*

*

Ads

FB

Rabu, 19 Oktober 2016

Petualang Asmara Jilid 071

“Hemm, usiamu sudah dua puluh tahun, sudah waktunya memikirkan soal jodoh,” kata Keng Hong dan pendekar ini tidak melanjutkan percakapan tentang jodoh itu sehingga membikin lega hati Kun Liong.

Diam-diam pemuda yang cerdik ini menduga-duga. Mengapa supeknya bicara tentang jodoh? Dan menurut Giok Keng, dara itu pun belum ada jodohnya dan orang tuanya selalu mendesak dan membujuknya. Ah, agaknya ada udang di balik batu, pikirnya, ada maksud di balik pertanyaan-pertanyaan supeknya itu. Dia membayangkan wajah Giok Keng. Cantik jelita, manis dan menggairahkan. Teringat dia akan mulut yang berkali-kali bertemu dengan mulutnya ketika dia menolong Giok Keng. Betapa bibir yang lunak dan halus itu bertemu dengan bibirnya.

Baru sekarang dia dapat membayangkan kenikmatan yang luar biasa mengingat pengalaman dahulu itu, padahal ketika dia melakukan hal itu, sama-sekali dia tidak ingat apa-apa! Kini terbayanglah kesemuanya itu. Bahkan teringat akan hal-hal yang sekecil-kecilnya. Akan lidah kecil meruncing, ingat akan betapa giginya beradu dengan gigi Giok Keng dalam usahanya yang tergesa-gesa dan gugup waktu itu. Jantungnya berdebar, tubuhnya seperti kemasukan getaran panas. Nafsu berahinya terusik oleh kenangan dan bayangan ini.

“Hemmm...”

“Ada apa, Liong-ji?” Keng Hong menoleh.

Kun Liong kaget sekali. Tak disadarinya, mulutnya mengeluarkan suara mengeram tadi!
“Ohh... ah, tidak apa-apa, Supek.”

Tolol kau, dia memaki diri sendiri. Pikiranmu busuk, kotor! Akan tetapi kotorkah mengenangkan seorang dara jelita bagi seorang pemuda? Mengenangkan seorang dara memang tidak kotor, bantahnya sendiri, akan tetapi kalau sudah berlarut-larut memikirkan hal yang bukan-bukan, bisa berbahaya!

Beberapa hari kemudian, tibalah mereka di jalan besar yang menuju ke kota Ceng-to di tepi lautan timur. Dari jauh sudah tampak perahu-perahu di tepi pantai, bukan hanya perahu nelayan, akan tetapi juga perahu-perahu besar yang aneh dan asing tampaknya. Kun Liong terpesona melihat laut. Belum pernah dia pergi ke pantai laut. Melihat dari tempat yang agak tinggi ke arah lautan bebas yang tiada bertepi itu, melihat gelombang ombak yang bergerak-gerak tiada hentinya, dia menahan napas saking kagumnya.

Akan tetapi setelah mereka tiba di pintu gerbang, Kun Liong merasa penasaran dan tidak senang. Pintu gerbang itu dijaga oleh perajurit-perajurit yang bersenjata tombak. Baru sekarang dia melihat keadaan seperti ini. Dan setiap orang yang memasuki kota itu diperiksa, ditanyai dan dicatatkan namanya di atas sehelai kertas!

Ketika Keng Hong dan Kun Liong tiba di pintu gerbang, di situ sedang ada rombongan penari silat yang diperiksa, dan terjadi perselisihan kecil.

“Kami sudah merantau dan mengadakan pertunjukan silat hampir di seluruh daerah, akan tetapi baru sekarang ini kami diperiksa dan dicurigai!” Pemimpin rombongan itu, seorang kakek berusia lima puluh tahun memprotes.

“Tak perlu banyak cerewet! Di sini berkeliaran banyak mata-mata pemberontak dan orang jahat. Kalau kau tidak diperiksa, apakah kalian ini termasuk orang jahat atau pemberontak?” bentak kepala penjaga.






Biarpun sambil mengomel, rombongan penari silat yang terdiri dari tujuh orang itu diperiksa, dicatat nama-nama mereka, bahkan alat-alat permainan mereka diperiksa dan digeledah.

Yang membuat Kun Liong penasaran adalah ketika dia melihat dua orang asing yang aneh pakaiannya, aneh pula keadaannya karena matanya biru, kulitnya pucat seperti mayat, rambutnya dipotong sampai di pundak dan ada yang kuning warna rambutnya, memasuki pintu gerbang tanpa diperiksa sama sekali!

Keng Hong juga melihat hal ini, akan tetapi dia diam saja. Hanya diam-diam dia memperhatikan dua orang itu dan mendapat kenyataan bahwa dua orang itu sebangsa dengan orang asing lihai yang ditemuinya di Leng-kok, di rumah Ma-taijin, hanya mereka ini lebih muda. Benarlah dongeng orang bahwa kini banyak terdapat bangsa asing yang aneh itu, terutama di sepanjang pantai selatan dan timur. Tentu mereka datang dengan perahu-perahu besar itu.

Karena mereka memasuki kota berbareng dengan rombongan penari silat, agaknya para penjaga mengira bahwa mereka berdua juga anggauta rombongan, maka setelah pihak penjaga dan pemimpin rombongan selesai berdebat, Keng Hong dan Kun Liong diperkenankan masuk tanpa banyak pemeriksaan. Juga karena sikap dan pakaian Keng Hong tidak mencolok seperti orang biasa, sedangkan Kun Liong yang menarik perhatian karena kepala gundulnya mudah saja lolos, karena dia dianggap seorang badut di antara rombongan penari silat itu!

Ternyata di dalam kota pelabuhan Ceng-to itu terdapat banyak orang asing bermata biru! Di sana-sini terdapat rombongan mereka tertawa-tawa dan bicara dalam bahasa yang bagi pendengaran Kun Liong aneh luar biasa. Agaknya iblis-iblis dan setan seperti itulah bicaranya!

Mendesis-desis dan mengeluarkan suara tajam-tajam menusuk telinga, kadang-kadang nadanya naik turun seperti orang bernyanyi! Dia merasa geli dan ingin tertawa mendengar mereka itu bercakap-cakap riuh rendah sambil berjalan di tengah jalan, bersikap seolah-olah jalan itu jalan mereka sendiri dan semua orang yang berjalan di kanan kiri jalan itu mereka anggap seperti patung saja! Hemm, mereka ini orang-orang yang tinggi hati, yang memandang rendah orang lain dan merasa diri pandai sendiri, demikian Kun Liong mengambil kesimpulan setelah melihat sikap dan gerak-gerik mereka.

Akan tetapi harus dia akui bahwa orang-orang itu rata-rata memiliki bentuk tubuh yang baik, tinggi besar dan kelihatannya kuat. Usia mereka rata-rata antara tiga puluh tahun. Yang aneh adalah potongan rambut mereka. Semua dipotong sepanjang pundak dan rambut itu berombak, dibelah bagian tengah-tengah. Selain rambut mereka yang potongannya lucu dan warnanya bermacam-macam itu, ada kuning, coklat, putih, dan ada yang kehitaman, juga warna mata mereka membuat bulu tengkuk meremang. Hanya iblis-iblis saja yang matanya tidak hitam, melainkan berwarna-warni seperti itu.

Kun Liong tidak dapat menghitung, berapa banyaknya orang-orang asing ini, kesemuanya pria. Akan tetapi yang dijumpainya di jalan tentu tidak kurang dari lima belas orang banyaknya.

Keng Hong mengajak pemuda itu memasuki scbuah warung nasi, lalu memesan makanan dan minuman. Warung atau restoran kecil ini cukup ramai dan yang menarik perhatian Kun Liong adalah tiga orang laki-laki asing yang sedang ramai bercakap-cakap dalam bahasa mereka sambil minum arak.

Muka ketiga orang ini sudah merah sekali, tanda bahwa mereka sudah agak mabok. Kun Liong tertegun melihat dari dekat kini jelas tampak betapa orang-orang ini memang aneh. Tubuh mereka yang berkulit putih itu tertutup bulu-bulu halus yang putih kekuningan, tidak kentara dari jauh, dan kulit yang putih itu dihias totol-totol merah. Harus diakui bahwa wajah mereka itu seperti wajah orang-orang ramah, hampir selalu tersenyum dan tertawa, mata mereka yang berwarna aneh itu selalu berseri. Akan tetapi tetap saja di balik sinar mata ini ada kesombongan dan pandangan yang merendahkan orang lain, terutama terhadap penduduk pribumi.

Tiba-tiba seorang di antara tiga orang asing itu, yang kepalanya agak botak, bangkit berdiri dan berteriak memanggil dengan bahasa asing ke bagian dalam, dimana tampak seorang wanita muda, agaknya keluarga dari pemilik restoran. Melihat dirinya dituding dan dipanggil, tentu saja wanita itu menjadi ketakutan dan berlari masuk, melepaskan baki yang dibawanya sehingga terdengar suara nyaring ketika dua buah mangkuk kosong pecah-pecah.

Pemilik restoran segera berlari datang menghampiri laki-laki asing yang kini berteriak-teriak dan memukuli meja, kelihatannya marah itu. Pemilik restoran menjura dan berkata,

“Harap Tuan tidak marah, apakah yang Tuan kehendaki dan pesan?”

Akan tetapi laki-laki asing itu, kini dibantu dua orang kawannya, berteriak-teriak dalam bahasa asing sambil menuding-nuding ke dalam dan mengepal tinju, dan ada terdengar terselip dalam rangkaian bahasa asingnya itu kata-kata “perempuan”.

Tentu saja pemilik restoran tidak mengerti, dan seorang tamu yang duduknya di belakang Kun Liong, di meja yang berdekatan, berkata kepada pemilik restoran itu,

“Dia minta supaya dilayani wanita yang kelihatan tadi.”

Mendengar ini, pemilik restoran menjadi merah mukanya. Dengan bahasa gerak tangan, dia menggoyang-goyang tangannya di depan hidung laki-laki asing itu sambil berkata,

“Tidak bisa! Tuan jangan kurang ajar! Dia itu bukan pelayan akan tetapi anakku dan dia tidak boleh diganggu!”

“Desss!”

Kepalan tangan laki-laki itu menghantam, mengenai dada pemilik restoran sehingga pemilik restoran itu terjengkang dan roboh menimpa meja kursi kosong!

Keadaan menjadi kalut. Kun Liong bangkit berdiri, akan tetapi tangannya dipegang Keng Hong yang memberi isyarat agar pemuda itu duduk kembali. Kun Liong merasa penasaran sekali, akan tetapi pada saat itu dia melihat tiga orang asing itu sudah bangkit dari tempat duduk masing-masing, berdiri dengan muka ketakutan dan ditundukkan menghadap seorang asing lain yang telah berada di pintu restoran.

Orang yang baru datang ini juga seorang asing, akan tetapi Kun Liong memandang kagum. Orang itu masih muda, belum ada tiga puluh tahun, tubuhnya tegap jangkung, pinggangnya kecil tidak seperti yang lain yang rata-rata berperut besar. rambutnya kuning emas terpelihara bersih dan disisir rapi, dibelah tengah dan panjangnya sampai ke bawah telinga sedangkan yang belakang agak panjang diikat dengan pita!

Wajah pemuda asing ini tampan dan gagah, pandang matanya yang biru itu tenang dan tidak memandang rendah orang lain sungguhpun di balik itu tersembunyi keangkuhan yang membayangka tinggi hati! Pakaiannya aneh dan indah, jubahnya yang lebar berwarna kuning, kemejanya putih dan celananya abu-abu. Sepatunya yang aneh bentuknya dan tinggi sampai ke lutut itu terbuat dari kulit yang mengkilap, di pinggangnya tergantung sarung sebatang pedang yang kecil panjang.

Dengan suara lantang orang muda asing itu berkata-kata kepada tiga orang tadi yang menjawab dengan kata-kata pendek dan mengangguk-angguk. Setelah pemuda itu mengangkat telunjuk kanannya ke atas dengan gaya memperingatkan, dia memutar tubuh dan pergi dari situ.

Tiga orang laki-laki tadi lalu duduk kembali dan orang yang memukul pemilik restoran menghampiri orang yang dipukulnya, menjabat tangannya dan digoncang-goncangkan dengan gaya minta maaf.

“Twako, dia minta maaf atas kekasarannya tadi,” kata pula orang di belakang Kun Liong yang agaknya mengerti bahasa mereka.

Si Pemilik Restoran tersenyum dan mengangguk-angguk. Dia menganggap bahwa peristiwa itu timbul karena salah pengertian akibat perbedaan bahasa mereka.

Keng Hong berkata kepada laki-laki muda yang duduk di belakang Kun Liong,
“Agaknya Hiante mengerti bahasa mereka.”

Orang itu mengangguk dan tersenyum.
“Mereka itu bangsa Portugis. Karena sudah lama kota ini kedatangan orang-orang bangsa itu, dan pernah ada yang bersahabat dengan saya, maka sedikit-sedikit saya mempelajari dan mengerti bahasa mereka. Mereka itu adalah pelaut-pelaut yang biasanya bersikap kasar, apalagi kalau melihat wanita. Maklumlah, berbulan-bulan, mungkin bertahun-tahun mereka berada di atas kapal mengarungi samudera, haus akan wanita.”

“Mengertikah Hiante apa yang diucapkan oleh orang asing muda tadi, dan siapakah dia?”

“Dia adalah Tuan Muda Yuan, putera pemilik kapal Kuda Terbang. Seringkali dia datang bersama kapalnya, dan dia ditakuti semua orang asing itu. Agaknya dia mempunyai pengaruh besar diantara mereka. Dia tadi memarahi mereka dan memperingatkan bahwa kebutuhan mereka akan perempuan telah disediakan tempat khusus untuk itu maka mereka dilarang keras mengganggu wanita baik-baik.”

Keng Hong mengangguk-angguk dan hatinya merasa tidak enak. Mau apakah orang-orang asing ini berkeliaran di sini? Karena penasaran dia bertanya lagi,

“Tahukah Saudara, mereka itu berada di Ceng-to mau apa?”

“Biasanya mereka adalah pedagang-pedagang, membawa barang-barang aneh dari dunia mereka dan disini mereka membeli rempa-rempa, obat-obatan dan juga barang-barang buatan pribumi. Mereka, tentu saja para pemimpin mereka, mempunyai hubungan baik dengan pembesar-pembesar di sini.”

Keng Hong tidak bertanya-tanya lagi. Sehabis makan dia dan Kun Liong keluar dari rumah makan, dan menyewa sebuah kamar di hotel sederhana.

“Biarlah malam nanti saja kita melakukan penyelidikan. Aku sendiri mungkin akan dikenal orang kalau aku keluar siang ini. Lebih baik engkau saja yang siang ini berjalan-jalan, memasang mata dan telinga. Engkau tentu tidak akan ada yang mengenal dan tidak akan menimbulkan curiga.”

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: