*

*

Ads

FB

Kamis, 13 Oktober 2016

Petualang Asmara Jilid 066

Dia tidak menceritakan tentang bokor emas, dan juga banyak hal yang dianggapnya kurang perlu, diantaranya kenakalannya yang menyebabkan kebakaran dan lain-lain, tidak diceritakannya!

“Kau beruntung sekali dapat menjadi muridnya sampai lima tahun!” Keng Hong berseru girang.

Kun Liong melanjutkan penuturannya, betapa dia kembali ke Leng-kok akan tetapi tak dapat bertemu dengan ayah bundanya yang telah melarikan diri menjadi orang buruan karena telah berani menentang Ma-taijin.

“Hemm, kurasa sekarang manusia busuk she Ma itu tidak akan berani banyak tingkah lagi setelah kuhancurkan sebelah telinganya!” Biauw Eng berkata sehingga Kun Liong terkejut.

“Supek-bo melakukan hajaran itu karena ayah ibu?” tanyanya.

Biauw Eng mengangguk.
“Mestinya engkau yang melakukannya, karena lima tahun yang lalu mungkin engkau masih terlalu muda, aku mewakilimu.”

“Ahh, Supek-bo, Terima kasih atas pembelaan Supek-bo, akan tetapi teecu rasanya tidak akan mau melakukan hal itu.”

“Kenapa? Kau takut?” Biauw Eng bertanya dengan kening berkerut penuh kecewa.

“Teecu tidak takut apa-apa, hanya... teccu tidak akan menggunakan kekerasan ilmu silat untuk memukul orang...”

Keng Hong dan Biauw Eng terbelalak dan saling pandang, sedang Giok Keng tersenyum mengejek. Ketika Biauw Eng yang penasaran hendak membantah, dia didahului Keng Hong.

“Lanjutkan ceritamu, Kun Liong. Setelah tidak bertemu dengan orang tuamu, apakah kau tidak mencari mereka? Mengapa? Kalau ada ibumu, agaknya kepala gundulmu dapat disembuhkan dan dapat tumbuh rambut. Kenapa pula kau bisa berada disini?”

“Teecu telah berusaha mencari mereka, akan tetapi sia-sia. Akhirnya teecu pergi ke Siauw-lim-si dan secara kebetulan sekali teecu diambil murid oleh mendiang sukong Tiang Pek Hosiang selama lima tahun.”

“Apa?” Kembali Keng Hong dan Biauw Eng terkejut. “Bukankah beliau selama itu mengurung diri dalam Ruang Kesadaran?”

Kun Liong lalu menceritakan pengalamannya sampai dia menjadi murid sukongnya sendiri. Keng Hong mendengarkan penuh kagum dan diam-diam dia memuji nasib baik bocah ini yang secara kebetulan saja digembleng oleh dua orang paling sakti di dunia ini pada jaman itu!

“Hemm, jadi yang membuatmu keracunan sampai gundul begini adalah Ban-tok Coa-ong dan puteranya? Dia seorang di antara Lima Datuk kaum sesat! Lalu, setelah selesai upacara penyempurnaan jenazah Tiang Pek Hosiang dan Thian Le Hwesio, apa yang hendak kau lakukan, Kun Liong? Engkau hendak pergi kemana?”






“Teecu belum tahu harus pergi ke mana. Yang jelas teecu akan mencari ayah dan ibu, juga berusaha mencari dua buah pusaka Siauw-lim-si yang hilang seperti dipesankan oleh mendiang Sukong.”

“Tapi, kalau betul dugaan Ketua Siauw-lim-pai bahwa yang mencuri adalah orang-orang dari Kwi-eng-pang, berbahaya sekali kalau kau pergi kesana. Si Bayangan Hantu, ketua Kwi-eng-pang adalah seorang lihai, seorang di antara Lima Datuk kaum sesat.”

“Teecu tidak takut, Supek. Teecu harus mencarinya dan dapat membawanya kembali kesini untuk membalas budi kebaikan mendiang Sukong.”

“Bagus! Begitulah baru pantas menjadi putera Yap Cong San dan Gui Yan Cu sumoi. Akan tetapi, sebelum berangkat biarlah kulihat dulu sampai dimana tingkat kepandaianmu, kalau perlu biar kutambah untuk bekal.”

Kun Liong menghaturkan terima-kasihnya. Keng Hong lalu mengajak mereka kembali ke ruangan tamu. Akan tetapi Giok Keng berkata,

“Ayah, karena Liong-ko adalah orang dalam kuil ini, saya ingin sekali melihat-lihat kuil yang disohorkan amat besar dan indah ini. Juga saya ingin melihat Ruang Kesadaran dimana mendiang Tiang Pek Hosiang bertapa dan dimana Liong-ko digembleng selama lima tahun.”

Keng Hong mengerutkan alisnya, akan tetapi Biauw Eng mendahuluinya.
“Pergilah, dan kau yang ceritakan kepada kakakmu tentang keadaan kita selama ini agar dia mengetahui bahwa aku dan ayahmu sudah berusaha pula mencari orang tuanya.”

Setelah berkata demikian, Biauw Eng mengajak suaminya kembali ke tempat tadi, sedangkan Giok Keng dan Kun Liong berjalan keluar memasuki kebun di samping kuil.

“Dia cukup tampan dan gagah, bukan? Kalau saja Keng-ji dan dia dapat saling cocok...”

Biauw Eng berkata lirih setelah mereka duduk berdampingan di tempat tamu tadi. Hatinya sudah ingin sekali mempunyai seorang mantu, mengingat bahwa usia puterinya itu sudah sembilan belas tahun. Sudah perawan tua menurut ukuran waktu itu!

“Tapi... tapi...”

“Tapi apa?” Biauw Eng mendesak dan melirik ke arah suaminya.

“Dia... eh, kepalanya gundul. Bagaimana kalau sampai selamanya tetap gundul seperti hwesio?”

“Hemm, heran sekali aku, masa engkau meributkan soal kepala gundul atau berambut gondrong! Tidak biasanya engkau seperti ini. Pula, bukankah engkau masih menyimpan kitab pengobatan peninggalan gurumu yang kau temukan di Cin-ling-san ketika membangun pondok itu? Kalau kau berikan kitab itu kepadanya, tentu dia akan dapat mencari obatnya sendiri. Suamiku, apa sebetulnya yang membuat kau kecewa? Aku yakin bukan soal kepala gundul!” Biauw Eng yang sudah mengenal benar watak suaminya, mendesak.

Keng Hong menarik napas panjang.
“Betapa mungkin bagiku menyembunyikan sesuatu darimu? Sebetulnya, aku agak kecewa mendengar pernyataannya tadi bahwa dia tidak suka menggunakan ilmu silat untuk memukuli orang. Kurasa ucapan itu timbul dari hati penakut dan watak yang lemah. Benar-benar aku tidak suka!”

“Hemmm, suka atau tidak, yang kita pentingkan bukankah perjodohan Giok Keng? Biarkan dia yang menentukan, bukan kita karena dialah yang akan melaksanakan, untuk selamanya, yang akan mengalami baik buruknya, suka dukanya.”

Keng Hong menarik napas panjang.
“Mudah-mudahan dugaanku itu keliru.”

Mereka tidak melanjutkan percakapan itu karena merasa kurang leluasa setelah kini tamu berdatangan dan banyak yang duduk dekat mereka.

Setelah mereka berdua memasuki kebun, Giok Keng berkata,
“Kun Liong, kau baik sekali tidak...”

Kun Liong memandang dengan mata melotot dibesarkan, mulut cemberut dan menegur,

“Eh, berani kau menyebut namaku begitu saja? Kalau aku mengutukmu, kau bisa menjadi kelelawar!”

“Habis, bukankah namamu Kun Liong?”

“Siapa menyangkal? Akan tetapi kau juga tidak bisa menyangkal bahwa aku lebih tua daripada engkau dan tadi kau sudah menyebutku koko. Kau bilang aku baik karena tidak membuka rahasiamu di depan ayah bundamu, akan tetapi beginikah balasnya? Kau menyebutku begitu saja seolah-olah kau lebih tua!”

Kun Liong tidak marah sungguh-sungguh, hanya untuk menggoda saja karena dilihatnya, bahwa dara ini masih lincah dan nakal!

“Ataukah barangkali aku tidak perlu membohong kepada Supek? Untuk mengaku tentang pertemuan kita dahulu itu sekarang pun masih belum terlambat!” Kun Liong membalikkan tubuh seolah-olah hendak pergi menemui supeknya.

“Eh, eh... nanti dulu, Kun... eh, Liong-koko! Maafkan aku, aku terima salah. Biarlah aku menyebutmu koko! Nah, kau dengar? Koko! Koko! Koko!”

Kun Liong tertawa dan kembali ke depan dara itu yang sudah cemberut.
“Kau ceriwis dan manja sekali, ah! Benci aku melihatmu! Urusan dahulu itu hendak kau pakai untuk memeras aku selamanya ya? Awas kau, kalau keterlaluan sampai aku kehabisan kesabaran, sekali ini aku tidak hanya merobohkan engkau, melainkan akan kuketuk kepala gundulmu sampai retak!”

“Wah, jangan marah, dong, Moi-moi yang baik. Kau manis sekali, tahukah kau? Cantik seperti bidadari, seperti dalam dongeng yang pernah kubaca, tentang dewi yang turun dari kahyangan melalui tangga pelangi!”

“Kau mengejek ya?”

“Sungguh mati disumpah tujuh kali pun mau! Kau memang cantik sekali, Moi-moi. Bukan mengejek bukan apa, akan tetapi secara jujur. Biar aku bersumpah demi langit dan bumi bahwa kau memang cantik jelita. Hemmm...”

“Hemm apa?”

Giok Keng membentak, akan tetapi sebenarnya hatinya berdebar girang bukan main. Kalau lain orang yang memujinya seperti itu, apalagi kalau orang itu laki-laki, tentu akan dianggapnya kurang ajar dan bisa dibunuhnya! Akan tetapi sikap Kun Liong yang jujur dan sama sekali tidak menjilat itu mendatangkan kesan lain!

“Eh, aku hanya mau bilang bahwa... selama ini aku tidak pernah dapat melupakanmu, maka begitu tadi kau muncul, aku terus saja mengenalmu. Yang selalu terbayang olehku adalah...”

“Apa? Mengapa bicara putus-putus begitu? Jangan main gila, ya?” Giok Keng pura-pura marah untuk menutupi kegirangan dan kebanggaan hatinya.

“Yang tak pernah kulupakan adalah ketika kau dahulu... menempiling kepalaku tiga kali! Ha-ha!”

Merah kedua pipi dara itu. Dia sama sekali bukan menempiling setelah dahulu ia ketakutan setengah mati, hanya menyentuh saja.

“Aku pun tidak dapat lupa kepadamu, terutama... kepalamu.”

“Gundul ini? Ha-ha, memang di dunia tidak ada keduanya, ya?”

Giok Keng cemberut lalu menjebikan bibirnya yang merah.
“Kau memang manja dan ceriwis sekali. Kau tadi bilang kalau mengutuk aku maka aku bisa menjadi kelelawar. Apa maksudmu?”

Kun Liong tertawa, tertawa bebas dan inilah yang menambah daya tarik pribadinya, tidak ada pura-pura, tidak ada penahanan diri, bebas dan wajar.

“Kau tahu bagaimana kalau kelelawar tidur? Kakinya tergantung, kepala di bawah, bukan? Nah, kalau kau berani kepada aku yang lebih tua, yang kau panggil kakak, maka kau bisa kualat, seperti kelelawar tidur, kaki di atas kepala di bawah!”

“Huhh!”

Giok Keng menampar pundak Kun Liong, tamparan main-main, akan tetapi Kun Liong yang kena ditampar pundaknya mengaduh-aduh.

“Aduhhh... aduhhh...!”

“Ehhh?” Giok Keng khawatir dan terbelalak. “Aku tidak menggunakan sin-kang, masa sakit?”

Kun Liong menghentikan aksinya kesakitan.
“Untung kau tidak mengerahkan tenaga, kalau demikian, bukankah aku akan menderita nyeri sekali?”

Giok Keng merasa dipermainkan dan mendongkol.
“Dasar sinting!”

Kun Liong tertawa.
“Entah mengapa, biasanya aku tidak begini, Moi-moi. Berada di dekatmu aku merasa gembira sekali dan ingin bersendau-gurau saja. Rasanya aku seperti mau bernyanyi-nyanyi, mau menari-nari!”

“Engkau bisa gila kalau terus begini. Eh, Kun Liong... Koko! Mengapa sih kau suka sekali disebut Koko olehku?”

“Tentu saja. Engkau anak tunggal, aku pun juga. Engkau tidak punya kakak, aku tidak punya adik, sudah sepatutnya...”

“Ngawur! Aku bukan anak tunggal! Aku mempunyai seorang adik laki-laki bernama Cia Bun Houw, sekarang sudah empat tahun usianya.”

“Benarkah? Mana dia?”

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: