*

*

Ads

FB

Senin, 31 Oktober 2016

Petualang Asmara Jilid 107

“Ha-ha-ha, Nona manis, marilah kita main-main!” Orang Nepal itu berkata dengan logat bicaranya yang kaku.

Ketika tubuhnya sudah meluncur dekat, tiba-tiba Li Hwa membalik, kepalanya di bawah dan kedua tangannya seperti seorang yang kebingungan hendak mencari pegangan, akan tetapi begitu kedua tangan raksasa itu menangkap pinggang dan pundaknya, Li Hwa sudah menggerakkan kedua jari telunjuknya untuk menotok ke arah pundak dan tengkuk.

“Cusss! Cusss!”

“Auggghhh...!”

Tubuh raksasa itu terguling dan cengkeraman kedua tangannya terlepas. Dia telah terkena serangan Ilmu Menotok Jalan Darah It-ci-san yang amat lihai. Biarpun tubuhnya kebal, namun totokan satu jari yang amat hebat itu dengan tepat mengenai jalan darahnya sehingga untuk sesaat tubuhnya seperti lumpuh yang menyebabkan tubuhnya terguling.

Kesempatan ini tidak dibiarkan lewat begitu saja oleh Li Hwa. Jari tangan kirinya menjambak rambut panjang lawannya dan dengan pengerahan tenaganya, ditariknya tubuh itu ke atas dan kemudian tangan kanannya yang dimiringkan menghantam ke arah tengkuk.

“Krekkkk!”

Tubuh itu terkulal dan raksasa Nepal itu roboh pingsan! Semua orang yang menonton pertandingan itu terbelalak, sama sekali tidak mengira bahwa raksasa Nepal yang terkenal hebat dan amat kuat itu roboh hanya dalam dua tiga gebrakan saja!

“Tidak salah lagi, dia murid The Hoo...!” Toat-beng Hoat-su berkata lirih.

Ban-tok Coa-ong mengangguk.
“Benar, tadi tentu It-ci-san yang terkenal dari The Hoo...”

Ban-tok Coa-ong kini menggapai kepada seorang Han yang tubuhnya pendek kecil, amat kurus seperti rangka hidup, mukanya pucat dan sepasang matanya yang cekung itu mengerikan sekali.

“Pek-mo (Iblis Putih), tangkap dia!”

Laki-laki bermuka pucat yang usianya tentu sudah lima puluh tahun lebih itu mengangguk, mengeluarkan suara rintihan panjang seperti orang menangis dan tiba-tiba, tubuhnya sudah mencelat ke depan Li Hwa, matanya yang cekung bersinar mengerikan dan ketika mulutnya meringis, ternyata di dalam mulutnya tidak terdapat gigi sepotong pun!

Li Hwa memandang penuh perhatian. Keadaan tubuh orang ini sungguh merupakan kebalikan dari keadaan raksasa Nepal tadi. Kalau raksasa Nepal tadi membayangkan kekuatan dahsyat, orang ini sebaliknya kelihatan seperti seorang berpenyakitan yang sudah berdiri di ambang kuburan. Kelihatan lemah dan agaknya hembusan angin yang agak besar saja sudah akan cukup untuk merobohkannya.






Akan tetapi Li Hwa tidak tertipu oleh keadaan luar, dan dia sudah dapat menduga bahwa orang yang kecil seperti mayat hidup ini tentulah memiliki kepandaian yang tinggi dan memiliki tenaga sin-kang yang kuat. Baru caranya meloncat ke depan tadi saja sudah membuktikan betapa Si Mayat Hidup ini mempunyai kegesitan yang tak boleh dipandang ringan! Maka tanpa menanti gerakan lawan, tanpa sungkan-sungkan lagi dia sudah menerjang ke depan dan menyerang Si Mayat Hidup itu dengan totokan-totokan maut!

Orang kurus kecil itu mengeluarkan pekik menyeramkan, kemudian tubuhnya bergerak dan bersilat dengan cara yang aneh namun gesit sekali. Bagaikan gerakan seekor monyet, orang itu dapat menghindarkan totokan-totokan Li Hwa dan membalas dengan serangan yang berupa cengkeraman-cengkeraman. Yang hebat, kalau tadi jari tangannya kelihatan biasa, kini jari tangan itu menjadi bertambah panjang oleh kuku-kukunya!

Ternyata orang itu mempunyai kuku-kuku jari yang aneh, yang dapat digulung dan kalau perlu dengan kekuatan sin-kangnya, kuku yang tadinya bergulung itu dapat menegang dan panjangnya setiap kuku tidak kurang dari sepuluh senti!

“Brettt...!”

“Aihhh...!”

Li Hwa menjerit kaget ketika ujung bajunya kena dicakar dan robek. Hal ini adalah karena dia tidak mengira bahwa kuku jari itu dapat memanjang maka ketika cengkeraman lawan dapat dielakkan, kuku-kuku yang memanjang itu masih dapat mencakar ujung bajunya. Untung bukan kulit lambungnya yang kena dicakar!

Marahlah Li Hwa. Dia tahu sekarang bahayanya lawan ini, maka dia cepat menggerakkan tubuhnya mainkan jurus-jurus pilihan dari Jit-goat-sin-ciang-hoat, yang sukar dicari tandingannya itu. Gerakan kedua tangannya yang menyerang terisi dengan tenaga Im-yang-sin-kang, dan kadang-kadang pukulannya dicampur dengan It-ci-sian mengarah jalan darah yang berbahaya.

Ternyata bagi Li Hwa bahwa lawannya ini hanya kelihatannya saja menyeramkan dan berbahaya. Padahal ilmu silatnya hanyalah ilmu silat golongan hitam yang hanya berbahaya tampaknya dan tidak memiliki dasar yang kuat. Kalau berhadapan dengan ahli silat biasa, tentu Si Mayat Hidup ini merupakan lawan yang berbahaya sekali dan setiap serangannya dapat mendatangkan maut.

Akan tetapi terhadap dia yang sudah menerima gemblengan seorang sakti seperti The Hoo, segera dara ini dapat melihat kelemahannya. Setelah bertanding selama tiga puluh jurus, tiba-tiba Li Hwa mengerahkan khi-kang, membentak keras sekali, kedua kakinya seperti kitiran angin melakukan tendangan Soan-hong-twi (Tendangan Angin Puyuh) sehingga lawannya merintih panjang dan terpaksa mengelak ke kanan kiri untuk menghindarkan tendangan bertubi-tubi yang amat berbahaya itu. Tiba-tiba tangan kiri Li Hwa bergerak dari atas, dikebutkan ke arah pundak lawan.

“Krekk!”

Si Mayat Hidup mengeluh dan sebuah tendangan tepat mengenai pinggulnya sehingga tubuh yang ringan itu terlempar sampai empat meter dan terbanting roboh. Disitu dia merintih karena tulang pundaknya terlepas dan pinggul yang tidak berdaging itu menjadi biru!

Terdengar orang bersorak. Kiranya Ouwyang Bouw yang bersorak
“Hidup calon isteriku yang perkasa!” Dia berlari menghampiri Li Hwa dan menjura dengan hormat. “Terimalah rasa kagum dan hormatku, Nona Souw calon isteriku yang cantik dan gagah perkasa!”

Biarpun dia sudah menjaga diri agar tidak terserang marah, menghadapi pemuda ini, naik juga darah Li Hwa. Mukanya menjadi merah, matanya mendelik mengeluarkan sinar berapi dan dia membentak.

“Orang gila menjemukan! Mampuslah!”

Tamparan tangan kiri Li Hwa itu sama sekali tidak ditangkis oleh Ouwyang Bouw yang hanya mengangkat sedikit kepalanya ke atas sehingga telapak tangan Li Hwa yang menampar kepala itu mengenai pipinya.

“Plakk...!”

“Wah, terima kasih, Nona. Telapak tanganmu sungguh halus, hangat, dan harum sekali!” kata Ouwyang Bouw sambil mengelus-elus pipinya yang kena tampar.

Bukan main marahnya hati Li Hwa, apalagi mendengar suara ketawa anak buah Pulau Ular yang tertawa-tawa. Dia maklum bahwa pemuda gila ini tidak boleh disamakan dengan jagoan Nepal dan Si Mayat Hidup tadi, dan dia pun maklum bahwa dia tidak dapat mundur lagi. Melarikan diri tak mungkin, maka jalan satu-satunya hanya mengadu kepandaian untuk menuntut dikembalikannya bokor emas atau kalau perlu berkorban nyawa.

“Srattt...!”

Li Hwa sudah mencabut pedangnya. Dengan sikap gagah dia lalu berkata kepada Ban-tok Coa-ong,

“Ban-tok Coa-ong, engkau sebagai tuan rumah di pulau ini, majulah. Mari kita tentukan siapa yang herhak membawa bokor emas di ujung pedang. Jangan mengajukan anakmu yang gila!”

“Ha-ha, Nona Souw yang manis, calon isteriku yang cantik. Jangan begitu, ah! Menggodaku beleh saja, tapi jangan keterlaluan. Aku memang gila, siapa tidak akan tergila-gila memandang wajahmu yang cantik manis? Engkau ingin main-main dengan pedang? Baik, mari kulayani. Memang calon suami isteri harus mengenal kelihaian masing-masing!”

Pemuda sinting itu menggerakkan tangan kanannya dan sebatang pedang yang berbentuk tubuh ular telah tercabut keluar. Sambil melintangkan pedang ular yang mengerikan itu di depan dada, Ouwyang Bouw memasang kuda-kuda dengan lagak yang dibuat gagah sehingga kelihatan lucu namun menjemukan bagi Li Hwa karena pemuda itu tersenyum-senyum dan melirik-lirik kepadanya!

“Iblis bermulut busuk!”

Dia memaki dengan marah, pedangnya sudah bergerak menerjang dengan kecepatan laksana kilat.

“Trang-trang-cringgg...!”

Bunga api berpijar ketika kedua senjata itu bertemu berkali-kali. Merasa betapa pedangya tergetar oleh tangkisan pemuda itu, Li Hwa maklum bahwa tenaga sin-kang lawannya tidak lemah, maka cepat dia menggunakan tenaga lawan ketika menangkis lagi untuk mencelat ke atas, berjungkir balik dan dari atas tangan kirinya diayun. Sinar putih berkeredepan menyambar ke arah Ouwyang Bouw. Itulah gin-ciam (jarum perak), senjata rahasia Li Hwa yang amat lihai.

“Aihhh... engkau pandai main jarum. Bagus...!”

Ouwyang Bouw menggerakkan tangan kirinya dan lengan bajunya menerima jarum-jarum perak yang menancap dan berjajar rapi di ujung lengan bajunya! Sambil tersenyum dia menggerakkan lengan baju itu dan sinar perak menyambar ke arah kaki Li Hwa yang masih belum turun ke atas tanah. Dara ini cepat menggerakkan pedangnya, diputar sedemikian rupa sehingga gulungan sinar pedang menggulung jarum-jarum peraknya sendiri itu, kemudian dia menggerakkan pedang dan jarum-jarum itu kembali melesat ke arah Ouwyang Bouw.

“Cuiiitttt... trakkk...!”

Sinar perak itu bertemu dengan sinar merah dan runtuhlah jarum-jarum perak itu bertemu dengan jarum-jarum merah yang dilepaskan oleh Ouwyang Bouw. Li Hwa terkejut. Kiranya dalam kepandaian melemparkan jarum, pemuda sinting itu tidak kalah pandai olehnya. Maka dia lalu berteriak nyaring dan menerjang maju, memutar pedangnya dengan hebat karena dara ini telah mengambil keputusan untuk merobohkan lawannya.

“Kau hebat... kau cantik menarik, kau gagah perkasa... heeeiiitttt!”

Ouwyang Bouw terpaksa melempar tubuh ke belakang dan bergulingan. Karena dia tadi bicara dan menggoda, maka hampir saja dia celaka oleh sinar pedang dara itu yang amat hebat. Dia cepat meloncat lagi melihat pedang lawan terus mengejarnya, menangkis dan terpaksa balas menyerang ketika mendapat kenyataan bahwa ilmu pedang dara itu benar-benar amat lihai dan sama sekali tidak boleh dia lawan sambil bersendau-gurau!

Pertandingan itu berlangsung dengan seru sekali dan ternyata oleh kedua pihak bahwa tingkat kepandaian mereka seimbang, baik mengenai kecepatan maupun tenaga sin-kang. Hanya bedanya, kalau ilmu pedang Li Hwa mengandung dasar yang amat kuat dan aseli, mempunyai daya tahan yang kokoh dan daya serang langsung dan menekan, sebaliknya ilmu pedang yang dimainkan oleh Ouwyang Bouw mengandung perkembangan yang penuh tipu muslihat, banyak gerakan pancingan dan pura-pura yang amat curang.

Akan tetapi, karena Li Hwa selalu menyerang dengan niat membunuh lawan sedangkan sebaliknya pemuda yang tergila-gila itu tidak ingin melukai apalagi membunuh lawan, perlahan-lahan pemuda itu terdesak dan gulungan sinar pedangnya makin tertekan.

“Jelas dia murid The Hoo dan kalau dia bisa dijadikan tawanan sebagai sandera, tentu The Hoo tidak berani mengganggu kita!” Toat-beng Hoat-su barkata.

“Benar sekali,” jawah Ban-tok Coa-ong sambil memperhatikan pertandingan antara dara itu dengan puteranya. “Bouw-ji (Anak Bouw) tidak tega melukainya, keadaannya amat berbahaya. Kalau sampai dia terluka, tentu dia akan lupa diri dan jangan-jangan dia akan membunuh dara itu. Sebaiknya kita turun tangan menangkapnya.”

Toat-beng Hoat-su tidak percaya bahwa pemuda itu akan dapat mengalahkan Li Hwa, akan tetapi dia diam saja, hanya mengangguk dan kedua kakek ini lalu bergerak maju ke medan pertandingan.

Pada saat itu, pedang di tangan Li Hwa sedang bertemu dengan pedang ular di tangan Ouwyang Bouw. Kesempatan ini dipergunakan oleh dua orang datuk yang lihai itu untuk turun tangan, Ban-tok Coa-ong mengetuk pergelangan tangan kanan Li Hwa sehingga pedangnya terlepas sedangkan Toat-beng Hoat-su menepuk pundaknya.

Li Hwa mengeluh dan roboh, tubuhnya disambar oleh pelukan Ouwyang Bouw. Dara itu yang lumpuh kedua tangannya, menggerakkan kaki menendang pusar, akan tetapi pemuda itu menangkap kakinya dan menotok punggungnya sehingga kini kedua kakinya lumpuh pula. Sambil tertawa-tawa Ouwyang Bouw memondong tubuh dara itu dan tangan kanannya masih memegang pedang ular, lalu membawa dara itu lari.

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: