*

*

Ads

FB

Jumat, 28 Oktober 2016

Petualang Asmara Jilid 093

Lengan kirinya dilingkarkan sedapatnya menutupi dadanya yang membusung, tangan kanannya menuding ke arah Kun Liong di sebelah belakangnya dengan marah. Kun Liong bangkit berdiri dan mengulurkan kedua tangan terbelenggu yang kini memegang baju Li Hwa.

“Sabar Nona manis, aku tidak merobek bajumu. Aku hanya ingin melihat tubuhmu seperti kau telah melihat tubuhku. Duhaiii... indahnya, halusnya... hemm...”

“Celuppp...!” Li Hwa sudah berjongkok lagi.

“Kun Liong... jangan... jangan kau goda aku begini...”

Dia hampir menangis, kedua pipinya kemerahan. Kemarahannya yang memuncak masih kalah oleh rasa malu dan bingungnya.

“Siapa menggoda siapa? Kau merobek-robek bajuku dengan sengaja, kau menampar pipiku, kau membelenggu tanganku. Apa saja yang kau lakukan terhadap diriku? Dan aku datang bukan sengaja menelanjangimu, kau bertelanjang sendiri, tidak ada yang menyuruhmu. Siapa menggoda?”

“Kun Liong... demi Tuhan! Kasihanilah, pergilah kau... biarkan aku berpakaian lebih dulu...”

“Kau mau berpakaian? Siapa yang melarang? Nah, berpakaianlah!”

Kun Liong kembali mengulurkan kedua tangannya yang memegang baju sambil tersenyum menggoda, penuh kegembiraan, matanya bersinar-sinar, mukanya berseri dan diam-diam ia kagum bukan main karena baru sekarang dia melihat keindahan tubuh seorang dara, biarpun ditutup-tutupi akan tetapi menambah keindahan yang melampaui apa yang pernah dimimpikannya itu.

“Lemparkan pakaianku ke sini!” Li Hwa berteriak.

Kun Liong menggeleng kepala dan kembali duduk di atas batu.
“Tidak, kau harus mengambilnya kesini.”

“Kun Liong, tidak malukah kau dengan perbuatanmu ini? Kau tidak sopan, kau cabul!”

“Heh-heh, apanya yang cabul? Aku tidak berniat menjamahmu, tidak berniat menggagahimu. Aku hanya ingin melihat dan mengagumi keindahan tubuhmu, seperti engkau telah melihat dan menghina keburukan tubuhku. Nah, apa salahnya?”

“Kun Liong, aku... aku malu. Pergilah kau lebih dulu. Atau kau berpaling, jangan menghadap kesini. Setelah aku berpakaian, baru kita bicara.”

Kun Liong tidak menjawab, hanya menggelengkan kepalanya yang gundul. Kemudian dia bersenandung! Rantai yang membelenggu kedua tangannya dipukul-pukulkan ke atas batu sehingga menimbulkan suara berdencing dan berirama mengikuti suara senandungnya.

Li Hwa masih berjongkok. Kedua pipinya basah, akan tetapi Kun Liong mengira bahwa yang membasahi pipi itu adalah air sungai. Dia belum tahu bahwa sebetulnya sudah ada beberapa butir air mata yang meloncat turun dari sepasang mata yang kebingungan dan kehabisan akal itu.






Betapapun lihainya Li Hwa, betapapun galaknya dia, dalam keadaan bertelanjang bulat di dalam air dan pakaiannya dikuasai oleh Kun Liong, membuat dara ini sama sekali kehabisan akal dan tidak tahu harus berbuat bagaimana. Satu-satunya hal yang dapat dia lakukan hanya memaki-maki dan menangis! Akan tetapi, dia tahu bahwa memaki-maki tidak ada gunanya, sedangkan untuk terang-terangan menangis, dia tidak sudi!

Kini Kun Liong bernyanyi! Suaranya memang cukup merdu, karena sejak kecil dia gemar bernyanyi, dan dia menguasai lagu nyanyian itu, tidak sumbang.

“Sang Dewi mandi di telaga
duhai cantik jelita
perawan remaja!”

“Kun Liong, lemparkan pakaianku kesini!” Li Hwa kembali menjerit.

“Rambutnya awan tipis di angkasa
matanya sepasang bintang bercahaya
dagu dan lehernya... amboiii”

“Kun Liong, kasihanilah aku...!”

“Tubuhnya batang pohon yangliu
penuh lekuk lengkung sempurna
kulitnya lilin putih diraut...”

“Kun Liong...!”

“Hidung mancung bibir...
haiii... gandewa terpentang...
dadanya...”

“Kun Liong!”

“Dadanya... wah, dadanya...”

“Kun Liong...”

Pemuda itu terkejut karena panggilan ini disertai isak. Dia memandang penuh perhatian dan melihat betapa air mata bercucuran dari sepasang mata itu. Dara itu menangis!

“Datanglah seorang penggembala
melarikan pakaian Si Juwita
menangislah perawan remaja...”

Tangis Li Hwa makin mengguguk. Dengan tubuh terendam air sampai ke leher, dara itu menangis, menutupi muka dengan kedua tangannya.

“Li Hwa, jangan menangis. Aku hahya main-main... wah, maafkan aku. Jangan menangis, tak tahan aku melihatnya. Nah, ini pakaianmu. Aku akan berdiri membelakangimu kalau kau malu. Padahal tidak semestinya malu. Kalau aku memiliki tubuh seperti engkau, hemmm... sebaliknya daripada malu, aku malah akan merasa bangga sekali, Li Hwa.”

Melihat pemuda itu sudah berdiri membelakanginya, Li Hwa melangkah keluar dari air, matanya tidak pernah berkejap memandang punggung pemuda itu dan untuk mencegah pemuda itu menoleh, dia cepat berkata sambil menyambar pakaiannya.

“Jadi engkau menjadi penggembala itu?”

“Heh-heh!” Kun Liong terkekeh dan mengangguk.

“Pantas kau berbau kerbau.”

Li Hwa berkata saja, karena maksudnya untuk menarik perhatian Kun Liong agar jangan menoleh sebelum dia selesai berpakaian. Akan tetapi karena tergesa-gesa, kedua tangannya menggigil dan dia menjadi panik. Baru sekali ini selama hidupnya dia merasa betapa sukarnya berpakaian! Seolah-olah pakaiannya membantu Kun Liong menggodanya, mencekik di bagian leher, buntu ketika dimasuki kaki tangannya.

“Sudah selesaikah?” Kun Liong bertanya.

“Nanti dulu...!”

Akan tetapi dengan ketajaman pendengarannya, Kun Liong maklum bahwa dara itu telah selesai mengenakan pakaian dalamnya, maka dia lalu memutar tubuhnya. Dengan penuh kagum dia memandang dara yang kini telah memakai pakaian dalam yang serba ketat dan berwarna merah muda itu.

“Betapa cantiknya engkau, Li Hwa...”

Li Hwa makin panik. Dia membalikkan tubuh dan karena paniknya, dia mengenakan pakaian luarnya dengan terbalik! Setelah selesai, dia melihat Kun Liong tertawa bergelak, maka marahlah dia.

“Jahanam keparat!”

“Ha-ha-ha, pakaian luarmu terbalik. Ho-ho, lucunya! Jahitannya di luar... eh, lucu benar... ha-ha!”

Li Hwa memandang pakaiannya dan merapatkan giginya ketika melihat bahwa benar-benar pakaian luarnya terbalik.

“Hihhh... kubunuh kau...!”

Gerutunya dan direnggutnya terlepas pakaian luarnya lagi, kini saking marahnya tidak peduli lagi kepada Kun Liong, tidak membalikkan tubuh sehingga Kun Liong dapat menikmati tubuh depan yang hanya tertutup pakaian dalam yang tipis merah muda itu.

Setelah mengenakan pakaian luarnya, Li Hwa menggelung rambutnya dan memandang Kun Liong dengan mata bernyala. Kun Liong terpesona. Baru sekarang dia melihat seorang dara menggelung rambut di depannya. Gerakan kedua tangan sepasang lengan diangkat di atas kepala. Betapa manisnya!

“Li Hwa, tahukah engkau akan dongeng penggembala dan puteri yang mandi? Setelah Si Penggembala melarikan pakaian Si Puteri, puteri itu menangis, Si Penggembala merasa kasihan, mengembalikan pakaian dan akhirnya mereka... kawin!”

“Kau... kau...” Muka Li Hwa merah sekali.

“Aahh, jangan marah, Li Hwa. Penggembala itu mengawini Si Puteri Mandi, akan tetapi jangan khawatir, aku tidak akan mengawinimu. Tidak, kita tidak akan menjadi suami isteri seperti mereka.”

Alangkah kaget dan heran hati Kun Liong ketika dia melihat betapa kata-katanya ini malah membuat dara itu marah bukan main. Li Hwa melangkah maju dan dengan mata berapi-api dia berkata,

“Kun Liong, penghinaanmu kepadaku sudah tiada taranya, dan hanya dapat ditebus dengan nyawa! Biarpun engkau mencurigakan dan mungkin bersekutu dengan pemberontak, dan biarpun engkau telah berkhianat dengan menyerahkan bokor kepada Kwi-eng Niocu, namun mengingat engkau murid Bun Hoat Tosu, aku masih segan untuk membunuhmu dan akan menyerahkanmu kepada Suhu. Akan tetapi, penghinaan-penghinaan yang kau lakukan kepadaku merupakan urusan kita pribadi dan harus diselesaikan sekarang juga!”

“Aihh, Li Hwa. Apa maksudmu?”

“Aku tahu bahwa engkau seorang yang memiliki kepandaian dan sebagai murid Bun Hoat Tosu, kiranya engkau tidak diajar menjadi seorang pengecut oleh kakek terhormat itu. Mungkin engkau bukan pemberontak, akan tetapi yang jelas, engkau sudah bersikap kurang ajar dan menghinaku. Mari kita bereskan persoalan antara kita dengan mengadu kepandaian. Kalau aku kalah, aku berjanji tidak akan menawanmu lagi dan bokor itu akan kucari sendiri.”

“Kalau aku yang kalah?”

“Engkau harus berlutut minta ampun atas kekurangajaranmu, selanjutnya menurut segala kehendakku tanpa membantah, atau kau akan kubunuh.”

“Hemm, keputusan yang adil juga. Dan memang aku mempunyai banyak urusan dan sudah mengambil keputusan untuk meninggalkan tempat ini. Engkau tentu akan penasaran kalau belum berhasil memukul jatuh aku, biarpun kau sudah beberapa kali menampar dan memaki. Nah, aku sudah siap!” Kun Liong bangkit berdiri lalu meloncat ke belakang, ke tempat yang datar.

Li Hwa juga menyusul dengan loncatan ringan, akan tetapi dara ini tidak mencabut pedangnya yang sudah diikat di punggungnya. Bahkan dia tidak menyerang, hanya memandang pemuda gundul itu, kemudian berkata,

“Dekatkan kedua tanganmu, akan kubuka dulu belenggumu.”

Akan tetapi Kun Liong menggelengkan kepalanya.
“Biarlah, Li Hwa, kukira hal itu tidak perlu.”

“Hemm, kau kira aku berwatak pengecut, melawan orang yang kedua tangannya terbelenggu? Akan kubebaskan dulu kau.”

“Tidak usah, aku dapat membebaskan kedua tanganku sendiri.”

Kun Liong menggerakkan kedua lengannya sambil mengerahkan tenaga sin-kang. “Krekkrekkk...!” Belenggu kedua tangannya itu patah-patah!

Li Hwa memandang dengan kaget dan kagum, akan tetapi juga marah sekali karena dia tahu bahwa selama ini, Kun Liong sengaja membiarkan dirinya ditawan dan dibelenggu sehingga diam-diam tentu mentertawakannya dan hal itu sama dengan mempermainkannya.

“Bagus! Sekarang tidak perlu kau berpura-pura lagi. Sambutlah!”

Li Hwa menerjang maju, gerakannya cepat bukan main seperti seekor burung walet menyambar, tangan kirinya menampar ke arah ubun-ubun kepala lawan sedangkan tangan kanannya mencengkeram ke arah lambung. Sebuah serangan yang amat dahsyat dan berbahaya karena selain cepat, juga mengandung hawa pukulan yang antep dan kuat. Tidaklah mengherankan karena memang dia telah mengeluarkan jurus ampuh dari Ilmu Silat Jit-goat-sin-ciang-hoat dan menggunakan tenaga sakti Im-yang-sin-kang.

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: