*

*

Ads

FB

Rabu, 19 Oktober 2016

Petualang Asmara Jilid 074

Maklum bahwa pihak lawan amat lihai, dara itu sudah meloncat secepat burung walet terbang ke arah jendela yang terbuka dari mana tadi dia meloncat masuk, dengan niat untuk melarikan diri setelah pedangnya terlempar.

“Uiii..., hendak lari ke manakah, Nona?”

Kakek asing berkepala botak bertanya, suaranya nyaring disusul suara “tar-tar-tar!” dan tampaklah sinar putih seperti ular menyambar ke arah jendela. Ujung pecut yang berwarna putih itu telah melibat kedua kaki dara itu yang menierit kaget dan sekali tarik, tubuh dara itu terbanting ke atas lantai di depan kakek asing itu! Si Kakek memberi aba-aba dalam bahasa asing kepada pemuda asing yang berdiri memandang. Pemuda itu menubruk ke depan, sambil tersenyum tangannya bergerak menyambar.

“Plakkkk!” tengkuk belakang telinga kiri dara itu ditampar dan dara itu pingsan, tak dapat bergerak lagi!

“Ha-ha-ha, beginikah yang kau maksudkan orang-orang lihai yang membantu pemerintah, Tong-taijin?” Legaspi Selado berkata sambil tertawa. “Kalau hanya begini saja, biar ada sepuluh orang masih dapat dihadapi oleh anakku Hendrik ini!”

Hendrik, atau lengkapnya Hendrik Selado, tertawa dan menatap tubuh dara yang telentang di atas lantai itu dengan penuh gairah. Dara itu memang cantik dan bentuk tubuhnya padat langsing menarik hati.

Sementara itu, Keng Hong berbisik,
“Tunggu aku kacaukan mereka. Kalau mereka mengejarku, kau tolong dara itu, bawa lari lebih dulu ke luar kota. Tunggu aku di luar kota sebelah barat.”

Kun Liong mengangguk dan sekali berkelebat, supeknya itu sudah lenyap. Kun Liong memandang ke dalam ruangan itu dengan jantung berdebar tegang, tidak tahu apa yang akan dilakukan supek-nya, namun dia sudah siap untuk menolong dara cantik itu.

Tak lama kemudian, tampak sinar berkelebat ke beberapa penjuru di dalam ruangan itu dan disusul suara nyaring. Ruangan itu menjadi remang-remang karena kaca lilin telah pecah, lilinnya padam! Semua ini terjadi amat cepatnya dan mereka yang berada di dalam ruangan menjadi panik ketika tampak bayangan dua orang melayang ke dalam ruangan itu.

“Tar-tar-tar!”

“Wuuuutttt...!”

Pecut di tangan Legaspi dan golok besar di tangan Hek-bin Thian-sin bergerak menyambut bayangan dua orang itu. Dua orang itu memekik ngeri dan roboh, tewas seketika! Akan tetapi dapat dibayangkan betapa marahnya kedua orang sakti ini ketika melihat bahwa yang menjadi korban senjata mereka itu adalah dua orang penjaga yang menjadi pengawal Tung-taijin!

Kembali ada dua orang melayang masuk. Sekali ini dua orang sakti itu tidak mau sembrono turun tangan, akan tetapi dua orang itu terbanting ke atas lantai dalam keadaan sudah pingsan.






“Keparat, siapa berani main gila di rumahku?”

Hek-bin Thian-sin sudah melayang ke luar melalui jendela kiri dari mana tadi para penjaga itu melayang masuk, disusul oleh Legaspi dan puteranya yang bernama Hendrik itu.

Bhong-ciangkun sudah mengawal Tung-taijin untuk mundur dan masuk ke dalam melalui pintu, sedangkan dua orang tosu Pek-lian-pai menjaga di situ agar dara yang tertawan itu tidak melarikan diri.

Di luar terdengar suara melengking tinggi yang menggetarkan seluruh tempat itu bahkan rumah itu seperti ikut tergetar! Mendengar ini Kun Liong menduga bahwa inilah suara supeknya yang menantang dan memancing keluar orang-orang yang lihai dari dalam ruangan.

Maka dia lalu melayang masuk melalui jendela. Dua orang tosu terkejut. Keadaan remang-remang maka mereka tidak berani lancang turun tangan, khawatir kalau-kalau salah tangan seperti yang terjadi tadi.

Akan tetapi betapa kaget dan marahnya ketika bayangan yang melayang masuk itu langsung menyambar tubuh dara yang menjadi tawanan. Mereka hendak mengejar, akan tetapi dua kali tangan kiri Kun Liong mendorong disertai sin-kangnya sedangkan tangan kanan dipakai memanggul tubuh dara itu, dan... dua orang tosu itu terpental dan terjengkang.

Mereka tidak terluka karena Kun Liong memang tidak mau melukai mereka, akan tetapi mereka terkejut setengah mati karena dorongan hawa mujijat yang dapat merobohkan mereka tadi saja sudah membuktikan bahwa “hwesio” yang menyelamatkan dara itu adalah lawan yang terlalu tangguh untuk mereka. Betapapun juga, merasa bahwa hal itu menjadi kewajiban mereka, mereka meloncat lalu mengejar sambil berteriak.

“Tahan penjahat yang melarikan tawanan!”

Mereka semua berkumpul di atas genteng, bingung karena mereka kehilangan “penjahat” yang mengacau tadi!

“Eh, ke mana perginya setan itu tadi?”

Legaspi bertanya penuh penasaran. Dia mendengar juga lengking yang luar biasa itu dan tahulah dia bahwa yang mengeluarkan suara itu memiliki khi-kang yang amat hebat, yang membuat dia merasa seram juga. Akan tetapi karena dia bukan seorang penakut, maka dia telah mengejar ke tempat itu, dibayangi oleh Hek-bin Thian-sin yang memiliki gerakan tidak kalah cepatnya. Akan tetapi mereka hanya melihat bayangan orang berkelebat dan lenyap!

“Celaka, tawanan dilarikan orang...!”

Teriakan dua orang tosu Pek-lian-pai ini makin mengejutkan mereka.
“Siapa yang melarikan?” bentak Hek-bin Thian-sin penasaran.

“Kami tidak mengenal karena cuaca agak gelap, akan tetapi dia seorang hwe-sio gundul. Dia lihai sekali, merobohkan kami hanya dengan hawa dorongan tangannya.”

Dengan marah sekali Bhong-ciangkun lalu mengumpulkan pengawalnya dan mengawal Tung-taijin, memaki-maki mereka kemudian memerintahkan untuk melakukan pengejaran dan pencarian di seluruh kota!

Dengan waiah murung mereka kembali ke ruangan tadi dan menyuruh orang menyingkirkan dua orang pengawal yang tewas dan dua orang lagi yang pingsan.

“Apa yang kukatakan tadi!” Bhong-ciangkun berkata, suaranya gemetar karena dia merasa tidak enak sekali. “Gadis itu memang tidak seberapa, akan tetapi baru muncul dua orang itu saja sudah kacau kita!”

Legaspi Selado juga masih terkejut sekali.
“Hemmm... kepandaian orang yang mengeluarkan suara melengking itu memang hebat, kurasa belum tentu ada keduanya di negeri ini...”

“Harap Saudara Legaspi jangan berpendapat demikian,” Hek-bin Thian-sin membantah. “Memang kepandaiannya tadi hebat, akan tetapi di negeri ini banyak sekali terdapat orang sakti yang melebihi dia tadi! Kalau mau disebut nama Pendekar Sakti Cia Keng Hong, Ketua Cin-ling-pai, sudah hebat bukan main. Dia memiliki Ilmu Thi-khi-i-beng yang tidak dapat dilawan oleh ilmu yang manapun juga. Masih ada lagi yang hebat-hebat, seperti para pengawal Panglima Besar The Hoo, yang bernama Tio Hok Gwan berjuluk Ban-kin-kwi dan yang lain-lain. Itu semua masih belum seberapa hebat kalau dibandingkan dengan kesaktian Panglima Besar The Hoo sendiri, dan pembantunya yang bernama Ma Huan...”

“Hemmm... kalau tadi aku membawa senjata api, agaknya dia tidak akan mudah saja melarikan diri!” kata Hendrik dengan nada suara gemas dan kecewa.

Tadi dia sudah membayangkan betapa kalau gadis tawanan itu diserahkan dia, hemmm... tentu akan asyik dan menyenangkan sekali malam ini baginya.

Peristiwa malam itu di rumah Hek-bin Thian-sin membikin kecut hati kedua orang pembesar itu dan mereka segera berpamit pulang. Agak berkurang gairah semangat mereka untuk menjadikan persekutuan pemberontak yang dipelopori oleh Pek-lian-pai dan orang-orang asing itu.

Kun Liong kagum bukan main karena baru saja dia tiba di luar kota sebelah barat, baru saja dia meloncat turun dari atas tembok kota karena dia tidak mau melewati penjagaan di pintu gerbang, sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu di situ telah berdiri supeknya!

Baru sekarang dia mendapat bukti akan kesaktian supeknya yang berhasil mengacaukan rumah Hek-bin Thian-sin Si Datuk Kaum Sesat, padahal di situ terdapat orang lihai seperti kakek asing bemama Legaspi Selado, orang-orang Pek-lian-pai dan lain-lain itu.

“Supek!” katanya kagum.

Melihat dara itu masih pingsan, Keng Hong menjamah lehernya.
“Tidak terluka, hanya terkena guncangan oleh tamparan yang lihai tadi. Agaknya itulah cara mereka membikin pingsan lawan. Kun Liong, kita harus berpisah di sini. Ada perkara hebat timbul seperti yang kau telah dengar tadi. Kau larikan dara ini, sebaiknya ke barat memasuki hutan agar jangan sampai dapat dikejar mereka. Kemudian kalau dia siuman, tanya siapa dia dan dimana tinggalnya. Kalau perlu antarkan dia pulang sampai selamat dan pesan padanya agar jangan lancang lagi menyerbu gua harimau. Aku sendiri harus pergi ke kota raja, menghadap Panglima Besar The Hoo untuk melaporkan bahwa ada bahaya pemberontakan di Ceng-to agar jangan sampai berlarut-larut. Kemudian, kalau ada waktu pergilah ke Cin-ling-san dimana kita dapat bicara lebih lanjut.”

Kun Liong tak dapat membantah biarpun dia masih ingin melakukan perjalanan bersama supeknya yang sakti itu.

“Baiklah, Supek.”

Dia tidak mau bilang bahwa dia akan melanjutkan penyelidikan-penyelidikannya sendirian saja, karena takut kalau supeknya tidak setuju dan melarangnya.

Mereka berpisah dari tempat itu. Kun Liong masih memanggul tubuh dara itu lari ke barat sedangkan Keng Hong segera menuju ke utara, ke kota raja. Karena maklum bahwa besar kemungkinan pihak Hek-bin Thian-sin akan melakukan pengejaran, maka Kun Liong berjalan terus tidak mau berhenti sampai dia memasuki hutan yang besar. Dia memilih tempat yang baik, lalu merebahkan tubuh dara itu di bawah sebatang pohon besar.

Dara itu masih pingsan dan dia lalu membuat api unggun. Karena hawa dingin sekali, biarpun disitu ada api unggun, dia tetap membuka jubahnya dan menyelimutkan jubahnya itu ke atas tubuh Si Dara. Kemudian dia duduk termenung, memandang wajah yang telentang itu.

Wajah yang cantik. Kulit muka itu halus sekali, dan kedua pipinya kemerahan, apalagi bibirnya yang setengah terbuka itu! Cahaya api unggun bermain-main di atas wajah cantik, menimbulkan penglihatan yang luar biasa indahnya. Setelah puas menjelajahi wajah itu dengan pandang matanya, akhirnya pandang mata itu terhenti pada mulut yang setengah terbuka itu, terpesona!

Teringat dia akan Giok Keng, teringat dia akan mulut Giok Keng ketika diadu dengan mulutnya sendiri untuk ditiup dan jantungnya berdebar aneh. Mulut ini tidak kalah manisnya dengan mulut Giok Keng! Bibirnya begitu segar nampaknya, bagaikan buah angco merah yang masak, mendatangkan gairah kepadanya untuk menggigitnya!

“Plakk!”

Kepala gundul itu ditamparnya sendiri.
“Gila kau!”

Dia memaki ketika mengenal pikirannya sendiri tadi. Beginikah yang dikatakan orang timbulnya nafsu seorang yang mata keranjang? Mata keranjangkah dia? Salahkah dia kalau dia terpesona dan tertarik, kalau dia suka sekali melihat wajah seorang gadis ayu, terutama melihat mulutnya? Dia bukan tertarik karena dibuat-buat atau disengaja! Dia memang benar-benar tertarik, seperti orang tertarik melihat setangkai bunga yang indah! Dia ingin menciumnya, seperti orang ingin mencium setangkai mawar yang harum. Salahkah itu?

Bibir setengah terbuka itu seolah-olah memiliki daya tarik yang luar biasa sehingga tanpa terasa lagi olehnya sendiri, kepala Kun Liong menunduk mendekati muka gadis yang pingsan itu. Ingin dia menciumnya. Dia tidak tahu dan tidak pernah ada yang memberi tahu bagaimana harus mencium seorang gadis. Akan tetapi pengalamannya ketika dia mengadu mulut dengan Giok Keng ketika dia menolong gadis itu, mendatangkan kenangan yang mesra dan nikmat luar biasa. Ketika bibirnya hampir menyentuh bibir dara itu, tiba-tiba dia tersadar dan menarik kembali kepalanya.

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: