*

*

Ads

FB

Minggu, 06 November 2016

Petualang Asmara Jilid 115

Yuanita menatap wajah pemuda gundul itu dengan tajam penuh selidik, kemudian dia berbisik,

“Aku tahu bahwa engkau tidak dapat mencintaku, Kun Liong. Mungkin seleramu berbeda dan kau tidak dapat memandang aku sebagai seorang wanita cantik yang menarik hatimu karena aku memang seorang asing. Mataku kebiruan tidak seperti matamu yang hitam, rambutku keemasan tidak seperti rambutmu yang hitam arang dan kulit tubuhku putih berbulu halus seperti kulitmu yang kekuningan dan halus licin tak berbulu. Akan tetapi, kalau kau bilang bahwa kau tidak akan pernah dapat jatuh cinta kepada wanita yang manapun, hal itu... ah, bagaimana aku dapat percaya?”

“Percaya atau tidak terserah, Yuanita, akan tetapi setelah melihat segala peristiwa tentang cinta, aku menjadi ngeri untuk jatuh cinta!”

“Aihh, mengapa?”

“Karena melihat cinta yang ada sekarang ini bagiku tampak palsu dan hanya mendatangkan kesengsaraan belaka. Cinta yang banyak disebut-sebut orang, cinta antara pria dan wanita, cinta antara sahabat, cinta antara orang tua dan anak-anaknya, cinta antara manusia dengan Tuhannya, antara manusia dengan tanah airnya, antara manusia dengan dunia, harta, kemuliaan, kedudukan dan lain-lain, ternyata hanyalah pengikatan diri belaka. Cinta yang ada sekarang ini adalah pengikatan diri, dan dengan apapun juga kita mengikatkan diri, berarti kita menanam bibit kesengsaraan. Bibit itu berakar di hati, kita terikat, dan sekali waktu tentu akan datang saat perpisahan sehingga akar yang sudah mengikat itu akan membuat hati kita terluka dan membuat kita sengsara. Ikatan itu akan mendatangkan cemburu, iri hati, dendam dan kebencian, karena itu cintakah ikatan itu? Kurasa bukan!”

Yuanita memandang kepada Kun Liong dengan mata terbelalak.
“Tentu saja itu cinta! Cinta antara pria dan wanita yang disebut asmara! Cinta seperti itu memang mengandung pengikatan diri, ingin memilikinya sendiri, ingin memberi dan diberi, ingin menikmati kesenangan, dan tentu saja disitu terdapat pula cemburu, iri, dendam dan kebencian. Itulah memangnya cinta!”

Kun Liong tersenyum dan memandang wajah yang cantik itu.
“Kalau begitu, kasihan sekali orang yang terjun ke dalam jurang cinta, Berarti hanya menanti kesengsaraan hidup belaka. Aku tidak mau terperosok ke dalam perangkap cinta yang hanya menimbulkan kesengsaraan seperti itu, Yuanita.”

“Habis kalau menurut pendapatmu, apakah cinta itu?”

Kun Liong menggeleng kepalanya yang gundul.
“Aku sendiri tidak tahu, Yuanita. Aku belum mengenal cinta, karenanya aku tidak berani jatuh cinta.”

Yuanita merangkul dan merebahkan dirinya di atas pangkuan Kun Liong, menarik napas panjang.

“Orang yang menajiskan cinta asmara seperti engkau ini, Kun Liong, sekali jatuh cinta benar-benar tentu akan hebat sekali! Ah, sungguh buruk nasibku, tidak dapat memiliki cinta seorang pria seperti engkau.”

“Jangan berduka, Yuanita. Betapapun juga, aku tetap sahabatmu, sahabat yang baik yang siap mengorbankan nyawa demi untuk membelamu.”

Mendengar ucapan ini, ucapan yang sebenarnya biasa saja bagi seorang yang berwatak pendekar, membuat hati Yuanita terharu sekali dan dia terisak menangis di atas dada Kun Liong yang memeluk dan menghiburnya, mengelus rambutnya. Sampai lama mereka berdiam diri, karena bagi mereka, kata-kata sudah tidak ada artinya lagi, detak jantung dan perasaan mereka melebihi seribu kata-kata indah.






Tak tama kemudian, Kun Liong berkata,
“Yuanita, kembalilah kau ke kamarmu. Biarpun aku suka sekali berada di sini bersamamu, akan tetapi kau tahu bahwa pertemuan seperti ini amatlah berbahaa bagi kita berdua dan tidak baik bagi namamu. Engkau adalah seorang dara terhormat, tidak seperti Nina. Maka kalau ada yang melihatnya, tentu namamu akan tercemar. Pergilah tidur, sahabatku yang baik.”

Yuanita menghela napas, melepaskan diri dari atas pangkuan Kun Liong, bangkit berdiri dan membereskan rambutnya yang kusut. Sejenak dia memandang wajah pemuda itu lalu berkata,

“Selama hidupku, pertemuan kita malam ini takkan pernah kulupakan, Kun Liong. Apapun yang terjadi dengan diriku, di lubuk hati selalu tersimpan cinta kasih murni untukmu.”

“Ahhh, engkau memang seorang dara yang baik sekali.”

Kun Liong merangkul dan mencium dahi dara itu. Ciuman yang mesra dan lembut seperti ciuman seorang kakak kepada adiknya, akan tetapi sikap dan ciuman ini seperti merobek hati Yuanita. Dara itu terisak, merenggutkan dirinya lalu membalik dan melarikan diri kembali ke kamarnya.

Kun Liong berdiri tertegun, menyesal bahwa dia terpaksa harus menyakiti hati seorang dara sebaik Yuanita dengan menolak cintanya.

Belum juga Kun Liong pulas, tiba-tiba dia mendengar suara orang-orang di atas dek, terdengar suara pukulan dan orang merintih. Seperti dia sendiri yang merasakan pukulan itu, Kun Liong meloncat turun dan lari keluar dari kamarnya.

Di atas dek itu dia melihat seorang pribumi merintih-rintih dan merangkak di depan kaki seorang laki-laki asing yang bertubuh tinggi besar. Laki-laki itu dengan suara kaku membentak,

“Hayo kau mau mengaku tidak bahwa kau telah membunuh nona itu!”

Orang pribumi yang kurus itu berlutut dan berkata dengan logat orang daerah Pantai Pohai,

“Ampunkan saya, Tuan... ampun.... saya sungguh mati tidak melakukan pembunuhan itu.”

“Bukkkk...!” Sebuah pukulan disusul tendangan membuat tubuh kurus itu terguling-guling. Penyiksa itu kembali membentak, “Hayo, mengaku atau tidak? Tuan muda Hendrik sendiri melihatmu melakukan pembunuhan dan kau masih hendak mungkir? Hayo mengaku!”

Dengan tubuh matang biru dan mulutnya mengeluarkan darah karena giginya rontok, orang itu berkata lemah,

“Tidak... tidak... saya tidak membunuhnya...”

Raksasa itu melotot dan melangkah maju.
“Kalau begitu kau ingin mati!”

Diayunnya lengan yang sebesar paha orang itu dengan tangan dikepalnya. Tentu akan pecah atau setidaknya gegar otak kepala itu kalau terkena hantaman dahsyat itu.

“Dukkkk!”

Raksasa itu berteriak kesaktian dan terhuyung ke belakang memegangi lengan kanannya yang tertangkis oleh Kun Liong.

“Adouuww... kau... kau mau membela bangsamu?”

Raksasa itu membentak ketika mengenal pemuda gundul yang telah membuat hatinya iri dan benci karena pemuda asing gundul ini diaku sahabat oleh Tuan Muda Yuan bahkan Nona Yuanita kelihatannya begitu akrab dengan pemuda ini!

“Menyaksikan orang disiksa tanpa jelas kesalahannya, saya tidak peduli dia itu bangsa apa. Yang sudah jelas, baik penyiksanya maupun yang disiksa adalah manusia. Tuan mengapa kau menyiksa orang ini?”

Kun Liong melirik dan kini dia mengenal orang kurus itu sebagai seorang di antara enam tujuh orang pribumi yang bekerja di kapal itu sebagai pelayan.

“Dia telah membunuh seorang di antara lima orang wanita pelayan Nona Yuanita yang bemama Ketty. Dia memperkosa dan mencekiknya. Apakah kau hendak bilang bahwa orang macam ini tidak pantas disiksa dan dihukum?” Raksasa itu menghardik.

Kun Liong memandang kepada orang kurus itu. Orang itu masih muda, paling banyak tiga puluh tahun usianya dan biarpun tubuhnya kurus akan tetapi wajahnya tampan. Orang itu segera berlutut menghadapi Kun Liong dan berkata,

“Demi Tuhan, saya tidah membunuh Nona Kitty, saya... mana mungkin saya tega untuk membunuhnya? Menyusahkannya saja saya tidak tega... Nona Kitty begitu baik...” Dan laki-laki itu menangis!

“Dia, bohong! Pasti dia yang membunuhnya setelah memperkosanya. Dia takut kalau Nona Kitty menuduhnya, maka dia membunuhnya,” raksasa itu berkata. “Saya hanya seorang petugas yang disuruh oleh Tuan Muda Hendrik untuk menyiksanya agar dia mengakui perbuatannya yang biadab!”

Kun Liong merasa curiga. Agaknya orang kurus itu suka kepada Nona Kitty, bahkan sekarang pun menangis bukan karena didakwa, melainkan menangisi kematian nona itu. Ia mengingat-ingat. Lima orang pelayan wanita itu memang cantik dan genit-genit. Agaknya seorang laki-laki muda seperti Si Kurus ini, dengan wajahnya yang tampan, tidak perlu harus menggunakan paksaan untuk bermain-main dengan seorang di antara mereka.

“Soal pembunuhan adalah soal yang ruwet kalau tidak dilihat sendiri buktinya. Memaksa orang melakukan pengakuan dengan cara menyiksa adalah perbuatan yang biadab, tidak kalah biadabnya dengan pemerkosa dan pembunuh. Seorang penegak hukum adalah seorang yang menentang dan memberantas perbuatan jahat, akan tetapi apa jadinya dunia ini kalau si penegak hukum lebih kejam, lebih ganas, lebih ngawur, dan lebih jahat daripada si penjahat sendiri? Seperti semua bangsamu, engkau tentu seorang bertuhan, dan perbuatanmu ini mencemarkan Ketuhanan, juga kau sebagai seorang manusia, dia pun manusia, perbuatanmu ini jelas melanggar perikemanusiaan. Tak perlu lagi bicara tentang keadilan dan kebebasan seorang manusia. Dia boleh jadi bersalah, akan tetapi pemeriksaan harus dilakukan dengan teliti dan hukuman dijatuhkan sesuai dengan kesalahannya. Untuk itu telah tersedia di daerah. Mengapa kau menggunakan hukum rimba?”

Ribut-ribut itu menarik perhatian orang dan muncullah berturut-turut Yuan de Gama, Yuanita, Richardo de Gama, Hendrik, Nina dan Legaspi Selado sendiri. Yuan de Gama heran melihat Kun Liong bertengkar dengan seorang anak buah yang terkenal sebagai tukang pukulnya Hendrik Selado.

“Kun Liong, apa yang terjadi?” dia bertanya.

“Yuan aku hanya mencegah penyiksaan sewenang-wenang. Orang ini dituduh melakukan pembunuhan. Pembunuhan yang tidak diketahui dilakukan oleh siapa sepatutnya diselidiki oleh orang pandai, menggunakan kecerdikan untuk membongkar rahasia itu. Akan tetapi kulihat sekarang, usaha penyelidikan diserahkan kepada segala macam tukang pukul yang kasar, kejam dan sepatutnya menjadi penjahat.”

Dimaki seperti itu di depan banyak orang, apalagi di situ terdapat Hendrik yang menjadi majikannya, raksasa itu marah sekali dan sambil menggereng dia sudah menerjang Kun Liong dengan gaya seorang petinju jagoan. Kepalan kanannya menghantam lurus ke arah dada Kun Liong sedangkan kepalan kirinya dari bawah melakukan uppercut, yaitu pukulan dengan lengan ditekuk, dari bawah menyambar ke atas mengarah dagu lawan. Dua pukulan ini dilakukan susul-menyusul dan hanya berselisih dua detik saja.

Kun Liong bersikap tenang. Dari gerakan pundak raksasa itu saja dia sudah tahu kearah mana dua kepalan itu menyerang dirinya. Setelah pukulan mendekat, secepat kedua tangannya bergerak dari kanan kiri, membuat gerakan memotong dengan tangan terbuka.

“Krekk! Krekk! Oouuuwww...!”

Raksasa itu terpelanting, mengaduh-aduh menggerak-gerakkan kedua tangannya yang sudah patah tulang lengan dekat pergelangan dan menimbulkan rasa nyeri yang menusuk jantung.

“Kau berani melukai orangku...?”

Hendrik menghampiri Kun Liong yang bersikap tenang dan sama sekali tidak mempedulikan pemuda ini, karenanya Kun Liong mencurahkan sebagian besar perhatiannya ke arah Legaspi Selado yang dianggapnya orang yang paling berbahaya.

“Tahan!” Yuan melompat maju menghalangi Hendrik. “Hendrik, kau tidak boleh menimbulkan ribut-ribut di kapal ini!”

“Tapi dia melukai orangku, Yuan!”

“Hemmm, semua mata melihat bahwa orangmu yang memukul, Kun Liong hanya menangkis. Aku tidak ingin terjadi ribut di sini. Aku adalah kapten kapal ini, akulah yang bertanggung jawab akan segala urusan. Siapapun juga, bahkan ayahku sendiri, kalau berada di kapal ini harus tunduk kepada keputusanku sebagai kapten kapal. Aku yang bertanggung jawab dan membela kapal ini dengan keamanannya, kupertaruhkan nyawa sebagai seorang kapten. Urusan ini, aku yang berhak untuk menyelidiki.”

Hendrik terpaksa mundur dan Yuan menghampiri laki-laki yang masih berlutut dan menundukkan mukanya, merintih perlahan karena tubuhnya nyeri semua akibat penyiksaan raksasa tadi yang kini telah dibawa pergi semuanya untuk mengobati kedua lengannya.

“Hayo katakan terus terang, apa yang kau ketahui tentang pembunuhan itu!” kata Yuan kepada orang tersiksa tadi.

Sedangkan Yuanita mendekati Kin Liong dan merasa kaget dan ngeri mendengar bahwa seorang di antara pelayan-pelayannya telah diperkosa dan dibunuh orang.

Orang itu mengangkat muka memandang Yuan de Gama, kemudian melirik ke arah Hendrik dan menunduk lagi, menangis!

Kun Liong yang mengikuti semua ini dengan pandang mata tajam, melihat betapa orang itu tadi memandang Yuan de Gama penuh permohonan dan pertolongan, kemudian lirikannya kepada Hendrik penuh ketakutan melihat betapa Hendrik memandangnya dengan mata melotot penuh ancaman maut!

Melihat semua itu, Kun Liong berkata kepada orang yang menangis itu,
“Kawan, kau dituduh membunuh, kalau kau tidak mengaku, mungkin kau akan dihukum mati, dan sungguh tidak enak mati penasaran sebagai seorang pembohong. Kalau kau bercerita terus terang, andaikata kau mati pun, kau mati sebagai seorang terhormat dan gagah. Pula, kalau kau tidak bersalah, mengapa takut bicara?”

Mendengar ini, orang itu mengangkat mukanya dan berkata kepada Yuan,
“Tuan Muda Yuan, saya telah berhutang banyak budi kepada Tuan, maka saya akan bercerita terus terang. Saya telah berbuat dosa karena saya... saya mencinta Nona Kitty, sudah lama ada hubungan cinta diantara kami. Sampai tadi... tadi pertemuan antara kami diketahui orang. Saya melarikan diri dan mendengar Nona Kitty menjerit akan tetapi saya tidak berani keluar, kemudian saya diseret dan disiksa di sini.”

Yuan de Gama mengerutkan alisnya, dan Kun Liong dapat bertanya,
“Siapa orang yang melihat pertemuan kalian itu?”

“Dia... dia adalah... darrr!”

Tubuh orang itu terjengkang dan dia mati seketika karena kepalannya ditembus sebutir peluru. Asap mengepul dari pistol yang berada di tangan Hendrik. Melihat ini, Kun Liong marah sekali dan mukanya menjadi merah, akan tetapi Yuan memegang lengannya.

“Hendrik, mengapa kau membunuh dia?” Yuan bertanya dengan nada menegur.

“Hemm, manusia rendah itu sedang membohong dan hendak menghina orang. Terang dia bersalah dan karena takut dia hendak melemparkan tuduhan kepada orang lain. Aku tidak sabar lagi mendengar omongannya.”

“Ha-ha-ha, Yuan! Urusan seekor anjing pribumi hina ini saja mengapa perlu diributkan? Lempar saja bangkainya ke laut dan habis perkara!”

Legaspi Selado berkata sambil tertawa akan tetapi matanya melirik ke arah Kun Liong. Pemuda ini makin merah mukanya, akan tetapi dia maklum bahwa kalau dia kena pancingan sehingga terjadi pertempuran di kapal itu, hal ini akan menyusahkan Yuan dan keluarganya. Apalagi, orang itu sudah mati, dan betapapun juga dia telah mencari penyakit sendiri dengan bercintaan dengan Kitty. Di samping itu, tugas ke Pulau Ular lebih penting lagi. Maka dia lalu membalikkan tubuhnya tanpa menoleh lagi memasuki kamarnya dan tidur.

Di atas pembaringannya dia mengenangkan peristiwa tadi. Dia dapat menduga apa yang terjadi. Orang yang menjadi korban itu tentu karena rayuan Kitty, kalau tidak mana mungkin seorang pelayan berani main gila dengan seorang nona asing? Dan agaknya Kitty itu merupakan seorang di antara kekasih Hendrik maka melihat keduanya bermain cinta, Hendrik lalu membunuh Kitty dan menimpakan kesalahannya kepada orang itu. Hemm... cinta selalu mendatangkan persoalan dan korban. Akan tetapi, apakah itu patut dinamakan cinta?

**** 115 ****

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: