*

*

Ads

FB

Senin, 31 Oktober 2016

Petualang Asmara Jilid 101

Dan memang kepergian Kwi-eng Niocu ini tidak terlambat dan tepat sekali karena setelah datuk wanita itu pergi, Hek-bin Thian-sin mengerutkan alis dan merasa menyesal mengapa dia tidak membunuh saja Kwi-eng Niocu yang sudah kehilangan semua kuku tangan kirinya. Kini dia maklum bahwa setidaknya masih ada bahaya mengancam kepadanya dari satu jurusan, yaitu dari Kwi-ouw tempat tinggal Ketua Kwi-eng-pang itu.

Akan tetapi kegembiraan memperoleh bokor emas yang diidam-idamkan itu membuat dia segera melupakan hal ini dan cepat dia pun lari pergi menuju ke timur karena dia berniat untuk bersembunyi di pantai timur, tempat dimana dia menjadi datuknya dan diam-diam memeriksa rahasia bokor emas yang kabarnya selain mengandung rahasia tempat penyimpanan harta karun yang amat besar, juga mengandung rahasia tempat penyimpanan kitab-kitab pelajaran kesaktian dari Panglima Besar The Hoo!

Dia harus cepat-cepat menyelamatkan diri dan menghindarkan pengejaran dua orang kakek datuk lainnya, yaitu Toat-beng Hoat-su dan Ban-tok Coa-ong, dua orang yang dia tahu amat sakti dan lebih lihai daripada dia sendiri. Selain ini, juga dia harus menghindarkan pertemuan dengan kakek asing botak Legaspi Selado yang selain lihai juga mempunyai banyak kaki tangan, bahkan bersekutu dengan pasukan pemberontak. Tadinya memang dia telah menceritakan tentang bokor kepada Legaspi sehingga menarik perhatian kakek itu yang berjanji untuk membantunya.

Akan tetapi setelah kini bokor terjatuh ke dalam tangannya, dia merasa tidak perlu lagi untuk berurusan dengan kakek asing itu!

Ternyata bahwa Hek-bin Thian-sin terlalu memandang rendah kepada Legaspi Selado. Dia sama sekali tidak mengira bahwa kakek asing yang botak itu selain berkepandaian tinggi, juga amat cerdik, jauh lebih cerdik daripada datuk timur ini! Maka, dapat dibayangkan betapa kaget hati Hek-bin Thian-sin ketika dia menuruni bukit dan tiba di hutan yang mengurung kaki bukit, tiba-tiba saja muncul Legaspi Selado di depannya sambil tersenyum lebar! Terlambat bagi Hek-bin Thian-sin untuk menyembunyikan bokor emas itu dan dengan jantung berdebar dia mendengar kakek asing botak itu menegurnya.

“Ahai sahabatku yang baik Hek-bin Thian-sin Louw Ek Bu! Siapa mengira bahwa kita bertemu di sini dan ternyata engkau telah berhasil menemukan bokor emas itu. Bagus! Mari kita bawa ke kapalku dan disana kita mencari rahasia bokor itu, sahabatku yang baik!”

Biarpun dia terkejut dan khawatir melihat munculnya kakek asing yang sama sekali tidak disangka-sangkanya ini, mendengar ucapan itu, Hek-bin Thian-sin menjadi marah. Dia maklum bahwa Legaspi memiliki kepandaian tinggi, namun dia tidak takut.

“Legaspi Selado, bokor ini adalah aku sendiri yang mendapatkannya, maka tidak mungkin dapat kubagi dengan siapapun juga.”

“Hemmm, begitukah...?”

Kakek botak itu tiba-tiba mengeluarkan suara bersuit nyaring dan bermunculanlah belasan orang dari balik pohon-pohon di sekeliling tempat itu. Mereka ini adalah para perwira pemberontak yang berhasil menyelamatkan diri dan lari ketika Ceng-to diserbu oleh pasukan pemerintah yang dipimpin sendiri oleh Pendekar Sakti Cia Keng Hong.

Bekas perwira ini menyamar dengan pakaian preman dan dipergunakan oleh Legaspi Selado yang juga berhasil melarikan diri bersama teman-teman sebangsanya. Kini, atas isyarat yang diberikan kakek botak itu, mereka telah mencabut senjata golok dan pedang, mengurung Hek-bin Thian-sin.

“Legaspi Selado, mau apa kau?” Hek-bin Thian-sin membentak.

“Ha-ha-ha, Tuan Low Ek Bu! Engkau memang seorang yang murka dan khianat. Di Ceng-to, engkau telah meninggalkan kami. Sekarang, dengan baik aku mengajakmu bersama-sama menyelidiki rahasia bokor, akan tetapi engkau hendak menguasainya sendiri saja. Karena itu, aku tidak sudi bersahabat lagi denganmu. Engkau adalah musuh dan kau harus menyerahkan bokor atau nyawamu!”






“Anjing biadab asing keparat!”

Hek bin Thian-sin memaki dan golok di tangannya sudah diputar cepat, berubah menjadi segulung sinar menyilaukan mata dan mengamuklah datuk timur ini. Dua orang bekas perwira yang menangkis goloknya, berteriak ketika pedang mereka patah-patah dan golok terus menyambar ke arah tubuh mereka, merobek dada dan perut sehingga mereka roboh dan tewas seketika. Seorang lain yang menusukkan pedang dari belakang, dielakkan oleh Hek-bin Thian-sin, goloknya menyambar lagi. Pedang, itu kena dihantam dari samping, mencelat dan pedang itu menancap di dada kiri seorang pengeroyok yang memekik nyaring dan roboh telentang, tewas pula.

Amukan Hek-bin Thian-sin amat hebat. Kepandaiannya tidak dapat dilawan oleh para bekas perwira. Melihat ini, Legaspi menjadi marah sekali. Dilolosnya pecut dari pinggangnya, dan pecut itu digerakkan cepat sekali, meledak-ledak, menyambar ke atas kepala Hek-bin Thian-sin.

“Tar-tar-tar-tarrr...!”

Hek bin Thian-sin cepat mengelak sambil membabatkan golok di sekelilingnya dengan kecepatan luar biasa. Kembali ada tiga orang pengeroyok roboh dan darah muncrat dari luka-luka mereka.

“Mundur semua...!”

Legaspi Selado berteriak marah melihat enam orang anak buahnya tewas oleh sepak terjang lawan yang hebat itu. Dia sendiri sudah menerjang maju dan terjadilah kini pertandingan yang amat seru. Legaspi Selado memperoleh ilmu cambuknya dari Nepal, dilatih oleh seorang ahli cambuk yang banyak terdapat di negara itu. Selain ini, Legaspi sudah banyak mempelajari ilmu silat dan memiliki sin-kang serta gin-kang yang tinggi.

Namun, Hek-bin Thian-sin adalah seorang datuk timur yang lihai. Dengan bokor di tangan kiri kakek ini menggerakkan goloknya, kadang-kadang bertubi-tubi menyerang kadang-kadang golok diputarnya sedemikian rupa sehingga tubuhnya terlindung oleh gulungan sinar, membuat ancaman dan serangan ujung cambuk gagal semua.

Legaspi Selado selama berkenalan dengan Hek-bin Thian-sin, juga baru sekali ini bertanding melawan bekas sekutu ini, maka dia yang terlalu mengandalkan kepandaian sendiri dan memandang rendah orang lain, ketika melihat betapa cambuk saktinya yang selamanya ini sukar menemukan tanding, kini tidak dapat berbuat banyak menghadapi datuk timur ini.

“Tar-tar-tar... wuuttttt...!”

Kini dia merobah gerakan pecutnya. Ujung cambuk itu menjadi sinar hitam melingkar-lingkar di atas, kemudian meluncur ke bawah dan tahu-tahu telah melibat golok Hek-bin Thian-sin. Datuk ini kaget sekali, tentu saja mempertahankan goloknya dengan pengerahan sin-kangnya. Terjadi tarik-menarik, keduanya mengerahkan tenaga sin-kang.

“Trakkk...! Brettt...!”

Golok patah tengahnya dan cambuk juga putus bagian tengahnya. Kedua orang itu mendengus marah, melempar gagang golok dan gagang cambuk, kemudian mereka saling menerjang dengan tangan koseng!

Akan tetapi karena Hek-bin Thian-sin menggunakan tangan kirinya untuk memeluk bokor emas, maka dia hanya mempergunakan tangan kanan dan hal ini membuat dia terdesak hebat. Selagi kakek ini mencari jalan ke luar untuk melarikan diri, tiba-tiba terdengar suara tertawa halus dan dari atas melayang sesosok tubuh yang langsung menerjang kedua orang yang sedang bertanding. Begitu terjun dari atas, tangan kiri orang itu mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Hek-bin Thian-sin dengan gerakan yang dahsyat sekali.

“Aihhh...!”

Hek-bin Thian-sin berteriak kaget, maklum bahwa serangan ke arah ubun-ubun kepalanya itu dapat mendatangkan maut! Maka cepat dia menangkis dengan tangan kirinya dan pada saat itu, tangan kanan Toat-beng Hoat-su sudah merampas bokor emas yang dipegang erat-erat oleh tangan kiri datuk timur.

“Heii... kembalikan!” Hek-bin Thian-sin berseru.

“Serahkan bokor itu kepadaku!”

Legaspi Selado juga berteriak. Dua orang kakek ini mengulurkan tangan untuk merampas bokor, akan tetapi dengan gerakan amat ringan, Toat-beng Hoat-su sudah mencelat ke atas, berjungkir balik dan tertawa melihat betapa Legaspi dan Hek-bin Thian-sin bertumbukan ketika berebut merampas bokor.

Tubrukan ini dipergunakan oleh Legaspi untuk menghantam ke arah dada Hek-bin Thian-sin. Melihat gerakan ini, Toat-beng Hoat-su yang sudah meluncur turun itu pun menggunakan telapak tangan kirinya untuk menghantam punggung Hek-bin Thian-sin.

Diserang secara berbareng oleh dua orang kakek sakti itu, dari depan dan belakang, Hek-bin Thian-sin terkejut, mengerahkan sin-kang dan berusaha menangkis. Namun terlambat. Dada dan punggungnya terpukul, dia berkelojot, matanya terbelalak, mulutnya menyemburkan darah segar, kedua tangannya masih berusaha untuk memukul kedua orang lawan itu, akan tetapi begitu Legaspi dan Toat-beng Hoat-su meloncat mundur, Hek-bin Thian-sin Louw Ek Bu terguling roboh dan tewas seketika. Tentu saja isi dadanya remuk terkena hantaman dua orang sakti dari depan dan belakang itu.

Legaspi Selado memandang kepada Toat-beng Hoat-su dengan mata terbelalak lebar. Dia belum pernah bertemu dengan kakek ini, akan tetapi dari keterangan Hek-bin Thian-sin ketika masih menjadi sekutunya, dia telah mendengar tentang empat orang datuk kaum sesat lainnya, maka kini melihat Toat-beng Hoat-su, segera dia dapat menduganya.

“Toat-beng Hoat-su, berikan bokor itu kepadaku!” bentaknya sambil meloncat ke depan dan serta merta dia memukul dengan kedua tangannya bergantian.

“Ha-ha-ha, anjing asing kau ikut-ikut memperebutkan bokor!” Toat-beng Hoat-su menangkis.

“Dess! Dess! Plak-plal-plakkk!”

Pertemuan kedua tangan secara bertubi ini membuat keduanya terhuyung ke belakang dan keduanya terkejut sekali. Pertemuan tangan mereka tadi telah membuktikan betapa masing-masing memiliki tenaga sin-kang yang berimbang atau kalau ada selisihnya pun tidak banyak. Toat-beng Hoat-su yang sudah berhasil merampas bokor, segera meloncat jauh ke belakang dan melarikan diri keluar dari hutan itu.

“Kejar...!” Legaspi Selado berseru sambil lari mengejar, diikuti oleh sisa anak buahnya.

Akan tetapi, tiba-tiba tampak beberapa orang yang riap-riapan rambutnya melepas anak panah berapi sehingga terjadilah kebakaran di hutan itu yang menghadang Legaspi dan anak buahnya. Kiranya mereka itu adalah orang-orang Nepal yang meniadi anak buah Toat-beng Hoat-su!

Ketika Toat-beng Hoat-su bersama tiga orang datuk lain secara berpencar menyelidiki larinya Siang-tok Mo-li, dia bersama dengan Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok telah berunding dan bermufakat untuk bekerja sama. Mereka maklum bahwa kalau seorang di antara mereka berhasil mendapatkan bokor, tentu mereka akan terpaksa saling bunuh dan mereka tidak akan pernah dapat hidup aman dengan bokor di tangan. Maka mereka mengambil keputusan untuk bekerja sama sehingga kedudukan mereka kuat, dan Ban-tok Coa-ong malah menawarkan tempat persembunyiannya di Pulau Ular, dan orang-orang Nepal itu adalah para pembantunya pula yang kemudian sebagian membantu Toat-beng Hoat-su dan sebagian pula membantu Ban-tok Coa-ong untuk mencari secara terpisah.

Akhirnya, Toat-beng Hoat-su yang berhasil lebih dulu dan bersama anak buah orang-orang Nepal itu dia melarikan diri ke pantai dimana telah menanti sebuah perahu besar yang diberi nama Angin Barat. Toat-beng Hoat-su dan anak buahnya disambut oleh Ban-tok Coa-ong yang telah kembali ke perahu dulu. Tentu saja Ban-tok Coa-ong menjadi girang sekali.

“Biarkan Angin Barat berangkat sendiri, kita berdua menggunakan perahu kecilku!” kata Ouwyang Kok Si Raja Ular itu.

“Mengapa begitu? Bukankah lebih aman naik Angin Barat yang besar?” Toat-beng Hoat-su bertanya.

“Benda ini dicari oleh banyak sekali orang pandai di dunia kang-ouw dan menurutkan ceritamu tadi, tentu Legaspi Selado tidak akan tinggal diam begitu saja. Orang-orang asing itu memiliki kapal besar yang jauh lebih kuat daripada perahu kita, maka kalau sampai kita tersusul di tengah lautan, tentu akan berbahaya sekali. Kapal asing itu mempunyai senjata api besar berupa meriam dan kalau perahu besar kita tenggelam, apa yang dapat kita lakukan? Lebih baik kita naik perahu kecil, perahu nelayan sehingga tidak ada yang menaruh curiga. Kalau kita sudah tiba di Pulau Ular, kita tidak perlu khawatir lagi terhadap serbuan musuh.”

Toat-beng Hoat-su mengangguk-angguk, memuji kecerdikan dan sikap yang berhati-hati ini. Mereka mendahului berangkat dengan sebuah perahu layar kecil yang meluncur cepat biarpun pagi itu tiada angin karena dua batang dayung digerakkan oleh dua pasang tangan yang memiliki kekuatan dahsyat.

Enam orang Nepal itu segera memasang layar, memberangkatkan perahu Angin Barat yang meluncur seenaknya di atas air laut meninggalkan pantai. Akan tetapi, belum jauh dari pantai, orang-orang Nepal yang rambutnya riap-riapan tertiup angin laut itu melihat perahu kecil dengan penumpang tiga orang. Orang yang tadinya duduk di tengah, seorang kakek kurus, tiba-tiba merampas dayung dari tangan temannya dan dialah yang kini mendayung perahu itu mendekati perahu besar Angin Barat.

“Wah, jangan-jangan mereka itu mata-mata musuh!” Pemimpin orang Nepal berkata.

“Jelas bukan perahu nelayan, akan tetapi, kelau perahu pelancong mengapa sampai begini jauh meninggalkan pantai?”

“Kita tabrak saja biar terguling dan menjadi mangsa ikan!” kata temannya.

Pemimpin orang-orang Nepal itu memegang kemudi perahu, diputarnya perahu Angin Barat sehingga kini membelok dan dengan laju meluncur ke arah perahu kecil. Kakek yang memegang dayung, menggunakan kedua tangan mendayung perahu untuk menghindari tubrukan. Memang terhindar, akan tetapi ombak yang dibuat oleh Angin Barat membuat perahu kecil oleng.

“Berpegang erat-erat!” kakek itu berseru, kemudian dayungnya bergerak cepat dan perahu kecil itu meluncur terbang ke atas perahu besar Angin Barat!

Dapat dibayangkan betapa kagetnya orang-orang Nepal itu melihat perahu kecil itu dapat “terbang” ke atas perahu besar mereka. Tentu saja perahu kecil itu bukannya terbang, melainkan terlempar ke atas ketika kakek kurus itu menggunakan dayungnya untuk menekan langkan perahu Angin Barat dan menggunakan kakinya untuk mengait papan di dalam perahu kecilnya. Dari kenyataan ini saja dapat dibayangkan betapa lihainya kakek kurus itu.

Dua orang Nepal hendak menyerbu, akan tetapi kakek itu menggunakan dayungnya menampar dan dua orang itu roboh pingsan! Terdengar suara keras ketika perahu kecil itu mendarat di atas dek perahu Angin Barat, dan empat orang Nepal dengan marah datang menerjang. Kembali dayung itu bergerak empat kali dan empat orang ini pun roboh tak dapat bangkit kembali!

Tentu saja pemimpin orang Nepal yang roboh dan patah tulang pundaknya itu terkejut sekali dan timbul rasa takut di hatinya ketika kakek tinggi kurus itu melangkah menghampirinya.

“Hayo katakan dimana adanya Toat-beng Hoat-su!”

Pemimpin orang Nepal itu makin terkejut ketika mendengar orang tinggi kurus ini membentak kepadanya dalam bahasa Nepal yang cukup baik! Tahulah dia bahwa orang tinggi kurus ini adalah seorang aneh yang berkepandaian tinggi, maka sambil merintih dia berkata.

“Ampunkan... hamba... hamba tidak tahu... kami hanyalah nelayan-nelayan...”

“Hemm... masih berani membohong? Kalian tentu pelarian dari penjaga di Nepal yang belum lama ini memberontak dengan bantuan Ban-tok Coa-ong, bukan? Jangan mengira aku tidak mengerti. Kau berhadapan dengan pengawal pertama dari Panglima Besar The Hoo.”

Mendengar ini, orang Nepal itu dan juga teman-temannya yang sudah siuman terkejut dan cepat mereka menjatuhkan diri berlutut minta-minta ampun adalah orang kurus tinggi itu bukan lain adalah Pengawal Thio Hok Gwan, Si Pengantuk yang lihai itu! Dan orang yang datang bersamanya dalam perahu adalah dua orang pengawal yang selalu menemaninya, yaitu Si Muka Pucat Kui Siang Han dan Si Muka Merah Song Kim!

Setelah selesai menggempur para pemberontak di Sungai Huang-ho, dan mendengar bahwa bokor emas dilarikan Kwi-eng Niocu, Si Pengantuk ini mengajak dua orang teman itu untuk pergi melakukan pengejaran dan hal itu disetujui oleh Souw Li Hwa. Memang pengawal suhunya itu bertugas untuk mencari kembali bokor emas, maka dia mengalah dan dialah yang mengawal tawanan ke kota raja, setelah dia membebaskan Yuan de Gama.

“Aku sudah tahu bahwa Kakek Toat-beng Hoat-su pagi tadi kalian bantu di hutan, kemudian lari ke perahu Angin Barat ini. Hayo katakan kemana dia pergi bersembunyi.”

Tahulah kini orang-orang Nepal itu bahwa mereka tidak mungkin dapat membohong lagi.

“Dia bersama dengan Ban-tok Coa-ong telah pergi dengan perahu layar kecil ke Pulau Ular.”

“Pulau Ular? Dimana dia itu? Tempat apa?” Tio Gwan membentak.

“Kami sendiri belum lama dibawa oleh Ban-tok Coa-ong ke tempat itu, dan letaknya di bagian selatan Teluk Pohai. Pulau kosong yang amat berbahaya, penuh ular berbisa.”

Tio Hok Gwan tidak berani sembrono melakukan pengejaran ke pulau itu. Dia tahu betapa lihainya Toat-beng Hoat-su. Menghadapi datuk pertama ini saja belum tentu dia dan dua orang pembantunya dapat menang, apalagi di sana masih ada Ban-tok Coa-ang yang amat lihai dan berbahaya, dan kabarnya putera dari Raja Ular itu juga amat lihai, ditambah lagi dengan tempat berbahaya penuh ular dan mungkin anak buah mereka yang banyak jumlahnya.

Dia lalu memerintahkan dua orang pembantunya untuk melayarkan perahu Angin Barat itu ke pantai, kemudian menyerahkan enam orang Nepal itu sebagai tahanan di kota terdekat dan dia sendiri bersama dua orang pembantunya, segera kembali ke kota raja untuk melaporkan kepada Panglima Besar The Hoo akan bokor emas yang kini berada di Pulau Ular!

**** 101 ****
Petualang Asmara







Tidak ada komentar: