*

*

Ads

FB

Rabu, 19 Oktober 2016

Petualang Asmara Jilid 077

“Hemmm, jadi menurut pendapatmu, cinta adalah perasaan suka kepada seseorang dan mendapat balasan dari orang itu? Buktinya, ketika aku menyatakan tidak cinta kepadamu, kau marah-marah dan cintamu berubah benci, malah kau hendak membunuhku...”

“Maafkan aku, Kun Liong. Aku tahu bahwa aku takkan menang bertanding denganmu dan tadi aku menyerang dan memakimu hanya untuk melampiaskan kekecewaan dan kemarahanku saja.”

“Jadi kalau begitu cinta bukanlah benci, cinta tidak akan mendatangkan benci! Cinta bukan pula suka akan sesuatu, karena biasanya suka akan sesuatu itu akan berakhir dengan kebosanan. Cinta bukan benci, bukan marah, bukan suka atau gairah nafsu. Cinta tentu pantasnya lebih luhur lagi, lebih bersih, tiada awal tiada akhir.”

“Ihhh! Kalau begitu, apa cinta itu?”

“Entahlah, aku sendiri pun tidak tahu. Agaknya hatiku dan pikiranku masih terlalu kotor sehingga belum mengenal cinta itu, Hwi Sian.”

“Tapi, engkau suka kepadaku, bukan?”

“Aku suka kepadamu, aku suka menciummu, seperti aku suka melihat setangkai bunga yang cantik jelita, seperti aku suka mencium bunga yang harum. Akan tetapi itu bukan cinta, dan kalau kita menganggapnya cinta, kita akan menyesal dan kecewa. Nah, maukah kau melupakan semua itu dan tinggal bersahabat denganku? Percayalah, aku masih suka memandangmu, suka bergurau denganmu, bahkan aku masih suka sekali untuk... menciummu, tentu saja kalau kau juga rela dan mau!”

Hwi Sian menunduk dan terjadi perang di dalam hatinya. Semenjak kecil dia telah mendengar banyak tentang kesopanan, tentang kesusilaan, tentang hukum-hukum kesopanan yang sama sekali tidak boleh dilanggar, terutama oleh wanita! Banyak dia mendengar nasihat tentang bahayanya menurutkan nafsu, terutama nafsu berahi. Adakah tadi nafsu berahi yang mendorong sehingga dia merasakan nikmat dalam pelukan dan menerima ciuman Kun Liong?

Tiba-tiba Kun Liong memegang tangannya.
“Eh, ada banyak orang datang berkuda!”

Mereka bangkit berdiri dan menoleh ke belakang. Benar saja, tak lama kemudian muncullah serombongan orang berkuda. Kun Liong terkejut ketika melihat bahwa rombongan itu adalah sepasukan tentara yang berjumlah tidak kurang dari lima puluh orang, dipimpin oleh panglima yang dilihatnya semalam di rumah Hek--bin Thian-sin dan di samping panglima itu terdapat pula seorang pemuda asing yang juga dilihatnya di rumah Hek-bin Thian-sin! Pemuda asing yang tampan dan gagah, yang bernama Hendrik Selado, putera dari Legaspi Selado si kakek asing botak yang amat lihai.

“Aihhh... pemberontak-pemberontak itu...!” Hwi Sian berseru marah dan juga kaget.

“Hwi Sian, mari kita lari!” Kun Liong berbisik.

“Tidak sudi! Aku harus membasmi mereka! Aku dan kedua orang suhengku memang bertugas menyelidiki mereka, dan karena kami berpencar, maka aku yang kebetulan dapat membongkar rahasia mereka. Aku harus lawan mereka!”






Tanpa menanti jawaban Kun Liong, dara yang gagah perkasa itu sudah lari menyambut rombongan itu, dan langsung dia meloncat dan menyerang panglima yang menunggang kuda terdepan bersama Hen-drik pemuda asing.

“Pemberontak hina!” Hwi Sian membentak marah.

Diserang secara tiba-tiba dengan dahsyat, panglima yang sudah berpengalaman itu maklum bahwa dara itu tidak boleh dipandang ringan. Maka dia lalu menjatuhkan diri dari atas kuda, bergulingan lalu meloncat bangun.

“Ha-ha-ha, bagus sekali! Memang kami sedang mencarimu, Nona!” katanya sambil mencabut sebatang pedang.

“Tangkap dia!”

Panglima itu membentak dan dua orang perajurit lalu menggunakan pedang mereka menubruk.

Hwi Sian menghadapi dua orang ini dengan tenang. Biarpun dia bertangan kosong dia sama sekali tidak merasa gentar. Ketika dua orang itu menubruk, secepat kilat dia mendahului, menggeser ke kanan, kakinya menyambar dan tangannya meraih.

Seorang perajurit berteriak, tubuhnya terjengkang dan pedangnya terampas dan di lain saat, disusul teriakan keras oleh temannya yang juga tersungkur jatuh dengan pundak terluka oleh pedang rampasan di tangan Hwi Sian!

Segera dara itu dikeroyok oleh para tentara! Namun dara itu mengamuk dengan pedang rampasannya dan dalam beberapa gebrakan saja dia telah berhasil merobohkan empat orang lawan lagi.

“Mundurlah kalian, biarlah aku menangkap kuda betina liar ini!”

Hendrik Selado berteriak dengan suaranya yang nyaring dan kaku. Tubuhnya sudah melangkah maju dengan langkah seperti seekor harimau kelaparan.

“Tak tahu malu! Mengeroyok seorang gadis!”

Tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan Kun Liong sudah berdiri di depan pemuda asing itu. Kun Liong sejak tadi sudah melihat dan siap untuk membantu Hwi Sian. Melihat betapa Hwi Sian dapat merampas pedang dan dapat melayani pengeroyokan para perajurit, dia berdiam diri saja. Akan tetapi melihat gerakan pemuda asing yang maju, tahulah dia bahwa pemuda ini adalah sebangsa Yuan de Gama yang cukup tangguh, maka dia sudah mendahului pemuda itu, menghadangnya dan mencelanya.

Kini mereka saling berhadapan. Seorang pemuda tampan, gundul dan seorang pemuda tampan bermata biru berkulit putih. Hendrik memandang tajam karena dia tidak mengenal pemuda gundul ini, akan tetapi dia sudah dapat menduga bahwa tentu “pendeta” muda inilah yang semalam telah menolong gadis tawanan itu. Maka dia lalu membungkuk dan sambil tersenyum berkata,

“Bapak Pendeta, datang dari kuil manakah, dan apakah hubungan Bapak Pendeta dengan gadis pemberontak itu?”

Kun Liong tersenyum masam. Bangsanya sendiri saja, juga seorang gadis seperti Hwi Sian bisa salah menduga bahwa dia seorang hwesio, apalagi seorang asing seperti yang dihadapinya ini! Dia tidak mau berbantah tentang kepala gundulnya yang menimbulkan salah kira, maka dia menjawab,

“Aku tidak datang dari kuil manapun juga, akan tetapi yang jelas, aku adalah seorang yang mengetahui betul siapa pemberontak siapa bukan! Nona ini bukan pemberontak, maka tidak perlu kau orang asing ini menjadi maling berteriak maling!”

Tentu saja Hendrik menjadi kaget sekali mendengar ini, karena ucapan itu berarti bahwa pemuda gundul ini tahu akan rahasia pemberontakan di Ceng-to dan berarti pula bahwa tentu pendeta muda inilah yang semalam telah menolong gadis tawanan.

“Pendeta muda sombong, engkaulah pemberontak!”

Hendrik sudah menerjang maju dengan gerakan yang dahsyat. Pemuda asing itu ternyata menguasai ilmu silat yang aneh dan memiliki tenaga yang dahsyat, kedua tangannya bergerak bergantian dan bertubi-tubi mengirim serangan-serangan berbahaya diseling tendangan kedua kakinya bergantian pula.

“Hemm... kau ganas...!”

Kun Liong mempergunakan kelincahan tubuhnya untuk mengelak dan menangkis dan untuk mengimbangi kecepatan gerak lawannya, dia segera mainkan ilmu silat Pat-hong-sin-kun yang ia pelajari dari Bun Hwat Tosu. Ilmu Silat Pat-hong-sin-kun (Ilmu Silat Sakti Delapan Penjuru Angin) ini memang mengandalkan kecepatan dan bayangan Kun Liong seolah-olah berubah menjadi delapan dan bayangan ini mengeroyok Hendrik dari delapan penjuru!

“Kau pendeta sombong hebat juga!”

Hendrik berkata kemudian memaki dalam bahasa asing dan tangannya telah mencabut keluar sebatang pedang tipis yang kecil dan lemas sekali. Pedang itu amat runcing dan tajam ringan dan begitu digerakkan, tampak sinar bergulung dan suaranya bercuitan mengerikan hati!

Kun Liong cepat menghindarken diri, meloncat ke sana-sini dan dia mulai marah. Tadinya dia tidak ingin memukul lawan, hanya membela diri saja. Akan tetapi dengan pedang kecil panjang itu di tangan lawannya merupakan bahaya baginya.

Pada saat itu, dia mendengar teriakan Hwi Slan. Dia menoleh dan melihat betapa gadis itu dikeroyok oleh banyak orang, di antaranya yang paling hebat adalah panglima yang menggunakan pedang. Agaknya dara itu terancam bahaya maut dan teriakan tadi menandakan bahwa Hwi Sian telah terkena senjata lawan.

“Cuit-cuit-cuit-singg...!”

Kun Liong cepat melompat ke belakang, hampir saja dia menjadi korban pedang lawan ketika dia menoleh ke arah Hwi Sian tadi karena saat itu telah dipergunakan oleh Hendrik untuk mengirim serangan kilat secara bertubi-tubi. Karena khawatir akan keadaan Hwi Sian, Kun Liong mengeluarkan teriakan nyaring, kedua tangannya mendorong dan tampak uap putih keluar dari kedua telapak tangannya, menyambar ke arah Hendrik.

“Ougghh...!”

Pemuda asing itu terjengkang dan cepat membanting diri ke belakang terus bergulingan, cara yang tepat untuk menghindarkan diri. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kun Liong untuk melompat ke arah Hwi Sian.

Ternyata Hwi Sian telah terluka di paha dan pundak, dan dara itu telah roboh miring, agaknya pingsan, akan tetapi di dekatnya tampak seorang laki-laki yang mengamuk dengan pedangnya melindungi tubuh dara yang sudah pingsan itu.

Kun Liong mengenal orang itu yang bukan lain adalah Tan Swi Bu, laki--laki tinggi besar yang menjadi ji-suheng (kakak seperguruan ke dua) dari Hwi Sian. Maka cepat dia meloncat mendekat dan kedua kakinya merobohkan dua orang pengeroyok. Tendangannya tepat mengenai tulang kering kaki kedua orang itu yang berteriak-teriak dan mengaduh-aduh sambil berloncatan dan memegangi kaki yang tulang keringnya rusak!

Tan Swi Bu menoleh dan berkata,
“Harap siauw-suhu (Pendeta Muda) sudi menolong sumoiku dan menyelamatkannya pergi dari sini lebih dulu!”

Kun Liong kembali tersenyum pahit. Kepalanya yang sial kembali memperoleh korban! Tan Swi Bu tidak mengenalnya dan menyangkanya seorang hwesio. Akan tetapi dia tidak peduli menghampiri Hwi Sian yang pingsan, memondongnya dan dia meloncat ke kiri, mendorong roboh seorang perajurit yang menunggang kuda, kemudian dia meloncat ke atas kuda sambil memondong tubuh Hwi Sian.

“Tan-enghiong, lekas lari!” Dia berseru.

Melihat betapa “hwesio” itu telah berhasil melarikan sumoinya, Tan Swi Bu lalu memutar pedangnya, kemudian menyerang seorang penunggang kuda lain yang berada di luar lingkungan para pengeroyok, merobohkannya dan ia pun meloncat ke atas kuda itu lalu membalapkan kudanya menyusul Kun Liong.

“Kejar...! Siapkan kuda...!” Terdengar panglima itu berteriak.

Pasukan itu segera melakukan pengejaran dan tidak kurang dari tiga puluh orang perajurit dipimpin oleh Bhong-ciangkun Si Panglima dan Hendrik Si Pemuda Asing, melakukan pengejaran.

Setelah membalapkan kudanya keluar dari hutan dan pegunungan itu, dan melihat betapa Hwi Sian masih belum sadar dari pingsannya dan para pengejar tidak jauh, Kun Liong merasa khawatir sekali. Dia memberi isyarat kepada Tan Swi Bu yang membalapkan kuda sehingga sejajar dengan Kun Liong, dan berkata,

“Tan-enghiong harap bawa Nona Hwi Sian pergi lebih dulu. Biarlah saya yang mencegah mereka melakukan pengejaran!”

“Akan tetapi...” Tan Swi Bu membantah ragu-ragu.

“Harap jangan ragu lagi, cepat terimalah dia!”

Dengan tangan kirinya Kun Liong melemparkan tubuh Hwi Sian yang pingsan ke kiri, ke arah Tan Swi Bu yang tentu saja menjadi terkejut dan cepat menerima tubuh sumoinya. Dari lontaran itu saja tahulah dia bahwa pemuda gundul itu amat lihai, dan kini setelah melibat wajahnya, dia pun teringat kembali kepada pemuda gundul yang dulu pernah dilihatnya.

“Jadi engkau... Siauw-hiap...”

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: