*

*

Ads

FB

Senin, 31 Oktober 2016

Petualang Asmara Jilid 103

Pendekar sakti itu lalu bertepuk tangan dan menggapai kepada seorang penjaga di luar pintu gerbang kota Liok-bun yang tampak dari situ. Perajurit yang memegang tombak itu berlari-lari mendatangi dan memberi hormat kepada pendekar ini. Cia Keng Hong menyuruhnya mengambilkan kertas dan alat tulis. Penjaga itu cepat berlari memasuki pintu gerbang kota Liok-bun. Tak lama kemudian dia datang berlari-lari membawa kertas lebar bergulung dan alat tulis yang diminta pendekar itu. Kemudian, penjaga itu berdiri agak menjauh sambil berdiri dengan tombak tetap di tangan, berjaga dan menanti perintah selanjutnya dari pendekar itu.

Cia Keng Hong lalu mulai membuat gambaran telaga dan pulaunya sambil memberi petunjuk kepada Kun Liong yang memandang penuh perhatian.

“Tepi Telaga Kwi-ouw dari tiga jurusan, yaitu barat, selatan dan timur, merupakan daerah yang kelihatannya datar dan aman, akan tetapi justeru tiga bagian inilah yang paling berbahaya bagi para pendatang dari luar. Tiga daerah ini penuh dengan alat-alat jebakan yang berbahaya sekali.”

“Akan tetapi, Supek. Ketika teecu ikut dengan perahu pelayan itu, teecu juga melalui dari selatan.”

“Karena pelayan itu telah mengenal daerahnya, tentu saja dia dapat mendayung perahunya dengan aman. Di bagian selatan itu, di bawah permukaan air terdapat banyak sekali ranjau yang berupa batu karang di bawah permukaan air, akan tetapi sekali saja disentuh oleh perahu asing, anak panah yang banyak sekali dan yang sudah dipasang di dalam batu karang buatan itu akan meluncur ke luar dan menyerang penumpang perahu secara tiba-tiba dan hebat sekali. Selain ini, begitu orang mendarat di pulau itu dari selatan, biarpun di situ penuh pasir, namun terdapat begian pasir yang berputar dan menyedot kaki orang yang menginjaknya sehingga tanpa petunjuk orang yang mengenal daerah itu, sekali kakimu terseret, sukarlah bagimu untuk menyelamatkan diri.”

Kun Liong terbelalak dan bergidik ngeri.

“Daerah barat yang amat berbahaya karena penuh dengan lubang-lubang jebakan yang tertutup dengan rumput hidup, dan di dalam setiap lubang terisi banyak ular berbisa yang siap menyambut setiap orang yang terjeblos masuk. Juga air di bagian itu banyak sekali terdapat ganggang yang hidup di bawah permukaan air, penuh dan dapat mendamparkan perahu yang lewat. Tentu saja bagi mereka yang sudah hafal, mereka tahu bagian mana yang tumbuhan ganggangnya tidak begitu banyak dan dapat dilalui perahu.

Kemudian bagian timur, biarpun tidak dipasangi jebakan pada permukaan air telaga, namun di situ terdapat air berpusing yang amat berbahaya, dapat menyeret dan menyedot perahu ke dalam pusingan air. Agaknya ada sebuah lubang besar di bagian ini yang menciptakan air berpusing. Sedangkan di daratan pulau di timur ini terdapat alat-alat rahasia yang kalau dilanggar kaki asing, akan membuat timbunan batu besar yang menggunung di bagian ini runtuh ke bawah dan tentu saja akan menyerang para pendatang, sukar untuk menyelamatkan diri dari serangan batu-batu besar itu.”

“Ihhh, keji sekali!”

Kun Liong berseru dan merasa lega bahwa dia telah diberi tahu akan hal-hal yang membahayakan itu sehingga dia dapat lebih berhati-hati.






“Satu-satunya jalan adalah dari utara. Akan tetapi bagian ini yang bersih dari jebakan merupakan daerah yang amat sukar didatangi. Tepi daratan pulau di bagian ini amat terjal, merupakan tebing tinggi yang curam sekali dan tidak mudah didaki dari bawah.” Cia Keng Hong membuat lukisan tebing tinggi itu sambil memberi penjelasan. “Akan tetapi, sahabatku itu pernah melihat beberapa kera memanjat ke atas dan hal ini memberi dia petunjuk bagaimana caranya mendatangi pulau dengan aman. Yaitu dengan memanjat akar-akar yang menonjol keluar di dinding tebing itu, memanjat melalui akar dan batu menonjol. Tentu saja hal ini harus dilakukan dengan hati-hati, membutuhkan keringanan tubuh dan kecekatan, karena biasanya hanya monyet saja yang dapat memanjat ke atas. Sekali injakan kaki atau pegangan tangan terlepas, engkau akan terjatuh ke bawah dan tentu takkan dapat menghindarkan diri lagi dari maut.”

“Agaknya, memang jalan melalui tebing itu yang paling aman,” Kun Liong berkata sambil memandang lukisan supeknya.

“Betapapun juga, engkau harus berhati-hati sekali karena siapa tahu bahwa Kwi-eng-pang yang kuat itu kini telah memasangi jebakan pula pada jalan paling sukar akan tetapi paling aman ini.”

Tiba-tiba perajurit yang tadi berdiri berjaga dengan tombak di tangan berseru,
“Tai-hiap, Liu-ciangkun datang menghadap!”

Kun Liong menoleh dan Cia Keng Hong memandang seorang perwira yang bertubuh tinggi besar. Perwira itu cepat memberi hormat kepada pendekar sakti itu dan berkata,

“Seorang utusan dari kerajaan datang membawa sepucuk surat yang disampaikan kepada Tai-hiap, dari Panglima Besar The Hoo sendiri.”

Cia Keng Hong menggulung gambar itu, menyerahkannya kepada Kun Liong, kemudian dia bangkit berdiri dan menerima sampul tertutup. Setelah mengucapkan terima kasih dan perwira itu pergi pula dan berdua dengan Kun Liong, pendekar itu kembali duduk di bawah pohon dan membuka surat dari Panglima Besar The Hoo.

Wajahnya yang masih tampan dan gagah tidak membayangkan sesuatu ketika membaca surat itu sehingga sukar bagi Kun Liong untuk menduga apakah surat itu membawa berita baik ataukah buruk. Setelah selesai membaca, Cia Keng Hong melipat surat, menyimpan ke dalam saku jubahnya, memandang Kun Liong dan berkata,

“Ahhh, sungguh hebat sekali, bokor emas itu benar-benar menimbulkan geger di dunia kang-ouw. Kun Liong, bokor itu telah terlepas lagi dari tangan Kwi-eng Niocu seperti yang kau ceritakan kepadaku dan kini bokor itu berada di tangan Toat-beng Hoat-su dan Ban-tok Coa-ong. Mereka membawa bokor itu ke Pulau Ular! Panglima Besar The Hoo mendengar laporan ini dari Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan. Hemmm, Pulau Ular di Teluk Pohai. Berbahaya sekali! Dan Nona Souw secara lancang pergi sendiri melakukan penyelidikan ke sana!”

Kun Liong terkejut.
“Apakah Supek maksudkan Nona Souw Li Hwa?”

“Engkau sudah mengenalnya?”

“Sudah beberapa kali teecu berjumpa dengan Nona Souw Li Hwa,” jawab Kun Liong singkat. Dia merasa malu kalau harus menceritakan betapa dia pernah menjadi tawanan nona cantik! “Bukankah dia murid Panglima Besar The Hoo?”

“Memang dari gurunya dia mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi. Akan tetapi dia masih amat muda dan belum berpengalaman. Bagaimana dia begitu lancang untuk pergi seorang diri ke Pulau Ular? Betapa mungkin dia dapat melawan dua orang datuk kaum sesat yang lihai itu? Ah, sungguh mengkhawatirkan sekali. Panglima The Hoo minta kepadaku untuk merampas kembali bokor itu, akan tetapi berita tambahan tentang kepergian nona itu ke Pulau Ular, benar-benar membikin gelisah.”

“Supek, kalau begitu, biarlah teecu lebih dulu menyusulnya kesana.”

Cia Keng Hong memandang kepadanya. Dia maklum bahwa pemuda ini memiliki ilmu kepandaian yang hebat, apalagi kini telah menjadi pewaris Thi-khi--i-beng sehingga boleh diandalkan. Dia sendiri harus mengepung Pulau Ular itu karena kalau dia menyerbu begitu saja, kedua orang datuk itu akan dapat melarikan diri dan membawa bokor emas. Maka dia harus mengepung ketat pulau itu, barulah dia akan turun tangan. Dengan demikian, dua orang datuk itu tidak akan mendapat kesempatan untuk membawa lari bokor emas milik Panglima The Hoo itu.

“Baiklah kalau kau suka membantu, Kun Liong. Memang bokor itu perlu sekali diselamatkan. Kalau sampai terjatuh ke tangan penjahat, bisa berbahaya. Bokor itu selain mengandung petunjuk tempat rahasia penyimpan harta pusaka terpendam yang amat besar jumiahnya, juga penyimpanan kitab-kitab pusaka pelajaran ilmu silat yang mujijat. Demikian menurut keterangan yang kuperoleh dari Panglima The Hoo sendiri. Bokor itu dahulu milik seorang pendeta perantau berilmu tinggi yang kemudian meninggal dunia di Nepal. Setelah berpindah-pindah tangan, akhirnya bokor itu terjatuh ke tangan Panglima The Hoo dan sampai sekarang, belum ada yang dapat membuka rahasia tempat penyimpanan pusaka itu.”

Kun Liong mengangguk-angguk.
“Memang teecu harus ikut berusaha mendapatkannya kembali, bukan hanya mengingat bahwa teecu ikut bersalah membiarkan bokor terjatuh ke tangan datuk kaum sesat, juga dahulu teecu sudah berjanji kepada perwira pengawal Tio Hok Gwan untuk kelak menghaturkan bokor itu kepada Panglima The Hoo sendiri!”

Kun Liong tidak mendapat keterangan sejelasnya tentang letak Pulau Ular, kemudian dia menerima bekal secukupnya dari Cia Keng Hong, karena untuk keperluan itu dia harus membeli sebuah perahu di pantai Pohai. Setelah menerima petunjuk dan nasihat, Kun Liong berangkat secepatnya seorang diri menuju ke daerah Teluk Pohai, sedangkan Cia Keng Hong lalu berunding dengan para perwira yang memimpin pasukan pemerintah untuk mengatur siasat, mengepung Pulau Ular dan mengatur persiapan.

**** 103 ****
Petualang Asmara







Tidak ada komentar: