*

*

Ads

FB

Selasa, 25 Oktober 2016

Petualang Asmara Jilid 089

Kata-kata pemuda itu juga amat mengherankan hati Li Hwa. Betapapun kagumnya, mana mungkin ada musuh menolong musuhnya? Apalagi pemuda itu tahu bahwa dia adalah pemimpin pasukan pemerintah yang akan membasmi kaum pemberontak!

“Engkau siapakah?”

Yuan de Gama membungkuk dengan lengan kanan melintang di depan perutnya.
“Aku bemama Yuan de Gama. Ayahku adalah Richardo de Gama, pemilik Kapal Kuda Terbang dan...”

“Dan kalian orang-orang asing membantu para pemberontak!”

Yuan de Gama menggeleng kepala dengan penuh penyesalan.
“Aku tidak berniat demikian, Nona. Juga kawan-kawanku tidak berniat membantu pemberontak. Akan tetapi kami hanya ingin mengadakan kontak dagang dengan penduduk pribumi. Karena penjabat pemerintahmu melarang, dan karena para pembesar yang kami bantu ini menyanggupi untuk membolehkan kami berdagang...”

“Sudahlah, apa pun alasannya, yang jelas kalian adalah orang-orang asing yang membantu pihak pemberontak!”

“Memang tiada gunanya kita berdebat tentang itu, Nona. Kita hanyalah pelaksana-pelaksana belaka, yang mengatur semua itu adalah orang-orang atasan. Yang penting sekarang, aku harus menolongmu keluar dari sini dan pada saat seperti ini, kuharap kau tidak menganggapku sebagai musuh, Nona.”

Li Hwa mengerutkan alisnya. Kalau keadaan tidak seperti itu, tentu sudah sejak tadi dia menyerang dan membunuh pemuda musuh negara ini!

“Kalau sampai kau ketahuan menolongku lolos?”

Yuan tersenyum dan menggerakkan pundaknya yang bidang.
“Yaahh, apa boleh buat! Sudah nasibku mati diberondong senapan oleh bekas anak buahku sendiri sebagai seorang pengkhianat.”

Li Hwa bergidik. Dia sudah pernah melihat seorang anak buahnya terluka oleh peluru senapan, senjata rahasia yang mengerikan dari pihak orang-orang asing itu. Dan akibatnya benar-benar mengerikan. Anak buahnya itu meraung-raung karena nyeri dan lukanya itu seperti dibakar rasanya.

“Dan kau rela terancam bahaya untuk menolong aku, seorang musuh?”

“Hiisshh, Nona. Sudah kukatakan, pada saat ini kau bukan musuhku, dan mudah-mudahan aku bukan musuhmu. Engkau bagiku adalah seorang pendekar wanita yang amat hebat dan amat kukagumi. Marilah...”

Kembali Yuan menggandeng tangan Li Hwa dan dara ini menurut saja ketika dia dibawa menyelinap ke sana-sini, kadang-kadang mendekam di balik rumah-rumah atau pohon-pohon. Tak lama kemudian mereka sudah berada di sekitar pagar tembok yang mengelilingi pekarangan itu.

Tiba-tiba terdengar suara dalam bahasa asing. Mendengar ini, Yuan cepat menarik Li Hwa dan keduanya bertiarap, menelungkup di balik rumpun alang-alang. Suara itu adalah suara Hendrik yang berteriak-teriak kepada para penjaga,






“Jangan sampai dia lolos! Tawananku itu adalah pemimpin pasukan musuh yang menyerbu siang tadi. Awas, siapa yang dapat menangkapnya, hidup atau mati, akan kuberi hadiah besar, akan tetapi yang membiarkannya lolos, akan kuhukum!”

Yuan dan Li Hwa bersembunyi sampai suara Hendrik itu lenyap dan orangnya pergi dan dengan lirih Yuan berbisik,

“Tadi adalah Hendrik yang menawanmu. Sekarang semua penjaga di sekeliling perkampungan ini telah tahu bahwa engkau lolos dari tahanan Hendrik dan mereka tentu mengerahkan seluruh perhatian untuk menemukanmu. Hal ini membuat usaha kita makin sulit. Akan tetapi sebelum aku melanjutkan usahaku meloloskanmu, aku ingin mengetahui apakah engkau benar-benar telah percaya kepadaku, Nona?”

“Hemmm... percaya dalam hal apa?”

“Bahwa aku hanya ingin menolongmu, karena kekagumanku terhadap dirimu, tidak ada lain hal yang tersembunyi di balik itu.”

Sampai lama mereka berpandangan dalam gelap, muka mereka tidak begitu jauh jaraknya karena mereka berdua bertiarap di dalam semak-semak. Akhirnya Li Hwa mengangguk.

“Aku percaya kepadamu, sungguhpun aku sendiri heran mengapa aku harus percaya kepada seorang asing, seorang musuh.”

Yuan tersenyum.
“Bagus, Nona. Bolehkah aku mengetahui namamu?”

Kembali Li Hwa meragu. Sampai lama, setelah dia menimbang-nimbang, barulah dia menjawab,

“Namaku Souw Li Hwa, dan guruku adalah Panglima Besar The Hoo.”

“Ya Tuhan...!” Yuan de Gama berseru lirih dan pandang matanya makin kagum lagi. “Nama besar gurumu itu siapa yang tidak tahu? Pantas saja kalau begitu! Kiranya Nona adalah murid orang luar biasa itu?”

“Sekarang bagaimana engkau akan meloloskan aku dari sini? Kurasa jalan satu-satunya hanya menerjang ke luar. Aku tidak takut, biar aku menerjang ke luar dan tidak perlu kau mengkhianati teman-temanmu sendiri.”

“Tidak...! Jangan lakukan itu, Nona...! Penjagaan amat ketat dan mereka telah mempersiapkan senjata api, kau tentu akan tertawan kembali atau tertembak mati. Kalau hal itu terjadi, aku akan menyesal dan hidup menderita selamanya! Marilah, aku mempunyai akal asal engkau benar-henar percaya kepadaku. Mari!”

Yuan lalu menggandeng tangan dara itu menyelinap melalui tempat gelap menuju ke sebuah pintu gerbang yang dijaga belasan orang penjaga terdiri dari perajurit-perajurit pemberontak dan beberapa orang asing.

Li Hwa melihat betapa orang-orang asing itu memegang senjata api mereka dalam keadaan siap. Andaikata dia tidak gentar menghadapi senjata rahasia itu, kalau hanya belasan orang yang menjaga di situ, tentu dia akan sanggup untuk merobohkan mereka, atau setidaknya meloloskan diri dari pintu gerbang itu.

Akan tetapi dia bersama Yuan, kalau sampai mereka mengenalnya bersama-sama pemuda asing yang menolongnya ini tentu Yuan akan dianggap pengkhianat dan pemuda itu akan celaka. Maka dia diam dan menurut saja ketika Yuan menggandengnya mendekati pintu gerbang, tidak tahu bagaimana pemuda itu akan menyelamatkannya.

Ketika Yuan dan Li Hwa sudah tiba dekat sekali dengan pintu gerbang, di bagian yang gelap, tidak tertimpa langsung oleh lampu yang tergantung di pintu gerbang, terdengar seorang di antara para penjaga menghardik,

“Heiii! Berhenti! Siapa di situ?”

Semua urat syaraf di tubuh Li Hwa sudah menegang dan dara ini sudah siap untuk menerjang maju. Akan tetapi Yuan merangkulnya dan berbisik,

“Nona, jangan bergerak. Ingat, kau sudah percaya kepadaku, kau menurut saja...”

Empat orang penjaga berlari mendekati dan pada saat itu, Yuan merangkul leher Li Hwa dan mencium bibir dara ini, mendekap muka itu dengan ketat sehingga muka Li Hwa tidak tampak, tertutup oleh mukanya sendiri. Kemudian, dia mendekap kepala Li Hwa, wajah dara itu disembunyikan di dadanya, dan dia membentak,

“Kurang ajar! Berani kalian mengganggu kesenanganku?”

“Ohhh... ahhh... Tuan Yuan de Ga-ma... maafkan kami! Kami telah menerima perintah agar melakukan penjagaan keras...!”

“Aku tahu!” Yuan membentak. “Dan kalian harus menjaga baik-baik agar panglima wanita musuh itu jangan sampai lolos. Dia pandai sekali, mungkin akan melompati pagar tembok. Tak mungkin dia melalui pintu gerbang. Hemm, sungguh menjemukan, tidak ada tempat yang aman untuk bermain cinta. Aku mau keluar saja, mencari tempat sunyi. Hayo, manis...”

Yuan de Gama menggunakan mantelnya untuk menyelimuti Li Hwa dan dia membawa Li Hwa yang masih dirangkulnya itu keluar melalui pintu gerbang, ditonton oleh belasan orang itu yang saling lirik dan menyeringai.

Li Hwa sendiri sudah hampir pingsan sejak dia diciumi oleh Yuan de Gama tadi. Tubuhnya menggigil, kaki tangannya menjadi dingin dan jantungnya berdebar tidak karuan. Dalam waktu satu malam, dia telah diciumi oleh dua orang laki-laki, dua orang asing dan dicium dengan cara yang sama sekali belum pernah didengarnya, apalagi dialaminya!

Ketika Hendrik mencium dan mengecup bibirnya, dia merasa amat marah, benci, dan muak sehingga dia menggigit bibir pemuda asing itu untuk menyerangnya, membuat bibir Hendrik terluka berdarah dan hampir terobek putus!

Akan tetapi, ketika Yuan de Gama menciumnya, biarpun dia merasa terkejut sekali namun dia maklum bahwa pemuda ini menciumnya bukan karena dorongan nafsu dan bukan untuk berkurang ajar, melainkan untuk menyelamatkannya. Pula, dia merasa bedanya ciuman antara kedua orang pria itu. Ketika Yuan menciumnya, dia merasa seolah-olah tubuhnya melayang naik ke angkasa, tubuhnya lemas dan ia seperti di alam mimpi!

“Ha-ha-ha...!”

Terdengar empat orang asing yang berjaga di situ tertawa-tawa dan bicara dalam bahasa asing yang tidak dimengerti oleh Li Hwa.

“Heran sekali,” kata seorang di antara para penjaga bersenjata tombak, “Tuan Yuan de Gama lebih senang bercinta di tempat terbuka, padahal sudah disediakan kamar-kamar dan tempat tidur yang lunak. Aneh...!”

“Mengapa aneh?” bantah yang lain. “Mereka itu memang mempunyai kebiasaan dan kesukaan yang berbeda dengan kita. Yang untung adalah wanita itu. Hemmm... Tuan Yuan de Gama adalah seorang pemuda yang biasanya pantang bercinta dengan wanita-wanita yang disediakan untuk mereka, dan selain paling tampan, juga paling baik budi dan paling kaya!”

Mendengar kata-kata antara kedua orang penjaga itu, bermacam perasaan mengaduk hati Li Hwa. Akan tetapi semua perasaan ini ditahannya sampai mereka tiba jauh dari pintu gerbang dan tiba-tiba Yuan melepaskan rangkulannya.

“Nah, sekarang sudah aman, Nona Li Hwa.”

Mereka berdiri berhadapan. Bintang-bintang memenuhi angkasa, mencurahkan sinar redup dingin sehingga mereka dapat saling memandang dalam keadaan remang-remang.

“Yuan de Gama...” Li Hwa akhirnya dapat mengeluarkan suaranya. Lirih namun penuh perasaan. “Aku akan menganggapmu sebagai...”

“Yaaa...?”

“Seorang yang baik hati dan...”

“Hemmm...?”

“... sebagai seorang yang kurang ajar!”

“Begitukah, Nona Li Hwa?”

“Untuk kebaikan hatimu, aku berterima kasih kepadamu.”

“Tidak usah berterima kasih!”

“Dan untuk kekurangajaranmu...”

“Kekurangajaran yang mana?”

“... ketika kau... kau menciumku tadi...”

“Aahhh, aku tidak berniat kurang ajar...”

“Betapapun juga, Yuan de Gama, kau telah berlaku tidak sopan, dan untuk itu... aku akan...”

“Yaaa...?”

“Plakkkk!”

Pipi kiri Yuan de Gama ditampar oleh telapak tangan Li Hwa. Dara itu tidak mengerahkan sin-kangnya, akan tetapi tetap saja tamparan itu membuat pipi Yuan kemerahan dan tampak bekas jari-jari tangan kecil di atas kulit pipi itu.

“Nona, terima kasih atas kebaikanmu...”

“Jangan kau mengejek. Aku menamparmu karena mengingat akan kekurangajaranmu tadi.”

“Untuk ciuman-ciuman itu Nona, walaupun kulakukan bukan karena hendak kurang ajar kepadamu atau hendak menghinamu, aku rela menerima tamparanmu, bahkan kalau kau masih penasaran, boleh kau tampar lagi sesukamu...”

“Ehhh...” Li Hwa berseru heran, tidak menyangka pemuda itu akan berkata demikian.

“Benar Nona. Karena... semenjak aku melihatmu, apalagi setelah menyaksikan kegagahanmu, tahulah aku bahwa aku jatuh cinta kepadamu, Nona.”

“Ihhh...!”

“Terserah kepadamu kalau kau anggap aku kurang ajar. Biar kau hendak membunuhku sekalipun, takkan dapat kau memaksaku untuk menarik kembali kata-kataku. Aku cinta kepadamu, Souw Li Hwa...”

“Aihhh...!”

Li Hwa mundur-mundur dengan muka pucat, jantungnya berdebar tidak karuan, kemudian terdengar isak naik dari dadanya, tubuhnya berkelebat dan dia sudah meloncat pergi dari tempat itu.

“Souw Li Hwa, aku cinta kepadamu...” Yuan de Gama berteriak

Naik sedu-sedan di tenggorokan dara itu, akan tetapi dia terus melarikan diri secepatnya, tidak mempedulikan beberapa butir air mata yang turun di atas kedua pipinya. Dia merasa takut. Takut kepada dirinya sendiri. Mengapa dia tidak membenci Yuan seperti dia membenci Hendrik setelah Yuan menciumnya?

Bahkan ada rasa senang dicium oleh pemuda itu? Mengapa hatinya berdebar dengan perasaan nyaman akan tetapi tegang ketika Yuan menyatakan cintanya kepadanya? Padahal ketika Hendrik menyatakan cintanya, dia merasa muak dan terhina?

Li Hwa berlari cepat dan pada keesokan harinya barulah dia dapat bertemu dengan sisa pasukannya. Para perwira menjadi girang sekali ketika melihat munculnya dara itu, dan Li Hwa mendengar dengan hati penuh penasaran betapa pasukannya terpaksa melarikan diri karena kalah banyak dan kalah kuat, apalagi setelah pemimpin mereka, dara perkasa itu lenyap.

"Pasukan mereka lebih besar. Kita harus mencari bantuan. Dan bagaimana dengan tawanan kita, Yap Kun Liong si gundul itu?"

"Kami tidak melihatnya lagi dalam keributan itu, Nona," jawab seorang perwira tua.

"Hemm, apa yang terjadi setelah terjadi peledakan yang membuat aku pingsan dan tertawan musuh?"

Para perwira lalu menceritakan betapa ledakan itu membuat tempat bekas rumah itu berlubang dan sekilas tampak sebuah bokor emas. Karena ada yang berteriak melihat benda itu sebelum air sungai membanjir masuk menutupi lubang, maka terjadilah perebutan dan pertempuran di air yang menutupi tempat itu.

"Lalu, bagaimana? Di mana bokor itu?"

Li Hwa bertanya penuh ketegangan dan tahu bahwa Kun Liong tidak berbohong dan benar-benar bokor emas berada di tempat itu.

"Itulah anehnya, Nona. Tidak ada yang melihat siapa yang telah berhasil mendapatkan bokor itu. Mungkin juga sudah terjatuh ke dalam tangan seseorang. Kami terpaksa mengundurkan diri keluar dari tempat itu karena kalau dilanjutkan, tanpa adanya Nona yang memimpin kami, tentu kami semua akan binasa. Andaikata ada Nona di sana, biarpun diharuskan bertempur sampai hancur semua, tentu saja kami bersiap sedia."

Li Hwa mengerutkan alisnya. Celaka sekali kalau bokor yang sudah hampir ditemukannya itu terjatuh ke tangan orang lain. Dan pasukannya sudah lelah, juga berkurang kekuatannya untuk menyerang sarang pemberontak kurang kuat.

"Kalian tunggu saja di sini, awasi gerak-gerik musuh. Aku sendiri akan melaporkan kepada Suhu dan mendatangkan bala bantuan."

Akhirya dia mengambil keputusan dan pada pagi hari itu juga dia berangkat menunggang
kuda ke kota raja untuk melapor kepada suhunya, Panglima Besar The Hoo.

**** 089 ****
Petualang Asmara







Tidak ada komentar: