*

*

Ads

FB

Kamis, 13 Oktober 2016

Petualang Asmara Jilid 062

Pada waktu itu, Yan Cu dengan hati gembira sekali sedang berkemas karena besok pagi mereka akan pindah ke rumah baru. Hatinya gembira sekali dan sudah banyak rencana di dalam hatinya. Dia akan berusaha membuka toko obat lagi di Tai-gon dan di kota besar ini tentu dia dan suaminya akan mendapat kemajuan jauh lebih besar daripada di Leng-kok.

Setelah In Hong agak besar dan keadaannya di rumah baru menjadi baik, dia akan mengajak suaminya pergi ke Cing-ling-san untuk minta bantuan suhengnya, Cia Keng Hong agar bersama suaminya mencari Kun Liong. Betapa akan bahagianya kalau Kun Liong masih hidup dan dapat berkumpul lagi dengan ayah bundanya. Tentu puteranya itu telah besar, telah dewasa! Sudah tujuh belas tahun tentu usianya! Dan betapa wajah puteranya itu akan penuh keheranan melihat adiknya!

Tiba-tiba dia mendengar teriakan Kakek Theng,
“Nyonya mantu! Lari...”

Dia terkejut sekali. Yang disebut nyonya mantu adalah dia, karena suaminya telah diaku sebagai anak angkat Kakek Theng. Mendengar teriakan yang penuh kegelisahan dari kakek itu, kemudian mendengar betapa suara teriakan itu tiba-tiba terhenti, hatinya khawatir sekali. Tentu saja dia tidak mau lari seperti diminta oleh kakek itu, dan dia menduga bahwa tentu terjadi sesuatu yang hebat. Cepat dia menyambar pedangnya dan dengan pedang terhunus Gui Yan Cu meloncat keluar dari kamarnya dan berlari ke ruangan dalam.

Hampir saja dia berseru kaget, matanya terbelalak dan mukanya menjadi pucat ketika dia melihat mayat-mayat bergelimpangan! Mayat Tan Hoat dan isterinya dengan leher hampir putus, mayat dua orang pelayan di luar pintu, dan mayat kakek Theng sendiri di ruangan tengah, kepala kakek itu pecah dan senjata ruyungnya masih tergenggam di tangannya. Agaknya kakek ini melakukan perlawanan sampai saat terakhir sambil tadi berteriak menyuruhnya lari.

Dapat dibayangkan betapa marahnya Gui Yan Cu. Dengan air mata memenuhi pelupuk matanya dia melompat dan menerobos ke ruangan dalam yang lebar dan dia terhenti tegak di pintu ketika melihat lima orang enak-enakan duduk di dalam ruangan itu sambil tersenyum-senyum menyeringai. Seorang di antara mereka adalah Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci! Yang empat orang lainnya dia tidak kenal, yaitu seorang wanita setengah tua yang masih cantik dan berpakaian mewah bersama tiga orang laki-laki tua yang keadaannya menyeramkan.

“Apa... apa yang telah kalian lakukan?”

Dia membentak, sedikit pun tidak merasa takut biar di situ terdapat Bu Leng Ci yang lihai, karena kemarahan telah membuat nyonya ini tidak lagi mengenal takut dan sama sekali tidak ingat akan bahaya lagi.

“Inilah dia yang bernama Gui Yan Cu, ibu bocah setan itu,” kata Bu Leng Ci.

Wanita berpakaian mewah itu mengangkat muka.
“Eh, Gui Yan Cu. Aku memanggil kau dan suamimu ke Kwi-ouw, mengapa kau dan suamimu malah menghina anak buahku?”

Yan Cu makin marah setelah mengetahui bahwa wanita itu adalah Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio.






“Hem, jadi engkau inikah yang disebut Kwi-eng Niocu, ketua perkumpulan sesat Kwi-eng-pang?”

“Huh! Huhh!” Kakek yang matanya sipit lehernya panjang seperti leher ular itu menahan ketawanya.

“He-he-he!” Kakek yang mukanya hitam seperti pantat kuali terkekeh. “Kalau dia tidak takut terhadap dua orang datuk betina, tentu tidak gentar pula terhadap kami tiga orang datuk jantan, dan tentu kepandaiannya setinggi langit!”

Gui Yan Cu memandang kakek bermuka hitam itu dan mendengar ucapan ini, dia terkesiap juga. Jantungnya berdebar tegang dan dia membentak,

“Jadi kalian berlima inikah yang disebut lima Datuk kaum sesat?”

Kakek tua renta berambut putih panjang yang matanya juling akan tetapi mengeluarkan sinar aneh dan mengerikan itu terbatuk-batuk, menggumam,

“Dan engkau kabarnya sumoi dari Cia Keng Hong. Benarkah?”

“Benar! Aku dan suamiku selamanya tidak pernah berurusan dengan kalian, mengapa kalian mengganggu kami dan membunuh orang-orang yang tidak berdosa ini? Beginikah sepak terjang tokoh-tokoh besar yang mengaku sebagai para datuk? Seperti kelakuan bajingan-bajingan kecil saja!”

Yan Cu maklum bahwa dia berhadapan dengan orang-orang yang tak mungkin dapat dilawannya, akan tetapi dia sama sekali tidak takut karena kemarahannya melihat kakek Theng, anaknya, mantunya, dan pelayan-pelayan terbunuh seperti itu.

“Gui Yan Cu! Tidak perlu banyak cakap. Katakan di mana adanya bokor emas yang dicuri oleh anakmu yang bernama Kun Liong itu kalau menghendaki agar nyawamu kami perpanjang beberapa lamanya.”

Mendengar ini, wajah yang tadinya pucat itu kelihatan berseri. Pertanyaan itu membuktikan bahwa Kun Liong masih hidup!

“Aku tidak tahu apa yang kau maksudkan. Selamanya aku belum pernah mendengar tentang bokor emas dan andaikata aku mengetahuinya juga, apakah kau kira aku akan memberitahukan kepada kalian?”

“Perempuan sombong! Kalau begitu mampuslah!”

Kwi-eng Niocu sudah hendak menggerakkan tangan menyerang, akan tetapi kakek tua renta berambut putih itu terbatuk-batuk, dan melangkah maju menghalangi Kwi-eng Niocu sambil berkata,

“Nanti dulu, Pangcu. Kalau dia benar sumoi dari Cia Keng Hong, biarkan aku mencoba Thi-ki-i-beng.”

Kakek berambut putih itu bergerak ke depan. Yan Cu yang maklum bahwa tak mungkin dia menghindarkan diri dari pertandingan mati-matian, segera mengelebatkan pedangnya dan menyerang dengan tusukan ke dada dilanjutkan dengan bacokan menyamping ketika kakek itu mengelak.

Tiba-tiba pedang itu tertahan oleh jubah kakek itu yang dipegang di tangan kiri, kemudian secara cepat dan aneh sekali, tangan kanannya sudah menyambar dan menampar ke arah kepala Yan Cu. Gerakan ini cepat sekali maka terpaksa Yan Cu mengangkat tangan kiri menangkis.

“Plakkk!”

Yan Cu terhuyung ke belakang, lengannya terasa sakit sekali. Kakek itu kelihatan kecewa, tidak melanjutkan gerakannya dan mengomel,

“Mana itu Thi-khi-i-beng yang disohorkan orang? Kalau hanya sedemikian saja kepandaian perempuan ini, tidak cukup pantas melayani aku!”

Diam-diam Yan Cu terkejut bukan main. Kakek berambut putih itu benar hebat sekali dan kalau dilanjutkan pertandingan itu, biarpun dia memegang pedang, agaknya sukar sekali baginya untuk menang. Dia menduga bahwa tentu kakek berambut putih itu yang berjuluk Toat-beng Hoat-su, datuk yang penuh rahasia dan yang mungkin sekali paling lihai di antara lima orahg itu.

“Aku pun ingin mencoba!” kata kakek muka hitam yang bukan lain adalah Hek-bin Thian-sin Louw-Ek Bu. Belum habis ucapannya, tubuhnya sudah bergerak dan sinar kilat sebatang golok besar di tangannya sudah menyambar dahsyat. Yan Cu cepat memutar pedangnya menangkis.

“Tranggg...!”

Kembali Yan Cu terkejut karena pedangnya terpental dan lengannya gemetar saking kuatnya tenaga yang terkandung di golok itu. Namun dia tidak menjadi jerih dan sudah membalas serangan lawan baru ini dengan gerakan pedangnya yang lincah.

Sambil tertawa-tawa mengejek Si Kakek Muka Hitam itu menyambut dengan golok besarnya dan terjadilah pertandingan yang seru, namun dalam belasan jurus saja pedang Yan Cu sudah tertindih dan beberapa kali pertemuan kedua senjata itu secara kuat membuat pedangnya hampir terlepas dari tangannya. Mulailah Yan Cu merasa khawatir. Bukan mengkhawatirkan dirinya sendiri, melainkan mengkhawatirkan puterinya yang kini ia dengar menangis di dalam kamarnya! Dia sendiri tidak takut mati, akan tetapi bagaimana nasib puterinya yang belum ada satu tahun usianya itu kalau terjatuh ke dalam tangan iblis-iblis ini? Mengapa suaminya belum juga pulang?

“Hek-bin Thian-sin, aku ikut berpesta, ha-ha-ha!”

Suara ini keluar dari mulut Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok dan pedangnya yang berbentuk ular itu telah meluncur ke depan. Pada saat itu, Yan Cu baru saja menangkis golok besar Hek-bin Thian-sin yang membuat tangannya gemetar. Maka begitu pedang itu kini bertemu dengan pedang ular yang didorong oleh tenaga yang luar biasa kuatnya, dia tidak dapat mempertahankan lagi dan pedangnya terlepas dari tangannya.

Suara terkekeh di belakangnya adalah suara Bu Leng Ci yang sudah menyambar pedang itu dan pada saat itu Yan Cu merasa betapa pundaknya nyeri bukan main, panas dan membuat tubuhnya menggigil saking nyerinya. Maklum bahwa nyawanya terancam, dan teringat akan nasib puterinya, Yan Cu mengeluarkan pekik melengking yang dimaksudkan untuk memanggil suaminya.

Guratan kuku jari tangan Kwi-eng Niocu yang mengenai pundak Yan Cu itu membuat wanita perkasa ini terhuyung dan pening kepalanya. Namun ia masih nekat dan sambil membalik dia membarengi memukul sebelum Kwi-eng Niocu menarik tangannya.

“Dukkk!!”

Biarpun Kwi-eng Niocu tidak roboh oleh pukulan yang menyambar dan mengenai pangkal lengannya ini, namun cukup membuat dia merasa kesakitan dan lengan kirinya seperti lumpuh sejenak.

Dia marah sekali, sambil mengeluarkan suara menggereng seperti harimau terluka, dia menubruk maju, tangannya menampar. Yan Cu yang sudah pening itu hanya mampu menangkis sebuah tamparan tangan kiri yang kurang cepat gerakannya itu, akan tetapi tamparan tangan kanan Si Bayangan Hantu mengenai lehernya. Dia terpekik dan terjengkang.

Sebelum tubuhnya mengenai tanah, sinar pedang berkelebat dan pedangnya sendiri yang dipergunakan oleh Bu Leng Ci telah menembus dada wanita perkasa ini! Gui Yan Cu tidak mengeluh lagi, roboh terlentang dengan dada tertembus pedangnya sendiri, tewas seketika. Darah muncrat membasahi bajunya.

Pada saat Yan Cu mengeluarkan suara melengking tadi, Yap Cong San telah tiba dekat rumah itu. Dia terkejut mengenal lengking isterinya dan cepat sekali dia lari ke dalam rumah. Ketika dia mendengar suara tangis puterinya, dia langsung memasuki kamar dan lega hatinya melihat puterinya itu menangis di atas ranjang dalam keadaan selamat.

Disambarnya puterinya itu dan dibawanya lari keluar. Ketika dia melihat mayat-mayat bergelimpangan, mayat Kakek Theng, puterinya, mantunya dan dua orang pelayan, Cong San terkejut setengah mati. Dengan jantung berdebar tegang dia terus lari ke arah suara pertempuran di ruangan dalam dan pada saat dia muncul di ambang pintu ruangan itu dilihatnya isterinya sudah rebah terlentang dengan dada tertembus pedang!

“Yan Cu...!”

Dia memekik dan meloncat ke dalam. Sejenak dia seperti terpesona memandang jenazah isterinya, kemudian dia menyapu dengan pandang matanya kepada lima orang yang berdiri di situ sambil tersenyum-senyum. Air mata mengalir di sepanjang kedua pipi pendekar itu akan tetapi sepasang matanya tidak pernah berkedip ketika dia memandang ke arah mereka satu demi satu, kemudian kembali dia menoleh kepada jenazah isterinya.

“Yan Cu... ohh... ohhh... Yan Cu...!”

Dia merintih, rintihan yang diselingi oleh tangis Yap In Hong, anak kecil dalam pondongannya.

Tiba-tiba Cong Son membalikkan tubuh menghadapi lima orang itu. Begitu melihat Bu Leng Ci, mudah saja baginya untuk menduga siapa adanya empat orang yang lain itu. Biarpun dia belum pernah bertemu muka dengan mereka, akan tetapi dia sudah mendengar berita tentang lima orang datuk kaum sesat. Biarpun kemarahan dan kedukaan menyesak dadanya, namun sebagai seorang pendekar besar Cong San dapat menekan perasaannya dan dia harus lebih dahulu tahu siapa sebenarnya mereka dan mengapa mereka membunuh keluarga Kakek Theng dan isterinya.

“Bukankah kalian ini Lima Datuk kaum sesat?” tanyanya dengan suara terdengar aneh sekali, agak parau dan nadanya bercampur tangis dan kemarahan.

“Hi-hi-hik, sudah tahu mengapa tidak lekas berlutut minta ampun?” Bu Leng Ci tertawa mengejek.

“Mengapa kalian memusuhi kami?”

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: