*

*

Ads

FB

Kamis, 13 Oktober 2016

Petualang Asmara Jilid 064

“Uh-uhh!” Toat-beng Hoat-su terbatuk-batuk. “Apakah kalian ini anak-anak kecil yang karena urusan sepele saja hendak saling hantam?”

Ditegur demikian oleh orang tertua di antara mereka, keduanya mundur lagi, dan Hek-bin Thian-sin bekata kepada Cui Lin,

“Dara manis, siapa takut kepada bocah itu? Biarkan dia hidup dan belajar seratus tahun, kami tidak akan takut! Siapa bilang Hek-bin Thian-sin Louw Ek Bu takut akan pembalasan seorang anak bayi? Entah kalau yang lain takut!”

“Sombong! Aku pun tidak takut!” Si Bayangan Hantu membentak.

“Hi-hik, biarkan bayi itu besar, kelak masih belum terlambat kita membunuhnya. Ingin aku melihat bagaimana dia hendak membalas dandam!” kata pula Bu Leng Ci.

Hek-bin Thian-sin tertawa bergelak.
“Nah, begitulah sikap orang gagah! Tak takut dan pantang mundur menghadapi tantangan pendandam! Eh, Nona, benarkah kau akan menurut segala perintahku kalau kami membebaskan bocah itu?”

“Aku Tan Cui Lin adalah keturunan orang gagah dan murid pendekar perkasa, sekali bicara tidak akan ditarik kembali!”

Cui Lin yang sudah mengambil keputusan tetap untuk menyelamatkan In Hong sebagai perbuatan terakhir itu menjawab dengan sikap gagah.

“Ha-ha-ha, bagus! Kalau begitu, hayo kau tanggalkan semua pakaianmu, bertelanjang bulat di depan kami!” Hek-bin Thian-sin memerintah.

Dapat dibayangkan betapa perasaan seorang dara berusia enam belas tahun seperti Cui Lin mendangar perintah biadab seperti itu. Hampir pingsan membayangkan betapa dia harus menanggalkan semua pakaian di depan mereka. Penghinaan yang tiada taranya bagi seorang dara. Akan tetapi ketekadan bulat didorong putus asa dan kedukaan melihat semua orang yang dikasihinya tewas, dia menjawab dengan suara tenang,

“Bebaskan dulu adikku. Biarkan dia dibawa pergi Phoa-ma. Eh, Phoa-ma, bawa pergi In Hong, jaga baik-baik dan hati-hatilah memelihara dia.”

Dengan tubuh menggigil Phoa-ma menerima In Hong dari tangan Cui Lin, memondongnya lalu bergegas pergi keluar dari rumah itu dengan tubuh gemetar.

Setelah melihat Phoa-ma pergi tak tampak lagi, Cui Lin melangkah maju dan perlahan-lahan, jari-jari tangannya mulai menanggalkan pakaiannya, satu demi satu. Dia sengaja melakukan ini dengan lambat sekali karena dia hendak menarik perhatian mereka dan memberi kesempatan kepada Phoa-ma untuk lari jauh di tempat yang aman.






Tidak akan sukar bagi Phoa-ma untuk bersembunyi dan andaikata iblis-iblis ini melanggar janji, belum tentu mereka akan dapat mencari Phoa-ma di kota sebesar Tai-goan. Andaikata keadaan tidak seperti itu, dan hatinya tidak seduka itu, agaknya sampai mati pun dia tidak akan sudi menanggalkan pakaian, lebih baik dia mati. Akan tetapi, perasaan duka membuat perasaan lain membeku, lupa akan rasa malu dan lain-lain, yang ada hanyalah keinginannya untuk menyelamatkan In Hong didorong perasaan duka dan sengsara.

Kwi-eng Nio-cu dan Siang-tok Mo-li membuang muka.
“Menyebalkan, perempuan hina!” Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci berkata.

“Perempuan tak tahu malu seperti pelacur!”

Kwi-eng Nio-cu juga memaki. Akan tetapi Hek-bin Thian-sin Louw Ek Bu mononton pertunjukan itu dengan mata melotot. Makin lambat dara muda itu menanggalkan pakaian, makin menarik dan menggairahkan, menimbulkan nafsu birahi yang berkobar-kobar.

Toat-beng Hoat-su hanya terbatuk-batuk sama sekali tidak tertarik, juga tak membenci pertunjukan yang baginya sudah tidak ada daya penariknya sama sekali itu. Akan tetapi Ban-tok Coa-ong juga tertarik dan tersenyum kagum. Betapa hati pria tidak akan terpesona menyaksikan tubuh dara muda yang ramun itu tampak sedikit demi sedikit seperti itu?

Akhirnya Cui Lin telah menanggalkan seluruh pakaiannya dan berdiri dengan telanjang bulat. Seperti seorang wanita berpengalaman yang biasa menggoda pria, dara remaja yang masih mentah ini dan yang menjadi matang karena himpitan duka itu mencabut tusuk konde, membiarkan rambut yang hitam panjang itu terurai lepas di atas kedua pundaknya, sebagian menutupi dadanya yang padat, akan tetapi makin menggairahkan.

“Aduh, nona manis, engkau hebat sekali!”

Hek-bin Thian-sin meraih pinggang dara itu dan menarik lalu memeluknya. Tanpa malu-malu lagi dia menciumi bibir Cui Lin. Dara itu hampir pingsan. Selama hidupnya belum pernah dia melakukan semua itu dan belum pernah dicium pria, dalam mimpi pun belum. Kini, muka yang hitam kasar itu menciumnya, membuat dia hampir muntah. Akan tetapi dia mengeraskan hati, memejamkan mata agar tidak melihat muka hitam berkilat itu, tangannya bergerak.

“Manis, cantik jelita... ahhh... hemm... aughhh!!”

Hek-bin Thian-sin berteriak dan cepat mengerahkan sin-kang ke ulu hatinya, tangannya dengan jari tangan miring menghantam kepala Cui Lin.

“Trakkk!”

Tanpa dapat mengeluh lagi, tubuh Cui Lin yang telanjang bulat itu terpelanting dan roboh dengan kepala retak dan tewas seketika. Hek-bin Thian-sin menyumpah-nyumpah ketika dia mencabut tusuk konde yang hampir saja membunuhnya itu dari ulu hatinya. Untung dia cepat mengerahkan sin-kang sehingga tusuk konde itu hanya masuk sedalam tiga senti saja. Sambil mengobati lukanya dia memaki-maki.

“Perempuan jahat! Curang! Ahhh, mana anak kecil itu? Harus dibunuh sekali!!” teriaknya sambil mencak-mencak.

Kwi-eng Nio-cu dan Siang-tok Mo-li tertawa terkekeh-kekeh dengan hati girang sekali.
“Rasakan kau sekarang, laki-laki kotor!” Bu Leng Ci bersorak.

“Wah, sayang. Kalau tidak mati, mau rasanya aku mengambil dara ini sebagai murid!” kata Si Bayangan Hantu.

Orang-orang berkerumun di depan rumah keluarga Kakek Theng ketika lima orang aneh ini meninggalkan rumah itu. Tadi Phoa-ma yang membawa lari In Hong, setelah tiba di luar dan bertemu dengan orang-orang, tidak dapat berkata apa-apa kecuali suara lirih,

“Pembunuhan...! Pembunuhan...!” tanpa berhenti menoleh dan tidak peduli pertanyaan orang, melainkan terus melarikan diri, memeluk anak itu erat-erat.

Karena inilah, maka orang-orang berkumpul di depan rumah itu. Ketika mereka melihat lima orang aneh itu keluar dengan sikap angkuh dan seenaknya, tidak ada yang berani bertanya. Setelah lima orang itu pergi, barulah berbondong-bondong mereka memasuki rumah.

Dapat dibayangkan betapa gegernya ketika mereka melihat bahwa rumah itu penuh dengan darah dan mayat berserakan! Mayat-mayat dalam keadaan mengerikan sekali, terutama Cui Lin yang mati dalam keadaan telanjang bulat dan kepala pecah! Banyak yang tidak kuat menyaksikan dan ada yang jatuh pingsan, ada pula yang jatuh berlutut karena kedua kaki terasa lemas dan lumpuh.

Akan telapi ada beberapa orang yang cepat lari keluar untuk mengejar lima orang aneh itu. Setibanya di luar, tidak ada nampak bayangan seorang pun di antara dua orang wanita dan tiga orang kakek yang menyeramkan tadi. Tentu saja mereka segera lari melapor kepada yang berwajib dan gegerlah kota Taigoan, apalagi karena Kakek Theng terkenal sebagai orang terhormat, bekas pengawal kaisar!

“Kejam sekali!”

“Bukan manusia!”

“Lebih kejam daripada iblis!”

Demikian komentar para penduduk Taigoan. Dan agaknya ada pula para pembaca yang memberi komentar seperti itu.

Kejamkah Lima Datuk kaum sesat itu? Tentu saja kejam sekali. Akan tetapi marilah kita menyelidiki keadaan kita manusia hidup ini. Bukankah kita ini dengan cara masing-masing, menurutkan pendapat masing-masing, juga merupakan orang-orang yang kejam?

Mari kita tengok di sekeliling kita. Bukankah hidup manusia ini penuh dengan segala macam kejahatan? Pembunuhan terjadi di mana-mana. Ada pembunuhan karena perkelahian, karena perampokan, karena kebencian, karena permusuhan, karena iri dan sebagainya. Banyak pula pembunuhan masal karena perang. Perang antar bangsa yang pada hakekatnya mencerminkan perang dan pertentangan antar kelompok, antar perorangan, dan akhirnya bersumber pada pertentangan dalam diri kita masing-masing!

Tidak kejamkah kita kalau kita mengiri kepada atasan dan menghina kepada bawahan? Kalau kita suka kepada yang baik dan jijik terhadap yang buruk, termasuk manusia? Tidak kejamkah kita kalau milik kita berlimpah dan berlebihan dan hati kita tidak terusik sama sekali melihat sesama manusia kurang makan kurang pakaian dan tiada tempat tinggal seperti kaum jembel dan gelandangan? Tidak kejamkah kita kalau untuk sebuah kedudukan saja kita sampai hati untuk saling jegal, saling fitnah, saling benci, dan saling bunuh?

Kalau kita mau belajar mengalihkan pandangan kita ke dalam diri sendiri, mau mengenal keadaan hati dan pikiran sendiri secara jujur, akan tampaklah bahwa selain kejam, kita pun munafik-munafik besar. Mulut bicara tentang saling kasih antar manusia, namun mata memandang penuh iri dan benci, tangan dikepal siap saling hantam, hanya untuk memperebutkan uang, kedudukan, nama dan juga memperebutkan... kebenaran bukan lain hanyalah kebenaran diri sendiri masing-masing dan karenanya menjadi kebenaran palsu.

Mari kita ingat betapa kejamnya kita ini! Digigit seekor nyamuk ingin membunuh semua nyamuk, berdasarkan dendam dan kebencian. Berdasarkan jijik dan takut terkena penyakit, kalau bisa semua lalat dibasmi! Berdasarkan nafsu makan enak yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kesehatan, kita membunuh segala binatang untuk kita makan bangkainya. Tidak kejamkah kita? Apakah alasan bahwa “semua itu sudah umum” dapat dipakai untuk menghapus kekejaman ini?

Dapatkah kita berusaha menghapus kekejaman? Dengan ilmu apa pun tidak dapat! Karena keadaan bebas dari kekejaman bukanlah keadaan yang dibuat dan diusahakan. Orang tidak akan mungkin dapat berhasil kalau dia berusaha menjadi orang baik! Usaha menjadi baik hanya menjadikan orang munafik yang merasa diri baik, dan segala usaha dan keinginan selalu mengandung pamrih atau tujuan yang kesemuanya bersumber kepada keuntungan lahir maupun batin bagi diri pribadi. Kekejaman akan terhapus apabila kita mengerti sampai ke akarnya mengapa kita kejam, apabila kita mengenal keadaan diri kita pribadi, mengenal gerak pikiran dan hati kita pribadi.

Marilah kita bersama mulai dari detik ini juga. Karena hidup adalah dari detik ke detik. Hidup adalah sekarang ini. Perubahan adalah saat ini, bukan ingin mengubah namun perubahan yang terjadi dengan sendirinya setelah kita membuka mata, waspada penuh kesadaran mengenai keadaan kita lahir batin, keadaan sekeliling kita. Apa kemarin? Sudah lalu! Hanya menimbulkan kenangan yang mengeruhkan pikiran. Apa besok? Bukan urusan kita! Hanya menimbulkan bayangan khayal yang melahirkan kekhawatiran dan ketakutan. Yang panting sekarang, saat ini!

**** 064 ****
Petualang Asmara







Tidak ada komentar: