*

*

Ads

FB

Minggu, 06 November 2016

Petualang Asmara Jilid 117

Setiap pagi, permukaan bumi dimulai dengan kesunyian dan keheningan yang indah sekali. Seperti pagi hari itu. Harinya indah sekali!

Kun Liong bangun pagi-pagi dan sudah berada di atas dek kapal, sempat menikmati munculnya matahari yang merupakan sebuah bola api merah yang muncul dari permukaan laut sebelah timur selatan (tenggara). Kun Liong seperti terbenam dalam semua keindahan itu. Matahari seperti bola api besar kemerahan yang mulai menyinarkan cahayanya, seperti membakar seluruh permukaan laut dengan warna kemerahan.

Laut merah ini tampak berkeriput kecil, seperti tidak pernah bergerak. Tidak ada suara terdengar kecuali percikan air di tubuh kapal. Langit biru kemerahan mulai ditinggalkan titik-titik bintang dan di sana-sini tampak burung-burung camar laut beterbangan di angkasa dengan bebasnya. Mereka tidak tampak menggerakkan sayap, hanya meluncur dengan halusnya membuat lingkaran-lingkaran lebar.

Pada saat seperti itu, Kun Liong sudah lupa diri, seolah-olah dia tidak ada lagi, yang ada hanyalah kesadaran akan keindahan itu. Tidak lagi akunya yang menikmati keindahan, yang ada hanyalah memandang. Dia seperti matahari, seperti air laut, seperti burung camar, dia merupakan sebagian dari dalam dan keindahan itu yang tak terpisahkan.

Semua ini akan membuyar jika pikiran datang mengaduk keheningan dengan bentukan aku-nya. Kalau ada si aku yang menjadi pemandang, yang menjadi penonton, maka timbullah perbandingan. Keindahan pagi ini tidak seindah yang kulihat sepekan yang lalu, atau keindahan ini lebih indah dari yang kemarin, atau aku ingin melihat keindahan ini lagi atau aku tak ingin melihatnya lagi dan sebagainya.

Kalau sudah begitu, kalau si aku sudah muncul, rusaklah semuanya. Keindahan itu tercemar, menjadi gambaran yang melekat di dalam ingatan sehingga kelak akan menimbulkan keinginan melihat lagi, menimbulkan perbandingan, menimbulkan suka dan tidak suka.

Demikian pula dengan segala keindahan di dunia ini. Selama si aku yang menjadi pemandang dan penilai, selalu terjadi pertentangan. Dia lebih kaya dari aku dan timbullah iri hati. Dia lebih miskin dari aku dan timbullah kesombongan. Dan sebagainya dan sebagainya. Semua timbul dari perbandingan, perbandingan timbul dari si aku yang dibentuk pikiran.

Kalau kita menghadapi keadaan kita dan yang kita hadapi sewajarnya, menghadapi hanya memandang penuh kewaspadaan tanpa si aku yang menjadi pengawas dan penilai, maka tidak akan timbul konflik batin yang hanya menelurkan pertentangan lahir. Kalau sudah begitu, baru ada kemungkinan kita melakukan setiap perbuatan berdasarkan kasih, kasih suci murni tanpa pamrih tanpa tujuan tanpa keinginan tanpa disadari bahwa perbuatannya itu baik!

Namun, hanya beberapa jam saja Kun Liong berada dalam keadaan hening yang penuh rahasia keindahan itu karena perhatiannya tertarik oleh bayangan sebuah pulau di selatan. Agaknya itulah Pulau Ular! Tak salah lagi, cocok dengan gambaran yang diberikan oleh supeknya, Cia Keng Hong!

Bukan hanya dia seorang yang melihat pulau ini, juga penjaga di atas yang segera memberi tanda ke bawah. Tak lama kemudian, semua penghuni kapal sudah bangun dan berkumpul di dek. Keadaan menjadi sibuk ketika Yuan menyerukan perintah.

Legaspi Selado memberi petunjuk-petunjuk. Perahu besar Ikan Duyung mendekati kapal dan Richardo de Gama bersama Yuanita, Nina Selado dan empat orang pelayan wanita, mengungsi ke perahu besar itu. Kapal Kuda Terbang sudah siap untuk menyerbu ke Pulau Ular sedangkan Kapal Ikan Duyung hanya menanti di pantai bersama Richardo de Gama, puterinya dan pelayan-pelayan itu termasuk anak buah perahu.






Sebelum pindah ke perahu, Yuanita lari menghampiri Kun Liong, secara terang-terangan di depan banyak orang, Yuanita merangkul leher Kun Liong, menariknya ke bawah dan memberi kecupan pada bibir pemuda itu sambil berbisik,

“Hati-hatilah kau...”

Tentu saja Kun Liong gelagapan dan mukanya menjadi merah sampai ke kepalanya, akan tetapi dia agak merasa terhibur dan berkurang rasa malunya ketika melihat Yuanita juga merangkul kakaknya dan memberi ciuman, bukan di bibir melainkan di pipi. Setelah itu Yuanita lari kepada ayahnya dan bersama-sama pindah ke perahu Ikan Duyung. Tak sengaja Kun Liong melirik dan melibat Hendrik memandangnya dengan mata bernyala-nyala penuh kebencian!

Meriam-meriam Kapal Kuda Terbang sudah disiapkan, pistol dan bedil sudah dibersihkan dan peluru-pelurunya dibagi-bagi. Ketika Yuan menyerahkan sebuah pistol kepada Kun Liong, pemuda ini menolak.

“Senjata apimu itu sama saja dengan senjata gelap berupa piauw, paku, jarum dan lain-lain. Dan aku tidak pernah menggunakan am-gi (senjata gelap), bahkan tidak pernah menggunakan senjata karena aku benci perkelahian, benci perang, benci kekerasan. Suruh aku menggunakan senjata untuk membunuh atau melukai orang? Sama saja dengan menyuruh aku memotong kedua tanganku!”

“Aihh! Habis kalau kau berhadapan dengan orang jahat yang menyerangmu?”

“Akan kubela dengan kedua tangan, dan kalau dalam membela diri aku melukainya, sungguhpun kuusahakan agar jangan terlalu hebat, hal itu tentu saja lain lagi, bukan sengaja aku hendak melukai atau membunuh orang.”

Yuan memandang sahabatnya itu.
“Kau orang aneh! Mungkin karena keanehanmu inilah adikku jatuh cinta kepadamu!”

Kun Liong tidak menjawab, akan tetapi mukanya menjadi merah sekali.

“Sayang kau tidak membalas cintanya.”

Kun Liong kaget, mengangkat muka. Agaknya antara kakak dan adik itu tidak ada rahasia!

“Maafkan aku...” katanya lirih.

Yuan menepuk-nepuk pundaknya.
“Tidak ada yang dimaafkan. Engkau jujur dan gagah, tidak menggunakan kesempatan selagi ada gadis cantik mencintamu kau pergunakan untuk memuaskan diri seperti hampir semua pria lain. Cinta tak dapat dipaksakan. Sudahlah, lupakan saja. Kun Liong, karena aku tahu bahwa engkau memiliki kepandaian, hanya engkau yang pantas menghadapi dua orang datuk kaum sesat itu...”

“Tuan, dengarlah baik-baik. Tugasku hanya dua, pertama merampas kembali bokor emas dan kedua menolong Nona Souw Li Hwa.”

“Serahkan nona itu kepada tanggung-jawabku!” Ucapan itu dikeluarkan keras-keras sehingga mengagetkan Kun Liong, akan tetapi karena maklum bahwa hal ini terdorong oleh rasa cinta pemuda ini, maka dia mengangguk dan berkata lirih, “Engkau pun gila oleh cinta seperti adikmu.”

Yuan menghela napas duka.
“Agaknya memang sudah nasib kami berdua, menjadi korban cinta sepihak.”

“Bagimu belum tentu, Yuan.”

Agaknya Yuan tidak menghendaki persoalan itu dilanjutkan, maka dia berkata,
“Semua sudah diatur seperti siasat yang direncanakan. Kau dan Tuan Legaspi Selado menghadapi Toat-beng Hoat-su dan Ouwyang Bouw, dibantu oleh Hendrik, anak buahku menghadapi anak buah Pulau Ular, kupimpin sendiri dan aku sekalian mencari Li Hwa. Harap saja engkau suka mentaati perintah ini, sesuai dengan rencana penyerbuan.”

Kun Liong meniru gerakan salut seorang anak buah kapal sambil berkata,
“Aku siap dan taat, Kapten!”

Yuan tertawa dan menampar pundak Kun Liong.
“Gila kau!”

Sesuai rencana, Kapal Kuda Terbang mendekat pantai lalu menembakkan meriamnya. Para anak buah Pulau Ular yang berkumpul di pantai untuk menyambut penyerbuan itu, kocar-kacir dan lari bersembunyi, lalu mundur.

Hal ini dipergunakan oleh Yuan dan anak buahnya serta pembantu-pembantunya untuk meloncat turun mendarat. Mulailah terjadi pertempuran hebat di pantai. Ledakan-ledakan senjata api membuat bising, diseling teriakan-teriakan dan hujan anak panah yang membalas perang jarak jauh ini.

Akan tetapi pihak Yuan terus mendesak sampai ke tengah pulau dimana terjadi sergapan-sergapan mendadak sehingga pistol-pistol makin tidak berguna, lebih banyak terjadi perang tanding dengan senjata tajam dan kepalan tangan.

Toat-beng Hoat-su dan Ban-tok Coa-ong sudah siap menyambut, Kun Liong bersama Legaspi Selado dan Hendrik, seperti direncanakan, menghadapi mereka. Kun Liong melawan Toat-beng Hoat-su sedangkan Legaspi dan puteranya mengeroyok Ban-tok Coa-ong.

Akan tetapi pertandingan yang seru ini tidak berlangsung lama karena terdengar Legaspi berkata kepada Kun Liong sambil meloncat jauh,

“Aku mencari benda itu!”

Dan pergilah dia diikuti oleh Hendrik, membiarkan Kun Liong dikeroyok dua oleh Ban-tok Coa-ong. Agaknya Ban-tok Coa-ong tidak mengejar kakek asing yang ia tahu memiliki kepandaian tinggi dan setingkat dengannya itu, karena dia yakin bahwa kakek itu takkan mungkin dapat menemukan bokor yang telah disimpannya di tempat rahasia. Hanya dia, Toat-beng Hoat-su dan Ouwyang Bouw saja yang tahu di mana rahasia tempat itu.

Diam-diam Kun Liong terkejut sekali. Tadi ketika melawan Toat-beng Hoat-su, dia repot setengah mati menghadapi serbuan kakek ini yang benar-benar amat lihai. Mula-mula kakek yang memandang rendah Kun Liong ini menyerangnya dengan tangan kosong saja. Akan tetapi, pemuda itu selalu dapat mengelak dari serangannya, bahkan berani pula menangkis dan setiap tangkisan tentu membuat seluruh lengannya tergetar, tanda bahwa pemuda gundul itu memiliki ilmu sinkang yang amat kuat!

Karena penasaran, Toat-beng Hoat-su menggunakan senjatanya yang istimewa, yaitu jubahnya dan begitu diserang oleh senjata aneh yang kelihatan sepele namun membawa tangan maut, Kun Liong mulai terdesak karena setiap tangkisannya biarpun membuat jubah terpental, namun lengannya terasa pedas sedangkan lawan tentu saja tidak merasakan apa-apa, berbeda kalau lengan kakek itu yang ditangkisnya!

Dan sekarang tiba-tiba Hendrik dan Legaspi meninggalkannya. Mengertilah dia bahwa kakek dan puteranya itu berwatak curang, membiarkan dia dikeroyok dua orang datuk sedangkan mereka sendiri pergi mencaari bokor. Dia yakin bahwa kalau bokor emas itu terjatuh ke tangan Legaspi, tidak mungkin kakek asing yang tidak kalah jahatnya dibandingkan dengan para datuk kaum sesat ini tentu akan angkat kaki melarikan bokor pusaka.

Namun, dia tidak mempedulikan kakek asing itu. Andaikata bokor terdapat oleh kakek itu, mudah kelak dicari. Sekarang yang penting dia harus mencurahkan seluruh kepandaiannya untuk menghadapi pengeroyokan Toat-beng Hoat-su dan Ban-tok Coa-ong yang lihai.

Sebetulnya, mengingat akan ilmu-ilmu silat yang telah dipelajarinya dari dua orang sakti Bun Hoat Tosu dan Tiang Pek Hosiang, mutu dan tingkat ilmu silat Kun Liong masih jauh lebih murni dan tinggi dibandingkan dengan kedua orang kakek sesat yang hanya memiliki ilmu silat dari golongan sesat yang sudah campur aduk tidak karuan dan semata-mata mengandalkan tipu daya licik sehingga tidak memiliki dasar yang kuat.

Juga dalam hal sin-kang, pemuda gundul ini telah memiliki sin-kang Pek-in-ciang dari Tiang Pek Hosiang, sin-kang istimewa untuk membetot dari Bun Hoat Tosu, dan terutama sekali Thi-khi-i-beng dari Cia Keng Hong. Maka dalam hal ilmu tenaga sakti, dia pun jauh lebih tinggi tingkatnya dari kedua orang lawannya.

Akan tetapi, dia kalah pengalaman, terutama sekali dua orang kakek itu adalah ahil-ahli ilmu muslihat licik, ditambah lagi Toat-beng Hoat-su menggunakan senjata jubah sedangkan Ban-tok Coa-ong menggunakan senjata terompet di tangan kiri dan pedang ular di tangan kanan. Maka repotlah Kun Liong sekarang, harus mengerahkan sin-kangnya melindungi tubuh, mengerahkan gin-kang untuk mengelak dengan berloncatan ke sana-sini dan mainkan Pat-hong-sin-kun yang dapat membuat penjagaan delapan penjuru!

Pertempuran antara Yuan dan anak buahnya juga terjadi amat ramai, akan tetapi karena tidak lagi ada kesempatan menggunakan senjata api, orang-orang barat itu dalam pertandingan senjata tajam dan kepalan tangang kalah pandai oleh anak buah Pulau Ular yang rata-rata pandai ilmu silat sehingga anak buah Yuan mulai terdesak. Akan tetapi Yuan de Gama, yang tidak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk segera menolong Li Hwa telah menangkap seorang anggauta lawan dan menyeretnya ke pinggir.

“Lekas katakan, dimana ditahannya Nona Souw Li Hwa, baru kau akan kuampuni!”

Orang Nepal itu yang tengkuknya dicengkeram tangan Yuan yang terlatih, merasa nyeri sekali, menjawab gagap.

“Dia... di... pondok Kongcu...!”

“Lekas bawa aku kesana, kalau kau membohong akan kubunuh. Kalau tidak, akan kulepaskan!”

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: