*

*

Ads

FB

Minggu, 06 November 2016

Petualang Asmara Jilid 120

Kita tinggalkan dulu tiga orang muda yang sibuk berusaha memadamkan api itu dan kembali ke Pulau Ular. Pertandingan antara empat orang tokoh sakti masih berlangsung dengan hebatnya. Namun kini sudah tampak perubahan besar. Toat-beng Hoat-su sudah terengah-engah, keringat memenuhi mukanya dan dari kepalanya tampak uap putih mengepul, sedangkan lawannya, Panglima The Hoo masih tenang saja dan setiap gerakannya mantap. Demikian pula dengan Ban-tok Coa-ong yang menghadapi Keng Hong. Pendekar sakti ini dapat mempermainkan lawannya sekarang setelah lawannya menjadi lelah dan lemah.

“Hayo katakan di mana bokor emas itu kau sembunyikan!” kata The Hoo sambil mendesak lawan. “Dan menyerahlah, mungkin engkau tidak akan dihukum mati.”

Namun Toat-beng Hoat-su tidak menjawab melainkan terus melawan mati-matian, setiap gerakan kedua tangannya yang terkepal mantap dan mendatangkan angin dahsyat. Namun lawannya, Panglima The Hoo adalah seorang yang selain memiliki ilmu kepandaian amat tinggi dan pengalaman yang amat luas, juga terkenal sebagai seorang yang memiliki sin-kang yang mujijat.

Dari kedua tangan kakek panglima sakti ini tampak uap putih mengepul dan setiap kali mereka beradu lengan, tentu tubuh Toat-beng Hoat-su terdorong mundur dan membuatnya terhuyung-huyung. Hal ini membuat Toat-beng Hoat-su marah sekali. Sambil berteriak keras dia mengeluarkan jubahnya dan mengamuk dengan senjata istimewa ini. Namun, The Hoo sudah pula mengeluarkan pedangnya, dan tampaklah sinar kilat berkelebatan menyilaukan mata ketika pedang itu dimainkan.

“Brett-brett-brett...!”

Betapa kagetnya hati Toat-beng Hoat-su melihat bahwa jubahnya, senjata yang amat diandalkannya, kini cabik-cabik oleh pedang di tangan lawannya.

Di lain pihak, pertandingan antara Ban-tok Coa-ong dan Cia Keng Hong juga berlangsung tidak kalah hebat dan serunya.

“Ha-ha-ha, jadi engkau adalah supek dari pemuda gundul itu? Ha-ha-ha kalau begitu biarlah aku mengirim engkau ke neraka menyusul ayah bundanya!”

Bantok Coa-ong tertawa mengejek ketika mendengar tadi Kun Liong menyebut lawannya ini “supek”.

Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Keng Hong mendengar kata-kata itu. Ucapan Ban-tok Coa-ong itu berarti bahwa Gui Yan Cu dan Yap Cong San telah tewas! Dia merasa kaget, duka, dan marah sekali. Hal ini membuat gerakannya menjadi kacau dan tenaganya berkurang maka Ban-tok Coa-ong dapat mendesaknya dengan hebat.

Datuk kaum sesat ini memang lihai sekali, maka begitu Cia Keng Hong mengalami pukulan batin yang membuat gerakannya mengendur. Kakek Raja Ular itu mendesaknya dengan kedua senjatanya yang aneh. Cia Keng Hong seperti nanar dan pening kepalanya mendengar berita mengejutkan itu dan selama belasan jurus pendekar sakti ini hanya dapat menangkis dan mundur-mundur.

“Mampuslah! Ha-ha!”

Ban-tok Coa-ong sudah menyerang dengan pedang ularnya, menusuk ke arah leher dengan kuatnya, sedangkan terompetnya yang merupakan senjata ampuh itu menghantam arah dada lawan.






Menghadapi serangan yang amat berbahaya ini, barulah Cia Keng Hong sadar akan ancaman maut, maka dia cepat menggoyang kepalanya, menggerakkan pedang dan mengerahkan sin-kang untuk menempel pedang lawan, kemudian menerima hantaman di dada itu dengan cengkeraman tangan sehingga terompet itu remuk dan tangan Keng Hong terus mencengkeram tangan kiri lawan sehingga jari-jari tangan mereka saling mencengkeram!

“Lepaskan pedang!”

Keng Hong membentak dan sebuah kekuatan dahsyat membuat kedua pedang yang saling menempel itu terlepas karena tangan kanan Ban-tok Coa-ong tergetar hebat. Sepasang pedang itu terlempar kesamping dan kedua tangan kanan mereka pun saling cengkeram. Kini kedua tangan mereka dengan jari-jari saling mencengkeram mengadu telapak tangan dan keduanya mengerahkan tenaga.

Ban-tok Coa-ong mengandalkan sin-kangnya yang mengandung hawa beracun mengerahkan seluruh tenaga untuk mengirim racun ke tubuh lawan melalui telapak tangannya, akan tetapi dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika merasa betapa sin-kangnya menerobos keluar disedot oleh kedua tangan pendekar itu.

Mukanya menjadi pucat sekali, dan teringatlah ia kini akan ilmu mujijat Thi-khi-i-beng yang kabarnya di dunia in hanya dimiliki oleh Pendekar Cia Keng Hong seorang. Dia merasa makin lemah, tak kuat lagi menahan sin-kangnya yang membanjir keluar membuat tubuhnya kehilangan tenaga sehingga tak terasa lagi dia jatuh berlutut, keringatnya menetes-netes.

“Le... lepaskan aku...!” katanya di luar kesadarannya, terdorong oleh rasa ngeri ketika merasa betapa sin-kangnya terus membanjir keluar.

“Siapa yang membunuh Yap Cong San dan Gui Yan Cu?” terdengar suara pendekar itu bertanya, penuh wibawa menyembunyikan kekagetan, kedukaan, dan kemarahannya mendengar berita itu.

“Para datuk kaum sesat... kecuali aku... eh, Toat-beng Hoat-su, Siang-tok Mo-li, Kwi-eng Niocu dan Hek-bin Thian-sin... Harap kau lepaskan aku...!”

“Dimana dibunuhnya mereka?”

“Di... di Tai-goan... auggghhhh!”

Tubuh Ban-tok Coa-ong roboh dan tewas seketika ketika tangan kiri Keng Hong menampar kepalanya.

“Desss... aduhhh...!”

Tubuh Toat-beng Hoat-su juga terpelanting dan tewas seketika. Dadanya remuk terkena pukulan mujijat Panglima The Hoo yang disebut Jit-goat-sin-ciang-hwat.

“Sayang mereka tidak mengaku dimana adanya bokor... heiii, mengapa wajahmu murung, Cia-sicu?” Panglima itu bertanya heran.

“Hamba... baru saja mendengar dari dia...” Keng Hong menunjuk ke arah mayat Ban-tok Coa-ong “...bahwa sahabat hamba Yap Cong San dan isterinya, sumoi hamba telah dibunuh oleh kelima datuk kaum sesat di Tai-goan.” Tak terasa dua titik air mata turun dari mata pendekar itu dan cepat dihapusnya.

“Hemmm, orang-orang jahat itu hanya mendatangkan bencana saja.” Dia menoleh dan melihat bahwa pertempuran sudah selesai, tidak tampak pihak musuh, hanya pasukannya yang siap menanti perintah dan ada yang mempersiapkan kapalnya. Ketika menoleh inilah dia melihat api berkobar di laut. “Ada kebakaran di sana...!” teriaknya.

Keng Hong menoleh dan keduanya lari ke pantai dimana semua pasukan juga sedang memandang kebakaran. Dari jauh, para pasukan tidak dapat melihat apa yang terjadi di Kapal Kuda Terbang yang terbakar itu, akan tetapi begitu melihat mata Keng Hong dan Panglima The Hoo dapat melihat dua orang sedang bertanding hebat, yang seorang adalah kakek berjubah aneh yang mudah saja diduga tentulah Legaspi, sedangkan lawannya adalah seorang pemuda gundul.

“Kun Liong menghadapi Legaspi. Tentu bokor sudah di tangan Legaspi.” kata Keng Hong.

“Akan tetapi kapal itu terbakar. Dan ehhh... bukankah itu Li Hwa disana, membantu seorang pemuda asing tanpa baju sedang mencoba memadamkan api?”

Keng Hong juga melibat ini.
“Kalau begitu Nona Souw sudah tertolong!”

“Kapal itu terbakar hebat, kita harus mencoba menolong mereka!”

Panglima The Hoo, diikuti oleh Keng Hong lalu lari ke kapal dan panglima itu memerintahkan supaya kapal cepat diluncurkan menuju ke Kapal Kuda Terbang yang terbakar.

Akan tetapi ketika mereka sudah tiba agak dekat, mereka tidak mungkin dapat terlalu dekat, karena hal itu berbahaya sekali. Potongan-potongan kayu yang masih bernyala mulai beterbangan dan kalau mengenai kapal atau layarnya, bisa berbahaya. Di samping lain, juga Perahu Ikan Duyung mendekati kapal yang terbakar namun mereka tidak berdaya melakukan sesuatu.

Panglima The Hoo dan Keng Hong melihat betapa Kun Liong dapat merobohkan Legaspi yang terjungkal ke laut, kemudian melihat Kun Liong membantu memadamkan api. Namun api makin membesar dan sudah makan setengah kapal, membuat kapal miring dan sebentar lagi tentu tenggelam!

Panglima The Hoo dan Keng Hong memandang penuh kekhawatiran.
“Mereka harus segera meloncat ke luar dan berenang, nanti kita jemput dengan perahu. Kalau sampai kapal itu meledak, celaka...!”

Keng Hong mengerahkan khi-kangnya dan terdengar dia berteriak, nyaring bukan main.
“Yap Kun Liong, kalian semua tinggalkanlah kapal...!”

Panglima The Hoo juga berteriak, teriakannya bahkan lebih nyaring lagi.
“Li Hwa, aku gurumu memerintahkan kau lekas tinggalkan kapal!”

Tiga orang muda itu mendengar seruan-seruan ini, dan mereka baru melihat bahwa kapal perang Panglima The Hoo berada tidak begitu jauh dari situ, demikian pula Perahu Ikan Duyung.

“Yuan, Li Hwa, mari kita tinggalkan saja kapal terbakar ini!”

“Tidak, Kun Liong. Aku adalah kapten kapal ini, dan seorang kapten tidak akan meninggalkan kapalnya. Lebih baik mati bersama tenggelamnya kapal daripada meninggalkan kapal yang akan tenggelam!”

Jawaban ini penuh semangat, dada yang bidang itu dibusungkan, penuh peluh dan hangus, tampak gagah bukan main.

“Li Hwa, hayo kita pergi dari sini. Gurumu memanggil.”

Li Hwa tampak bingung, sebentar menoleh ke arah kapal perang gurunya, kemudian menoleh kepada Yuan yang tersenyum kepadanya dan berkata,

“Pergilah kekasihku, engkau harus diselamatkan.”

“Tidak...!” Li Hwa terisak lalu lari merangkul Yuan. “Kalau kau tidak pergi, aku tidak. Aku harus berada di sampingmu selalu, hidup atau mati!”

“Li Hwa...”

“Yuan...”

Mereka berpelukan dan Kun Liong memandang dengan mata terbelalak. Sudah diduganya bahwa kedua orang muda ini saling mencinta, akan tetapi tidak diduganya akan menyaksikan cinta sehebat dan sebesar itu, cinta sampai mati!

“Apakah kau telah gila, Yuan?”

“Bukan aku, melainkan engkau yang gila kalau hendak memaksa seorang kapten kapal meninggalkan kapalnya yang sedang tenggelam. Apa artinya hidup tanpa kehormatan? Nenek moyangku terkenal memegang teguh kehormatan, lebih berharga daripada nyawa, dan aku tidak sudi mengecewakan mereka.”

“Yuan... kau hebat...!” Li Hwa mendekap makin erat, penuh bangga dan cinta kepada kekasihnya.

“Li Hwa, kau... ditunggu gurumu... dan kau seorang panglima wanita negaramu... Apakah kau juga gila, ketularan Yuan?”

Li Hwa tidak melepaskan dekapannya, hanya menoleh dan tersenyum kepada Kun Liong. Senyum mulutnya tapi air matanya bertetesan, pemandangan yang tak mungkin akan dapat dilupakan oleh Kun Liong selama hidupnya.

“Kun Liong, engkaulah yang gila seperti dikatakan kekasihku, kalau kau hendak memaksa seorang dara meninggalkan kekasihnya yang terancam kematian. Aku harus tinggal bersama dia, kau pergilah, bawalah bokor itu dan serahkan kepada Suhu, berikut hormatku yang terakhir kepada beliau...”

“Yuan... Li Hwa...”

Kapal makin hebat kebakarannya dan kapal itu sudah miring sekali, sebentar lagi tenggelam.

“Kun Liong...!” terdengar lagi suara Keng Hong memanggil.

“Li Hwa...!” tersusul suara Panglima The Hoo.

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: