*

*

Ads

FB

Jumat, 28 Oktober 2016

Petualang Asmara Jilid 098

Mendengar suara Kun Liong yang marah, nikouw pertama cepat melangkah maju dan berkata lirih seolah-olah khawatir kalau suaranya terdengar orang lain, padahal di situ tidak ada orang lain kecuali para nikow, Kiang Tojin dan Kun Liong sendiri.

“Harap Siauw-suhu dapat memaafkan dan memaklumi. Tentu saja Twa-suci merasa berat dan malu karena luka itu berada di... di sini...”

Nikouw itu tidak melanjutkan kata-katanya melainkan menepuk pinggul kanannya yang tipis.

Hampir saja Kun Liong tertawa bergelak akan tetapi cepat ditahannya dan dia hanya menutupi mulut dengan tangan kanan, kemudian berkata, suaranya menjadi sabar,

“Hemmm... sebetulnya tidak perlu merasa berat dan malu. Akan tetapi kalau memang malu, ya sudahlah.”

Hening sejenak. Tirai itu bergoyang sedikit, agaknya orang yang duduk di dalam tandu itu mengintai ke arah Kun Liong. Kemudian terdengar suara halus itu.

“Sumoi, mari kita pergi...”

Para nikouw saling pandang dan kemudian nikouw pertama memandang kepada Kun Liong, menggerakkan pundak dan joli itu diangkat kembali.

“Tahan dulu...!” kini Kiang Tojin yang melangkah maju dan mengangkat tangan, “Sungguh sukar dimengerti sikap orang-orang muda. Mengapa perasaan malu yang tidak pada tempatnya itu lebih dihargai daripada nyawa? Mengapa tidak dapat diambil usaha yang tepat untuk pengobatan ini? Misalnya, muka Si Sakit dikerudung sehingga tidak akan dikenal oleh yang mengobati, dan yang diperlihatkan hanya sedikit bagian yang terluka saja. Dengan cara begini, karena mukanya tidak dikenal, perlukah Si Sakit merasa malu-malu lagi?”

Kembali joli diturunkan dan kini para nikouw berbisik-bisik dengan penumpang joli. Mereka mengerumuni joli dan terjadilah “percakapan” bisik-bisik yang menjadi ciri khas wanita, biarpun mereka telah menjadi nikouw berkepala gundul!

Kiang Tojin saling pandang dengan Kun Liong dan kakek itu mengangguk-angguk perlahan. Kun Liong tersenyum dan memuji kecerdikan kakek itu yang dapat mencarikan “jalan keluar” yang baik.

Kini terjadi kesibukan di dalam joli itu. Tak lama kemudian, nikouw pertama menghadapi Kun Liong dan berkata,

“Twa-suci dapat menerima usul Locianpwe, dan kini mempersilakan Siauw-suhu untuk melakukan pemeriksaan dan mengobatinya.”

Kun Liong tersenyum lebar, dan karena wajahnya memang tampan, senyumnya juga manis sekali dan para nikouw itu mengerutkan alis, di dalam hati mereka memaki,

“Hwesio genit!”

Ketika Kun Liong mendekati joli, tirai itu disingkapkan sedikit oleh nikouw pertama, memberi kesempatan kepada Kun Liong untuk memasukkan tubuh atasnya ke sebelah dalam joli. Begitu memandang Kun Liong terbelalak dengan hati geli, kasihan, dan juga kagum sekali.






Geli hatinya melihat Nikouw di dalam itu benar-henar tidak kelihatan orangnya, mukanya dikerudung dan dia menelungkup di atas bangku joli, dan yang tampak tidak tertutup hanya sebuah pinggul kanan sehingga kelihatan lucu sekali. Dan kasihan karena melihat pinggul itu, tepat di tengah-tengah bagian yang menggunung melengkung, terdapat luka yang kecil saja, akan tetapi bagian itu membengkak dan sekitar lubang luka kecil itu berwarna lima macam akan tetapi lebih banyak hitam dan merahnya!

Dan yang membuatnya kagum adalah panggul itu sendiri. Padat dan montok, tidak seperti pinggul nikouw pertama yang tipis, pinggul ini penuh seperti buah semangka, akan tetapi kulitnya putih halus seperti kulit bayi, demikian tipis kulitnya sehingga membayang jalur-jalur urat kecil berwarna merah dan biru!

Melihat bentuk pinggul ini, timbul dugaannya bahwa nikouw yang menjadi twa-suci ini bukan seorang nenek tua, biarpun para sumoinya ada yang sudah berusia mendekati empat puluh tahun. Memang sukar menduga usia seseorang tanpa melihat wajahnya, akan tetapi, biarpun selama hidupnya baru satu kali dia melihat pinggul seorang wanita muda, yaitu pinggul Li Hwa yang hanya kelihatan sedikit karena sebagian tertutup air sungai, namun dia dapat melihat bahwa pinggul yang hanya kelihatan sebelah kanan ini adalah pinggul yang amat bagus!

“Hemmm, memang benar terkena senjata rahasia, agaknya jarum yang mengandung lima macam racun,” kata Kun Liong perlahan. Tubuh yang berkerudung itu bergerak sedikit tanpa menjawab.

Kun Liong mulai memeriksa. Ketika pertama kali jari-jari tangannya menyentuh kulit pinggul, pinggul itu tergetar hebat sehingga jari tangan Kun Liong ikut pula menggigil karena jantungnya berdebar. Baru sekali ini selama hidupnya dia menyentuh pinggul orang, apalagi pinggul telanjang seorang wanita! Dia cepat menenteramkan perasaannya dan melanjutkan pemeriksaan.

Kun Liong kaget. Ternyata jalan darah di sekeliling pinggul telah ditotok dan dihentikan sehingga racun itu tidak menjalar jauh, dan juga ada tenaga sin-kang yang menahan dari sebelah dalam untuk mendorong racun itu tetap berdiam di dalam pinggul itu saja. Kiranya nikouw berkerudung ini adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi!

“Harap jangan mengerahkan sin-kang. Saya hendak mengeluarkan jarum dan racun. Kalau Su-thai (sebutan pendeta wanita) mengerahkan sin-kang, bisa berbahaya.”

Kerudung bagian kepala itu mengangguk dan Kun Liong melihat dua buah mata dari lubang di kerudung itu, sepasang mata yang jeli bening, dan tajam bukan main!

Kun Liong lalu menempelkan telapak tangannya menutupi luka itu. Telapak tangannya merasa betapa halus dan hangatnya bagian tubuh itu. Dia harus melenyapkan pikiran yang menimbulkan guncangan pada hatinya ini, dan mulailah dia mengerahkan sin-kang, mempergunakan Thi-khi-i-beng!

Hanya dengan ilmu inilah dia dapat mengharapkan berhasil mengeluarkan jarum dan racun. Dia pun maklum bahwa ngo-tok merupakan campuran lima racun yang berbahaya sekali kalau memasuki mulut, maka menyedot dengan mulut membahayakan nyawanya, tepat seperti dikatakan Kiang Tojin tadi. Dan obat penyedot yang ampuh tidak ada, maka jalan satu-satunya hanya mempergunakan Thi-khi-i-beng.

“Ihhhh...!”

Nikouw berkerudung itu mengeluarkan seruan tertahan ketika merasa betapa dari telapak tangan hwesio muda itu muncul tenaga sedotan yang amat kuat dan yang seolah-olah akan menyedot seluruh tubuhnya bagian dalam! Otomatis nikouw yang memiliki kepandaian tinggi ini menggerakkan sin-kang-nya untuk melawan dan... tenaga sinkangnya segera membanjir keluar tersedot oleh telapak tangan Kun Liong.

“Ahhh, bodoh...!”

Kun Liong berseru kaget dan cepat menggunakan tenaga sin-kang yang dilatihnya dari Bun Hoat Tosu untuk melepaskan telapak tangan yang melekat dan menyedot itu. Kalau dia tidak melakukan ini, tentu tenaga sakti nikouw itu akan habis disedot olehnya!

Nikouw itu terengah-engah kaget dalam kerudungnya, dan dari luka kecil di pinggulnya keluar darah berwarna hitam!

“Kenapa mengerahkan sin-kang?” Kun Liong mengomel.

“Maaf... maafkan... pinni (saya) terlupa...” Nikouw berkerudung itu berkata.

“Sudahlah, jangan terlupa lagi!”

Kun Liong kembali menempelkan telapak tangan kanannya ke kulit pinggul halus hangat yang mulai berdarah itu, mengerahkan Thi-khi-i-beng.

Darah hitam keluar makin banyak dan akhirnya Kun Liong menarik kembali telapak tangannya. Di atas telapak tangannya menempel sebuah jarum kecil berwarna merah.

“Hemmm... jarum putera Ban-tok Coa-ong...” Kun Liong berseru keras ketika melihat jarum itu.

“Siauw-suhu mengenalnya?”

Nikouw berkerudung itu bertanya sambil melirik ke arah pinggulnya. Dari luka kecil itu kini keluar darah merah agak kekuningan, akan tetapi tidak hitam macam tadi.

“Saya pernah bertemu dengan Ban-tok Coa-ong dan puteranya yang bernama Ouw-yang Bouw.”

“Pinni memang terkena jarum yang dilepas oleh seorang laki-laki yang seperti gila dan yang mengaku bernama Ouw-yang Bouw.” Nikouw itu berkata.

“Hemm, dia memang jahat dan kejam. Racun sudah keluar, tinggal sedikit yang dapat disembuhkan dengan obat minum.”

Kun Liong lalu menuliskan resep obat minum dan obat luar untuk nikouw yang terluka itu. Resep itu dituliskan di atas kain putih yang disediakan oleh para nikouw dan untuk pensilnya dia menggunakan ranting dan getah pohon.

Nikouw itu kini duduk di dalam jolinya dan tirai di depan joli disingkapkan. Dari dua lubang di kerudungnya, sepasang matanya yang bening memandang ke luar, ke arah Kun Liong dan terdengar suaranya yang halus,

“Pinni telah menerima budi pertolongan Siauw-suhu, harap sudi memperkenalkan gelar (nama julukan) dan dimana kuil Siauw-suhu.”

Setelah tugasnya mengobati selesai dengan hasil baik, sambil meneliti jarum merah di tangannya, kemudian menyimpannya dengan hati-hati di saku bajunya setelah membungkuskan rapi dengan sisa robekan kain putih, Kun Liong tak dapat menahan geli hatinya. Dia tertawa, melepaskan kegelian dan kemengkalan hatinya karena selalu orang menyangkanya seorang hwesio!

“Ha-ha-ha-ha! Benarkah kepala gundul menjadi ciri khas seorang hwesio? Benarkah bentuk pakaian menjadi ciri khas para pendeta dan pertapa? Kalau begitu, betapa mudahnya setiap orang mengaku hwesio dan pendeta suci! Menilai isi dengan melihat kulitnya, betapa menyesatkan! Saya bukan seorang hwesio biarpun secara tidak kusengaja kepalaku gundul. Nama saya Yap Kun Liong dan tidak mempunyai tempat tinggal tertentu.” Dia menjura ke arah nikouw di dalam tandu.

Para nikouw terkejut dan muka mereka yang tidak berkerudung menjadi merah. Kiranya mereka semua telah salah menduga dan menganggap pemuda gundul itu seorang rekan mereka! Nikouw di dalam tandu lebih-lebih lagi terkejut dan makin merasa malu. Pinggulnya telah diraba-raba oleh seorang pria muda tampan, bukan seorang hwesio yang sudah bersih hatinya!

“Sumoi sekalian, mari kita pergi!”

Tirai ditutup dan tandu diangkat, dari dalam tandu terdengar suara halus itu,
“Yap Kun Liong-sicu, pinni menghaturkan terima kasih atas budi pertolonganmu, semoga Thian yang akan membalasnya.”

Rombongan nikouw itu pergi dan Kun Liong berdiri memandang dengan senyum lebar dan juga merasa sedikit curiga dan herah mengapa nikouw yang terluka itu sama sekali tidak mau memperlihatkan mukanya! Benarkah karena tidak ingin dikenal setelah terpaksa memperlihatkan pinggulnya yang telanjang? Ataukah ada hal lain yang membuat nikouw itu segan dikenal orang?

“Yap-sicu, kiranya Cia Keng Hong-tai-hiap telah mengajarkan ilmu mujijat Thi-khi-i-beng kepadamu!”

Kun Liong membalikkan tubuh dengan cepat dan memandang heran.
“Bagaimana Totiang dapat mengetahuinya?”

Kiang Tojin tersenyum lebar.
“Hanya Thi-khi-i-beng saja yang mampu menyedot racun dan jarum tadi melalui telapak tangan, Sicu masih muda telah memiliki ilmu kepandaian tinggi, sungguh menguntungkan akan tetapi juga berbahaya sekali. Kalau boleh saya mengetahui, apakah Sicu menjadi murid Cia-taihiap?”

Kun Liong menggeleng kepalanya dan dia tahu bahwa terhadap bekas ketua Kun-lun-pai ini dia tidak perlu berbohong.

“Hanya kebetulan saja Cia-supek mengajarkan Thi-khi-i-beng kepada teecu, Locianpwe. Sebetulnya teecu adalah murid dari Bun Hoat Tosu selama lima tahun dan murid Tiang Pek Hosiang selama lima tahun pula.”

Kiang Tojin membelalakkan kedua matanya, kemudian menarik napas panjang.
“Aaihhh... kiranya Sicu adalah murid orang-orang sakti! Kalau boleh saya bertanya, Sicu hendak pergi kemanakah?”

“Banyak sekali hal yang harus teecu kerjakan, Locianpwe. Pertama-tama teecu harus mencari kembali dua benda pusaka Siauw-lim-pai, yang dirampas Kwi-eng-pang, dan berusaha mendapatkan kembali pusaka bokor emas milik Panglima The Hoo yang terjatuh ke tangan Kwi-eng Niocu. Ke dua, teecu harus mencari kedua orang tua teecu yang sampai kini tidak teecu ketahui di mana adanya. Dan ke tiga... hemmm, teecu harus mencari Ban-tok Coa-ong dan menegur puteranya atas kekejamannya melukai nikouw tadi dengan jarum merah beracun.”

Kiang Tojin makin terkejut dan heran.
“Sicu memang berkepandaian tinggi, akan tetapi Sicu hendak menentang datuk-datuk kaum sesat, sungguh merupakan pekerjaan yang amat berbahaya dan berat. Betapapun juga, mengingat akan guru-guru Sicu, saya tidak akan heran kalau kelak mendengar bahwa mereka itu tewas di tangan Sicu.”

“Wah, siapa yang mau membunuh orang, Locianpwe? Teecu sama sekali tidak ada pikiran untuk membunuh siapapun juga.”

“Ehhh? Kalau menentang mereka, bukankah berarti memancing pertandingan mati-matian?”

Kun Liong menggeleng kepalanya.
“Sama sekali tidak, Locianpwe. Teecu akan mendatangi Kwi-eng pangcu, minta kembali pusaka-pusaka Siauw-lim-pai dan bokor emas, mengajukan cengli (aturan yang beralasan) menegur kepadanya. Juga keluarga Ouwyang Raja Ular itu hanya akan teecu tegur agar lain kali jangan bersikap demikian kejam.”

Kiang Tojin melongo. Sejenak dia tidak dapat berkata-kata. Kemudian dia menarik napas panjang dan menggelengkan kepalanya.

“Aihhh, banyak sudah aku bertemu dengan orang muda yang luar biasa, diantaranya dahulu aku kagum kepada Pendekar Sakti Cia Keng Hong, akan tetapi belum pernah aku mendengar atau bertemu dengan seorang muda seperti engkau, Sicu. Mau mendatangi datuk-datuk kaum sesat dan menegur mereka dengan menggunakan cengli! Kalau tidak mendengar sendiri mana aku dapat percaya? Mudah-mudahan saja kau berhasil, Sicu.”

Kakek itu benar-benar kagum sekali terhadap pemuda gundul itu. Kiang Tojin tahu bahwa pemuda itu telah digembleng oleh dua orang kakek sakti, bahkan telah mewarisi Thi-khi-i-beng, sukar diukur sampai di mana kelihaiannya. Akan tetapi yang membuat dia kagum adalah pendirian pemuda ini yang agaknya tidak mau menggunakan kepandaian untuk membunuh orang, melainkan bermaksud untuk menasihati datuk-datuk kaum sesat! Dulu dia kagum sekali kepada Cia Keng Hong (baca cerita Pedang Kayu Harum) akan tetapi sekarang dia dibikin bengong menyaksikan sikap Yap Kun Liong.

“Terima kasih atas kebaikanmu, Locianpwe, terutama sekali terima kasih atas percakapan yang amat berguna tadi sebelum para nikouw muncul. Uraian Locianpwe tentang hidup tadi banyak membuka mata teecu. Kini teecu akan melanjutkan perjalanan teecu.”

“Selamat jalan, orang muda yang luar biasa. Kuharap saja kalau kelak kebetulan kau lewat di Kun-lun-san, kau suka singgah di Kun-lun-pai”

“Mudah-mudahan, Locianpwe. Selamat berpisah.”

Kun Liong memberi hormat lalu pergi meninggalkan kakek itu yang masih berdiri memandangnya dengan sikap penuh kagum dan terheran-heran.

**** 098 ****
Petualang Asmara







Tidak ada komentar: