*

*

Ads

FB

Rabu, 19 Oktober 2016

Petualang Asmara Jilid 079

“Mengapa kau membenci hwesio, Kek?”

“Mereka itu munafik.”

“Mengapa kau mengatakan begitu, Kek?”

“Mereka itu pura-pura menjadi orang baik, akan tetapi semua itu hanya untuk menutupi kebobrokan watak mereka!”

“Ah, tidak semua begitu, Kek! Memang dunia ini penuh dengan keganjilan dan kekecualian. Ada orang berkedudukan tinggi yang batinnya rendah, ada pula orang berkedudukan rendah yang batinnya tinggi. Ada orang kaya yang hatinya miskin, dan ada orang miskin yang hatinya kaya. Ada pendeta yang batinnya kotor, dan ada penjahat yang batinnya bersih. Apa anehnya itu?”

“Akan tetapi pendeta yang paling kotor karena dia berpura-pura! Orang bertubuh kotor berpakaian kotor, apa anehnya? Akan tetapi pendeta adalah seorang bertubuh kotor berpakaian bersih!”

“Tidak semua, Kek. Dan mereka telah berusaha menjadi orang baik.”

“Phuah! Berusaha menjadi orang baik adalah usaha yang buruk!”

“Aku tidak mengerti, Kek.”

“Tidak mengerti ya sudah. Kau tadi bilang api unggunku menarik perhatianmu, hal itu lumrah karena kau membutuhkannya. Akan tetapi benarkah nyanyianku menarik perhatianmu?”

“Benar, karena nyanyianmu amat indah!”

“Kau suka mendengarnya?”

“Sama sekali tidak!”

Kakek itu mendengus, matanya yang sipit itu melirik ke arah wajah Kun Liong, lalu dia mendengus lagi.

“Mengapa tidak suka?”

“Karena dalam nyanyianmu terdapat tertalu banyak soal kematian!”

Tiba-tiba kakek itu tertawa dan Kun Liong terkejut bukan main. Suara ketawa itu melengking dan membuat dia tergetar, tanda bahwa suara itu mengandung khi-kang yang amat kuat! Tiba-tiba kakek itu menghentikan suara ketawanya dan dia kini menoleh ke arah Kun Liong, menatap wajah itu dengan penuh perhatian. Agaknya kakek itu pun walau tidak kentara, melihat pemuda gundul itu tidak terjungkal oleh suara ketawanya. Padahal ketawanya itu disertai pengerahan khi-kang dan menjadi semacam ilmu untuk menyerang lawan. Ilmu Sai-cu Ho-kang (Auman Singa) yang mampu merobohkan orang yang memiliki sin-kang lumayan sekalipun!






“Orang muda,memang nyanyianku itu dibuat oleh orang yang hampir mati, bercerita tentang kematian, dan dibuat untuk orang mati seperti engkau, karena engkau pun akan mati!”

Tiba-tiba kakek itu menggerakkan tangannya menampar ke arah kepala Kun Liong. Tamparan yang amat hebat, cepat sekali dan mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat!

Kun Liong terkejut bukan main karena dia tidak menyangka akan diserang oleh kakek aneh itu. Maka terpaksa dia lalu mengangkat lengan kirinya, menangkis sambil mengerahkan sin-kangnya.

“Dessss...! Haiiiih!!”

Kedua orang itu terlempar sampai beberapa meter ke belakang. Kakek itu terkejut bukan main. Tangkisan pemuda gundul itu sedemikian kuatnya sehingga dia sampai terlempar! Hal ini tidaklah aneh karena memang Kun Liong telah mengerahkan sin-kang gabungan yang dia latih dari kedua orang gurunya yang sakti ditambah gemblengan Pendekar Sakti Cia Keng Hong!

Sebetulnya, ketika mengadu tenaga sin-kang tadi, dapat saja kalau dia hendak menggunakan Thi-khi-i-beng, akan tetapi hal ini tidak dilakukannya karena memang dia tidak bermusuh dengan kakek itu. Akibatnya, karena dia kalah latihan, pertemuan dua tenaga sin-kang itu membuat tubuhnya juga terlempar sampai jauh.

Kun Liong mengerti bahwa kakek itu benar-benar seorang yang berilmu tinggi, maka dia tidak ingin terlibat dalam permusuhan dengan kakek yang agaknya miring otaknya itu, maka dia segera meloncat dan cepat sekali dia menyelinap ke dalam hutan yang gelap yang tak dapat dijangkau oleh sinar api unggun.

“He, pemuda gundul aneh! Kemana kau...??” Kakek itu melompat pula dan melakukan pengejaran.

Kun Liong menyelinap di balik sebatang pohon besar. Karena tempat itu gelap sekali kakek itu tidak mampu mencarinya. Setelah berputar-putar tanpa hasil, kakek itu kembali ke tempat tadi dan mengomel panjang pendek. Barulah Kun Liong berani keluar dari tempat sembunyinya dan berindap-indap menjauhi tempat itu sampai akhirnya secara kebetulan sekali dia berada di luar hutan! Dia lalu duduk di bawah pohon, tidak berani tertidur karena kakek gila itu masih berada di hutan, dan menanti datangnya fajar.

Setelah sinar matahari pagi menerangi tempat itu, tampak oleh Kun Liong bekas amukan badai semalam. Baru sekarang tampak olehnya betapa banyak pohon tumbang dan roboh malang melintang dilanda badai, terutarna pohon-pohon yang tumbuh di pinggir hutan. Karena di luar hutan tidak ada pohon besar dan tidak tampak bekas amukan badai, maka melihat ke arah hutan itu tampak seolah-olah ada iblis-iblis mengamuk semalam, mengamuk di dalam hutan itu. Atau seperti telah terjadi perkelahian antara raksasa di dalam hutan menggunakan batang pohon-pohon besar untuk saling menghantam.

Kun Liong bangkit berdiri dan memandang ke arah telaga yang sudah tampak dari tempat yang agak tinggi itu. Di sanalah telaga yang dicarinya. Telaga Kwi-ouw, Telaga Setan. Dan tampak pula pulau-pulau kecil kehijauan, di tengah telaga. Sebuah di antara pulau-pulau itu adalah tempat perkumpulan Kwi-eng-pang yang dicarinya. Ya, dia harus menemui Ketua Kwi-eng-pang dan secara jujur menanyakan tentang perbuatan anak buah Kwi-eng-pang yang telah menyerbu kuil Siauw-lim-si.

Dia masih menaruh harapan besar bahwa Kwi-eng-pang, sebagai sebuah perkumpulan besar yang terkenal, akan memandang Siauw-lim-pai dan akan suka mengembalikan dua buah pusaka yang dahulu dicuri oleh anak buah Kwi-eng-pang. Dia akan mengemukakan kebenaran dan akan membujuk Kwi-eng-pangcu agar tidak menanam permusuhan dengan sebuah perkumpulan besar seperti Siauw-lim-pai hanya karena urusan dua buah pusaka saja!

Biarpun dia mendengar dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong bahwa amat berbahaya menjumpai seorang di antara datuk-datuk kaum sesat seperti Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio Ketua Kwi-eng-pang itu, akan tetapi dia tidak takut. Dia datang bukan untuk mencari permusuhan! Dia datang untuk menuntut hak Siauw-lim-pai mendapatkan kembali pusaka-pusakanya yang tercuri. Dan dia melaksanakan tugas yang diperintahkan oleh mendiang gurunya, Tiang Pek Hosiang!

Setelah tiba di tepi telaga, tempat itu sunyi sekali. Diam-diam dia merasa heran, mengapa tempat itu demikian sunyi? Mengapa tidak tampak nelayan-nelayan dan pelancong seperti pada telaga-telaga besar yang lain? Dari tepi telaga kini tampak olehnya pulau besar di tengah telaga dan kelihatan pula dari situ tembok dan genteng bangunan tertutup oleh batu-batu karang dan pohon-pohon. Agak jauh di belakang pulau besar itu tampak pula sebuah pulau lain di tengah telaga, pulau yang agak kecil.

Tiada angin di pagi itu. Air telaga tenang tak bergoyang sedikit pun, seperti permadani beludru biru yang amat lebar dibentang dari darat ke pulau itu. Cahaya matahari pagi mulai menyapu permukaan telaga dan agaknya cahaya ini menggugah air telaga yang sedang tidur. Mulai tampak perubahan pada air telaga. Mulai ada kehidupan pada warna biru yang kini sebagian kejatuhan warna kuning emas kemerahan dari sinar matahari.

Agaknya bukan hanya mahluk darat dan mahluk udara saja yang memulai kesibukan hidup pada saat matahari muncul, akan tetapi juga mahluk air penghuni telaga. Ikan-ikan mulai tampak bergurau, menjenguk dari permukaan air, dan yang nakal malah meloncat ke atas permukaan air, seperti tingkah anak-anak yang meloncat ke air untuk mandi! Tiap kali ada moncong ikan menjenguk ke permukaan air, apalagi jika ada yang meloncat ke atas, air bergerak dan terbentuklah lingkaran-lingkaran yang makin melebar, lengkungan bundar yang amat sempuma, tak mungkin dibuat oleh tangan manusia.

Kun Liong terpesona menyaksikan semua ini. Dia lupa diri, bahkan dirinya sudah tidak ada lagi. Yang ada hanya penglihatan yang serba indah itu dan dia yang melihat sudah tidak ada lagi, tenggelam dalam keasyikan yang amat dalam.

Kalau saja dia tidak membutuhkan penyeberangan, agaknya perahu kecil yang tampak bergerak didayung oleh seseorang itu akan menjadi penambah keindahan pemandangan di pagi hari yang cerah itu. Akan tetapi kebutuhannya mengingatkan dia dan menyeretnya kepada dunia yang penuh dengan kebutuhan si aku. Lenyaplah semua keindahan karena perhatiannya tercurah penuh kepada perahu itu, dan harapannya timbul untuk dapat segera pergi ke pulau, ke pusat Kwi-eng-pang! Dan perahu itu, tepat seperti yang dikehendakinya, didayung ke arah daratan.

Akan tetapi setelah dekat, dia merasa heran dan juga ragu-ragu. Pendayungnya ternyata adalah seorang wanita! Dan bukan wanita nelayan atau wanita dusun yang sederhana. Sama sekali bukan! Jelas tampak dari dandanan rambut dan pakaiannya, dari gayanya, bahwa yang mendayung perahu itu, wanita berusia tiga puluhan tahun yang berwajah cantik dan bertubuh ramping itu, tentulah wanita kota, atau setidaknya, paling sedikit tentu pelayan orang bangsawan!

Hanya anehnya, wanita yang segalanya kelihatan halus itu mengapa sampai mendayung perahu sendiri? Betapapun juga, kesempatan ini tidak boleh dia sia-siakan. Tidak ada perahu lain tampak di daratan yang begitu sunyi, maka ia cepat menghampiri wanita dalam perahu yang sudah mendekati pantai.

“Kouwnio, bolehkah saya menumpang perahumu?” Dia bertanya sambil tersenyum ramah, senyum orang yang minta tolong!

Wanita itu mengangkat mukanya memandang sejenak memandang kepada pemuda itu, kemudian pakaiannya. Agaknya wanita itu teliti juga maka melihat pakaian Kun Liong, dia dapat menduga bahwa pemuda tampan itu bukan hwesio, melainkan seorang yang entah mengapa sengaja menggunduli kepalanya.

Akan tetapi kepala gundul itu tidak buruk. Memang lucu, akan tetapi tidak buruk. Sebaiknya malah, mempunyai daya tarik yang aneh dan kepala itu begitu bersih, begitu telanjang sehingga wanita itu memandang dengan kedua pipi menjadi merah!

“Siapakah engkau dan mengapa kau minta menumpang di perahuku?” Dengan kerling genit wanita itu membalas bertanya.

Kun Liong yang merasa bahwa dia menghadapi urusan besar dengan Ketua Kwi-eng-pang, merasa tidak baik kalau dia memperkenalkan diri kepada semua orang, maka dia menjawab,

“Saya datang dari jauh sekali dan hendak pergi menghadap Kwi-eng-pangcu. Maka, saya harap Kouwnio (Nona) yang baik suka menolong saya. Saya mau ikut dengan perahu Kouwnio pergi ke pulau itu.”

Senyum dan kerling genit itu tiba-tiba lenyap dari wajah yang cukup cantik itu, dan pandang matanya penuh curiga ketika dia bertanya,

“Apakah engkau sahabat dari Kwi-eng-pangcu?”

Kun Liong tidak biasa membohong, maka dia menggeleng kepala.
“Bukan!”

“Habis, apa maksudmu hendak bertemu dengan pangcu?”

“Aku mempunyai sedikit urusan yang hendak kubicarakan dengan Kwi-eng-pangcu. Urusan penting yang akan kusampaikan kepadanya sendiri. Kouwnio, harap suka membawaku, Kouwnio yang baik. Biarlah aku yang akan mendayung perahunya.”

Melihat pemuda gundul itu menyebutnya “kouwnio yang baik” beberapa kali dan tersenyum-senyum, wanita itu berkata,

“Sebetulnya aku mempunyai kepentingan berbelanja, akan tetapi karena engkau seorang tamu, biarlah kau kuantar ke pulau. Aku adalah pelayan dari Ang-pangcu.”

Kun Liong terkejut, akan tetapi juga girang. Kiranya Kwi-eng-pang tidak seperti yang disohorkan orang. Kata orang, Kwi-eng-pang adalah perkumpulan iblis yang berbahaya, sarang dari golongan hitam. Buktinya sekarang sama sekali tidak demikian. Baru pelayannya saja begini cantik dan halus budi, peramah dan manis!

Kun Liong menjura dan berkata girang,
“Banyak terima kasih, Kouwnio yang baik.”

Perahu menepi dan Kun Liong lalu melangkah memasuki perahu. Perahu kecil agak bergoyang-goyang, akan tetapi wanita itu dapat berdiri dengan tegak, tanda bahwa wanita itu biarpun kelihatan lemah dan hanya seorang pelayan, akan tetapi tentu “berisi”!

“Biarlah saya yang mendayungnya, Kouwnio.”

Wanita itu menyerahkan dayung kepada Kun Liong dan duduk berhadapan dengan pemuda itu yang mulai mendayung perahu. Kun Liong bersikap sabar, biarpun hatinya tegang dan ingin dia cepat-cepat tiba di pulau. Dia mendayung biasa saja, tidak mengerahkan sin-kangnya, padahal kalau dia menggunakan tenaga saktinya, tentu perahu akan dapat meluncur jauh lebih cepat.

Wanita itu menatap wajah Kun Liong dan terang-terangan kelihatan rasa kagumnya terhadap ketampanan wajah Kun Liong. Beberapa kali Kun Liong memandangnya dan pandang mata mereka bertemu. Kun Liong merasa malu sendiri sampai mukanya menjadi merah!

“Itu teman-temanku sudah menanti dan melihat kita.” Wanita itu menuding.

Kun Liong melihat beberapa orang wanita berdiri di pantai pulau.

“Mereka tentu terheran-heran mengapa aku tidak pulang membawa barang belanjaan, tetapi membawa seorang tamu.” Wanita itu terkekeh genit. “Kita sudah dekat, biar aku yang mendayung karena daerah dekat pulau terdapat banyak rahasia yang dapat membuat perahu terbalik.”

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: