*

*

Ads

FB

Selasa, 25 Oktober 2016

Petualang Asmara Jilid 090

Kemana perginya Yap Kun Liong? Pada saat terjadi ledakan, dia dapat menyelamatkan diri dengan bertiarap. Dari tempat dia bertiarap itu, tampak jelas ketika bekas rumah berubah menjadi sebuah kubangan yang dalam dan ketika ada orang berteriak tentang bokor, dia cepat melihat dan dia pun menyaksikan bokor itu sebelum air sungai datang menerjang!

Kun Liong cepat membiarkan dirinya ditelan air sungai dan dia terus merangkak dan menyelam ke arah tempat disimpannya bokor emas itu. Sebelum orang lain sempat mencari bokor karena mereka itu sudah sibuk saling serang di air sedalam pinggang itu, Kun Liong sudah berhasil mengambil bokor emas itu, dimasukkannya di dalam bajunya yang basah kuyup dan dia mempergunakan keadaan kacau-balau itu untuk melarikan diri keluar dari kubangan.

Kalau tidak teringat kepada Li Hwa, tentu dia sudah melarikan diri keluar dari perkampungan itu. Akan tetapi, dia mengkhawatirkan keadaan Li Hwa, maka dia mulai mencari gadis itu setelah pertempuran selesai karena pihak pasukan pemerintah mengundurkan diri keluar tempat itu.

Dari tempat persembunyiannya, dia melihat Li Hwa yang dibelenggu di luar rumah terpencil oleh Hendrik. Akan tetapi sebelum dia dapat turun tangan menolong tiba-tiba muncul Yuan de Gama. Dengan hati penuh rasa suka dan kagum kepada pemuda asing ini, Kun Liong melihat betapa Yuan menyelamatkan Li Hwa.

Bahkan dia terus membayangi mereka ketika mereka berusaha keluar dari tempat itu melalui pintu gerbang. Jantungnya berdebar tegang ketika dia menyaksikan dari tempat gelap betapa Yuan dalam usahanya menyelamatkan Li Hwa, telah mendekap dan mencium gadis cantik itu dengan amat mesranya. Ciuman bibir!

Hatinya makin tertarik untuk melihat bagaimana nanti sikap Li Hwa. Dia mempergunakan kegesitannya untuk melompati pagar tembok selagi para penjaga tertarik perhatian mereka kepada Yuan de Gama.

Ketika dia melihat Li Hwa menampar Yuan dan mendengarkan pembicaraan mereka, diam-diam Kun Liong merasa geli dan dia tertawa sendiri. Akan tetapi hatinya terharu ketika mendengar pengakuan Yuan de Gama tentang cintanya kepada dara itu!

"Hemmm, Yuan, kau seorang laki-laki tolol!" Kun Liong berbisik sendiri. "Begitu mudah jatuh cinta! Cinta seperti itu hanya mendatangkan siksaan di hati sendiri..."

Dia lalu meninggalkan tempat itu, di sepanjang jalan termenung. Kalau dia bersikap seperti Yuan mudah saja menjatuhkan hatinya ke dalam jurang asmara, agaknya sudah beberapa kali dia jatuh cinta. Kepada Hwi Sian, kepada Bi Kiok, kepada Giok Keng dan mungkin kepada Li Hwa sendiri. Tidak, dia tidak akan mudah saja jatuh cinta, biarpun harus dia akui bahwa dia amat suka kepada gadis-gadis jelita itu! Mata keranjang! Entahlah, akan tetapi betapa mata tidak akan merasa nyaman dan sedap memandang, betapa hati tidak akan merasa suka, kalau melihat bunga-bunga indah dan harum? Bunga seruni, bunga mawar, bunga bwee, semua bunga tentu akan mendatangkan rasa suka.

Demikian pula, semua dara yang manis akan menimbulkan rasa suka di dalam hatinya. Akan tetapi cinta asmara? Nanti dulu! Cinta macam itu berarti melekatkan diri kepada seseorang, dan sekali melekat berarti menimbulkan kemungkinan terluka kalau lekatan itu dipaksa terlepas dan putus!






Bokor yang telah kembali kepadanya itu memberatkan hatinya. Dia harus menyerahkan bokor itu kepada yang berhak, yaitu kepada Panglima Besar The Hoo. Sungguh berbahaya kalau terlalu lama berada di tangannya, karena dia tahu betapa semua orang gagah di dunia kang-ouw dan tokoh kaum sesat saling memperebutkan bokor emas ini.

Dia sendiri sama sekali tidak ingin memilikinya, juga setelah tahu bahwa benda ini adalah barang curian, dia sama sekali tidak ingin tahu rahasia apa gerangan yang dikandung benda pusaka yang diperebutkan ini. Makin cepat dia terlepas dari benda ini makin baik!

Selagi dia berjalan seorang diri melalui hutan yang lebat, tiba-tiba tampak olehnya bayangan-bayangan orang berkelebatan dan dia memandang terbelalak ketika dirinya telah terkurung oleh beberapa orang.

Betapa kagetnya ketika dia melihat bahwa di antara sembilan orang itu terdapat para datuk kaum sesat yang telah dikenalnya, yaitu empat orang di antara mereka. Si Kakek Gila Toat-beng Hoat-su, kakek muka hitam Hek-bin Thian-sin yang bersekutu dengan pemberontak, kakek gila raja ular Ban-tok-Coa-ong Ouwyang Kok, dan Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci! Lima orang lainnya tidak dikenalnya, akan tetapi dapat diduga bahwa mereka tentulah orang-orang yang berilmu tinggi!

Ketika melihat bahwa di antara lima orang ini terdapat seorang wanita setengah tua yang cantik, dengan kuku tangan yang panjang meruncing, dia cepat bertanya,

"Apakah Locianpwe yang bemama Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio?"

Para datuk kaum sesat itu, terutama sekali Kwi-eng Niocu, merasa heran sekali menyaksikan sikap pemuda gundul yang amat berani itu. Sudah dikepung oleh sembilan orang termasuk lima orang datuk kaum sesat sehingga boleh dikatakan bahwa nyawanya berada di ambang pintu maut, masih bersikap enak-enak bahkan bertanya kepada Kwi-eng Niocu, seperti orang hendak berkenalan saja!

"Sudah tahu namaku, lekas berlutut dan serahkan bokor kepadaku!" kata Kwi-eng Niocu dengan suara halus, akan tetapi suara halus dan senyum manis wanita ini membuat Kun Liong merasa ngeri karena dia dapat menangkap kekejaman hebat yang bersembunyi di balik sikap manis itu.

Akan tetapi dia tidak peduli, lalu menoleh kepada Bu Leng Ci, bertanya,
"Aihh, Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci juga hadir! Bagaimana Locianpwe, apakah baik-baik saja? Dan mengapa Adik Bi Kiok tidak ikut serta?"

Bu Leng Ci hanya mendelik dengan pandang mata marah, kemudian membentak,
"Berikan bokor kepadaku kalau kau ingin hidup!"

Kun Liong memandang kepada para datuk itu bergantian sambil berkata,
"Hemmm, para Locianpwe hadir semua, Toat-beng Hoat-su, Ban-tok Coa-ong, juga Hek-
bin Thian-sin! Lengkap! Kehormatan apakah yang akan diberikan kepada seorang muda bodoh seperti aku?"

Tiga orang kakek itu saling pandang dan diam-diam mereka ini merasa kagum juga. Bocah gundul itu benar-benar seorang yang memiliki keberanian luar biasa!

"Serahkan bokor!" Serentak mereka berseru.

Kun Liong mengerti bahwa menghadapi lima orang datuk kaum sesat itu, apalagi masih ada empat orang kakek lain yang tak dikenalnya, dia takkan dapat menyelamatkan bokor itu, bahkan dirinya sendiri terancam bahaya maut. Namun dia tidak memikirkan hal itu semua karena dia sudah menjadi marah mempertahankan kebenaran mengenai bokor itu dan berkata nyaring,

"Cuwi adalah orang-orang pandai yang telah terkenal di dunia, mengapa berpemandangan begitu dangkal?"

Dia mengeluarkan bokor dari balik bajunya karena dia dapat menduga bahwa mereka itu yang amat lihai tentu sudah tahu bahwa bokor berada di tangannya, apalagi kelihatan menjendol di balik bajunya. Dia mengangkat bokor tinggi-tinggi sambil melanjutkan kata-
katanya,

"Cuwi (Anda Sekalian) mengerti semua bahwa bokor emas ini adalah pusaka milik Panglima Besar The Hoo yang lenyap dicuri orang. Secara kebetulan saja aku menemukan bokor ini, maka sepatutnya kukembalikan kepada yang berhak."

Melihat bokor emas itu, mata sembilan orang itu melotot dan tangan mereka sudah bergerak hendak merampas. Melihat ini, Kun Liong maklum bahwa agaknya tidak terdapat kerja sama antara mereka! Agaknya mereka itu akan memperebutkan bokor! Maka dia cepat mengangkat tangan kirinya ke atas dan berseru,

"Tahan! Kwi-eng Niocu, engkau telah menyuruh orang-orangmu mengambil dua buah pusaka Siauw-lim-pai, mengapa masih menghendaki bokor? Maukah kau menukar dua pusaka itu dengan ini?"

"Berikan bokor dan akan kukembalikan pusaka Siauw-lim-pai!" jawab wanita itu. "Dan bagaimana engkau akan mengembalikan nyawa Thian Le Hwesio?"

"Bukan kami yang membunuhnya!"

"Niocu, mengapa melayani dia mengobrol? Bocah gundul, berikan bokor itu!"

Hek-bin Thian-sin sudah menyambar ke depan untuk merampas bokor dari tangan Kun Liong. Akan tetapi pemuda ini cepat mengelak dengan loncatan ke kiri. Serbuan Si Muka Hitam itu agaknya merupakan komando karena serentak mereka semua bergerak menubruk!

"Kwi-eng Niocu, terimalah...!"

Kun Liong berseru dan melemparkan bokor itu kepada Ketua Kwi-eng-pang. Tentu saja Kwi-eng Niocu menjadi girang dan cepat menerima bokor itu dan melesat dengan gerakan cepat pergi dari situ.

"Eh-eh, perlahan dulu, Kwi-eng Niocu!" empat orang datuk lainnya juga meloncat dan mengejar!

Empat orang kakek lainnya agaknya merasa ragu-ragu untuk ikut mengejar, maka mereka lalu menubruk Kun Liong sambil berkata,

"Engkau ikut dengan kami!"

Kun Liong tadi sengaja melemparkan bokor emas kepada Kwi-eng Niocu bukan tanpa perhitungan yang matang. Dia tahu bahwa andaikata dia mempertahankan bokor itu pun akan percuma saja dan akhirnya bokornya pun tentu akan terampas dari tangannya. Dia tidak tahu dimana tempat tinggal Toat-beng Hoatsu dan Ban-tok Coa-ong, sedangkan Hek-bin Thian-sin telah bersekutu dengan pemberontak dan orang asing.

Kalau bokor terjatuh ke tangan seorang diantara tiga orang kakek ini, akan sukar baginya untuk kelak mendapatkan kembali. Akan tetapi satu-satunya orang yang dia ketahui alamatnya diantara mereka, adalah Kwi-eng Niocu, dan juga Siang-tok Mo-li, akan tetapi dia lebih condong untuk menyerahkan bokor kepada Ketua Kwi-eng-pang, karena dia masih mempunyai urusan dengan wanita itu mengenai dua buah pusaka Siauw-lim-pai dan kematian Thian Le Hwesio.

"Auuuuhhh...!"

"Heeiiii...!"

"Aduhhh...!"

"Lepaskan...!"

Empat orang kakek itu terkejut setengah mati ketika mereka merasa betapa telapak tangan mereka menempel dan melekat pada tubuh pemuda gundul itu dan yang membuat mereka terbelalak meronta-ronta dengan kaget adalah betapa hawa sin-kang mereka yang tersalur melalui tangan yang mencengkeram itu kini membanjir ke luar memasuki tubuh pemuda gundul itu.

"Ihhhh... lepaskan... apa yang kalian lakukan? Panaaasss... ihh, panas...!"

Kun Liong meronta-ronta. Dia sudah mempelajari Thi-khi-i-beng, sudah menguasai ilmu mujijat ini, akan tetapi belum pernah dia mempergunakannya. Biarpun dia telah mendengar penjelasan dan keterangan Cia Keng Hong, namun begitu sekarang mengalami sendiri betapa hawa sin-kang empat orang itu menerobos memasuki tubuhnya, dia merasa terkejut, ngeri, dan juga geli sehingga dia malah berteriak-teriak dan sejenak lupa bagaimana harus berbuat.

Melihat keadaan Kun Liong, empat orang itu makin mengerahkan tenaga untuk melepaskan tangan mereka. Celaka bagi mereka, makin kuat mereka mengerahkan tenaga, makin hebat pula hawa sin-kang mereka mengalir keluar memasuki tubuh pemuda itu.

Kun Liong gelagapan. Terasa benar betapa tenaga sin-kang lawan membanjiri tubuhnya, membuat napasnya sesak, kepalanya pening. Dengan ubun-ubun terasa berdenyutan keras, dia mengerahkan ingatan akan pelajaran Thi-khi-i-beng dan terdengarlah kembali olehnya penjelasan Cia Keng Hong.

"Thi-khi-i-beng menciptakan daya sedot yang luar biasa dan amat berbahaya kalau hawa
sin-kang lawan tersedot olehmu. Banjir hawa sin-kang itu dapat membuat kau menjadi panik. Kalau kau tidak dapat menguasainya, kelebihan hawa sin-kang yang tiba-tiba memenuhi tubuh itu, kalau menyerang kepala dapat membuat engkau menjadi gila, kalau menerjang jantung dapat membuat jantung pecah. Selain itu, yang tersedot sin-kangnya dapat tewas pula. Maka, yang penting sekali, bersikaplah tenang, gerakkan sin-kang yang membanjir itu ke dalam pusar, kumpulkan di situ dan biarkan berputar-putar di pusar. Akan tetapi jangan lupa untuk lebih dulu membebaskan lawan yang bagian tubuhnya melekat padamu."

Celaka, pikir Kun Liong! Dia telah lupa akan hal yang terpenting, yaitu melepaskan mereka. Cepat dia lalu menggoyang tubuhnya, seperti seekor anjing menggoyang tubuh untuk mengeringkan bulu-bulunya dan... tubuh empat orang itu terlempar ke kanan kiri dan terbanting ke atas tanah dalam keadaan pingsan, wajah pucat dan napas empas-empis!

Kun Liong terhuyung-huyung ke depan, menghampiri empat orang itu dan matanya terbelalak ngeri. Celaka, jangan-jangan mereka itu mati! Akan tetapi tidak, mereka masih bernapas dan dengan hati penuh penyesalan dan ngeri Kun Liong cepat meninggalkan tempat itu. Ngeri dia kalau sampai orang-orang itu mati, mati di tangannya, mati kehabisan hawa sin-kang. Dia merasa seolah-olah menjadi seekor laba-laba yang telah menyedot kering empat ekor lalat, dihisap semua air dan darahnya!

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: