*

*

Ads

FB

Senin, 24 Oktober 2016

Petualang Asmara Jilid 084

Kun Liong memandang kepadanya dan tersenyum.
“Bi Kiok yang manis, entah sudah berapa kali kau menolong nyawaku. Pertama, ketika kau menolongku di kuil dahulu itu pada waktu aku ditawan orang-orang Pek-lian-kauw. Kemudian, ketika aku ditawan oleh orang-orang Kwi-eng-pang, kau pun membawa gurumu untuk menolongku...”

“Hemm, bagaimana kau tahu?”

“Mudah saja, dengan menggunakan otak di dalam kepalaku ini. Dan sekarang, kau lagi-lagi menolongku. Eh, anak baik, mengapa kau begini baik kepadaku?”

Gadis itu mengerutkan alisnya, menunduk dan tiba-tiba dia meloncat bangkit dari duduknya di atas batu ketika melihat kedua tangan pemuda itu telah terbebas dari belenggu.

“Aihhh...! Kau sudah dapat mematahkan belenggu itu!”

Kun Liong mengangkat kedua tangannya ke atas dan tersenyum.
“Wah, aku lupa ketika menangkis jubah kakek siluman tadi sehingga aku mematahkan belenggu.”

“Kun Liong...! Kau... kau ternyata lihai... kau memiliki kepandaian hebat. Aku sendiri takkan dapat mematahkan belenggu tali sutera hitam dari Subo itu, dan... dan tadi kau mampu menangkis hantaman jubah Toat-beng Hoat-su!”

Kun Liong memandang dan tersenyum. Hebat dara ini, pikirnya. Wajah Cia Giok Keng yang cantik jelita menonjol daya tariknya karena hidungnya, wajah Lim Hwi Sian membuatnya tergila-gila karena keindahan mulutnya, sedangkan wajah Yo Bi Kiok ini... hemmm, sepasang matanya itulah yang membuat dia tak mampu mengalihkan pandangannya.

Mata itu... demikian indah, bening, hidup! Ataukah karena tarikan muka itu dingin sekali maka hanya matanya yang tampak hidup dan indah? Entahlah, akan tetapi dia benar-benar senang sekali memandangi mata itu!

“Begitukah...?” komentarnya atas dugaan Bi Kiok.

“Akan tetapi, kenapa engkau tidak membebaskan diri dari tawanan kakek itu? Kenapa kau mandah saja dibawa pergi?”

“Karena, Nona yang baik, karena aku sudah berjanji kepadanya bahwa kalau kau dibebaskan, aku suka membawanya ke tempat bokor. Dan dia telah membebaskanmu!”

“Eh, kau aneh sekali...! Dan terutama sekali kepalamu, mengapa sampai sekarang gundul terus?”

“Dan kau cantik manis sekali! Terutama matamu, Bi Kiok!”

“Ceriwis!”






Bi Kiok berkata dan membungkam, alisnya berkerut dan matanya menyorotkan kemarahan. Akan tetapi malah menambah manis dalam pandangan Kun Liong.

Kun Liong terus menatap mata yang indah itu, membuat Bi Kiok menjadi gelisah dan jengah, juga marah. Dia sendiri merasa heran mengapa dia selalu ingin menolong pemuda gundul ini! Apakah karena pengalaman mereka bersama ketika kakeknya terbunuh itu merupakan hal yang tak pernah dapat dilupakannya? Ataukah karena pemuda ini menjadi kunci rahasia bokor emas yang diperebutkan?

“Ehh! Kau... kau Giok-hong-cu...?”

Tiba-tiba Kun Liong berseru ketika tanpa disengaja dia melihat hiasan rambut yang indah di kepala dara itu.

Dara itu mengerling kepadanya dan di balik kekagetannya, masih saja keindahan kerling itu berkesan di hati Kun Liong!

“Kalau benar mengapa?”

Kun Liong bangkit berdiri, alisnya berkerut matanya memandang tak senang, telunjuknya menuding ke arah hidung Bi Kiok ketika dia berkata,

“Giok-hong-cu Yo Bi Kiok, mengapa engkau membunuh Thian Le Hwesio?”

Bi Kiok menarik napas panjang.
“Hemm, engkau sudah tahu pula? Bukan aku pembunuhnya, Kun Liong. Aku hanya mengantar jenazahnya kepada Perusahaan Sam-to-piauw-kok di Lam-san-bun untuk membawa jenazah dalam peti itu ke Siauw-lim-si.”

“Siapa menyuruhmu?”

“Siapa lagi kalau bukan Subo.”

“Subomu Siang-tok Mo-li yang membunuhnya?”

Gadis itu menggeleng kepalanya.
“Bukan. Eh, Kun Liong. Mengapa engkau melibatkan diri dengan segala macam urusan yang tiada sangkut pautnya denganmu?”

“Urusan Siauw-lim-pai sama dengan urusanku sendiri!”

“Hemmm...” Dara itu makin terheran. “Kalau begitu, gundulmu itu ada hubungannya dengan engkau menjadi hwesio Siauw-lim-si?”

Kun Liong meringis dan meraba kepalanya.
“Sama sekali tidak, Bi Kiok, siapa yang membunuhnya dan mengapa?”

“Kau cari sendiri!”

Tiba-tiba terdengar seruan panjang dan nyaring, dari jauh,
“Bi Kiok...!”

Seruan itu disusul teriakan lain yang parau akan tetapi tidak kalah nyaringnya.
“Kun Liong...!”

Yang pertama adalah teriakan Siang-tok Mo-li, yang ke dua teriakan Toat-beng Hoat-su. Mendengar namanya dipanggil, Kun Liong bangkit berdiri, akan tetapi tangannya dipegang dan ditarik oleh Bi Kiok. Dia menoleh, kaget melihat tubuh dara itu menggigil, wajahnya pucat.

“Kau kenapa...?”

“Sssttt...!” Bi Kiok berbisik dan menarik lengan Kun Liong masuk makin dalam di guha itu, sampai tidak kelihatan dari luar, kemudian dia berbisik, “Kalau sampai Subo atau Toat-beng Hoat-su menemukan engkau, engkau akan celaka, Kun Liong.”

“Aku...? Celaka...? Mengapa? Paling hebat mereka akan memaksaku menunjukkan tempat aku manyembunyikan bokor tua itu. Biar aku menjumpai mereka.”

“Bodoh kau! Kau kira begitu mudah kau akan menyelamatkan diri? Sesudah seorang di antara mereka menemukan bokor, engkau akan dibunuh!”

“Heh? Mengapa? Tak mungkin!”

“Hemm, kau tidak tahu watak mereka. Kalau mereka menemukan bokor, engkau merupakan orang berbahaya karena engkau dapat memberitakan hal itu di luaran. Apakah kau kira percuma saja aku membujuk dan menipu Subo sendiri, kemudian dengan berani mati aku melarikan engkau ke sini selagi mereka saling bertempur?”

Kun Liong memandang dan sambil memegang kedua tangan dara itu, dia berseru dengan hati terharu,

“Aihhh... mengapa, Bi Kiok? Mengapa engkau selalu menolongku, sekali ini bahkan membahayakan dirimu sendiri?”

“Bukan diriku sendiri, juga engkau. Kau kira kita akan selamat kalau seorang di antara mereka menemukan kita di sini?”

“Tapi...”

“Ssstttt...!”

Tangan Bi Kiok mendekap mulut Kun Liong dan sejenak mereka berdua tidak mengeluarkan suara.

“Bi Kiok...!” Suara itu jelas suara Bu Leng Ci, kemudian terdengar wanita itu mengomel di depan guha. “Kemana bocah itu? Mungkinkah ia yang melarikan Kun Liong? Hemm..., mungkinkah dia terserang penyakit cinta? Celaka...!” Kemudian terdengar langkah wanita itu yang amat ringan dari depan guha.

Dari jauh terdengar gema suara Toat-beng Hoat-su,
“Kun Liong...! Hayo lekas ke sini memenuhi janjimu! Tempat ini sudah terkepung tentara pemerintah, kalau kita tidak lekas pergi bisa celaka!”

Bi Kiok memegang lengan Kun Liong erat-erat, seolah-olah dia tidak menghendaki pemuda itu pergi. Kemudian setelah menanti beberapa lama, keadaan menjadi sunyi di sekitar situ, akan tetapi dari jauh terdengar bunyi terompet dan ringkik banyak sekali kuda.

Kun Liong yang masih saling berpegang lengan dengan Bi Kiok, menunduk dan dengan perlahan dia memegang dagu dara itu, mengangkat muka yang menunduk, memandang wajah itu kemudian bertanya,

“Bi Kiok, mengapa kau melakukan semua ini untukku?”

“Aku... aku...”

Gadis itu merenggutkan kepalanya dan menunduk kembali. Akan tetapi Kun Liong kini menggunakan kedua tangannya, memegang kepala gadis itu dan memaksanya menengadah, memandang sepasang mata itu penuh selidik.

“Apakah benar dugaan gurumu di luar tadi bahwa kau... terserang penyakit cinta? Bi Kiok, mungkinkah engkau... jatuh cinta kepadaku?”

“Aku... aku tidak tahu... aku hanya selalu merasa... kasihan kepadamu dan suka kepadamu. Aku... tak pernah dapat melupakanmu, Kun Liong... dan hidup dengan orang-orang yang tidak disukai di Telaga Kwi-ouw itu... membuat aku selalu teringat kepadamu. Tak mungkin aku diam saja melihat kau terancam bahaya...”

Makin terharu hati Kun Liong. Ditatapnya wajah yang manis itu, mata yang indah mempesona itu.

“Bi Kiok, betapa indahnya matamu...”

Bi Kiok memejamkan matanya dan terpengaruh oleh rasa haru dan berterima kasih yang meluap-luap di dalam perasaannya, Kun Liong tidak dapat menahan kemesraan terhadap gadis itu, dia menunduk dan mencium kedua mata yang terpejam itu!

Naik sedu-sedan dari dada Bi Kiok. Sejenak dia menggigil seolah-olah perasaan kewanitaannya akan meronta, akan tetapi kemudian dia menjadi lemas, merangkul dan menyembunyikan muka di dada Kun Liong sambil terisak,

“Kun Liong...”

Ketika dia mendekap tubuh dara itu, merasa betapa kepala dengan rambut halus itu menempel ketat di dadanya, barulah Kun Liong sadar akan perbuatannya. Dia tidak menyesal, akan tetapi timbul rasa heran mengapa dia sekarang menjadi suka sekali mencium sesuatu yang disenanginya!

Dia tadi mencium sepasang mata indah yang terpejam itu di luar kesadarannya, seperti otomatis tanpa dikehendakinya, terdorong oleh rasa tertarik yang luar biasa, kemesraan yang memenuhi hatinya sehingga sekarang pun kedua lengannya tanpa disadarinya mendekap tubuh itu dengan kuat. Hal ini baru disadarinya pula ketika Bi Kiok terengah-engah dan merintih lirih,

“Kun Liong...”

Kun Liong mengendurkan dekapannya dan berbisik,
“Bi Kiok, betapa baiknya hatimu... betapa buruknya nasibmu, setelah kehilangan segalanya engkau menjadi murid seorang datuk kaum sesat...”

“Aku menerima nasib, Kun Liong... dan kuanggap nasibku amat baik, karena bukankah masih ada engkau yang mencintaku?”

Perasaan hati Kun Liong tersentuh oleh pertanyaan ini. Dia balas bertanya,
“Bi Kiok, apakah engkau cinta kepadaku?”

Gadis itu menarik napas panjang.
“Entahlah, aku belum tahu apa itu cinta. Akan telapi semestinya aku cinta kepadamu karena aku senang sekali berada di dekatmu, aku ingin selamanya tidak akan terpisah dari sampingmu, aku kasihan kepadamu, aku suka kepadamu. Ya, kukira aku cinta kepadamu, Kun Liong.”

“Hemm... sayang sekali. Sebaiknya kalau kau tidak cinta kepadaku.”

“Heh? Mengapa?”

“Karena... aku tidak bisa membohongimu dengan pengakuan cinta. Tidak! Aku memang suka dan kasihan kepadamu, Bi Kiok. Akan tetapi, cintakah ini? Kurasa bukan...”

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: