*

*

Ads

FB

Senin, 24 Oktober 2016

Petualang Asmara Jilid 082

Sedikit sinar mata Kun Liong bertemu dengan pandang mata Bi Kiok, dan ini cukup bagi Kun Liong. Hampir dia bersorak girang! Kiranya Bi Kiok sama sekali tidak berubah. Masih Bi Kiok yang dulu, biarpun kini lebih cantik manis, lebih dewasa dan kelihatan dingin pendiam, namun hatinya masih seperti dulu.

Mengertilah dia sekarang mengapa dara itu membujuknya. Kiranya dara itu melihat bahwa dia berada di dalam cengkeraman Bu Leng Ci, dan dia tentu akan dibunuh, maka dara itu mengemukakan persoalan bokor untuk mencegah Bu Leng Ci membunuhnya, dan untuk memberi kesempatan kepadanya untuk dapat membebaskan diri, maka dara itu mengusulkan agar dia membawa mereka ke tempat bokor disembunyikan.

Jelas semuanya! Dalam keadaan tertotok dan terbelenggu seperti itu, memang tak mungkin dia melepaskan diri. Akan tetapi kalau sudah dikeluarkan dari pulau, agaknya akan muncul kesempatan! Ingin dia, kalau bisa, bangkit merangkul dan mencium gadis itu!

Kun Liong tertawa makin keras dan dengan suara sengaja dibuat bernada mengejek dia berkata,
“Bi Kiok, biarpun kau cantik manis dan bujukanmu halus merayu, biarpun gurumu bengis dan kejam, jangan kira bahwa bujukanmu dan ancaman Siang-tok Mo-li akan dapat membujukku atau menakutkan aku!”

“Kun Liong...!” Bi Kiok berseru, benar-benar kaget.

“Bedebah, apa kau minta kusiksa dulu?” Bu Leng Ci sudah bangkit menghampiri.

“Ha-ha-ha-ha! Kiranya bokor berada di tangan bocah gundul ini, pantas saja kau bergegas memindahkannya dari tangan para pelayan Kwi-eng Niocu!”

Tiba-tiba terdengar suara halus dan tahu-tahu, seperti hantu saja layaknya, di situ telah muncul seorang kakek tinggi kurus dan kakek itu lalu terbatuk-batuk. Melihat kakek ini, Kun Liong terkejut sekali. Itulah kakek yang dia jumpai dalam badai di hutan semalam! Kakek di dekat api unggun yang bernyanyi tentang kematian dan yang kemudian hendak membunuhnya.

Kakek yang aneh dan amat lihai, yang dianggapnya orang gila! Kiranya kakek itu terus mengikutinya dan agaknya tahu akan semua pengalamannya, betapa dia ditawan pelayan-pelayan Kwi-eng Niocu dan betapa dibawa ke pulau ini oleh Bu Leng Ci, semua telah diketahuinya karena agaknya kakek itu memang terus mengikutinya!

Sementara itu, ketika Bu Leng Ci menoleh dan melihat kakek di ambang pintu kamar itu, seketika wajahnya berubah pucat.

“Toat Beng Hoatsu...!” teriaknya dan tangannya meraba gagang samurai.

Mendengar disebutnya nama ini, Kun Liong makin terkejut. Dia sudah mendengar nama ini, nama datuk nomor satu dari sekalian datuk kaum sesat! Kiranya kakek yang dianggapnya orang gila itu adalah datuk nomor satu! Maka dia memandang penuh kekhawatiran karena dia maklum bahwa sebagai datuk nomor satu, tentu kakek itu memiliki keanehan dan kekejaman nomor satu pula!

“Bagaimana kau bisa masuk ke sini...?” Bu Leng Ci bertanya dan matanya mengerling ke luar pintu. Kemana perginya para pelayannya?






“Ha-ha-ha, kau mencari ini?”

Tangan kakek itu merogoh jubahnya dan melemparkan benda hitam ke atas lantai. Benda itu berserakan dan Kun Liong menelan ludahnya saking ngeri dan tegang ketika melihat bahwa benda-benda itu adalah rambut kepala manusia, agaknya rambut wanita dan rambut itu masih melekat pada kulit kepala yang berdarah. Agaknya rambut-rambut itu dijebol berikut kulit kepalanya dari kepala tujuh orang wanita!

“Ihhh...!”

Bi Kiok sendiri yang sudah memiliki ketabahan luar biasa menjadi pucat dan ngeri membayangkan betapa tujuh orang pelayan wanita itu telah mengalami kematian yang amat mengerikan, dijebol rambutnya berikut kulit kepala sampai terkupas dari kepalanya.

“Singggg...!” Bu Leng Ci mencabut samurainya. “Toat-beng Hoat-su, mengapa kau melakukan ini? Apakah antara kita sekarang ada pertentangan dan menjadi musuh?”

“Ha-ha-ha, sama sekali tidak, Siang-tok Mo-li. Terserah kepadamu... heh- heh, terserah kepadamu mau berkawan atau berlawan dengan aku. Aku hanya menghendaki agar bocah gundul ini bersama bokornya diserahkan kepadaku, barulah kau pantas kusebut kawan.”

“Keparat! Singggg...!” Samurai itu menyambar, akan tetapi dengan amat mudahnya Toat-beng Hoat-su mengelak.

“Hemm, sabar dan tenanglah, Tio Hok Gwan tadi terlalu berat dan lihai bagimu, engkau sudah terluka parah, perlu apa melawanku?”

“Aku masih cukup kuat untuk melawan seribu orang macam engkau!”

Bu Leng Ci menyerang lagi dengan samurainya, akan tetapi karena dia memang sudah terluka di sebelah dalam tubuhnya, ketika dia menggerakkan samurai dengan pengerahan sin-kang dan serangannya itu dielakkan, hampir saja dia terhuyung roboh.

“Toat-beng Hoat-su, akulah lawanmu!”

Tiba-tiba Bi Kiok menerjang dengan pedangnya.
“Subo, mengasolah!”

Serangan pedang di tangan Bi Kiok ini hebat sekali berdesing menyambar ke arah leher kakek itu. Toat-beng Hoat-su terkejut dan maklum bahwa gadis itu ternyata lebih lihai daripada Bu Leng Ci yang sudah terluka parah.

“Hemm, siapa kau?”

“Orang menyebutku Giok-hong-cu!” jawab Bi Kiok sambil menerjang lagi.

“Ha-ha-ha, kiranya murid Bu Leng Ci? Gurumu saja tidak mampu menandingiku, apalagi engkau? Ha-ha, bocah kurang ajar macam engkau harus dihajar!”

Ketika pedang Bi Kiok menusuk dada, gadis itu girang sekali melihat betapa gerakan mengelak dari kakek itu kurang cepat sehingga pedangnya masih mengenai pinggir dada. Akan tetapi betapa kagetnya ketika tiba-tiba jubah itu terlepas dari tubuh Toat-beng Hoat-su dan sekali kakek itu menggerakkan jubah, pedangnya yang tadi menusuk jubah itu dipaksa terlepas dari tangannya!

Inilah kelihaian Toat-beng Hoat-su yang memang tidak pernah menggunakan senjata kecuali jubahnya. Jubahnya merupakan senjata yang amat ampuh, bahkan selagi jubahnya dipakai, dia dapat menipu Bi Kiok yang kalah pengalaman itu. Pedang gadis itu tadi memang sengaja “diterimanya” dengan jubahnya yang tertusuk dan sekaligus jubahnya itu dipergunakan untuk merampas pedang!

“Aihhh...!” Bi Kiok berseru kaget.

Pada saat itu, Bu Leng Ci sudah menyerang lagi dengan samurainya. Akan tetapi, jubah itu menyambar, menyambut samurai dan dari balik jubah, tangan Toat-beng Hoat-su memukul.

“Dukkk!”

Bu Leng Ci yang sudah terluka dan gerakannya menjadi lambat itu terpukul lehernya dan dia roboh tak dapat bangkit kembali, hanya memandang kepada kakek itu dengan mata mendelik penuh kebencian.

Melihat gurunya roboh, Bi Kiok marah dan berlaku nekat, menyerang dengan tangan kosong. Akan tetapi serangannya disambut oleh sambaran jubah yang mendatangkan angin keras dan gadis itu terlempar dan terbanting ke kanan.

“Ha-ha-ha, kau bocah nakal, mukamu terlalu cantik untuk menjadi murid seorang datuk, harus dibikin buruk!”

Dengan tangan kirinya Toat-beng Hoat-su memegang pedang rampasan tadi dan melangkah maju untuk merusak muka Bi Kiok. Gadis itu sudah tidak berdaya, hanya mengangkat kedua tangan melindungi mukanya.

“Tahan, Toat-beng Hoat-su!” Kun Liong berteriak dari tempat dia berbaring. “Engkau menghendaki bokor emas pusaka Panglima The Hoo, bukan?”

Pedang itu berhenti bergerak dan Si Kakek menoleh ke arahnya.

“Kalau kau membunuh atau melukai nona itu, biar aku kau pukul mampus, aku tidak akan sudi memberitabukan tentang bokor. Bokor itu kusimpan dan kau akan kuantar ke tempat itu kalau kau membebaskan nona itu!”

Kakek itu tertawa bergelak.
“Huah-ha-ha-ha! Pemuda gundul! Kau jatuh cinta kepada dara ini, ya?”

Muka Kun Liong menjadi merah.
“Tak usah banyak cakap. Bebaskan dia dan kau akan kuantar ke tempat penyimpanan bokor. Bagaimana?”

Kakek itu menggerakkan tangan kirinya, pedang rampasan meluncur dan menancap di atas lantai, hanya setengah jengkal selisihnya dari pipi Bi Kiok!

“Huh, kau masih beruntung, bocah kurang ajar. Lain kali, akan kubuntungi hidungmu dan dua daun telingamu, dan hendak kulihat, apa yang akan dapat dilakukan oleh gurumu, biarpun dia dalam keadaan tidak terluka.”

Kakek itu lalu menyambar tubuh Kun Liong, dikempitnya dan dia hendak pergi dari situ.

“Toat-beng Hoat-su, manusia pengecut!”`Bu Leng Ci berteriak marah. “Kau datang pada saat aku terluka! Coba kau datang lagi kelak kalau aku sudah sembuh!”

Kakek itu menoleh dan tertawa.
“Heh-heh-heh, boleh saja!”

“Kau telah mengkhianati kerja sama lima datuk!”

Bu Leng Ci yang merasa marah dan kecewa sekali melihat Kun Liong dirampas, menyerang lagi dengan kata-kata penuh kebencian.

“Huh! Siapa sudi melanjutkan persekutuan busuk itu? Pek-lian-kauw membiarkan dirinya diperalat oleh anjing-anjing asing bermata biru. Siapa sudi? Boleh saja aku melawan pemerintah, akan tetapi aku tidak sudi menjadi pengkhianat bangsa dan mengekor kepada orang-orang asing!” Setelah berkata demikian, kakek itu meloncat dan lenyap dari situ.

“Subo...!” Bi Kiok menghampiri gurunya dan membantu gurunya bangun.

“Hemm... sayang aku terluka dan harus menyembuhkan lukaku lebih dulu, Si Keparat Thio Hok Gwan yang menjadi gara-gara! Kalau aku tidak luka, andaikata tikus tua itu berhasil melarikan Kun Liong, aku masih dapat membayanginya.”

“Teecu rasa tempat itu tentulah di sekitar daerah Sungai Huang-ho. Teecu akan mencoba untuk menyelidiki dan membayanginya.”

“Hemmm, kau bukan lawannya. Biarlah kita pergi bersama dan sambil melakukan perjalanah aku mengobati lukaku. Perjalanan ke Sungai Huang-ho jauh dan memakan waktu lama, masih banyak waktu bagiku untuk menyembuhkan diri dan turun tangan kalau tikus tua itu benar-benar dapat menemukan tempat persembunyian bokor itu.”

Dengan dibimbing oleh muridnya, Siang-tok Mo-li meninggalkan pulau itu dan mereka lalu menggunakan perahu untuk mendarat. Tentu saja kakek itu sudah tidak nampak lagi dan sebelum meninggalkan Telaga Kwi-ouw, Bu Leng Ci singgah di pulau besar dan menyuruh murid-murid kepala Kwi-eng-pang untuk mengurus mayat-mayat tujuh orang pelayannya yang semua tewas dengan kepala terkupas bersih, juga minta agar mereka menyampaikan kepada Ketua Kwi-eng-pang kalau Kwi-eng Niocu pulang bahwa tawanan itu telah dirampas dan dibawa pergi oleh Toat-beng Hoat-su.

Mereka berjalan menuruni bukit itu berdampingan. Kelihatan seperti dua orang sahabat baik, atau lebih pantas lagi seorang kakek dengan cucunya yang bergegas pulang ke kampungnya, kalau saja orang tidak melihat kedua tangan pemuda gundul itu terbelenggu!

Melakukan perjalanan berhari-hari di samping Toat-beng Hoat-su amat melelahkan tubuh dan hati Kun Liong. Dia tidak kekurangan makan karena setiap kakek itu berhenti makan atau minum, dia selalu mendapat bagiannya. Akan tetapi kakek itu berwatak aneh bukan main, kadang-kadang sampai sehari penuh tidak pernah mengeluarkan sepatah pun kata dan dia sama sekali tidak dipedulikan. Hal ini amat mengesalkan hatinya.

Dia tahu bahwa kalau kakek ini kumat gilanya, kemungkinan besar dia akan dibunuh begitu saja tanpa sebab! Bukan sekali-kali karena dia merasa takut akan hal ini, hanya dia tahu bahwa masih banyak hal yang harus dia lakukan dalam hidupnya sebelum mati konyol begitu saja. Ayah bundanya belum diketahuinya berada di mana. Tugas yang diberikan oleh mendiang gurunya, Tiang Pek Ho-siang, untuk mendapatkan kembali dua buah kitab Siauw-lim-pai yang hilang belum dia penuhi. Karena itu, dia harus berpikir seratus kali sebelum memancing bahaya kematian di tangan kakek aneh, datuk nomor satu kaum sesat itu!

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: