*

*

Ads

FB

Kamis, 10 November 2016

Petualang Asmara Jilid 121

Kun Liong mengangkat pundak, kehabisan akal. Tentu saja, dengan kepandaiannya, dia mampu menguasai dua orang itu dan memaksanya meloncat ke air, akan tetapi dia tidak tega melakukannya karena kehidupan Yuan pasti akan sengsara dan karenanya Li Hwa juga akan sengsara. Pula, seandainya mereka berdua tertolong, mungkinkah Li Hwa menjadi jodoh Yuan? Pikiran ini membuat dia melangkah maju, menjabat tangan Yuan dan Li Hwa, hampir tak dapat berkata-kata karena haru, matanya basah dan air matanya bertitik.

“Selamat tinggal, Li Hwa dan Yuan... semoga kalian... semoga... kalian... bahagia...!”

Kun Liong membalikkan tubuh lalu meloncat ke air membawa bokor emas. Keharuan dan pertandingan hebat melawan Legaspi tadi membuat dia lemah, namun dia mengerahkan tenaganya untuk berenang. Tak lama kemudian tubuhnya ditarik ke atas perahu kecil dan langsung dia dibawa ke kapal, dinaikkan ke kapal perang.

Cia Keng Hong dan The Hoo menyambutnya, Kun Liong berlutut dan menyerahkan bokor emas kepada The Hoo tanpa kata-kata, kemudian dia membalik dan memandang ke arah Kapal Kuda Terbang yang terbakar, kemudian, melihat betapa Yuan dan Li Hwa masih saling berdekapan, di antara api dan air, di pinggir ujung kapal yang sudah tenggelam sebagian. Kun Liong tak dapat menahan diri, dia menangis mengguguk seperti anak kecil!

“Apa yang terjadi...?” Keng Hong bertanya, mengguncang pundak Kun Liong.

“Yuan de Gama... dia kapten kapal itu... dia tidak mau disuruh pergi... dia memilih mati bersama kapalnya dan... dan Li Hwa... yang mencintanya, mencinta sampai mati tak mau terpisah darinya...”

“Li Hwa...?”

Panglima The Hoo berseru penuh keheranan, kekaguman, penasaran, juga kedukaan, Li Hwa seperti puterinya sendiri. Kalau dia menggunakan kepandaiannya, mungkin dia masih akan dapat memaksa puterinya itu pergi meninggalkan Yuan, akan tetapi, melihat kedua orang itu berdekapan ketat menghadapi maut, dia menghela napas panjang.

“Semua beri hormat kepada kapten Kapal Kuda Terbang. Tuan Yuan de Gama dan Nona Souw Li Hwa!”

Tiba-tiba dia mengeluarkan aba-aba yang nyaring dan semua pasukan bangkit dan berdiri tegak ke arah kapal yang mulai tenggelam itu dengan sikap memberi hormat kepada dua orang yang berdekapan itu.

Hanya ujung kapal yang masih tampak, itu pun sudah dijilat api sehingga kedua orang itu seolah-olah berada di tengah-tengah api yang mulai tenggelam! Tiba-tiba terdengar jerit yang penuh kemesraan.

“Li Hwa...!”

“Yuan...!”

Jerit penuh kebahagiaan dari mulut Yuan dan Li Hwa itu seolah-olah merupakan jerit kebahagiaan sepasang mempelai di pelaminan. Tubuh mereka mulai ditelan air perlahan-lahan, kemudian lenyap. Sunyi senyap di kapal perang, kecuali suara mengguguk tangis Kun Liong.






Cia Keng Hong dan Panglima The Hoo berdiri tegak dan mereka berdua mengusap air mata yang menitik ke atas pipi mereka yang sudah mulai keriputan.

Di tempat lain, di atas Perahu Ikan Duyung, juga terjadi hujan tangis. Yuanita jatuh pingsan, dan Richardo de Gama berlutut dan bersembahyang kepada Tuhan untuk menerima roh puteranya yang gugur sebagai seorang gagah perkasa, menjunjung tinggi nama keluarga de Gama yang memang terkenal. Di hati bapak tua ini, terdapat keharuan, kedukaan hebat, namun ada pula sedikit kebanggaan. Dengan matinya Yuan, dia mengajak puterinya kembali ke negaranya.

Kun Liong yang berdiri di ujung kapal perang, memandang Perahu Ikan Duyung. Biarpun dia tidak dapat melihatnya, dia dapat membayangkan betapa duka hati Richardo de Gama, terutama hati Yuanita. Ingin dia dapat dekat dengan nona itu dan menghiburnya.

Akan tetapi dia melihat perahu itu mengangkat sauh dan meluncur pergi meninggalkan tempat itu. Maka dia hanya dapat menghela napas saja. Betapa buruk nasib menimpa putera-puteri Richardo de Gama. Biarpun Yuan yang mencinta Li Hwa mendapat balasan yang tidak kalah mesranya, namun dia harus mati dengan kekasihnya itu. Sedangkan Yuanita, yang dia tahu jatuh cinta kepadanya, terpaksa harus menanggung penderitaan hati akibat cinta gagal.

Sebuah tangan menyentuh pundaknya. Dia menengok dan melihat Cia Keng Hong sudah berdiri di depannya dan agaknya supeknya ini akan bicara hal yang serius melihat wajahnya.

“Ada apakah, Supek?”

“Ada berita penting untukmu, Kun Liong. Harus kusampaikan sekarang juga sebelum kita berpisah. Aku telah mendengar tentang ayah bundamu...” Sampai disini leher Keng Hong seperti dicekik.

Wajah Kun Liong seketika berubah dan kedukaan mengingat nasib Yuanita dan Yuan tersapu bersih berganti harapan cerah pertemuan dengan orang tuanya yang sudah terpisah belasan tahun dengannya.

“Dimana mereka, Supek? Ahhh, girang sekali hatiku dan... ihhh, mengapa, Supek?” Dia kaget setengah mati melihat orang tua itu menitikkan air mata!

Dengan suara parau dan sukar, Keng Hong berkata,
“Jangan kaget, anakku... aku mendengar dari mulut Ban-tok Coa-ong sebelum dia kutewaskan bahwa... bahwa... sahabatku Yap Cong San... sumoiku Gui Yan Cu, ayah bundamu itu...” Kembali dia berhenti dan air matanya makin deras.

“Supek!”

Kun Liong menjadi pucat dan lupa diri, dia memegang lengan supeknya dan mengguncangkan keras-keras!

“Mereka telah tewas, dibunuh oleh lima datuk kaum sesat...”

Kun Liong terhuyung ke belakang, seolah-olah supeknya memukulnya dengan pukulan maut, matanya terbelalak, mulutnya ternganga, kemudian dia menjerit sekuatnya yang terdengar seperti auman harimau yang akan mati, tubuhnya terguling dan cepat disambar oleh Cia Keng Hong. Kun Liong jatuh pingsan, mulutnya terkancing rapat dan matanya terbuka tanpa cahaya!

“Kun Liong... kasihan kau...”

Keng Hong mendukung tubuh pingsan itu dan membawanya ke biliknya di kapal perang itu.

Panglima The Hoo memerintahkan kapal menuju ke Teluk Pohai dan mendarat, dimana telah menanti kereta kebesaran untuk membawanya kembali ke istana. Sedangkan Keng Hong setelah merawat Kun Liong sehingga pemuda itu sadar, menghiburnya dengan nasihat-nasihat mendalam, lalu meninggalkan tempat itu kembali ke Cin-ling-san.

Kun Liong juga meninggalkan tempat itu dan mulai merantau seorang diri, akan tetapi pertama-tama dia menuju ke Tai-goan untuk mencari berita tentang kematian ayah bundanya.

Kun Liong menelungkup di depan kuburan ayah bundanya sambil menangis. Semalam suntuk dia menelungkup seperti itu dan diantara tangisnya dia minta-minta pengampunan dari ayah bundanya karena dia merasa bahwa dialah yang menyebabkan kematian mereka.

Dia mendengar peristiwa mengerikan itu dari seorang tetangga keluarga Theng yang sudah tua dan tahu persis apa yang telah terjadi. Seluruh rumah tangga keluarga Theng mati karena menjadi tempat pemondokan ayah bundanya. Bahkan puteri cucu Kakek Theng mati dalam keadaan telanjang bulat! Bahkan dia mendengar bahwa orang tuanya telah mempunyai seorang anak perempuan bernama Yap In Hong yang tidak ikut menjadi korban akan tetapi tidak ada orang tahu kemana perginya anak itu.

Berita ini membuat dia merasa lebih berdosa lagi. Dia menyembahyangi kuburan empat orang anggauta keluarga Theng dan setelah air matanya habis ditumpahkan semalam suntuk, pada keesokan harinya dengan muka pucat dan mata merah dia berdiri sejenak memandang jauh tanpa tujuan. Kemudian dia menjatuhkan diri berlutut di depan enam buah kuburan itu, yaitu kuburan empat orang keluarga Theng dan kuburan ayah dan ibunya, dan dengan lantang dia berkata,

“Ayah dan Ibu, empat keluarga Kakek Theng yang mulia, dengarlah sumpah saya saat ini. Tadinya saya menganggap bahwa kekerasan adalah buruk, perkelahian adalah tidak baik, melukai dan membunuh orang adalah perbuatan terkutuk yang amat jahat, apa pun juga alasannya! Akan tetapi, perbuatan yang paling biadab telah dilakukan oleh lima orang datuk kaum sesat dan saya bersumpah takkan mau berhenti sebelum dapat mencari mereka yang masih hidup dan membunuhnya dengan tangan saya sendiri. Toat-beng Hoat-su dan Ban-tok Coa-ong telah tewas oleh Supek dan Panglima The Hoo, Siang-tok Mo-li telah tewas di tangan Kwi-eng Niocu dan kabarnya Hek-bin Thian-sin juga sudah tewas oleh Legaspi Selado dan Toat-beng Hoat-su. Jadi hanya tinggal Kwi-eng Niocu dan saya bersumpah untuk membunuhnya. Harap Ayah, Ibu dan empat keluarga kakek Theng beristirahat dengan tenang.”

Setelah bersembahyang dengan hio-swa (dupa biting) sekali lagi Kun Liong meninggalkan tempat itu. Hatinya masih diliputi duka, akan tetapi ada kelegaan di hati setelah tahu akan keadaan orang tuanya. Mereka sudah tidak ada, tak perlu ditangisi dan didukakan lagi karena percuma belaka. Dia sekarang menjadi yatim piatu, tiada sanak kadang, tiada tempat tinggal, bebas lepas di udara.

Namun, masih ada tugasnya yang dianggapnya amat penting, yaitu mencari seorang di antara para pembunuh orang tuanya yang sekarang masih hidup, yaitu Kwi-eng Niocu di Pulau Telaga Kwi-ouw (Telaga Setan). Dan kebetulan sekali hanya tinggal seorang itulah di antara lima orang datuk kaum sesat yang menjadi pembunuh orang tuanya, karena orang yang telah mencuri dua buah pusaka Siauw-lim-pai juga dari Kwi-eng-pang itulah.

Dengan demikian, dia dapat bekerja sekali tepuk dua lalat. Pertama merampas kembali pusaka Siauw-lim-pai seperti yang telah ditugaskan oleh ketuanya, kedua untuk membunuh Kwi-eng Niocu.

Dia bergidik ketika teringat akan kata-kata “membunuh” ini. Selamanya dia tidak akan pernah membunuh orang dengan sengaja, apalagi dalam perbuatan, bahkan tidak dalam pikiran karena dia membenci kekerasan dan perbuatan membunuh dianggapnya merupakan perbuatan sesat yang paling jahat dan terkutuk, apa pun alasan pembunuhan ini. Bahkan dengan alasan membalas dendam kematian orang tua pun tidak mengurangi pendirian tentang itu.

Akan tetapi, hatinya terlalu berduka, luka itu terlalu mendalam sehingga dia mengucapkan sumpah di depan kuburan orang tuanya dan sebagai seorang jantan, dia harus memenuhi sumpahnya itu, biarpun hal ini berlawanan dengan isi hatinya.

Pada suatu hari, tibalah dia di sebuah dusun. Perutnya terasa lapar sekali, maka dia memasuki sebuah warung nasi yang sederhana dan sunyi tidak ada tamunya. Dia duduk di atas bangku panjang menghadapi meja dan karena tidak ada seorang pun di dalam warung yang terpencil di ujung dusun itu, dia mengetuk-ngetuk meja dengan jari tangannya sambil berteriak,

“Haiii, ada orangnyakah di sini?”

Sampai beberapa kali dia mengetuk dan pendengarannya yang tajam itu dapat menangkap gerakan di sebelah dalam rumah makan itu, gerakan perlahan seolah-olah mereka sedang mengintai dan mengawasinya.

Tak lama kemudian setelah dia mengetuk-ngetuk meja untuk ke tiga kalinya, muncullah seorang laki-laki yang tubuhnya berbentuk lucu dan aneh. Laki-laki ini sudah tua, sedikitnya tentu lima puluh tahun usianya, tubuhnya tinggi sekali, tinggi dan kurus kering, lehernya kecil seperti leher burung dan kepalanya botak sehingga dahinya kelihatan amat lebar. Sambil membungkuk-bungkuk orang itu menghampiri Kun Liong dan bertanya,

“Tuan Muda hendak memesan apakah?”

Kun Liong yang merasa lapar dan haus, juga lelah, menyebutkan bermacam-macam makanan yang disukainya,

“Nasi, capjai, tim ayam dan udang goreng berikut seguci arak yang manis.”

Akan tetapi betapa mendongkolnya ketika setiap kali dia menyebutkan nama masakan yang dipesannya, leher kecil itu bergerak ke kanan kiri seperti akan patah dan mulut yang bibirnya tebal itu menjawab,

“Tidak ada, tidak ada, tidak ada, Tuan Muda datang terlalu pagi, kami belum siap. Yang ada hanyalah bakmi dan arak tua, dan bakpauw.”

“Ya sudahlah, bakmi dan bakpauw pun boleh, arak tua pun lumayan, pokoknya asal perutku kenyang.”

Dengan terbongkok-bongkok dan agak pincang, kakek itu masuk lagi ke dalam meninggalkan Kun Liong duduk seorang diri.

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: