunya sudah akan pindah ke rumah baru ini.

“Cui Lin, kau lanjutkanlah membereskan kamar ini bersama Phoa-ma (nama pelayan wanita), aku akan kembali dulu ke rumah kakekmu.”

“Baiklah, Suhu. Serahkan saja kepada teecu dan Phoa-ma, tentu sore nanti sudah selesai,” jawab dara itu gembira.

Akan tetapi hati Cong San tidak segembira biasanya ketika dia meninggalkan rumah baru itu. Entah mengapa, hatinya terasa tidak enak, padahal dia tidak terganggu sesuatu. Ada dorongan di hatinya agar dia cepat pulang ke rumah Kakek Theng. Menurutkan dorongan hatinya ini, tergesa-gesa Cong San kembali ke rumah keluarga Theng yang berada di sebelah selatan kota, agak jauh dari rumah baru itu.

Tidaklah mengherankan kalau hati Yap Cong San merasa tidak enak sekali karena pada saat dia membersihkan rumah baru bersama muridnya dan seorang pelayan dan pengasuh anaknya, di rumah keluarga Kakek Theng terjadi malapetaka yang hebat sekali!

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: