*

*

Ads

FB

Selasa, 25 Oktober 2016

Petualang Asmara Jilid 086

Gadis itu lalu melompat ke atas kudanya dan memberi isyarat dengan tangan kepada pasukannya untuk meninggalkan tempat itu.

“Aihh!”

Perwira brewok itu berseru kaget dan tali yang dipegang ujungnya tadi terlepas dari tangannya. Dia meloncat turun lagi dari kuda, menyambar tali dan begitu dia naik ke atas kudanya, Kun Liong menggerakkan kepalanya dan... tali itu kembali terlepas dari tangan Si Perwira Brewok.

Tentu saja dia marah sekali dan setelah dia meloncat turun dan menyambar tali, dia melibatkan ujung tali itu di tangan kanannya sebelum dia melompat naik ke atas kuda. Kembali Kun Liong menggerakkan kepalanya, Si Perwira mempertahankan sehingga terjadi tarik-menarik dan akhirnya tubuh perwira itu terpelanting dari atas kuda, jatuh berdebuk. Sial baginya, dia jatuh dengan pinggul menimpa sebutir batu sebesar kepalan tangan, maka dia mengaduh dan meringis kesakitan. Beberapa orang perwira lainnya yang tadinya ikut marah, kini hampir tak dapat menahan ketawa menyaksikan perwira yang aneh akan tetapi juga lucu itu.

“Yap Kun Liong, apakah kau benar-benar hendak memberontak dan melawan?” Li Hwa membentak marah.

“Terserah penilaianmu, akan tetapi karena kau yang mencurigai aku, kau yang menawan dan membelengguku, maka harus kau pula yang menuntunku.”

“Manusia aneh dan gila!”

Li Hwa mengomel, akan tetapi karena dia tahu bahwa para perwira bawahannya tidak ada yang mampu menandingi Si Gundul ini, agar tidak menghambat perjalanan dia lalu menyambar ujung tali, meloncat naik ke atas kuda dan dengan demikian menuntun Kun Liong yang duduk sambil tersenyum di atas kudanya dan pandang matanya tak pernah terlepas dari wajah dara yang menawannya itu.

“Tunjukkan aku di mana tempat bokor itu,” kata Li Hwa.

“Memang aku hendak mengembalikan bokor itu kepada gurumu...”

“Bohong! Siapa percaya omonganmu?”

“Percaya atau tidak terserah.”

“Kau tadi bilang hendak menyerahkannya kepada Toat-beng Hoat-su.”

“Siapa bilang aku hendak menyerahkan? Aku hanya bilang bahwa aku hendak menunjukkan dia tempat dimana aku menyembunyikan bokor itu.”

“Hemmm... omongan plintat-plintut! Bukankah itu sama saja?”

“Sama sekali tidak sama. Kalau sudah kutunjukkan tempatnya, belum tentu aku membiarkan dia mengambilnya.”






“Hemm, kalau begitu mengapa kau hendak menunjukkan tempatnya kepada iblis tua itu?”

“Karena... perjanjian!”

Li Hwa menoleh dan memandang Kun Liong dengan penuh selidik. Akan tetapi pemuda itu tetap tenang dan kini dia memperoleh kesempatan banyak untuk menikmati keindahan dagu dan leher itu.

“Kau cantik, Li Hwa...”

Li Hwa mendengus.
“Huh! Lagakmu tiada ubahnya seorang jai-hwa-cat, seorang penjahat golongan hitam yang cabul dan hina!”

“Wah-wah-wah, mengatakan kau cantik apakah merupakan perbuatan jahat, Li Hwa? Kau memang cantik, habis bagaimana? Apakah kau lebih senang kalau aku membohong dan mengatakan bahwa kau buruk?”

“Jangan mengatakan apa-apa!”

Li Hwa membentak dan Kun Liong hanya mengangkat pundak dan alis, menggelengkan kepalanya yang gundul, di dalam hatinya makin heran terhadap sikap wanita. Mahluk yang aneh memang, pikirnya. Setiap berjumpa dengan seorang wanita, lain lagi wataknya dan makin lama makin aneh!

“Hayo jawab!”

Setelah agak lama berdiam, Li Hwa membentak. Dengan tangan kirinya dia membetot tali sehingga kuda yang ditunggangi pemuda itu tersentak maju ke depan. Hal ini adalah karena Kun Liong menggunakan tenaga sin-kang untuk menjepit perut kuda sehingga biarpun dia yang dibetot ke depan, yang merasakan adalah kuda yang ditungganginya! Dia diam saja.

“Kun Liong, hayo jawab pertanyaanku tadi, dimana tempat bokor itu. Tunjukkan kepadaku!”

Tiada jawaban. Li Hwa menengok marah dan matanya mendelik ketika dia melihat pemuda gundul itu duduk tenang di atas kudanya dan tersenyum kepadanya.

“Mesam-mesem jual lagak kau! Ditanya tidak menjawab malah tersenyum-senyum. Memangnya kau gagu?”

“Hayaaa... sudah nasibku, jatuh dari tangan dara manis yang satu kepada tangan dara cantik yang lain, makin lama makin aneh dan makin menarik! Souw Li Hwa, baru saja kau bilang kepadaku bahwa aku jangan mengatakan apa-apa, setelah aku diam tidak berkata apa-apa, kau marah-marah dan memaki aku gagu. Sebetulnya bagaimana sih kehendakmu, Nona cantik?”

Li Hwa menggigit bibirnya. Ingin dia memaki-maki akan tetapi takut kalau didengar oleh para perwira yang berada di belakang. Dia memang mendahului mereka dengan jarak antara sepuluh meter.

“Kun Liong, jangan main-main kaul! Memang kau kira aku ini siapa?”

“Engkau adalah Souw Li Hwa, seorang dara remaja yang cantik jelita seperti bidadari dan gagah perkasa seperti Hoan Lee Hwa (tokoh dalam dongeng Sie Jin Kwi), murid panglima besar yang sakti The Hoo.”

“Kalau sudah tahu, mengapa kau berani kurang ajar?”

“Aihhh... benar-benar aku menjadi bingung menghadapimu, Li Hwa, ataukah aku harus menyebutmu Li-hiap, atau Li-ciangkun? Apa sih kekurang-ajaranku?”

“Beberapa kali kau menyebut aku nona cantik!”

“Lagi-lagi itu! Habis kalau memangnya engkau cantik jelita...”

“Sudahlah... sudahlah!” Li Hwa berkata kewalahan. “Katakan saja dimana adanya bokor emas milik Suhu itu.”

“Kau pimpin pasukanmu melalui sepanjang pantai Sungai Huang-ho sampai... eh, ingatkah kau ketika kau ditawan? Nah, di dekat sanalah, di pantai Huangho yang airnya tidak begitu dalam, banyak batu-batu besar.”

Li Hwa mengerutkan alisnya.
“Kalau begitu, tidak jauh lagi dari sini”

Dia lalu memberi aba-aba kepada pasukannya dan pasukan itu bergerak menuju ke tepi Sungai Huang-ho, kemudian melanjutkan perjalanan di sepanjang sungai. Dalam perjalanan ini, Kun Liong diminta menceritakan bagaimana dia dapat menemukan bokor itu.

Pemuda itu menceritakannya dengan singkat tanpa menyebut nama Bi Kiok dan yang lain-lain. Hanya diceritakan bahwa bokor itu tadinya tercuri oleh Phoa Sek It kemudian hilang di sungai dan secara kebetulan ia menemukannya, betapa kemudian hampir terjatuh ke tangan Phoa Sek It kembali, akan tetapi dia berhasil melarikannya dan menyembunyikannya di tempat itu.

Li Hwa merasa terheran-heran mendengar cerita itu. Semua orang di dunia kang-ouw mencari bokor itu. Dan suhunya juga menyebar orang untuk mencarinya karena suhunya khawatir bahwa kalau bokor terjatuh ke tangan orang jahat, tentu akan membahayakan. Siapa kira, bokor yang menimbulkan heboh itu ditemukan oleh bocah gundul aneh yang lalu menyimpannya begitu saja di pinggir sungai membiarkannya sampai sepuluh tahun!

“Engkau telah salah menangkap orang, Li Hwa. Bukan aku tidak suka menjadi tawananmu, akan tetapi engkau sungguh keliru kalau menyangka aku pemberontak. Apakah Paman Cia Keng Hong tidak melaporkan ke kota raja?”

Mendengar disebutnya nama pendekar ini, Li Hwa terkejut.
“Kami mendengar tentang pemberontakan dari beliau.”

“Ha-ha! Dan tahukah engkau dengan siapa Paman Cia Keng Hong tiba di Ceng-to dan menyaksikan para pemberontak mengadakan perundingan? Dengan aku! Cia-supek (Paman Guru Cia) berpisah dariku setelah kami berhasil menyelamatkan seorang gadis yang tentu kau kenal karena dia mengaku masih cucu murid gurumu, orangnya cantik manis seperti engkau, terutama bibirnya.”

Li Hwa membelalakkan matanya.
“Siapa percaya omonganmu? Yang jelas menurut penyelidikan orangku, engkau melakukan perjalanan bersama Toat-beng Hoat-su, dan kau bermaksud menyerahkan bokor kepadanya.”

“Hanya untuk menyelamatkan seorang gadis.”

“Hemm... gadis lagi!”

“Ya, seorang gadis lain, juga cantik jelita, dibandingkan dengan engkau... hemmm, sukar juga mengatakan siapa lebih manis, seperti bunga mawar dengan bunga seruni!”

Tentu saja yang dimaksudkan bunga seruni adalah Bi Kiok (seruni cantik) sesuai dengan namanya.

“Engkau memang mata keranjang!”

Kun Liong tertawa.
“Semua laki-laki mata keranjang kalau dimaksudkan suka melihat wanita cantik! Mana ada laki-laki yang tidak suka melihat wanita cantik?”

“Yang kau katakan cucu murid guruku itu, siapakah namanya?”

“Gadis dengan bibir manis sekali itu? Liem Hwi Sian...”

“Wah, murid Gak-suheng (Kakak Seperguruan Gak) di Secuan?”

“Mungkin masih ada lagi dua orang suhengnya, kalau tidak salah namanya Poa Su It dan Tan Swi Bu. Dan Liem Hwi Sian itu, selain manis sekali bibirnya, juga dia suka kepada... kepalaku yang gundul. Mungkin kau benci kepada kepalaku, ya?”

“Dimana dia sekarang?” Li Hwa tidak mempedulikan pertanyaan yang dianggapnya kurang ajar itu.

“Sudah diselamatkan Tan Swi Bu. Nah, apakah engkau masih menuduh aku seorang pemberontak?”

“Kita lihat saja nanti keputusan pengadilan di kota raja.”

“Wah-wah, setelah kutunjukkan kepadamu tempat bokor emas, engkau masih hendak menawanku dan membawaku ke kota raja?”

“Tentu saja!”

“Biarpun sudah kuceritakan semua kepadamu?”

“Aku tidak percaya ceritamu.”

“Biarpun aku sudah menunjukkan tempat aku menyimpan bokor kepadamu?”

“Tadinya kau pun menunjukkan kepada datuk kaum sesat.”

“Ha-ha, Nona manis! Mengapa engkau masih menggunakan segala macam alasan kosong? Bilang saja bahwa engkau senang sekali dengan kehadiranku dan tidak ingin segera berpisah dari sampingku. Bukan demikiankah sesungguhnya? Aku pun suka sekali berdampingan denganmu, Li Hwa.”

Li Hwa marah sekali, menahan kudanya sehingga kuda Kun Liong menyusul dekat, lalu tangannya menampar kepala Kun Liong. Pemuda ini dapat mengukur dari tamparan itu bahwa Li Hwa bukan menyerangnya, hanya sekedar melepas kemarahan dengan menamparnya dan hanya menggunakan tenaga biasa, maka dia pun sama sekali tidak mengelak, akan tetapi diam-diam dia mengerahkan sin-kang.

Akan tetapi, kalau tadi dia menggunakan Pek-in-sin-kang yang dipelajarinya dari Tiang Pek Hosiang sehingga kepalanya mampu menahan bacokan golok, sekarang dia menggunakan sin-kang yang dipelajarinya dari Bun Hwat Tosu, yang diciptakan oleh kakek sakti itu untuk melawan Thi-khi-i-beng, yaltu yang mengandung tenaga membetot berdasarkan Im-kang lemas.

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: