*

*

Ads

FB

Jumat, 28 Oktober 2016

Petualang Asmara Jilid 100

“Plok! Plok!”

Dua ekor burung walet yang sedang beterbangan di atas kepala kedua orang datuk itu, tiba-tiba jatuh di depan kaki mereka dan ternyata dua ekor burung itu telah tewas dengan tubuh berlubang-lubang terkena Siang-tok-soa (Pasir Beracun Wangi).

“Bu Leng Ci, engkau anjing betina, pengkhianat!” Kwi-eng Niocu memaki dengan marah.

“Ang-cici, aku sudah menantimu sampai lama sekali di sini! Aku tetap menjadi sekutumu! Mari kita bunuh Si Muka Hitam itu dan bokor ini kita nikmati berdua!”

Akan tetapi Kwi-eng Niocu sudah terlalu marah karena dikhianati dan dia tidak lagi percaya kepada Siang-tok Mo-li, maka dia berkata,

“Tidak perlu banyak cerewet. Aku datang untuk membunuhmu dan merampas bokor!”

“Serrr... serrr...!”

Sinar hijau menyambar ke arah dua orang datuk itu. Tentu saja dua orang sakti yang sudah bersiap sedia ini dapat cepat mengelak dan menghindarkan diri dari ancaman maut Siang-tok-soa. Hek-bin Thian-sin tertawa bergelak dengan nada mengejek.

“Hek-bin Thian-sin!” terdengar teriakan Bu Leng Ci dari dalam guha, “Mari kau bantu aku membunuh Kwi-eng Niocu, dan bokor kita nikmati berdua! Kalau kau tidak mau bersekutu dengan aku, mana mungkin engkau menghadapi dia dan dua orang kakek tua bangka yang lain?”

Kwi-eng Niocu terkejut sekali dan dia sudah siap menghadapi kalau-kalau Si -Muka Hitam itu terkena bujukan Bu Leng Ci yang amat licik itu. Hek-bin Thian-sin meraba-raba dagunya dan mengerutkan alisnya, kelihatan ragu-ragu sekali kembali memandang ke arah Kwi-eng Niocu. Kemudian dia mengomel,

“Hemm... hemm, usulmu itu sebetulnya baik juga... tapi...”

“Thian-sin, jangan gila kau!” Kwi--eng Niocu berseru. “Begitu bodoh tertipu oleh anjing betina itu!”

Saat itu dari dalam guha berkelebat bayangan Bu Leng Ci, didahului pedang samurainya yang menjadi sinar terang menyambar ke arah Kwi-eng Niocu. Tentu saja Kwi-eng Niocu sudah cepat meloncat ke belakang menghindar, lalu menerjang maju lagi menggunakan senjatanya yang tidak kalah ampuhnya dengan segala macam senjata tajam, yaitu kuku-kuku tangannya yang panjang dan beracun!

“Hek-bin Thian-sin, kau pilih saja! Tikus betina tua yang berbahaya ini atau aku yang memegang bokor emas!” Bu Leng Ci masih berteriak sambil menggerakkan samurainya menghadapi Kwi-eng Niocu.

Hek-bin Thian-sin masih berdiri termangu dan memandang dua orang wanita yang sudah bertanding dengan hebat itu.






Di dalam pikirannya terjadi perang sendiri. Membantu yang mana? Kalau dia membantu, tentu seorang di antara dua wanita ini kalah dan tewas, dan dia memperhitungkan kemungkinan-kemungkinannya, tentu saja dengan menekankan keuntungan bagi dirinya sendiri. Senjatanya yang menyeramkan, sebatang golok besar yang tajam mengkilap, telah siap di tangan kanannya.

Pertandingan yang terjadi antara dua orang wanita lihai itu, amat seru dan mati-matian. Pedang samurai yang panjang melengkung sedikit itu telah lenyap bentuknya, berubah menjadi segulung sinar terang yang berkeredepan.

Akan tetapi, gerakan Kwi-eng Niocu bukan main gesitnya. Memang, datuk wanita ini terkenal sekali dengan ilmu ginkangnya sehingga tubuhnya menjadi amat ringan, gerakannya cepat sampai bayangannya lenyap dan karena kelihaian gin-kangnya inilah maka dia dijuluki Si Bayangan Hantu! Biarpun dia tidak memegang senjata namun sepuluh buah kuku jari tangannya merupakan senjata-senjata yang amat ampuh, karena jangankan sampai terkena tusukan, baru terkena guratan sebuah di antaranya saja sudah cukup untuk merobohkan lawan!

Namun, menghadapi Bu Leng Ci yang dia tahu amat lihai ilmu pedang samurainya yang tajam itu, dia harus berhati-hati, karena betapa pun kuat kukunya, kalau sampai terkena sabetan samurai tentu akan patah. Kedua orang wanita ini bertanding dengan bimbang terutama sekali Kwi-eng Niocu yang khawatir kalau-kalau Si Muka Hitam itu terkena bujukan Bu Leng Ci dan akan maju mengeroyoknya. Kebimbangannya inilah yang membuat pertandingan itu menjadi seimbang, biarpun sebenarnya tingkat kepandaian Ketua Kwi-eng-pang ini masih menang setingkat dibandingkan dengan lawannya.

Tiba-tiba Hek-bin Thian-sin tertawa bergelak dan berseru nyaring,
“Ha-ha-ha! Mampuslah kau!”

Goloknya berkelebat menyambar ke arah leher Kwi-eng Niocu! Ketua Kwi-eng-pang ini kaget dan cepat mengelak, akan tetapi tahu-tahu golok itu sudah menyeleweng dan dengan kecepatan yang tak terduga-duga telah membacok ke arah tubuh Bu Leng Ci!

Kiranya kakek muka hitam itu tadi hanya menyerang Kwi-eng Niocu secara palsu untuk mengalihkan perhatian Bu Leng Ci, padahal yang menjadi sasaran goloknya sebenarnya adalah Siang-tok Mo-li. Keputusan ini diambil dan membuktikan kelihaian dan kecerdikan Si Muka Hitam ini.

Biarpun bokor berada di tangan Bu Leng Ci, namun dia mengambil keputusan untuk membantu Kwi-eng Niocu. Dia teringat akan keterangan Kwi-eng Niocu bahwa Bu Leng Ci mempunyai seorang murid yang berjuluk Giok-hong-cu, dan dia sudah mendengar pula akan kelihaian Giok-hong-cu. Bu Leng Ci muncul sendirian dan bokor emas tidak berada di tangannya, tentu berada di tangan Giok--hong-cu itu. Kalau dia membantu Bu Leng Ci dan mereka berdua berhasil membunuh Kwi-eng Niocu, berarti bahwa dia akan berhadapan dengan Bu Leng Ci dan muridnya itu. Ilmu kepandaiannya hanya menang setingkat dibandingkan dengan Bu Leng Ci, maka kalau Siang-tok Mo-li itu dibantu muridnya yang lihai juga, mana dia akan mampu menang?

Sebaliknya, kalau dia membantu Kwi-eng Niocu, tentu Bu Leng Ci dan muridnya dapat dirobohkan, dan kemudian dia hanya akan berhadapan dengan Kwi-eng Niocu seorang! Tentu saja lebih ringan dan lebih besar harapannya untuk dapat merampas bokor.

Bu Leng Ci terkejut bukan main. Dia sama sekali tidak pernah menyangka bahwa Si Muka Hitam itu akan menyerangnya. Tadi ketika mendengar seruan kakek itu dan melihat golok menyambar ke arah Kwi-eng Niocu, dia sudah merasa girang sekali. Siapa mengira bahwa golok itu tiba-tiba membalik dan menyerangnya sedemikian cepat dan hebatnya! Agak terlambat dia menggerakkan samurainya menangkis.

“Cringgg...!”

Bu Leng Ci berhasil menyelamatkan diri dari sambaran golok dengan tangkisannya, akan tetapi karena dia menangkis terlambat dan kedudukannya tidak baik, maka terhuyung dan pada saat itu dia merasa pundaknya perih dan panas!

“Siluman betina...!”

Dia memaki dan terdengar suara ketawa Kwi-eng Niocu yang telah berhasil mencengkeram dan melukai pundak Bu Leng Ci. Dengan kemarahan meluap, Bu Leng Ci tidak mempedulikan lagi sambaran golok di tangan Hek-bin Thian-sin, samurainya meluncur seperti sambaran halilintar ke arah Kwi-eng Niocu. Serangan nekat ini membuat Kwi-eng Niocu terkejut, dan terpaksa dia mengelak. Melihat samurai masih mengancamnya, terpaksa dia menggunakan ujung kuku tangan kirinya menangkis.

“Trakkk...!”

Dia berhasil menyelamatkan diri, akan tetapi dia harus mengorbankan lima kuku jari tangan kirinya yang terbabat putus semua! Dan pada saat itu, golok Hek-bin Thian-sin telah melukai paha kanan Bu Leng Ci. Wanita ini terguling, akan tetapi sambil memutar samurainya, dia sudah meloncat lagi, tidak mempedulikan darah yang muncrat-muncrat keluar dari luka di pahanya.

“Bi Kiok...! Lari...!” Dia menjerit.

Tepat seperti diduga oleh Hek-bin Thian-sin, murid Siang-tok Mo-li memang bersembunyi di dalam guha sambil menanti tanda dari gurunya. Kalau bujukan gurunya berhasil dan Kwi-eng Niocu dapat dirobohkan, dia akan keluar membantu gurunya mengeroyok Hek-bin Thian--sin.

Akan tetapi betapa terkejutnya ketika dari pengintaiannya dara ini melihat keadaan berubah dan terbalik sama sekali. Malah gurunya yang dikeroyok oleh dua orang datuk itu, dan kini gurunya terluka hebat. Sebetulnya ingin dia mengamuk, membela gurunya, akan tetapi karena memang semua telah diatur gurunya, semenjak mereka melarikan diri setelah berhasil menguasai bokor emas, Bi Kiok tidak berani melanggar perintah dan dia lalu melompat keluar dari dalam guha dan terus melarikan diri.

“Haii, hendak kemana engkau?”

Hek-bin Thian-sin yang memang sudah memperhitungkan hal ini, dapat bergerak lebih cepat daripada Kwi-eng Niocu. Dia sengaja mendekati mulut guha dan membiarkan Kwi-eng Niocu melampiaskan kemarahannya karena kehilangan kuku jari tangan kiri kepada Bu Leng Ci sedangkan dia sendiri begitu melihat berkelebatnya bayangan seorang dara cantik, cepat menubruk maju.

“Singgg...!”

Sinar terang meluncur ke arah kakek itu ketika Yo Bi Kiok atau yang berjuluk Giok-hong-cu menusukkan pedangnya kepada kakek yang menghadang di depannya.

“Trangggg...!”

Golok besar itu menangkis dengan pengerahan tenaga hebat sekali, membuat pedang itu terpental dan hampir terlepas dari tangan Bi Kiok! Dara itu maklum bahwa dia tidak boleh terlalu lama melayani lawannya yang amat tangguh, maka sesuai dengan rencana yang telah diatur gurunya, dia melemparkan bokor emas jauh ke kiri.

Melihat ini, Hek-bin Thian-sin cepat mendorongkan tangan kirinya ke arah Bi Kiok. Pukulan jarak jauh ini dahsyat sekali dah Bi Kiok yang tidak menyangkanya, dilanda hawa pukulan sehingga terjengkang. Dadanya terasa panas dan napasnya sesak, akan tetapi dia dapat meloncat bangun dan cepat melarikan diri dari tempat itu. Hek-bin Thian-sin tertawa bergelak ketika dia menyambar bokor emas dengan tangan kirinya, cepat membalikkan tubuh ke arah Kwi-eng Niocu dengan golok siap di tangan kanan.

Kwi-eng Niocu telah berhasil merobohkan Bu Leng Ci. Kegemasannya terhadap adik angkat yang sebetulnya diangkat adik hanya untuk memenuhi muslihat masing-masing, karena Bu Leng Ci telah mengkhianatinya dan telah mematahkan lima kuku jari tangan kirinya, membuat Ketua Kwi-eng-pang ini seperti gila.

Mula-mula, sebuah tangannya berhasil melemparkan samurai dari genggaman tangan Bu Leng Ci yang terluka parah, terkena racun kuku jari Kwi-eng-pang dan pahanya terluka herat oleh golok Hek-bin Thian-sin. Namun Bu Leng Ci yang sudah maklum akan bahaya maut yang mengancam nyawanya, masih nekat melakukan perlawanan, bahkan menubruk maju dengan kedua tangan hendak mencengkeram, kedua tangan yang telah merobek banyak dada pria untuk mengambil jantungnya dan memakannya itu, jari tangan yang amat kuat seperti baja.

Namun karena dia sudah terluka, maka gerakannya kurang cepat dan Kwi-eng Niocu yang maklum pula betapa bahayanya lawan yang sudah menjadi nekat, cepat miringkan tubuh mengelak sehingga tubuh Bu Leng Ci terdorong ke depan oleh gerakannya sendiri. Saat itu dipergunakan oleh Kwi-eng Niocu untuk mencengkeram ubun-ubun kepala lawan dari samping.

“Krekkk...! Auuugghhh...!”

Bu Leng Ci yang terkenal dengan julukan Siang-tok Mo-li, yang namanya amat terkenal ditakuti seperti iblis di daerah selatan pantai laut selatan, kini menjerit mengerikan dan agaknya nyawanya melayang pergi bersama jeritannya itu.

Setelah melihat lawannya tewas, Kwi-eng Niocu memandang Hek-bin Thian-sin yang tersenyum-senyum memandangi bokor emas di tangannya.

“Hek-bin Thian-sin, karena kita berdua yang menemukan bokor itu, dan aku yapg membunuh Siang-tok Mo-li, maka sudah sepatutnya ka1au kita berdua yang berhak atas pusaka itu.”

“Ha-ha, Kwi-eng Niocu. Terhadap Siang-tok Mo-li saja aku sudah tidak dapat terbujuk, apalagi menghadapi engkau. Tentu saja aku tidak percaya. Kalau kau mampu, boleh kau coba merampas bokor ini dari tanganku!”

Kakek muka hitam itu memegang bokor dengan tangan kiri sedangkan golok di tangan kanannya dikelebatkan.

Kwi-eng Niocu bukanlah seorang bodoh. Dalam keadaan tidak terluka sekalipun, kekuatannya seimbang dibandingkan dengan Si Muka Hitam itu dan biarpun dia tidak takut, dia agaknya harus mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk memenangkan datuk timur ini.

Akan tetapi sekarang dia telah kehilangan lima buah kuku jari tangan kirinya. Biarpun tidak terluka, namun malapetaka ini baginya lebih hebat daripada kalau dia terluka karena dia kehilangan separuh dari senjatanya dan karenanya dia tidak akan dapat bergerak leluasa. Dalam keadaan seperti sekarang ini, melawan Hek-bin Thian-sin sama artinya dengan membunuh diri secara konyol. Tentu saja dia tidak sudi membunuh diri. Masih banyak waktu untuk kelak berusaha merampas bokor itu dari tangan Si Muka Hitam. Bukankah tidak ada orang lain yang tahu bahwa bokor yang diperebutkan itu kini berada di tangan Hek-bin Thian-sin? Maka dia tidak menjawab, bahkan cepat dia membalikkan tubuh dan lari pergi dari tempat itu sebelum datuk dari timur itu berpikir lain.

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: