*

*

Ads

FB

Minggu, 06 November 2016

Petualang Asmara Jilid 111

“Kami sekarang sedang mencari Kapal Kuda Terbang yang disewa oleh rombongan Legaspi Selado,” kakek itu melanjutkan.

“Yang dipimpin oleh Yuan de Gama?” Kun Liong bertanya.

Kakek itu menghela napas.
“Benar dan itulah kesalahan kami. Kami telah menyewakan kapal itu kepada rombongan Selado yang ternyata amat jahat sehingga anakku Yuan ikut pula terbawa-bawa, terseret ke dalam petualangan Legaspi Selado. Mendengar betapa Legaspi Selado bersekutu dengan pemberontak, aku segera menyusul ke sini dan aku akan membatalkan kontrak persewaan Kapal Kuda Terbang itu karena telah dipergunakan untuk pekerjaan buruk.”

“Siapakah sebenarnya Legaspi Selado yang berilmu tinggi itu?” Kun Liong bertanya lagi.

“Sebetulnya dia adalah bekas seorang jenderal yang telah dipecat oleh pemerintah karena perbuatannya yang kotor dan berkhianat. Sedangkan anak buahnya itu pun ternyata adalah orang-orang jahat yang menjadi buruan pemerintah di negara kami.”

“Anakku Yuan de Gama terpaksa terlibat karena selain dia mewakili aku menjadi kapten kapal juga dia menjadi murid Legaspi Selado.”

Kun Liong mengangguk-angguk dan kini mengertilah dia mengapa seorang pemuda sebaik Yuan de Gama sampai membantu orang jahat seperti Legaspi Selado kakek botak yang lihai itu.

“Akan tetapi persekutuan pemberontak itu telah dibancurkan, tentu Legaspi Selado tidak akan menyusahkan Yuan lagi.”

Kakek itu mengelus jenggotnya.
“Hemmm... siapa tahu isi hati orang seperti Legaspi Selado? Selama dia masih menyewa Kapal Kuda Terbang, Yuan akan terus terikat. Sebagai kapten kapal, tentu Yuan tidak akan dapat meninggalkan kapalnya dan apa pun yang dilakukan oleh Legaspi Selado, berarti Yuan akan terseret.”

Mereka bercakap-cakap setelah makan dan Kun Liong merasa makin suka kepada kakek yang luas pengetahuannya itu, sebaliknya Richardo juga kagum kepada Kun Liong yang berwajah jujur dan polos, sepolos kepalanya yang gundul! Mereka bercakap-cakap di dek perahu itu. Ketika Yuanita muncul, gadis itu berkata,

“Ahh, kalian berdua bercakap-cakap sejak tadi tiada sudahnya. Ayah, biasanya Ayah tidak berani terlalu lama terkena angin malam membuat Ayah sakit.” Dengan gaya manja gadis itu merangkul leher ayahnya.

Richardo tertawa, lalu bangkit berdiri.
“Wah, asyik benar bicara dengan Yap-taihiap, sampai aku lupa waktu. Yap-taihiap, aku hendak mengaso dulu, biarlah Yuanita yang menemanimu bercakap-cakap.”

Orang tua itu lalu meninggalkan dek dan bangku tempat duduknya kini diduduki oleh Yuanita.

Berdebar jantung Kun Liong menyaksikan kebebasan kedua orang ayah dan anak itu. Baru sekarang dia melihat betapa seorang ayah meninggalkan anak gadisnya begitu saja untuk menemani seorang pemuda bercakap-cakap di dek yang sunyi, di waktu malam lagi!






“Nona...”

Yuanita menoleh kepadanya dan memandang dengan senyum, akan tetapi alisnya berkerut ketika dia menegur,

“Namaku Yuanita, dan setelah menjadi sahabat, harap jangan menyebut nona lagi kepadaku, Tai-hiap.”

Kun Liong tersenyum.
“Kau mau menang sendiri saja, Yuanita. Aku bukan pendekar besar kau selalu menyebutku tai-hiap, sedangkan kau, seorang nona yang cantik dan kaya raya, pula terpelajar dan pandai, begitu merendah minta disebut namanya saja. Dimana keadilan kalau begini? Kau pun sudah tahu bahwa namaku Kun Liong.”

Yuanita tertawa dan memegang tangan pemuda itu.
“Kau lucu dan baik sekali, Kun Liong. Aku sungguh merasa gembira dapat bersahabat denganmu. Sama sekali aku tidak mengira bahwa diantara bangsa pribumi di negara ini terdapat seorang seperti engkau. Aku selalu membayangkan bahwa semua penduduk pribumi memandang rendah kepada semua orang asing, menganggap semua orang asing sebangsa manusia biadab. Dan aku membayangkan bahwa semua orang yang disebut pendekar di negaramu adalah orang-orang kejam yang mudah memainkan pedang memenggal kepala orang dan mengirim kepala itu sebagai hadiah kepada keluarga musuhnya! Kiranya engkau amat baik dan rendah hati, engkau seperti seorang kanak-kanak yang berhati tulus dan wajar...”

“Wah, karena kepalaku gundul kau menganggap aku kanak-kanak?” Kun Liong tertawa.

Yuanita juga tertawa.
“Maaf, aku tahu kau bukan kanak-kanak lagi. Tiga orang pelayan itu menceritakan sikapmu di waktu kau mandi...”

Kun Liong cepat menoleh ke kanan kiri.
“Tiga orang wanita genit itu? Iihhh, mereka membikin aku merasa ngeri. Mengapa ada kebiasaan seaneh itu pada bangsamu, Yuanita?”

“Ah, mereka hanya pelayan-pelayan dan mereka sudah biasa melayani majikan dan para tamu pria yang manja.”

“Aku pun tadinya mendengar kabar yang menyeramkan tentang bangsamu, bangsa kulit putih yang berambut berwarna dan bermata biru. Bahkan aku mendengar bahwa mereka itu adalah bangsa biadab yang suka makan daging manusia, sebangsa siluman yang berbahaya dan yang datang ke negeri kami hanya untuk menipu bangsa kami. Akan tetapi setelah bercakap-cakap dengan ayahmu, aku mendapat kenyataan bahwa ayahmu adalah seorang tua yang luas pengetahuannya, pandai dan bijaksana. Apalagi melihat engkau...”

“Bagaimana?” Yuanita menyambung ketika Kun Liong berseru. “Apakah aku seperti siluman berambut kuning berkulit putih bermata biru yang suka makan daging manusia?”

“Wah, sama sekali tidak! Sungguh tolol aku kalau dulu pernah merasa ngeri mendengar kabar bohong itu. Ternyata diantara bangsamu yang dikabarkan menakutkan itu terdapat orang-orang seperti ayahmu yang bijaksana, seperti Yuan yang tampan dan gagah berani, seperti engkau yang... yang begini cantik jelita, jujur dan amat ramah dan baik hati.”

“Benarkah engkau menganggap aku cantik jelita? Bukankah karena perbedaan kulit dan warna rambut serta mata membedakan pula selera pandangan terhadap kecantikan seseorang?”

“Engkau memang cantik sekali, Yuanita,” kata Kun Liong sambil memandang penuh perhatian wajah yang tertimpa cahaya merah dari lampu gantung itu. “Dan kurasa, cantik tidaknya seseorang tergantung dari rasa suka di hati. Kalau hati merasa cocok dan suka, tentu kelihatan cantik, sebaliknya kalau tidak tentu akan kelihatan buruk. Dan agaknya watak dan sikap seseoranglah yang menentukan cantik tidaknya orang itu. Dan engkau... amat manis dan baik hati, siapa yang takkan merasa suka sehingga engkau kelihatan selalu cantik jelita?”

Dara itu memandang dengan sinar mata bercahaya dan wajah berseri.
“Wah, engkau memang mengagumkan sekali, Kun Liong! Yuan tentu senang sekali denganmu, engkau tentu menjadi sahabat baiknya!”

“Sayang bahwa pertemuan antara kami hanya sebentar saja,”

Kun Liong lalu menceritakan pertemuannya dengan Yuan de Gama yang mengakibatkan mereka untuk beberapa gebrakan mengadu tenaga.

“Ahhh, kasihan kakakku itu...” Yuanita berkata setelah Kun Liong menyelesaikan penuturannya. “Dia adalah seorang yang berhati baik, akan tetapi karena dia terlalu suka mempelajari ilmu berkelahi, dia menjadi murid Kakek Legaspi Selado yang mengerikan itu. Ketika kapal Ayah disewa oleh rombongan Legaspi, Yuan menjadi kapten kapal menggantikan Ayah. Sama sekali kami tidak tahu bahwa rombongan Legaspi terdiri dari orang-orang jahat. Juga Yuan sama sekali tidak akan mengira bahwa gurunya dan rombongannya yang katanya hanyalah orang-orang pedagang itu bertualang di negaramu dan bersekutu dengan pemberontak. Yuan terkenal sebagai seorang yang kuat, bahkan Hendrik, pemuda sombong dan kejam putera Legaspi itu sendiri merasa sungkan kepada Yuan. Akan tetapi, aku tahu bahwa bertemu dengan engkau, dia kalah jauh!”

“Aahhh, tidak begitu, Yuanita. Kakakmu kuat sekali, hanya diantara kami tidak ada permusuhan, maka kami tidak melanjutkan pertandingan itu. Aku hanya seorang biasa yang bodoh, apalagi mengenai pengalaman dan ilmu pengetahuan dibandingkan dengan Yuan atau engkau, aku bukan apa-apa.”

Yuanita memegang tangan Kun Liong dan memandang dengan sungguh-sungguh.
“Engkau terlalu merendahkan diri dan inilah yang membuat aku kagum sekali, Kun Liong. Aku suka kepadamu, dan aku akan... kalau diberi kesempatan... mungkin bisa jatuh cinta kepada seorang pria seperti engkau ini. Engkau telah menyelamatkan aku, bukan hanya aku, melainkan juga Ayah dan semua anak-anak perahu ini. Ayah sendiri berkata demikian kepadaku. Orang-orang Nepal itu ganas, kejam dan kuat, kalau tidak ada engkau, kami semua pasti menjadi korban. Akan tetapi engkau masih selalu merendahkan diri. Betapa kuat kedua tanganmu yang tidak kelihatan kasar ini, seperti tangan wanita...” Yuanita menarik kedua tangan Kun Liong dan mencium tangan itu dengan bibirnya.

Dengan bibirnya! Kun Liong merasa kecupan bibir hangat pada tangannya dan wajahnya menjadi merah sampai ke kepalanya, jantungnya berdebar dan dia menarik kedua tangannya.

“Ahhh, jangan berlebihan, Yuanita...” katanya agak terharu karena perbuatan dara itu dianggapnya terlalu merendah.

Yuanita bangkit berdiri menarik tangan Kun Liong. Mereka berdiri berhadapan, dan Yuanita merapatkan tubuhnya.

“Kun Liong... kami berhutang nyawa kepadamu dan sebagai tanda terima kasih, baru mencium tanganmu saja engkau sudah merasa aku berlebihan. Kun Liong, aku tahu bahwa orang seperti engkau ini, seorang pendekar dari bangsamu, seorang jantan yang berhati lembut, tentu tak mungkin bisa jatuh cinta kepadaku, seorang wanita asing yang serba kasar, tidak selembut wanita-wanita bangsamu yang seperti batang pohon yangliu tertiup angin lembut, yang bersikap malu-malu dan agung... akan tetapi, untuk menyatakan terima kasihku dengan setulus hatiku, kau... kau boleh... kalau engkau suka... kau menciumku, Kun Liong.”

Kun Liong terkejut. Ucapan seperti ini sama sekali tak pernah disangka-sangkanya. Tak pernah dia berani membayangkan untuk mencium dara itu, seorang dara asing, puteri seorang hartawan besar dan puteri seorang yang bijaksana dan pandai seperti Richardo de Gama!

Tentu saja dia tidak tahu bahwa dara asing dari Barat ini mempunyai kesan lain terhadap dirinya. Semenjak kecil, seperti anak-anak bangsanya yang lain, Yuanita sudah seringkali mendengar dongeng tentang ksatria-ksatria berbaju besi yang menolong puteri dari tangan mahluk-mahluk buas, dan setiap kali seorang ksatria membebaskan seorang puteri cantik dari tangan mahluk buas dari ancaman mengerikan yang lebih hebat dari maut, Si Puteri akan menghadiahkan ciuman mesra dan hal ini biasanya bahkan menjadi tuntutan setiap orangi ksatria!

Kesan ini amat mendalam sehingga ketika melihat betapa dengan gagah perkasanya Kun Liong menyelamatkan dia, bahkan ayahnya dan seisi perahu dari keganasan bajak, apalagi setelah bercakap-cakap dan melihat sikap Kun Liong yang rendah hati, timbul keinginan di hati Yuanita untuk bersikap seperti seorang puteri yang tertolong oleh ksatria, dia menawarkan ciuman kepada pemuda gundul itu.

“Be... benarkah pendengaranku tadi, Yuanita?”

Kun Libng bertanya, suaranya gemetar karena jantungnya sudah bergelora. Sejak tadi merasakan betapa bibir yang hangat dan lunak itu mencium tangannya, jantung Kun Liong sudah berdebar tidak karuan, apalagi mendengar betapa dara yang mempunyai kecantikan aneh ini menawarkan ciuman!

“Pendengaran apa, Kun Liong?”

Yua-nita bertanya, mengangkat mukanya sehingga makin berdekatan dengan wajah pemuda itu, senyumnya menggoda, matanya setengah terpejam sehingga bulu matanya hampir merapat dan menjadi tebal menimbulkan bayang-bayang indah di atas pipinya tertimpa sinar lampu.

“Aku mendengar bahwa... bahwa... aku boleh menciummu?”

“He-hemmm... kalau kau suka...”

“Kalau aku suka...? Tentu saja aku suka...”

“Ihhh, canggung benar kau...”

Yuanita tersenyum lebar mendengar kata-kata dan melihat sikap pemuda itu. Kedua lengannya bergerak merangkul leher Kun Liong dan dara itu dengan tarikan halus membuat muka Kun Liong menunduk dan tergetarlah seluruh tubuh Kun Liong ketika merasa betapa dara itu yang menciumnya! Mencium bibir dengan kemesraan dan kehangatan!

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: