*

*

Ads

FB

Senin, 31 Oktober 2016

Petualang Asmara Jilid 108

“Bouw-ji... awas jangan kau sampai membunuhnya!” teriak Ban-tok Coa-ong.

Ouwyang Bouw menoleh sambil tertawa.
“Apakah Ayah telah menjadi gila? Aku cinta kepadanya, mana mungkin membunuhnya? Ha-ha-ha!”

“Ha-ha-ha, engkau memang sudah pantas kawin, Anakku!”

“Setahun lagi Ayah akan memondong cucu!”

Pemuda gila itu tertawa-tawa sambil lari memhawa Li Hwa memasuki pondok yang menjadi tempat kediamannya.

Ban-tok Coa-ong menyuruh anak buahnya menyingkirkan mayat Madhula dan mayat Sanghida yang tinggal tulang kemudian bersama Toat-beng Hoat-su dia kembali ke dalam pondok besar.

“Harus dicegah agar puteramu jangan sampai membunuh tawanan penting itu,” kata Toat-beng Hoat-su, khawatir juga menyaksikan kelakuan pemuda yang edan-edanan itu.

“Jangan khawatir. Agaknya anakku sekali ini benar-benar jatuh cinta. Alangkah baiknya kalau aku dapat berbesan dengan The Hoo. Tentu soal bokor emas bukan hal yang perlu dia ributkan lagi.”

“Lebih penting lagi, dia tentu akan mau membuka rahasia bokor itu. Sungguh menjengkelkan. Susah-payah dicari dan diperebutkan, setelah berada di tangan kita, kita tidak mampu membuka rahasianya.” kata Toat-beng Hoat-su dengan wajah kesal.

Berhari-hari mereka berdua menyelidiki bokor emas, membolak-balik, menekan sana-sini, namun belum juga dapat menemukan rahasianya. Padahal kabarnya bokor itu mengandung petunjuk tempat penyimpanan harta pusaka kitab-kitab pusaka yang amat luar biasa. Tidak takut bokor itu rusak dan rahasianya ikut pula terusak, tentu mereka sudah membanting pecah benda pusaka itu!

Kini mereka memasuki kamar rahasia dan kembali kedua orang kakek yang menjadi datuk kaum sesat itu melanjutkan penyelidikan mereka tentang bokor emas. Memang ada guratan-guratan aneh di sebelah dalam bokor, akan tetapi mereka tidak dapat memecahkan rahasia guratan-guratan ini karena guratan-guratan itu bukan merupakan huruf-huruf yang dapat terbaca, juga bukan merupakan peta yang dapat dimengerti.

Sementara itu, Li Hwa yang sadar akan tetapi tidak mampu menggerakkan kaki tangannya itu dipondong oleh Ouw-yang Bouw dan dibawa masuk ke dalam pondoknya, terus memasuki kamarnya dan dengan hati-hati bahkan dengan lemah-lembut dan mesra dibaringkannya tubuh dara itu di atas pembaringannya yang mewah, bersih dan harum baunya.

Namun diam-diam Li Hwa bergidik melihat betapa di dalam kamar itu penuh dengan belasan ekor ular-ular berbisa yang melingkar di sana-sini, merayap di sana-sini dalam keadaan jinak seolah-olah ular berbisa itu adalah binatang peliharaan dan kesayangan! Diam-diam dia mengambil keputusan bahwa kalau dia sempat dia akan memukul mati pemuda ini, kemudian mengamuk dan kalau perlu mengadu nyawa karena dia pun mengerti bahwa keselamatannya terancam hebat, bukan karena nyawanya yang terancam, juga kehormatannya!






Setelah merebahkan tubuh Li Hwa, Ouwyang Bouw duduk di pinggir pembaringan itu, menatap wajah yang cantik itu penuh kagum, penuh kasih sayang, bahkan dengan pandang mata mesra. Pandang mata yang membuat Li Hwa bergidik karena pandang mata itu seolah-olah dapat dia rasakan menyelusuri seluruh tubuhnya, seolah-olah pandang mata itu mampu menelanjanginya!

“Moi-moi yang manis... kau menurutlah menjadi isteriku, hidup dengan makmur dan mulia di pulau ini, sebagai ratu! Ya, aku akan memuliakanmu sebagai seorang ratu... adikku yang tercinta...!”

Namun Li Hwa memandang dengan mata mendelik penuh kebencian biarpun di dalam hatinya dia merasa khawatir sekali. Dia maklum bahwa jika pemuda gila itu pada saat dia lumpuh kaki tangannya melakukan segala kekejian terhadap dirinya, dia tidak akan mampu mempertahankan kehormatannya, tidak akan mampu membela diri. Hampir dia pingsan memikirkan kemungkinan yang mengerikan ini.

Akan tetapi untung baginya pemuda itu memang tidak suka memperkosa wanita dan biarpun dia ingin sekali menguasai tubuh Li Hwa, namun dia mempunyai perasaan lain terhadap dara ini, tidak seperti perasaannya terhadap wanita-wanita lain yang telah menjadi korbannya. Dia sudah jatuh cinta kepada Li Hwa dan ingin mengambil Li Hwa ini sebagai isterinya!

Karena itu, dia tidak akan menggunakan cara-cara yang keji untuk sementara waktu ini, hanya ingin mengandalkan bujukan dan rayuannya. Setelah dia menggunakan tali kain sutera yang halus akan tetapi kuat sekali untuk membelenggu kaki tangan dara itu, dia membebaskan totokan pada tubuh Li Hwa sehingga dara itu tidak terlalu tersiksa, dapat menggerakkan kaki tangannya sungguhpun tidak berdaya melawan karena kaki dan tangannya dibelenggu di belakang tubuhnya.

“Adikku sayang, kalau menurut, engkau akan kubebaskan dan kita akan merayakan pesta pernikahan kita di pulau ini”

“Huh, lebih baik aku mati!” Li Hwa menjawab sambil membuang muka.

Ouwyang Bouw tersenyum.
“Kita sama lihat saja apakah engkau akan dapat terus berkeras kepala, Adikku. Engkau menolak orang seperti aku? Ha-ha, hendak memilih yang macam bagaimana? Lihat baik-baik, bukankan aku seorang pemuda yang tampan dan gagah?”

Melihat betapa Li Hwa tidak mau menoleh, Ouwyang Bouw lalu meloncat dekat dan sekali menotok, dia membuat Li Hwa tak mampu menggerakkan lehernya lagi sehingga ketika mukanya dihadapkan kepada pemuda itu, dia tidak dapat membuang muka. Terpaksa dia melihat pemuda itu bergaya di depannya, dengan senyum dibuat-buat dan dada diangkat. Bahkan kemudian pemuda itu menyelinap ke kamar lain dan ketika muncul kembali, dia telah mengenakan pakaian lain yang lebih mewah. Sampai tiga kali pemuda itu bertukar pakaian dan bergaya di depan Li Hwa seperti lagak seorang peragawan memamerkan pakaian.

“Lihat, bukankah aku tidak kalah tampan oleh para pangeran di istana? Banyak wanita tergila-gila kepadaku, akan tetapi aku hanya memilih engkau, Li Hwa! Aku cinta kepadamu dan kau sudah tahu akan kelihaian ilmuku.”

Li Hwa mencibirkan bibirnya, sengaja memperlihatkan muka dan sinar mata mengejek dan memandang rendah.

“Apa engkau belum puas? Bukan hanya pakaianku saja yang membuat aku kelihatan tampan dan gagah, bahkan seluruh tubuhku pun tidak ada cacadnya! Nah, kau lihat baik-baik!”

Pemuda yang sinting itu kini menanggalkan pakaiannya satu demi satu! Tadinya Li Hwa mengira pemuda itu memamerkan bentuk tubuhnya yang memang tegap berotot, akan tetapi matanya yang terbelalak itu kemudian dipejamkan ketika tenyata bahwa pemuda itu menanggalkan seluruh pakaiannya, termasuk pakaian dalamnya sehingga pemuda itu berdiri telanjang bulat di depannya, hanya mengenakan sepatunya!

“Ha-ha-ha, engkau tidak tahan melihatku dan memejamkan mata? Bagus, kalau kau tidak memejamkan mata, engkau tentu akan tergila-gila kepadaku!”

Dapat dibayangkan betapa ngeri dan jijik rasa hati Li Hwa menghadapi pemuda gila ini. Ketika tadi dia melihat pemuda itu menanggalkan baju dalamnya, sebelum dia memejamkan mata, dia melihat dada yang telanjang dan aneh, begitu dia memejamkan mata, tampaklah dada telanjang dari Yuan de Gama! Lebih aneh lagi, muncul rasa rindu hatinya kepada Yuan, pemuda yang bersikap sopan santun kepadanya, menjadi kebalikan dari pemuda sinting ini. Tanpa disadarinya, dalam keadaan terancam seperti itu, dia membayangkan wajah Yuan dan hatinya menjeritkan nama pemuda asing itu!

Sambil tertawa-tawa Ouwyang Bouw mengenakan lagi pakaiannya kemudian meninggalkan kamar setelah menyuruh beberapa orang penjaga melakukan penjagaan di luar kamarnya.

Li Hwa ditinggalkan seorang diri di dalam kamar itu dan dia termenung, memutar otaknya mencari akal untuk dapat meloloskan diri dari tempat berbahaya ini. Satu-satunya harapannya adalah gurunya.

Gurunya tahu akan bokor emas, telah menerima laporan pengawal Tio Hok Gwan dan gurunya tahu pula bahwa dia sendirian melakukan penyelidikan. Gurunya tentu mengirim orang-orang pandai, mungkin Tio Hok Gwan sendiri, mungkin pula Pendekar Sakti Cia Keng Hong, untuk menyerbu Pulau Ular dan saat inilah yang ditunggu-tunggunya karena hanya itu yang mungkin akan memberi harapan baginya untuk lolos dari bahaya ini.

Maka Li Hwa juga tidak mengambil keputusan pendek setelah dengan jelas dia melihat gelagat bahwa Ouwyang Bouw tidak akan memperkosanya, melainkan hendak membujuknya agar dia suka tunduk dan menyerahkan diri. Kini dia dipindahkan ke dalam sebuah kamar tahanan. Belenggu kaki tangannya dilepaskan, akan tetapi kedua kakinya diikat dengan rantai baja yang panjang, yang memungkinkan untuk bergerak dan berjalan di dalam kamar tahanan itu, akan tetapi tidak memungkinkan dia untuk melarikan diri. Juga kedua tangannya dibelenggu dengan rantai baja yang panjang.

Hanya rantai itu yang menyatakan bahwa dia menjadi tawanan. Akan tetapi selain dari rantai itu dia diperlakukan dengan baik, diberi kesempatan untuk mandi dan makan, bahkan para penjaga bersikap hormat kepadanya karena dia dianggap sebagai calon isteri Ouwyang Bouw!

Sampai berhari-hari lamanya, Li Hwa tetap tidak mau tunduk dan selalu menyambut kedatangan Ouwyang Bouw ke kamarnya dengan caci maki. Di samping ini, dia berlaku hati-hati sekali, selalu menggunakan jarum peraknya untuk memeriksa setiap makanan dan minuman agar jangan sampai dia dipengaruhi racun.

Akan tetapi, ternyata bahwa Ouwyang Bouw belum sampai sejauh itu usahanya untuk menguasainya. Ouwyang Bouw menghendaki agar wanita yang membuatnya tergila-gila itu benar-benar tunduk bukan karena terpaksa oleh pengaruh racun atau karena dia perkosa. Dan kesabaran seorang glia seperti dia memang luar biasa sekali!

Tiga hari kemudian sejak Li Hwa ditangkap, sebuah perahu kecil meluncur cepat menuju ke Pulau Ular dari daratan Teluk Pohai. Di dalam perahu itu hanya ada seorang pemuda berkepala gundul yang bukan lain adalah Kun Liong. Pemuda ini mulai dengan penyelidikannya untuk membantu Li Hwa yang dikabarkan telah lebih dahulu melakukan penyelidikan.

Kun Liong maklum betapa berbahayanya tempat tinggal orang-orang seperti Toat-beng Hoat-su dan Ban-tok Coa-ong maka dia sangat mengkhawatirkan keselamatan Li Hwa. Dia mulai mencari Pulau Ular dan hari telah malam ketika dia melihat bayangan pulau yang bentuknya seperti ular melingkar di atas batok di sebelah selatan itu, persis seperti penjelasan dan gambaran yang didapatkannya dari keterangan Cia Keng Hong sebelum dia berangkat.

Tiba-tiba Kun Liong terkejut. Hampir perahunya terguling ketika ombak tiba-tiba datang bergelombang! Dan malam itu mendadak saja menjadi gelap, bintang-bintang yang tadi menghias angkasa kini lenyap tertutup awan hitam.

Wah, celaka! Benarkah datuk-datuk kaum sesat itu menggunakan ilmu hitam seperti yang didongengkan orang, sehingga setelah perahunya mendekati Pulau Ular dia diserang badai? Ilmu hitam atau bukan, dia harus berjuang melawan ombak yang datang bergulung-gulung! Dia memegang dayungnya dan sejenak pemuda yang biasanya tabah ini menjadi bingung juga. Tidak tampak lagi pulau tadi, tidak tampak pula daratan. Di sekelilingnya air menghitam dengan suara menderu-deru. Perahunya diombang-ambingkan ombak, tak tentu lagi arahnya.

Betapapun tabahnya, Kun Liong menjadi gelisah. Selama ini, pengalamannya dengan air hanya di sepanjang Sungai Huang-ho, dan betapa pun lebar Sungai Huang-ho, dibandingkan dengan laut ini bukan apa-apa. Bagaimana kalau perahunya terguling? Dahulu dia pernah hanyut di sungai. Baru hanyut di sungai saja sudah sukar baginya untuk berenang ke tepi. Apalagi sampai hanyut di laut!

Tiba-tiba tampak otehnya sinar api di depan. Terlambat dia mengetahui bahwa sinar itu adalah sinar lampu yang bergantungan di sebuah perahu yang besar. Tahu-tahu di depannya muncul tubuh perahu besar sekali, seperti iblis lautan hendak melawannya.

“Heiii... ada perahu.. minggir...!”

Kun Liong menggunakan suara yang didorong oleh tenaga khi-kang yang amat kuat untuk berseru. Suaranya melengking tinggi melawan gemuruh air laut yang bergelombang. Akan tetapi terlambat. Terdengar suara keras, perahunya pecah terguling dan dia sendiri terlempar ke dalam air!

“Heii...! Tolooong, auuupp...!”

Kun Liong gelagapan ketika mulutnya yang menjerit itu kemasukan air yang rasanya sampai pahit saking asinnya!

Dia menggerakkan kaki tangan dan terasa betapa tubuhnya ringan sekali dan lebih mudah baginya untuk mengambang di permukaan air. Ini pengalaman baru baginya karena dia tidak tahu bahwa air yang asin membuat tubuhnya lebih ringan, tidak seperti di air tawar.

Teriakan-teriakan Kun Liong yang amat nyaring tadi karena didorong oleh tenaga khi-kang ternyata ada juga gunanya karena terdengar oleh mereka yang berada di atas perahu.

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: