*

*

Ads

FB

Senin, 24 Oktober 2016

Petualang Asmara Jilid 081

“Hemm, kalau begitu engkaukah yang berjuluk Ban-kin-kwi (Setan Bertenaga Selaksa Kati)?”

“Benar.”

“Dan yang kau cari itu, bukankah bokor emas milik The-ciangkun yang hilang?”

Tio Hok Gwan kelihatan kaget dan curiga.
“Kau tahu...?”

“Siapa yang tidak mendengar tentang itu? Engkau percuma saja mencari disini, dan kedatanganmu ini menunjukkan bahwa engkau tidak memandang kepada kami, mengira kami mencuri bokor itu. Hemm, orang she Tio, apa kau kira kami takut kepadamu? Majulah, aku ingin melihat sampai dimana kebenaran julukanmu itu!”

Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan mengerutkan alisnya. Dia tidak ingin bermusuhan dengan para datuk sesat dan dia tahu bahwa wanita yang masih cantik ini adalah seorang di antara lima datuk kaum sesat. Akan tetapi, sebagai seorang tokoh besar dunia kang-ouw, terutama sekali sebagai seorang pengawal Panglima Besar The Hoo yang tentu saja mempertahankan nama dan kehormatannya, dia pun tidak mungkin menolak tantangan orang karena hal itu akan merendahkan namanya sendiri.

“Dukk!”

Dia menangkis dan keduanya terkejut. Bu Leng Ci merasa betapa lengan yang menangkisnya itu kokoh kuat seperti baja sedangkan Tio Hok Gwan merasa betapa lengan wanita itu berubah lunak ketika ditangkis, tanda bahwa wanita itu telah memiliki tenaga sakti yang kuat, dan tadi menghadapi kekuatannya dengan tenaga lemas sehingga lengan itu tidak terasa nyeri atau terluka.

“Siang-tok Mo-li, aku hanya menjadi utusan mencari keterangan tentang bokor. Aku tidak ingin bermusuhan denganmu. Akan tetapi kalau kau menantang, silakan, mau satu lawan satu atau mau mengeroyok!”

Tio Hok Gwan adalah seorang tokoh besar yang sudah mempunyai banyak sekali pengalaman, maka biarpun dia tidak pandai bicara dan wataknya pendiam, sekali mengeluarkan suara tentu ada hasilnya! Dia tadi sengaja menantang untuk dikeroyok dan tentu saja hal ini menyinggung perasaan Bu Leng Ci sebagai seorang datuk! Maka dengan muka merah wanita itu membentak,

“Manusia sombong! Perlu apa mengeroyokmu? Kedua tanganku sudah cukup untuk membunuhmu!”

Bentakan ini ditutup dengan serangannya yang dahsyat, kedua lengannya meluncur seperti dua ekor ular, yang kiri menusuk mata lawan, yang kanan mencengkeram ke arah pusar, sedangkan kepalanya digerakkan dan rambutnya yang panjang itu menyambar pula ke arah leher!

“Hemm... perempuan ganas!”

Tio Hok Gwan berseru, menangkis kedua tangan lawan dan sambil mengelak ke samping dia cepat menggunakan tangan yang baru saja menangkis untuk menyambar rambut hitam itu. Akan tetapi Bu Leng Ci sudah cepat menarik kembali rambutnya.






Terjadilah pertandingan yang amat hebat antara kedua orang tokoh itu. Semua pukulan dilakukan dengan pengerahan tenaga sin-kang, gerakannya cepat bukan main dan pukulan itu mengeluarkan angin mendesir, akan tetapi selalu dapat dielakkan atau ditangkis dengan kecepatan kilat pula. Mereka saling serang dan sukar dikatakan siapa yang lebih unggul karena Bu Leng Ci juga membalas setiap serangan lawan dengan serangan balasan yang tidak kalah dahsyatnya.

Diam-diam Yo Bi Kiok menonton dengan hati kagum terhadap ilmu kepandaian Si Pengantuk itu. Gerakannya demikian mantap dan dari setiap pertemuan lengan, dia dapat melihat dengan hati kaget bahwa subonya masih kalah setingkat dalam hal kekuatan sin-kang melawan kakek itu!

Para anak buah Kwi-eng-pang tidak ada yang berani bergerak dan mereka memandang dengan mata kabur dan kepala pening karena gerakan kedua orang itu bagi mereka terlalu cepat untuk dapat diikuti oleh pandang mata. Juga kedua orang pembantu Tio Hok Gwan tidak berani bergerak, hanya menonton dengan hati tegang.

Pertandingan itu benar-benar amat menegangkan dan kedua pihak maklum bahwa tingkat mereka tidak banyak selisihnya, sungguhpun gaya ilmu silat mereka jauh sekali bedanya, seperti bumi dan langit. Hanya bedanya, kalau Tio Hok Gwan sebagai seorang gagah menganggap pertandingan itu semata-mata untuk mengukur kepandaian, sebaliknya Bu Leng Ci setiap kali menyerang didasari niat membunuh sehingga hanya jurus-jurus maut saja yang dia keluarkan.

“Plak-plak-desss... aihhh...!”

Pertemuan dua pasang tangan yang bertubi-tubi itu akhirnya membuktikan bahwa tenaga sin-kang Tio Hok Gwan memang lebih kuat. Bu Leng Ci menjerit ketika tubuhnya terlempar ke belakang. Dari mulut wanita ini keluar darah yang mengalir dari ujung bibir.

“Singgg...!” Tampak sinar berkilat ketika pedang samurai telah dicabutnya dan kini dengan kedua tangan memegang gagang pedang panjang itu, Bu Leng Ci menerjang sambil memekik nyaring mengerikan, “Haaiiittt...!”

Terpaksa Tio Hok Gwan meloncat amat cepatnya menggunakan gin-kang untuk menyelamatkan diri dari pedang samurai yang menyambar-nyambar ganas itu. Ketika melihat betapa lawannya yang galak dan marah sekali itu mengejarnya dengan samurai diangkat tinggi-tinggi di atas kepala, Tio Hok Gwan cepat melolos sabuknya.

Kelihatannya seperti sabuk, akan tetapi sebetulnya bukan sembarang sabuk, karena itu adalah sebuah senjata joan-pian (ruyung lemas atau semacam pecut) yang terbuat dari baja biru yang amat kuat!

Pengawal Panglima Besar The Hoo ini mengikuti panglima sakti itu berlayar mengelilingi dunia menjelajah ke negeri-negeri asing di selatan dan barat dan dia pandai memainkan segala macam senjata. Joan-pian itu didapatkannya ketika dia mengikuti rombongan panglima besar menjelajah ke negeri Sailan dan menjadi sebuah di antara senjata yang disenanginya karena selain dapat dipergunakan dengan baiknya, juga dapat dibawa dengan mudah dan tidak kentara karena dililitkan di pinggang seperti sebuah sabuk!

“Trang-trang-cring...!”

Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika berkali-kali samurai itu tertangkis oleh joan-pian di tangan Tio Hok Gwan. Biarpun pendekar pengantuk itu selalu dapat menangkis, namun dia membarengi dengan elakan karena joan-piannya masih kurang kuat menangkis samurai yang gerakannya amat kuat itu.

Dan Bu Leng Ci memang seorang ahli bermain samurai. Kepandaian dari bekas suaminya yang tua, seorang pendekar samurai kenamaan di Jepang telah diwarisinya dan samurai di tangannya berkelebat ke sana-sini amat mengerikan, seperti halilintar menyambar-nyambar di angkasa.

Namun Tio Hok Gwan yang sudah pernah beberapa kali bertanding melawan jagoan samurai Jepang, sudah mengenal sifat ilmu pedang dari Jepang itu, maka dia dapat mengimbanginya dengan permainan joan-piannya yang lihai. Bahkan kalau senjatanya itu kalah kuat dan kalah berat, dia dapat menutup kerugiannya ini dengan kemenangan dalam kecepatan.

“Tringgg... tringg...!”

Cepat sekali pertemuan senjata yang disusul berkelebatnya samurai dan joan-pian itu sehingga sukar diikuti pandang mata. Tubuh Tio Hok Gwan terhuyung ke belakang sedangkan tubuh Bu Leng Ci terlempar dan terbanting miring, akan tetapi wanita ini dapat memcelat bangun kembali, mukanya agak pucat dan darah yang mengalir dari mulutnya lebih banyak lagi.

Adapun Tio Hak Gwah yang terluka pundaknya oleh ujung samurai, cepat merobek ujung baju dan membalutnya dibantu oleh Song Kin. Lukanya hanya luka kulit yang ringan saja, akan tetapi Bu Leng Ci mengalami luka yang lebih berat, karena selain tadi sebelum menggunakan senjata dia telah terkena hantaman angin pukulan lawan, baru saja pinggangnya kena disambar joan-pian sehingga di dalam dadanya terasa sakit, tanda bahwa sin-kang yang ia pergunakan untuk melindungi tubuh masih kalah kuat sehingga membalik dan melukai dirinya sendiri. Maklumlah Bu Leng Ci bahwa kalau dilanjutkan, dia tidak akan menang.

Adapun Tio Hok Gwan yang memang tidak ingin menanam permusuhan, sudah menjura dan berkata,

“Kepandaian Siang-tok Mo-li memang hebat dan namamu bukan kosong belaka. Aku orang she Tio merasa kagum. Harap kau suka berbaik hati untuk memberi tahu tentang bokor agar aku mempunyai bahan untuk dilaporkan kepada The-tai-ciangkun.”

“Ban-kin-kwi, apakah kau masih tidak percaya omonganku? Aku sudah mengatakan bahwa kami tidak tahu-menahu tentang bokor emas yang hilang, apalagi melihatnya! Kalau kau tidak percaya, mari kita lanjutkan pertempuran sampai seorang di antara kita menggeletak tak bernyawa!”

Tio Hok Gwan menjura.
“Kalau begitu, terima kasih dan selamat berpisah.”

Ia memberi isyarat kepada dua orang pembantunya, lalu dengan langkah lebar meninggalkan tempat itu, menuju ke perahu kecil mereka di pantai pulau. Kemudian mereka mendayung perahu meninggalkan pulau itu menuju ke darat.

Bu Leng Ci sambil menahan rasa nyeri di dadanya lalu memanggil para murid kepala dan lima orang pelayan Kwi-eng Niocu dan berkata,

“Pemuda yang kalian tawan itu adalah seorang yang amat penting sekali bagi Pangcu dan aku. Karena itu, untuk menjaga agar dia tidak sampai lolos dan ditolong orang, selagi Enci Ang Hwi Nio tidak berada di rumah, aku yang akan menjaganya dan membawanya ke pulau. Hayo bawa aku kepadanya!”

Tentu saja para murid dan anak buah Kwi-eng-pang tidak ada yang berani membantah. Mereka percaya penuh kepada wanita iblis ini, apalagi baru saja mereka melihat sendiri betapa wanita ini mati-matian membela Kwi-eng-pang ketika datang lawan yang amat lihai tadi. Segera guru dan murid ini dibawa ke kamar tahanan di mana Kun Liong masih rebah telentang dalam keadaan lemah dan setengah pingsan.

Bu Leng Ci cepat menotok beberapa jalan darah di tubuh pemuda itu, kemudian mengempit tubuh yang selain tertotok juga sudah dibelenggu kaki tangannya itu dan bersama muridnya dia membawa Kun Liong ke atas perahu dan mendayung perahu kembali ke pulaunya sendiri.

Ketika Kun Liong siuman, ia mengeluh dan membuka matanya. Dia masih ingat betapa tadi dia ditawan oleh lima orang wanita pelayan Kwi-eng-pangcu yang cantik. Kemudian dia setengah ingat dengan samar-samar betapa dia dibawa orang naik perahu. Kini tahu-tahu dia telah rebah di atas sebuah dipan kayu dan di dalam kamar itu duduk dua orang wanita memandangnya penuh perhatian.

Kun Liong mengangkat muka memandang wajah dua orang itu dan diam-diam dia mengeluh ketika mengenal wajah wanita pendek yang tersenyum mengejek kepadanya itu. Wajah Siang-tok Mo-li! Dan di sebelah iblis betina itu duduk seorang dara cantik yang bersikap dingin.

“Mengapa aku dibawa ke sini...?”

Dia berkata dan menahan ingin memanggil nama Yo Bi Kiok. Tentu saja dia mengenal Bi Kiok dan hampir dia memanggilnya kalau saja dia tidak ingat bahwa dara itu bersikap tidak mengenalnya di depan gurunya yang kejam.

Akan tetapi betapa kaget dan herannya ketika dia mendengar suara Bi Kiok berkata kepadanya,
“Yap Kun Liong, Subo telah mengenalmu sebagai anak yang menemukan bokor emas. Lebih baik engkau segera mengatakan dimana kau simpan bokor itu agar Subo dapat mempertimbangkan keampunan bagi nyawamu!”

Berkerut alis Kun Liong. Hemmm, dara ini telah berubah banyak sekali, pikirnya. Wajahnya memang makin cantik menarik, tubuhnya makin padat dan matang setelah dewasa, akan tetapi wataknya sudah berubah. Dia tidak mengharapkan dara ini membantunya atau menolongnya. Satu kali Bi Kiok menolongnya sudah cukup baginya dan tidak mengharapkan terus-menerus ditolong.

Akan tetapi, bukan karena dara itu tidak menolongnya yang membuat hatinya kecewa, melainkan melihat perubahan itu. Agaknya Bi Kiok bukan hanya mewarisi kepandaian gurunya, akan tetapi juga wataknya. Siapa lagi kalau bukan dara ini yang membuka rahasianya tentang bokor emas itu kepada Bu Leng Ci? Hanya Bi Kiok seoranglah yang tahu bahwa dia yang menemukan bokor emas dan yang mungkin melarikan bokor itu ketika Phoa Sek It, bekas Pengawal Panglima The Hoo, dibunuh oleh Bu Leng Ci.

Kun Liong tersenyum lebar.
“Bi Kiok, engkau makin cantik dan manis saja.”

“Ihhh...!!” Bu Leng Ci membentak dan memandang penuh kebencian.

Wajah Yo Bi Kiok menjadi merah sekali dan sekilas tampak oleh Kun Liong sepasang hibir itu tergetar.

“Kun Liong, harap kau jangan main-main. Harap kau mengingat akan persahabatan kita dan mengingat pula bahwa kau telah menjadi tawanan Subo. Katakan saja dimana adanya bokor itu atau bawa kami ke sana...”

“Katakan saja, kalau tidak kuhancurkan kepalamu!”

Bu Leng Ci cepat memotong usul Bi Kiok agar Kun Liong mengantar mereka ke tempat dimana bokor disembunyikan.

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: